Tuesday, April 1, 2008

Wacana Lepas


PEREMPUAN DI UJUNG PENA



John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam bukunya “Megatrends 2000” melukiskan sebuah arus kebangkitan baru yang dialami kaum wanita dalam sejarah kehidupan manusia. Arus itu pernah ada dan selalu ada, namun kekuatannya menjadi begitu terasa pada tahun-tahun belakangan ini. Mereka menyebut arus perubahan itu sebagai “dasawarsa wanita”. Hal itu tampak jelas dari munculnya kaum perempuan dalam pentas kehidupan dan sejarah dunia. Mulai dari pemimpin dunia, negara, instansi birokrasi dan berbagai departemen atau organisasi. Hal senada juga ditandai oleh lahirnya kesadaran diri kaum perempuan tentang persamaan hak dengan kaum lelaki serta kesadaran akan berbagai kerangkeng subordinasi atas dirinya yang harus dihilangkan. Perempuan dewasa ini memiliki pengaruh dalam panggung sejarah kehidupan.
Lahirnya gelombang dasawarsa wanita menandai suatu era baru dalam dunia sastra. Perempuan menjadi tema aktual dan faktual dalam kehidupan sastra dewasa ini. Perempuan dan persoalannya diabadikan melalui ujung pena dalam kata-kata sastra. Di ujung pena, para sastrawan/wati melukis realitas kehidupan perempuan. Melalui ujung pena, para penulis menyuarakan suara-suara kaum perempuan. Memegang pena dan menulis tentang kehidupan kaum perempuan bukanlah hal yang mudah. Karena di ujung pena juga nasib dan sejarah kehidupan kaum perempuan pernah ditulis dengan tinta merah, tinta yang mengabadikan sejarah kekelaman kaum perempuan oleh subordinasi patriarkhi.
Sastra pada titik ini mengembang fungsi sebagai pembahasa realitas sejarah. Sastra bukanlah tabula rasa (papan kosong). Ia tidak pernah mulai dari titik nol, dari ketiadaan. Sutardji Colzoum Bachri menegaskan hal ini. Menurutnya, hendaklah kita pahami bahwa ketika suatu karya sastra ditulis atau dicipta, seorang pencipta sastra sebenarnya sedang menulis di atas tulisan, ia tak mungkin menulis di atas kertas kosong. Pernyataan ini secara implisit mau menegaskan bahwa sebelum karya sastra tercipta, realitas sesungguhnya telah menulis dirinya sendiri dalam sejarah.
Yang terungkap dalam tulisan adalah tulisan di atas tulisan. Dapat kita katakan bahwa karya sastra sebagai karya imaginasi adalah upaya pembebasan dari realitas, karena itu ia membutuhkan realitas. Pada saat yang sama ketika suatu karya sastra tercipta, realitas sejarah diabadikan. Karya sastra membekukan realitas dalam tulisan untuk selalu dapat digali, digeluti, dipelajari sebagai tempat dan sumber berguru bagi seluruh generasi.
SAMAN merupakan roman karya Ayu Utami yang secara istimewa berbicara tentang situasi ketertindasan perempuan, kaumnya sendiri. Ketertindasan oleh mitos seksualitas yang telah membagi manusia dalam pengelompokan lelaki dan perempuan yang tidak saja berbeda namun telah dibeda-bedakan sejarah. Ini adalah realitas, suatu yang nyata namun sering tidak berani dinyatakan secara publik karena tembok-tembok patriarkhi akan membisukannya. Kata-kata sastra SAMAN berjalan di atas fakta subordinasi ini. Melalui ujung penanya, Ayu Utami justru menerobos ‘stabilitas loci’, kemapanan sejarah patriarkhi oleh perbedaan seks. Ia mengangkat persoalan gender ke permukaan untuk dilihat, dirasakan, diberi makna dalam aktus praktis. Kata-kata Saman adalah kata-kata gugatan non violence againts women!
Sebagai seorang wanita, Ayu merasakan dan turut mengalami getirnya hidup sebagai perempuan dalam dunia kaum lelaki. Persoalan gender muncul dan tetap aktual karena kekeliruan dan interpretasi salah kaprah atas perbedaan seksual yang bersifat kodrati itu. Ayu tidak setuju bahkan bersikap sinis terhadap kaum perempuan yang masih rela ditindas oleh budaya patriarkhi. Ia menilai ketaatan pengabdian seorang istri pada suami, ‘yang berlebihan’ merupakan cemeti yang mencambuki diri sendiri. Wanita justru ditindas oleh pengabdiannya sendiri. Wanita menghamba pada pengabdian dan lelaki yang menjadi tuan atas pengabdian perempuan. Dengan pena ia menggoreskan gugatannya itu. Contoh paling jelas ditunjukannya dalam dialog antara tokoh Yasmin dan Shakuntala.
“Yasmin Moningka orang Manado, tetapi ia setuju saja menikah dengan adat Jawa….juga rela mencuci kaki Lukas. Kok mau sih?….Ah, Yesus juga mencuci kaki murid-murid-Nya. Cucian-cucian Yesus itu adalah penjungkiran nilai-nilai, sementara yang dilakukan para istri Jawa adalah kepatuhan pada ketakberdayaan. Tidak sejajar sama sekali.” (Saman, 154).
Sejarah manusia adalah sejarah perbedaan laki-laki dan perempuan, sejarah dominasi pria atas wanita. Dominasi patriarkhi melindas batas kehidupan kaum perempuan, juga untuk kediriannya dan ketertentuannya sebagai perempuan. Ayu Utami mengungkapkan ketidakpuasannya atas dominasi ayah yang tereksplisit dalam penuturan tokoh Shakuntala:
”Anda memiliki ayah bukan? Alangkah indahnya kalau tak punya. Gunakan nama ayahmu! Kenapa pula aku harus memakai nama ayahku? Bagaimana dengan nama ibuku?” (Saman, 138).
Sering menjadi suatu kebanggaan ketika orang (kaum perempuan) mengenakan nama ayahnya. Namun, sadarkah kita bahwa itu berarti nama ibu dikesampingkan? Disadari atau tidak, kaum perempuan sendiri sebenarnya telah memberikan sebuah legitimasi dominasi lelaki atas dirinya.
Berkata, menemukan kata, mengucapkan atau menoreh ujung pena di atas selembar kertas realitas dapat menjadi awal suatu pengisahan. Akan ada cerita yang dapat dikisahkan dari kedalaman perasaan, namun ada juga yang lahir dari kekelaman sejarah anak-anak sejarah. Ketika kaum perempuan masih ditaklukkan oleh pengabdiannya sendiri dan terbelenggu dalam lilitan rantai mitos seksualitas, Ayu menganjurkan dan menyerukan agar mitos-mitos seksualitas itu perlu diluruskan kembali. Pengkotak-kotakan lelaki dan perempuan dalam hal seksualitas perlu digugat dan dihilangkan. Jika tidak maka keadaan semacam ini akan menempatkan lelaki sebagai pihak yang menang dan perempuan pada posisi kalah. Ayu mengecam mitos keperawanan, mitos ‘porselin Cina’. Perempuan sudah tidak perawan selalu dianggap tidak berarti dan cacat tetapi nilai itu tidak berlaku bagi kaum lelaki.
”Aku ini ternyata sebuah porselin Cina. Patung, piring, cangkir porselin boleh berwarna biru, hijau, coklat. Tapi mereka tak boleh retak, sebab orang-orang akan membuangnya ke tempat sampah atau merekatkannya sebagai penghias kuburan. …Karena itu jangan pernah diberikan sebelum menikah, sebab kau akan menjadi barang pecah belah.”(Saman 124).
Melalui tokoh Laila, Ayu ingin memprotes kesewenangan yang dilakukan kaum lelaki terhadap perempuan. Lelaki dilihat sebagai penjahat ulung yang patut dicurigai, yang datang mengecap keperawanan lalu pergi tanpa belas kasihan. Atas dasar ini, Ayu menuduh Tuhan berbuat curang.
“Dia, Tuhan menciptakan selaput dara tetapi tidak membiluh selaput penis”. (Saman, 149).
Dan ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan lelaki yang bagai kumbang mengisap madu lalu pergi, Ayu pun menuduh Tuhan tidak adil.
”Mengingat mereka kerap membuatku ragu, apakah Tuhan memang adil…kalau ia memang ada?” (Saman, ... ).
Bagi masyarakat berbudaya Timur dan Indonesia khususnya, berbicara tentang seks masih dilihat sebagai hal tabu dan dosa. Masyarakat berbudaya ketimuran melihat keperawanan seorang perempuan sebagai suatu yang penting dalam membangun mahligai perkawinan. Keperawanan baru boleh direnggut apabila sudah secara resmi dan sah menjalani hidup suami istri. Hubungan seks di luar nikah dianggap dosa meskipun itu dilandasi cinta. Dalam kehidupan seksual dan perkawinan, kaum lelaki biasanya mendominasi dibandingkan dengan kaum perempuan. Jika terjadi sebaliknya maka itu dinamakan persundalan. Perempuan hanya memberikan diri dan tubuhnya kepada lelaki dan lelakilah yang menghidupkannya dengan harta. Oleh masyarakat hal semacam ini disebut sebuah perkawinan yang langgeng, sementara Ayu justru memandang hal ini sebagai sebuah persundalan yang hipokrit.
Dengan menggugat mitos ‘porselin Cina’ atau mitos keperawanan, Ayu Utami membawa kita menuju sebuah transparansi diskursus mengenai tabu dan dosa. Pendidikan seksualitas sudah harus diberikan sejak dini. Karenanya, hal itu harus dibicarakan dan bukan sebaliknya disembunyikan dan ditutup-tutupi. Ayu mengkonfrontasikan pandangan ketimuran di atas dengan budaya barat. Orang berbudaya barat sama sekali tidak mengagung-agungkan keperawanan. Hubungan seks dianggap sebagai hal yang lumrah bagi siap saja dan di mana saja. Tidak mesti menjadi suami istri. Kebebasan dan otonomi pribadilah yang diagung-agungkan. Demi cinta dah kebahagiaan pribadi orang dapat melakukan apa saja sejauh tak mengganggu orang lain.
“…dan kita di New York. Beribu-ribu mil dari Jakarta. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan, barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tak ada yang perlu ditangisi. Bukankah kita saling mencintai? Atau pernah saling mencintai? …Setelah itu sayang kita tertidur. Dan kita terbangun, kita begitu bahagia. Sebab ternyata kita tidak berdosa. Meskipun saya tidak lagi perawan” (Saman 30).
Lalu keperawanan bukanlah dipuja sedemikian rupa sampai yang memiliki keperawanan itu merasa tak berarti manakala keperawanannya direnggut.
“….sebab saya sedang menunggu Sihar di tempat ini (Central Park). Tak ada orang tua, tak ada istri, tak ada hakim susila atau polisi. Orang-orang apalagi turis boleh menjadi seperti burung unggas; kawin begitu mengenal birahi. Sebab itu tak ada yang perlu ditangisi. Tak ada dosa” (Saman 2-3).
Ayu melukiskan kisah pertemuan kedua budaya yang berbeda itu dengan gayanya yang khas; terbuka, tanpa rigiditas, dan tanpa beban. Hal ini mencerminkan sikapnya yang tidak begitu saja mengamini budaya barat, namun tidak juga dengan mudah memaklumi dan menutup-nutupi keburukan yang ada di dunia timur. Pada titik ini, Ayu mengajarkan sikap kritis yang waspada terhadap setiap fenomena budaya atau bahaya yang mungkin akan datang dari budaya barat maupun timur. Ayu di satu pihak begitu antusias mendobrak mitos keperawanan. Hal ini terlibat dari penyajian kata-kata yang vulgar. Ini bukan berarti bahwa Ayu memandang rendah nilah keperawanan dan menganjurkan seks pra nikah atau seks bebas dan gaya hidup samen leven. Ayu hanya ingin menempatkan nilai keperawanan sewajarnya. Karena bagi Ayu, jika seorang perempuan begitu memuja keperawanan, maka perempuan itu merasa dirinya tak berarti ketika keperawanannya telah direnggut.
Pergulatan Ayu dalam dominasi kaum lelaki bukan hanya membuatnya bersikap kritis terhadap mereka. Ia bukan saja berusaha mengubah pola pikir dan cara pandang kaum lelaki terhadap perempuan, tetapi juga mengajak kaumnya untuk bercermin diri.
“It’s better to light the candle than to curse the dark” (Saman, 178).
Seringkali kaum perempuanlah yang menciptakan peluang bagi timbulnya penindasan. Juga sikap apatis kaum perempuan terhadap pengabdian total dan kepatuhannya yang menerima semuanya sebagai sesuatu yang seharusnya demikian (taken for granted). Ia mengajak kaum perempuan untuk menyadari situasi keterbelengguan mereka oleh ‘mitos keperawanan’. Ia berusaha menyadarkan kaumnya untuk melihat secara wajar sebagai orang timur yang tidak kebarat-baratan dalam bergaya hidup sekaligus tidak membiarkan diri dikekang oleh belenggu budaya timur. Bagi Ayu, kaum perempuan semestinya hidup bebas dalam norma adat istiadatnya tanpa merasa tertindas atau menjadi makhluk inferior. Di ujung pena harapan ditaburkan agar kaum perempuan bisa menulis sejarah dirinya yang otentik, sejarah yang sejajar dengan lelaki.

Dimuat di Pos Kupang, 16 Pebruari 2003




NATAL MOMEN AFIRMASI PERAN IBU



“Ibu” adalah kata yang penuh harap dalam cinta, hangat serta sayang yang mengalir dari relung-relung hati manusia. Ibu adalah segala-galanya. Penghibur di kala duka, harapan di waktu derita dan sumber kekuatan di dalam kelemahan. Manusia siapa yang tidak pernah berlindung dalam perutnya dan melihat dunia ini tanpa melalui rahimnya?
Setiap tiga hari sebelum natal, seluruh warga negara bangsa ini memperingati Hari Ibu. Kenyataan ini adalah suatu kebahagiaan yang seringkali tidak disadari dan akhirnya mengalir begitu saja tanpa pemaknaan. Kita pun cenderung melihat dua momen ini secara terpisah. Momen Hari Ibu dilalui atau kalau dirayakan ternyata tidak lebih dari sebuah seremoni rutin tahunan belaka yang kisn luntur maknanya. Setidak-tidaknya supaya diketahui bahwa bagi bangsa Indonesia kaum ibu perlu dihargai dengan sebuah hari khusus dan istimewa. Tidak lebih dari itu.
Momen natal pun selalu dilihat sebagai hari kelahiran Sang Emanuel, peristiwa iman, inkarnasi Sang Sabda menjadi manusia. Tanpa ada usaha melampaui diri melihat ada apa sebelum kelahiran. Bagi saya, keduanya bisa dipertautkan dengan sebuah benang merah, ‘melihat peran ibu’. Tulisan ini adalah sebuah sintese pemaknaan hari ibu dalam nuansa hari natal bagi kaum ibu khususnya dan bagi kita semua yang beribu dan menjadi anak dari seorang ibu.
Sebagai pengantar seseorang masuk dalam kehidupan, pantaslah ibu dihormati dan dihargai di mana-mana dan dalam segala zaman. Peranan wanita yang melahirkan dan sekaligus membesarkan itu mendapat nilai yang tinggi dan tertanam dalam hati banyak orang. Dalam sejarah dapat kita temukan penghargaan itu yang dengan jelas sekali mengakui peran kebundaan. Bangsa Yunani yang terkenal dengan ‘high culture’ –nya menempatkan tokoh ibu sebagai dewi yang agung. Dewi agung dari masyarakat purba tersebut memangku raja ilahi yang memerintah dari pangkuannya. Kebudayaan ini menampakkan pemikiran bahwa kaum pria memandang diri mereka sebagai anak terkasih dari ibu agung. Tokoh ibu agung dipakai sebagai pelindung dalam menguasai seluruh alam.
Lalu kalau hendak melihat bagaimana bangsa kita sendiri menilai peranan ibu, kita tinggal saja melihat dan membuka lembaran-lembaran legenda yang tak lekang dimakan sejarah. Kita mengenal legenda Malin Kundang dan Sampuraga dari Sumatera Barat, kisah Dalana dari tanah Toraja atau berbagai legenda tentang figur ibu dari daerah kita. Cerita-cerita di atas menggambarkan pengorbanan seorang ibu yang begitu besar, suatu ajakan untuk selalu menyadari kehadiran dan peran ibu, serentak berarti penghargaan bagi seorang ibu dalam situasi manapun. Begitu besar peran ibu sehingga dengan tidak hiperbolis dikatakan “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”. Dan mengabaikan penghargaan terhadapnya berarti menjauhkan surga.
Bila bangsa-bangsa dengan pantas memberi kedudukan yang begitu penting kepada ibu, maka tentulah hal itu bukan tanpa alasan yang jelas. Dalam suatu keluarga ibu berada pada posisi sentral. Bahkan dikatakan bahwa ibu adalah poros keluarga, penentu hampir semua proses dalam keluarga. Itulah peran tradisional seorang ibu. Ayah atau suami adalah kepala keluarga, tetapi lebih banyak terbatas pada tugas pencaharian nafkah dan kemasyarakatan. Sedangkan tugas-tugas lain yang menjamin berlangsungnya sebuah keluarga secara batiniah dipegang ibu. Khususnya untuk mendidik dan mengembangkan pribadi generasi penerus keluarga yang bersangkutan, tidaklah berlebihan kalau dikatakan didominasi oleh ibu.
Mantan Presiden Soeharto dalam sambutannya pada peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember 1987 di Balai Sidang Senayan Jakarta menegaskan “cinta kasih seorang ibu tidak bisa ditakar dan ditukar.” Pemikiran ini sebenarnya berangkat dari perkembangan zaman yang semakin cepat. Yang dicari dan diutamakan sekarang adalah manusia yang berkualitas, yang mampu menghadapi tantangan zaman. Manusia-manusia unggul ini hanya dapat lahir dari keluarga-keluarga yang baik dalam hal menerapkan pola pendidikan anak. Pola ini harus mampu melahirkan generasi baru yang kreatif, inovatif, adaptif, berwawasan luas serta memiliki future oriented. Pada titik inilah terlihat peranan tradisional seorang ibu yang mutlak perlu, pun di zaman mutakhir ini.
Seorang penulis wanita terkenal, Mary Corraly pernah menulis, “seorang ibu (istri) adalah tiang negara, kalau ibu (istri) baik negara pun baik. Tetapi kalau ia rusak, rusak pula negara.” Sadar sedalam-dalamnya akan hal ini, ia pun menegaskan, “bilamana ibu-ibu sudah hilang kepercayaan dan keyakinannya, maka dunia ini seakan-akan khiamat. Ibu-ibu yang dapat berdoa, ibu-ibu yang dapat memberikan inspirasi dan petunjuk kepada anak-anaknya guna mencapai cita-cita yang suci dan murni: ibu-ibu yang demikian bagai fundamen yang kuat dan merupakan benteng pertahanan yang akan melindungi bangsa. Akan tetapi apabila ibu-ibu itu lalai berbakti dan bilamana ia lupa mengajar dan membimbing anak-anaknya, bagaimana ia bersikap serta melipatrapatkan jari-jari tangannya untuk berdoa dan bersembahyang, maka kita akan menjumpai suatu masa di mana semangat kaum lelaki akan merosot dan menjadi beku dan kehancuran mengancam manusia.”
Peranan dan kedudukan seorang ibu sungguh nampak juga dalam celah-celah perhatian natal. Natal berasal dari kata Latin ‘Natus’ yang berarti lahir, diciptakan sesuai untuk. Kemudian baru mengalami perluasan arti sebagai peristiwa peringatan kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Lebih dari itu, Natal merupakan saat permenungan atau pembaharuan yang tepat dari iman kita mengenai eksistensi Sang Penebus dalam hati kita. Pusatnya memang pada diri yang dilahirkan itu. Tetapi pembicaraan tentang kelahiran, tidak bisa dilepaskan dari serangkaian proses yang ada di sekitar kelahiran itu. Peristiwa lahirnya Yesus bukan suatu mujizat. Walapun Allah yang “Maha” itu bisa berbuat apa saja, karya-Nya tetap dimulai dan dilaksanakan dalam konteks manusiawi. Meskipun Kristus merupakan pewahyuan diri-Nya sendiri, namun semua dinyatakan dengan cara biasa.
Adakah seseorang hanya memulai kehidupannya dari saat kelahirannya saja tanpa ada orang lain yang mengandungnya? Sebelum dilahirkan orang telah bersemayam dalam rahim ibunya selama berbulan-bulan. Makanan bagi pertumbuhannya semua diperoleh dari ibunya sampai tiba saatnya ia diperlihatkan kepada dunia terbuka. Kita dihadirkan ke alam terbuka dalam proses yang penuh suka duka. Kita ada karena buah kasih sayang yang penuh pengorbanan tanpa pamrih. Semuanya itu bersumber dalam dan dilaksanakan oleh seorang ibu. Cinta murni, ketulusan selalu ditampilkan dalam tutur kata ibu. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu” (Luk 1:38). “Dibaringkannya di dalam palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2 : 27). Ibu Maria menyatakan imannya dengan kepenuhan arti cinta yang tulus, dengan menampilkan kesahajaan, kesederhanaan dengan menerima puteranya lahir di kandang domba.
Sungguh, ibu adalah pemegang peranan utama kelahiran kita. Ia melahirkan, tetapi sebelumnya ia mengandung, dan sesudahnya ia mengasuh, mendidik kemudian mempersembahkan kita. Dari tangannyalah kita memperoleh arahan pribadi untuk diserahkan bagi dunia, dan lebih lagi bagi Allah dalam kerajaan-Nya. Peranan dan kedudukan ibu menyentuh seluruh dimensi hidup kita. Peranannya melingkupi dan berlanjut terus dalam seluruh periode kehidupan kita di dunia. Dan seperti Ibu Maria melahirkan Yesus, natal juga mengingatkan kita kepada ibu yang telah melahirkan kita. Dalam lingkup luas, peranan dan kedudukan ibu di dalam diri kita masing-masing dikukuhkan oleh natal. Kita yang pernah menjadi anak tentu telah merasakan dan mengalami sentuhan keibuan. Bahkan barangkali banyak yang akan berkata bahwa karena sentuhan itu saya bisa berada sebagai diri saya saat ini. Keibuaan Maria yang oleh “Saudara sulung” menjadi milik kita, yang ada dan akan tetap dirasakan, juga punya peranan bagi konkretisasi penghargaan pada ibu sendiri.


Dimuat di Pos Kupang, 5 Januari 2003



PEREMPUAN ANTARA KODRAT DAN PILIHAN



Pilihan. Tak dapat dipungkiri bahwa hidup ini merupakan suatu rangkaian pilihan dalam kategori ruang dan waktu. Pilihan adalah sebuah pertautan antara kontinuitas dan diskontinuitas. Pada titik interval keduanya, pilihan menjadi sebuah tanggung jawab yang harus diemban dan diperjuangkan. Edith Stein, sang filsuf Jerman mengatakan, “Hidup ini merupakan sebuah rangkaian pilihan dan perjuangan. Perjuangan yang terus-menerus untuk mewujudkan harapan.”
Terinspirasi oleh kenyataan ini, bagi kita hidup ini tidak lain adalah rentetan perjuangan untuk memilih dan mengaktualisasikan harapan dari sebuah pilihan. Pilihan sering kali datang dalam wajah ambivalensinya. Kadang terasa begitu sulit untuk memutuskan sebuah pilihan ketika kita terpelintir dalam putaran spiral dilematis. Bagai makan buah simalakama, demikianlah pilihan itu hadir di hadapan kita. Walaupun begitu, tugas kita adalah, “harus” memilih. Pilihan kita menampakan ketentuan kita dihadapan yang lain. Pilihan kita adalah sebuah keunikan dan keistimewaan diri. Dengannya, kita boleh mengenakan predikat makluk hidup yang dinamis. Sebuah pilihan juga bisa memberikan kebahagiaan bila keputusan yang diambil sungguh dipertimbangkan dan sesuai dengan jiwa dan hati nurani kita. Bila sampai saatnya kita harus memilih, maka itu merupakan suatu keharusan bagi seorang anak manusia. Kita tidak mengelak dan menghindarinya.
Berkarier adalah suatu pilihan bagi kaum perempuan. Hal ini merupakan hak perempuan jika dia ingin memutuskan untuk memperoleh karier. Bila kaum perempuan memutuskan untuk tidak berkarier dan menetapkan “jabatannya” sebagai ibu rumah tangga, itu pula merupakan hak mereka. Perempuan berhak memilih status apa yang disandangnya. Ia adalah makluk bebas dan dinamis. Ia harus bebas dari segala determinasi dan subordinasi, termasuk dari berbagai stereotipe ‘orang rumah’ dan ‘orang dapur’. Dengan membuat sebuah pilihan dan menjalaninya, kaum perempuan dalam dirinya sendiri memupus sirna arus malebias (prasangka lelaki) dan gelombang culturebias (prasangka budaya) yang tidak benar dan tidak objektif atas eksistensinya. Satu hal yang sangat urgen adalah kaum perempuan harus konsekuen dengan pilihannya. Setiap keputusan yang diambil menuntut konsekuensi-konsekuensi tertentu, sebab itu setiap pilihan yang sudah ditetapkan harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Dalam derap kemajuan zaman dewasa ini, perempuan dan karier telah menjadi suatu masalah aktual yang tercermin dalam konsumsi wacana publik dan aneka lips service perbincangan dan penuturan massa. Ada berbagai anggapan yang muncul sebagai jawaban terhadapnya. Ada yang melihat karier sebagai suatu keharusan bagi kaum perempuan modern. Bahkan ada riak-riak ekstrim yang mengukur kadar eksistensi seorang perempuan dari sudut profesi atau karier yang diembannya. Anggapan-anggapan di atas tidak seluruhnya benar. Seorang perempuan yang sudah bergelar sarjana sekalipun, jika ia menghendaki untuk tidak berkarier setelah berkeluarga dan memilih menjadi ibu rumah tangga, mengapa tidak? Mengapa ia harus malu dengan status sebagai ibu rumah tangga?
Berkarier atau menjadi ibu rumah tangga, keduanya adalah pilihan dan hak kaum perempuan. Dalam mengambil keputusan atas pilihan itu, komunikasi menjadi syarat mutlak. Seorang istri atau seorang ibu yang berkarier bukanlah sesuatu yang buruk, kalau memang kesempatan untuk itu ada dan atau rambu-rambu dalam keluarga yang diandaikan oleh adanya komunikasi dialogal. Dalam hal ini, kita perlu membuat distingsi antara komunikasi interpersonal dengan pendekatan dari hati ke hati dan pendekatan kepala ke kepala. Dalam komunikasi dari hati ke hati ini ada jalinan rasa ‘saling’: saling menyayangi, saling mengerti, menghargai, dan menghormati setiap pribadi. Komunikasi model ini menghasilkan kesepakatan yang akomodatif dalam atmosfir keluarga, seperti bagaiman jika berkarier sebelum memiliki anak, atau bagaimana nanti kalau sudah memiliki anak. Dengan demikian, konsekuensi suatu pilihan menjadi ringan sebab ditanggung semua anggota keluarga.
Keputusan untuk menentukan suatu pilihan serentak pula berarti kesediaan dan kerelaan untuk menerima dan menanggung semua risiko yang bakal muncul. Berkarier dan menjadi ibu rumah tangga, keduanya adalah pilihan bebas yang berisiko. Sejalan dengan itu, perkembangan zaman turut mempengaruhi modus berpikir massa tentang kedua pilihan tersebut. Tak jarang arus malebias dan culturebias melibas ketegaran kaum perempuan yang sedang berjuang menentukan suatu pilihan hidup. Banyak kisah pilu seputar perempuan timbul akibat dari pilihan-pilihan tersebut. Kisah perselingkuhan, perceraian, broken-hearted, broken-home, percekcokan, sering dikaitkan dengan perempuan yang berkarier. Demi mengejar karier, seorang perempuan rela meninggalkan keluarga. Kesetiaan pada keluarga berangsur-angsur pudar, perhatian dan kasih sayang pada keluarga terbengkelai. Dan untuk hal-hal ini, kaum perempuan sering dipersalahkan dan diklaim sebagai penyebab kerunyaman rumah tangga. Mungkinkah hal ini objektif?
Ketika seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, masalah-masalah seperti di atas tak luput dari kehidupannya. Kadang ada yang menilai dengan pilihan itu kaum perempuan menjadi tidak kreatif, terlalu bergantung pada suami, terlalu pasif, tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dalam segala situasi selalu ada peluang-peluang untuk mempersalahkan dan mengkambinghitamkan kaum perempuan. Quo vadis keadilan?
Cerita mengenai anak-anak yang kemudian menjadi broken home karena kedua orang tuanya sibuk bekerja tidak mesti terjadi karena kelalaian seorang ibu. Tidak sepenuhnya perempuan yang bekerja menjadi ajang kesalahan. Biasanya justru perempuan yang bekerja, pintar membagi waktu karena mereka terbiasa memilih pekerjaan. Lagi pula dalam memberi perhatian pada anak bukan kuantitas dan frekuensi pertemuan yang penting, melainkan kualitas perhatian itu sendiri. Kalau seorang anak ditunggui terus oleh ibunya yang tidak bekerja, namun tidak memberi perhatian, maka apalah artinya? Kualitas perhatian, itulah yang penting. Bagi si anak yang diperlukan adalah perhatian dan kasih sayang yang tulus dari orang tua. Setiap pilihan selalu menyertakan risiko.
Namun ini tidak berarti bahwa kaum perempuan harus diam dari berbagai kemungkinan pilihan hidupnya. Dalam suatu keluarga, jika setiap anggota keluarga memiliki eksistensi, tanggung jawab, maka dengan sendirinya akan terbentuk keluarga yang harmonis. Sebuah keluarga yang ideal terwujud jika tidak ada gangguan dalam keluarga. Sebuah pilihan cocok juga turut menciptakan keluarga yang ideal. Yang terpenting ada komunikasi timbal balik dalam keluarga untuk saling mendukung, memberi perhatian dan kasih sayang. Dengan demikian, pandangan yang melihat perempuan sebagai perusak keluarga tidak selalu benar. Sebab mati hidupnya sebuah keluarga sangat bergantung pada keterlibatan setiap anggota keluarga, dan bukan hanya tanggung jawab perempuan. Karena upaya menggeluti suatu pilihan mengandung risiko, maka kaum perempuan harus membuat pembedaan antara kodrat dan pilihannya. Kodrat perempuan yakni mengandung, melahirkan, menyusui serta mengasuh. Semua keberhasilan dalam keluarga sangat ditentukan oleh adanya komunikasi. Berkarier juga merupakan sebuah pilihan bagi perempuan. Bila tiba saatnya kaum perempuan harus memilih, maka ini adalah suatu momen yang tepat baginya untuk menunjukkan jati dirinya.


Dimuat di Flores Pos, 13 Pebruari 2003




DI BALIK ‘GELIAT MAMON’



“Vita est Militia” hidup adalah perjuangan. Demikian kata sebuah adagium Latin. Itulah hidup. Perjuangan dalam hidup adalah satu hal yang semestinya agar hidup ini layak untuk dihidupi. Perjuangan hidup selalu berkiblat dan berorientasi pada tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Orientasi hidup manusia adalah kebahagiaan seutuhnya, jasmani-rohani, lahir batin. Karena itulah, manusia mengenakan dalam dirinya identitas makluk pekerja (homo faber). Kebahagiaan hidup diperjuangkan melalui kerja keras, membanting tulang, mencari nafkah dan berbagai aktus kultivasi manusia lainnya.
Pada kanfas perjuangan hidup ini kaum wanita telah menempati posisi sentral. Dalam banyak kultur, kaum wanita adalah sokoguru kehidupan keluarga. Menghidupi keluaga bukan semata-mata tugas dan tanggung jawab kaum lelaki sebagai kepala keluarga. Kita bisa menyaksikan dan mengalami sendiri apa yang dibuat kaum wanita kita di kampung dan di desa. Mereka dibebani oleh banyak pekerjaan di rumah maupun di ladang. Mereka menerima semuanya ini sebagai tugas yang sudah seharusnya demikian tanpa banyak berbicara dan berdiskusi panjang lebar.
Mochtar Lubis dalam kata pengantarnya pada buku Perempuan di Titik Nol melukiskan apa yang ia alami pada salah satu daerah di NTT dengan menulis “… Di sebuah daerah di NTT, perempuan atau istri yang baik menurut nilai lelaki di sana adalah perempuan yang senang bekerja di rumah, yang rajin bekerja di kebun, yang tidak suka bergunjing ke tetangga, yang menjaga agar rumah dan pekarangan selalu bersih, yang rajin mengambil air dengan berjalan kaki menempuh jarak beberapa kilometer, yang rajin bangun dan menyiapkan santapan untuk suami dan anak-anaknya, dan berbagai pelayanan dan dinas yang harus dilakukan untuk menyenangkan sang suami…”
Kaum lelaki adalah kepala keluarga yang bisa mengatur istri sesukanya dan sulit untuk diatur seorang istri. Pengabdian dan loyalitas perempuan pada keluarga dan kehidupan menjadikannya seperti ‘kuda beban’ bagi semua pekerjaan. Pertanyaan untuk kita, “Quo vadis eksistensis perempuan?” Dengan tiadanya sepatah kata mengenai kesenangan dan hak-hak sebagai seorang istri dan perempuan seperti dilukiskan di atas, maka jawabannya jelas: eksistensis perempuan belum beranjak dari titik nol.
Membaca dan menginteriorisasi novel Bugenfil Di Tengah Karang karya Maria Mathildis Banda, kita akan menemukan benang kisut penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan di lingkungan kita sini kini. Novel ini menggambarkan rendahnya apresiasi kaum lelaki terhadap perempuan, sekali pun ia anak sendiri. Di sini ditampilkan figur ‘ayah’ yang gila harta kekayaan berupa ‘tanah’. Ia berhasrat menguasai tanah sebanyak-banyaknya demi reputasi, prestise, nama besar dengan mengorbankan apa saja termasuk tokoh ‘Vera’ anak perempuannya. Martabat dan harga diri ‘Vera’ yang nota bene adalah seorang perempuan cuma seharga tanah. Tanah sama artinya dengan harga diri. Geliat Mamon memaksa sang ayah ‘menjual’ Vera kepada Melky yang memiliki tanah warisan dengan maksud untuk menguasai semuanya. Vera terpaksa membangun ‘cinta’ yang ‘dipaksa’ demi tanah. Cinta bukan lagi untaian kasih nan luhur, tetapi sebuah topeng kepalsuan dan nafsu memiliki (to have).
Berhadapan dengan Geliat Mamon, eksistensi perempuan saat ini pun seperti judul novel di atas. Eksistensi perempuan adalah Bugenfil yang harus tumbuh dan berkembang di tengah ‘pot karang’ determinasi lelaki dan budaya. Keberadaan perempuan selalu dihimpit oleh determinasi karang tradisi, karang patriarkhi, karang subordinasi. Konsekuensinya, bugenfil eksistensi perempuan bertumbuh namun mudah layu, sebab medan pertumbuhannya adalah tanah tradisi dengan unsur hara kemapanan kuasa lelaki. Ia mudah tercerabut dari akarnya, bahkan mati oleh kehilangan peluang bertumbuh dan menikmati hak-hak hidupnya. Keberadaan bugenfil eksistensi perempuan itu sangat ditentukan oleh berbagai karang yang melingkupinya. Inilah kisah perempuan novel yang juga menjadi kisah pilu perempuan kita dewasa ini.
Kisah novel di atas masih kita temukan dalam kehidupan kita setiap hari. Walaupun tidak semua perempuan menjadi ‘korban’ tanah. Tetapi satu hal yang pasti bahwa ada dari antara kaum perempuan yang menjadi korban hempasan arus Geliat Mamon. Mamon adalah harta, kekayaan, uang, tanah, kehormatan. Geliat Mamon memanggil, memikat dan menjanjikan sebuah harapan yang belum tentu menjadi kenyataan ketika kaum perempuan terlanjur jadi ‘korban’. Bagai menabur asa menuai azab.
Inilah beberapa contoh ‘determiniasi mamon’ yang mencampakan eksistensi kaum perempuan kita. Masalah ketenagakerjaan masih menghantui pikiran kita hingga kini. Dengan berbagai niat luhur dan motivasi murni, tampil banyak perempuan yang melamar menjadi TKW untuk diperkerjakan di dalam maupun di luar negeri. Mereka mengadu nasib di negeri orang. Mereka berani mendobrak kungkungan ‘karang tradisi’ yang mengharus wanita menjadi ‘manusia rumah’ orang dapur, demi sebuah inisiatif menyelamatkan keluarga. Seiring dengan ini, cerita-cerita minor berirama seriosa tentang para TKW pun menjadi akrab bagi pendengaran kita.
Berbagai media massa dan media audiovisual memperlihatkan hal ini. Para TKW menjadi ‘mangsa’ para calo tenaga kerja. Di sini ada penipuan, pemerasan, ancaman, pemerkosaan. Belum lagi mereka disekat selama berhari-hari diperlakukan secara tak manusiawi. Bukan tak mungkin hal seperti ini pun berlanjut saat berhadapan dengan majikan di medan bakti. Ketika tiba di medan kerja, ada lagi yang lebih memilih profesi sebagai ‘kupu-kupu malam’ dengan berbagai motif dan alasan. Mereka kehilangan harga diri sekaligus kebebasannya. Mereka menjadi tuan atas derita dan laranya sendiri namun bukan untuk kebebasannya. Martabat seorang perempuan dihargai beberapa lembar dolar, ringgit ataupun rupiah. Lagi-lagi geliat mamon menghampas perempuan ke titik nol skala eksistensinya.
Kisah faktual terhempasnya eksistensi perempuan oleh geliat mamon semakin menjadi-jadi tatkala harga diri dan martabat seorang anak manusia ‘dijual’ demi menyambung nafas kehidupan. Kita mungkin pernah membaca di media massa dan menyaksikan siaran di televisi tentang orang tua yang nekat ’menjual’ anak gadisnya ke tempat prostitusi atau ke tangan lelaki hidung belang hanya untuk mendapatkan uang sang Mamon itu. Begitu mudahnya orang mengambil jalan pintas, modus-modus non halal dan tidak terhormat untuk memperoleh sesuatu. Jalinan kasih sayang orang tua-anak begitu mudah terputus oleh tuntutan ekonomi.
Kaum perempuan bagai komoditi pasar yang bebas ‘diperjualbelikan’ untuk kesenangan dan kepentingan kaum lelaki. Mengapa hal ini sering terjadi.? Di tengah perguliran zaman dengan ‘revolusi berpikirnya’, manusia justru sulit untuk berpikir jernih, matang dan penuh pertimbangan saat berhadapan dengan urusan perut ini. Kita boleh memiliki jawaban yang bervariasi, namun untuk orang yang mendambakan kebahagiaan sementara, kaya mendadak, Geliat Mamon sungguh memikat walau harus keluar dari lingkaran moral etis dan tatanan religiositas, yang justru kembali memposisikan perempuan pada titik nol keberadaannya.
Perempuan, sang bugenfil di tengah karang dan krisis eksistensinya merupakan manifestasi sebuah spiral krisis multidimensional dalam kehidupan ini. Krisis ekonomi, krisis moral, krisis politik, krisis kultur, krisis iman adalah rangkaian penyebab krisis eksistensi wanita. Meretas jaringan spiral krisis ini adalah pekerjaan yang tidak mudah dan sungguh membutuhkan pengorbanan. Penulis tidak memberikan sebuah solusi, tetapi menawarkan berbagai kemungkinan yang mungkin bisa dibuat. Pertama, hendaknya kita semua kembali pada ajaran agama masing-masing. Religiositas kita mengajarkan kebaikan, saling menghormati dan menghargai sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dengan beriman takwa pada Tuhan, semua krisis lain bisa diminimasir. Kedua, kita diajak untuk menerima apa adanya, merasa puas dengan yang kita miliki. Ini tidak berarti kita tidak perlu bekerja giat atau berjuang lebih. Tetapi, pekerjaan dan pengabdian kita hendaknya tidak mengorbankan harga diri dan martabat sebagai manusia. Dalam kerangka ini, hidup hemat adalah suatu pilihan praktis dan revolusi berpikir hendaknya menjadikan kita lebih matang dan dewasa dalam mengambil keputusan. Ketiga, meningkatkan solidaritas dan perjuangan sebagai kaum perempuan dalam merubuhkan karang patriarkhi. Ada begitu banyak perempuan yang menderita akibat geliat mamon. Namun, ada juga banyak perempuan yang tidak merasakan hal-hal pahit ini. Mereka telah menjadi nyonya-nyonya besar yang hidupnya mencukupi dan berlebihan dalam hal kebendaan serta status sosial. Adakah para nyonya besar ini masih memiliki waktu untuk berpikir mengenai kaumnya yang lain, berjuang bersama mereka menemukan identitas dan eksistensinya yang masih dinomorsatukan dalam berbagai budaya dan tradisi? Perempuan dalam cerapan makna yang orisinil adalah sebuah paradoks saat ini. Namanya PEREMPUAN, Per-empu-an, ‘empu yang selalu dihormati, dihargai dan amat dipuja dalam kebudayaan bangsa kita. Namun masikah kata ‘per-empu-an’ ini menemukan orisinalitas maknanya dalam praksis?


Dimuat di Pos Kupang, 3 November 2002




‘NGEBOR INUL’ DAN PARADOKS TATAPAN



MENGHEBOHKAN! Kira-kira inilah kata yang dapat melukiskan keterpesonaan plus keterkejutan saya pada Inul Daratista, dara manis asal Pasuruan, penyanyi dangdut yang lagi tenar dan terkenal gara-gara ‘goyangan ngebornya’ menghentak dan mengguncangkan blantika musik Indonesia.
Dalam beberapa saat, figur dan performa seorang Inul langsung menghiasi berbagai majalah dan surat kabar. Tidak ketinggalan surat kabar Pos Kupang yang cepat beraksi membuat berita atas peristiwa yang mungkin langka dan terkesan vulgar ini.
Boleh jadi, pergulatan pemikiran sebagian besar orang tentang rencana invasi Amerika ke Irak, yang dalam hari-hari terakhir ini kian memanas, menjadi sirna dan pupus tatkala berita tentang Inul mendominasi horison pemikirannya. Inul Daratista, bukan cuma itu. Reputasinya melonjak/melejit alias naik daun ketika bom internet mengguncang Indonesia dengan kisah Inul dan Mr President, Mas Taufik Kiemas lagi asyik berpeluk ria. Entah rekayasa atau realitas, semuanya justru menjadi dewi fortuna bagi Nona Inul. “Pucuk dicinta ulam pun tiba”. Kira-kira sebuah proverbia yang cocok untuk Inul.
Aksi ’ngebor ala Inul’ mengundang berbagai tanggapan pro dan kontra. Tatkala membolak-balik halaman demi halaman Pos Kupang Edisi Selasa, 18 Februari 2003, saya terpaku dalam sorot tatapan tak bergeming pada coretan-coretan karikatur. Rasanya mata ini tak mau beranjak dari karikatur sederhana itu. Lebih jauh keterpesonaan dan kecemasanku muncul sekaligus ketika dalam bingkai gambar sederhana itu tersurat aneka pesan; yang pertama, sebuah undangan intraktif, yang tentu saja berasal dari Inul, “Mari..! Goyang ngebor!!! Ah…!!” Yang kedua, boleh jadi suatu ancaman, sinis dan amarah yang terlontar dari mulut seorang pak tua asli NNT, ”sampe pinggang putus…patah..!!!” Dan yang ketiga adalah yang mencemaskan walau keluar dari mulut seekor meong tak berdosa ”perkosaan pasti meningkat!!!”
Saya bergelut dengan diri sendiri pada seuntaian kata meong tadi. Mungkinkan hal ini merupakan suatu prediksi, ramalan akan sebuah akibat yang setimpal bagi siapapun khususnya kaum remaja putri, para gadis bila terlanjur jatuh cinta pada trend ‘ngebor ala Inul?’Sapaan meong tadi adalah suatu cemeti refleksi, keprihatinan pada fakta yang akan terjadi, semacam sebuah awasan awal bagi kita.
Kini, Inul Daratista bukan lagi mojang Pasuruan semata-mata. Sosok dan penampilannnya telah menjadi konsumsi masyarakat luas. Pos Kupang, 18 Pebruari secara tersurat mengutip pernyataan Minarti Atmanegara, seorang aktris sinetron dan pelatih body perfomance bahwa “goyangan Inul itu menyehatkan. Bukan tidak mungkin goyangan ngebor itu bisa menguatkan otot pinggang dan melangsingkan tubuh.” Secara klinis boleh diamini. Apalagi untuk saat ini kita hampir sulit menemukan batas demarkasi antara bergoyang (dangdut, disko, triping) dengan olahraga. Karena “orang” sering berolahraga dengan bergoyang/menari. Bila secara klinis hal ini merupakan sebuah anjuran, kita pun bertanya: apakah secara etis ‘nge-bor ala Inul!’ masih termasuk kategori sehat?
Boleh dikatakan bahwa fenomena ini adalah setitik hitam dari kekelaman sejarah inferioritas kaum hawa. Ada berbagai media massa dan media elektronik yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Walau ditampilkan dengan berbagai alasan hingga dengan dalih yang begitu human sekalipun, namun secara etis moral patutlah dipertanyakan. Saya teringat akan perkataan seorang dosen saat mengikuti kuliah etika. Suatu tindakan akan bernilai etis atau tidak tergantung pada ada atau tidaknya pribadi lain yang menyaksikan dan menilai. Di dalam kamar seorang diri kita dapat duduk dengan berbagai posisi. Namun hal yang sama tidak dapat dibuat dalam kendaraan umum. Yang melakukannya akan dinilai tidak etis. Demikian pun ngebor ala Inul menjadi soal ketika ia berani mengeksplorasi tubuh dalam gerakan dan goyangan mautnya yang menggoda di hadapan massa. Memperdebatkan Inul memang tidak habisnya, apalagi soal goyangnya. Namun, atas peristiwa seperti ini sebuah proses dan tindak pemaknaan sudah semestinya dibuat demi menyelamatkan generasi masa kini dan mungkin bagi generasi pasca Inul.
Saya lagi-lagi kembali teringat pada ucapan si meong dalam karikatur itu, “Perkosaan pasti meningkat.” Setiap hari kita membaca di surat kabar atau mendengar siara televisi mengenai tindak kriminal pemerkosaan dengan berbagai sebab. Mungkin tidak sedikit yang terpaksa harus “didiamkan” karena berbagai alasan. Yang selalu menjadi korban pemerkosaan tentulah kaum perempuan. Sulit memang memungkiri hal ini. Namun, pada tataran ini kita berusaha untuk selalu melihat setiap kemungkinan yang bisa menyebabkan terjadinya perkosaan. Dari dulu masalah pelecehan seksual terhadap kaum perempuan sudah ada. Hanya saja karena perkembangan media massa, maka baru bisa dipublikasikan dan ditonjolkan saat ini.
Perempuan selalu dipandang sebagai objek seksual pria. Hal ini menjadi suatu ekses bila kaum perempuan sendiri yang menciptakan kemungkinan bagi terjadinya tindak perkosaan. Seperti dengan mengenakan pakaian yang super mini atau membuat gerakan yang merangsang dan menggoda lawan jenisnya. Acapkali justru kaum perempuanlah yang dianggap mengundang pria untuk menggoda, sebagaimana ngebornya Mbak Inul. Perempuan yang mengenakan baju seksi dan bergaya ala artis Barat sering dibilang menggoda. Ternyata, merupakan hak kaum perempuan untuk mengenakan apa yang dikehendaki. Hak kaum perempuan untuk menonjolkan segi keperempuanannya. Namun haruslah selalu diingat ada hak ada pula risiko. Memang ada pria yang mengatakan bahwa ia terangsang karena si perempuan mengenakan baju yang seksi atau rok mini atau gerakan-gerakan tertentu. Terangsang boleh-boleh saja. Tetapi manusia bukan binatang yang langsung kawin begitu mengenal birahi, begitu kata Ayu Utami. Ada norma-norma yang harus ditaati. Namun apakah saat kadar ketergodaan dan rangsangan itu datang, orang masih bisa mengendalikan diri dan mengontrol emosi?
Ketika Inul mengguncang pangung dengan goyangan mautnya, mungkin tak disadari bahwa ribuan pasang mata menyaksikan aksinya. Pada saat ini terjadilah momen tatapan. Jean Paul Sartre seorang filsuf eksistensialis jauh-jauh hari telah menelorkan sebuah teori yang disebut Teori Tatapan Mata. Saya menatap orang lain dan saya berusaha untuk tidak ditatap olehnya. Namun orang lain juga sama halnya. Ia menatap saya dan berusaha supaya tidak saya tatap. Jadi saya berusaha menatap tanpa ditatap oleh orang lain. Dan orang lain juga berbuat hal yang sama. Yang terjadi adalah bahwa saya dan orang lain itu mau saling mengobyekkan. Saya menjadikan dia obyek saya, dengan demikian dia juga berusaha mengobyekkan saya. Saya sebagai subyek akan berusaha menjadikan orang lain sebagai obyek tatapanku. Di dalamnya terjadi aksi saling mengobyekkan. Namun saya tidak mau menjadi obyek, maka saya akan memperlakukan orang lain sebagai obyek melulu dengan cara apapun.
Dalam kasus Inul, menjadi jelas bahwa ia adalah obyek tatapan ribuan masang mata, dan lebih dari itu ia dipandang sebagai obyek seksual yang pelampiasannya bisa saja pada sesamanya yang lain, yang mungkin inosens namun karena adanya adalah seorang perempuan. Situasi diperparah katika orang yang diperlakukan sebagai obyek tidak menyadarinya bahkan apatis demi kepentingan lain seperti reputasi, prestise dan tentu saja duit. Inul adalah korban tatapan. Tatapan mengobyekkan perempuan merupakan sebuah bentuk perendahan fitrah dirinya. Fenomena Inul adalah sebuah representasi dari begitu banyak perempuan yang menjadi korban tatapan, yang menjadi obyek kaum lelaki. Ketika kita berbicara tentang perempuan di titik nol, maka menjadi jelas bahwa titik nol adalah situasi pengobyekkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan dan tubuhnya dijadikan obyek eksploitasi demi hiburan, bisnis, kesenangan lelaki. Perempuan seringkali tidak berani menatap ketika lelaki menatapnya. Pada titik inilah ia sebenarnya melegalkan status inferior dirinya sebagai obyek dalam konstruksi kultur dan pemikiran lelaki.
Senada dengan hal ini, relasi subyek-obyek juga menjadi salah satu pokok pemikiran Martin Buber. Menurutnya, relasi yang melihat orang lain sebagai obyek semata adalah sebuah relasi berpola Ich-Es atau I-It. Dalam relasi ini selalu ada upaya untuk memiliki, memonopoli, mengeksperimentasi pihak lain sebagai barang/benda. Erich Formm, membahasakan hal ini sebagai modus memiliki (having). Perempuan belum menjadi dirinya sendiri (being). Ia justru baru menjadi berada ketika ditentukan oleh pihak lain atau oleh kepemilikan orang lain.
Di lain pihak, ketika kita terlibat dalam aksi saling tatap, sadarkah kita bahwa kita sedang diobyekkan pihak lain? Sulit memang menilai hal semacam ini, ketika kita selalu melihat sesuatu berdasarkan pemahaman diri subyektif. Namun, fakta serupa ini jelas ada. Dalam aksi ngebor ala Inul, kita boleh jadi telah menjadi obyek tatapannya. Kita begitu luluh lantak di hadapan sorot matanya. Inilah situasi obyektivitas diri kita. Kita begitu pasrah menuruti emosi dan mungkin naluri. Ratio kita menjadi kurang aktif, ungkapan-ungkapan perasaan sulit dikendalikan, kita menjadi seperti orang mabuk, sulit membedakan mana yang layak dan mana yang tidak layak, yang baik dan yang buruk, mengikuti segala gerak dan apa yang dikatakannya, apalagi kalau sampai mengidolakannya. Inul menguasai kita, pun kalau pikiran kita cuma terisi olehnya, kita terbelenggu dalam pengaruhnya. Dia adalah subyek, bukan lagi obyek. Pada situasi seperti ini, kita telah diposisikan sebagai Es/It dalam pola relasi Ich-Es/I-It Martin Buber. Kita tidak mampu menjadi seperti orang lain, seperti Inul, bergaya, bergoyang seperti Inul. Kita membiarkan diri dibentuk oleh orang lain. Artinya orang lain menguasai kita, memiliki kita. Inul telah memiliki kita kalau dirinya menjadi tujuan dan orientasi hidup kita. Inul, sebuah paradoks tatapan kita.
Tatapan saya, tatapan kita telah mendatangkan kegelisahan dan kecemasan ketika benturan relasi subyek-obyek tidak dapat dihindari. Kegelisahan mendalam itu berlanjut saat kesadaran setiap kita dibenturkan pada fenomen kematian realitas budaya. Budaya kita mulai permisif, yang menerima semua pengaruh baru atau pengaruh dari luar tanpa filter. Kaum futurolog telah meramalkan kondisi seperti ini sebagai hasil modernitas, ketika ia berkembang terlampau pesat. John Naisbitt menempatkan manusia modern dalam zona yang ditandai oleh adanya hubungan yang rumit dan sering bertentangan antara teknologi dan upaya manusia mencari makna hidupnya.
Dalam bukunya High Tech High Touch, ia menuliskan beberapa gejala manusia mabuk teknologi, seperti lebih suka menyelesaikan masalah secara kilat, mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu, menerima kekerasan akibat teknologi sebagai suatu yang wajar, menjadi hidup yang berjarak. Sadar atau tidak, kita semua tengah digiring ke sebuah situasi mabuk teknologi. Banyak di antara kita yang telah menjadi korban teknologi. Kita menjadi seperti orang mabuk karena teknologi. Teknologi dan modernitas telah memposisikan kita sebagai hamba saat kita menjadikan mereka sebagai orientasi dan tujuan hidup (means), bukannya sebagai sarana (tools) untuk mencapai tujuan hidup itu sendiri. Teknologi telah memperalat manusia dan menjadikannya teralienasi dengan diri, sesama dan lingkungannya. Perkembangan individu dipengaruhi oleh kemajuan dunia elektronik seperti televisi, VCD, internet, yang telah banyak mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan bisnis. Kekerasan terhadap perempuan ditampilkan secara transparan. Ada pemerkosaan yang justru berawal dari menonton blue film yang kini banyak dijual kepingan-kepingan CD-nya secara bebas di lorong-lorong kota tanpa pengawasan yang ketat. Kita adalah korban teknologi ketika tatapan kita selalu mengandung upaya pelampiasan nafsu birahi tanpa sebuah pengendalian yang sehat. Fenomena Inul bisa menjadikan kita korban teknologi, korban tatapan.
Memaknai karikatur sederhana tentang Inul selalu berarti suatu kesediaan belajar pun dari hal-hal yang kecil, coretan-coretan sederhana. Kita belajar bahwa setiap tawaran dan juga ajakan Inul atau berbagai promosi teknologi haruslah dipilih setelah dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang. Untuk menyelamatkan generasi masa kini dari perangkap zona mabuk teknologi, peranan orang tua sangat diutamakan. Bukan cuma bersuara dan berteriak marah sebagaimana pak tua dalam karikatur itu. Para orang tua dituntut untuk berbuat lebih, memberi penyaksian dan keteladanan hidup. Hal semacam inilah yang sanggup ditangkap anak-anak kita, bukan retorika yang berbelit-belit penuh kesalehan.
Perlahan-lahan saya menutup lembaran-lembaran halaman yang berkisah tentang Inul. Namun, realitas Inul tidak dapat saya tutup dari lembaran memori. Perjumpaan saya dengan si meong dalam karikatur itu terus menggelitik pemikiran saya. Mudah-mudahan kata si meong juga menjadi lalat-lalat liar yang selalu mengganggu ketenangan dan kemapanan siapa saja untuk melihat realitas yang sebenarnya bahwa anak-anak kita, putri-putri kita, gadis-gadis kita sedang berada dalam ancaman. Ancaman sebuah tatapan, mungkin pula pemerkosaan. Mari kita memaknai kenyataan ini.


Dimuat di Pos Kupang, 23 Maret 2003



QUO VADIS PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN?


Dalam bukunya Feminisme & Antropologi, Henrietta L. Moore melukiskan relasi perempuan dan lelaki terhadap negara. “Di negara sosialis meskipun ada persamaan hukum dan komitmen negara pada partisipasi penuh perempuan dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, perempuan dan lelaki tidak menduduki posisi yang sama terhadap negara.”
Perempuan mempunyai hak yang sama sebagai warga negara, tetapi mereka tidak dapat menerapkan hak yang sama itu. Dibandingkan dengan lelaki, wanita hanya sedikit berpengaruh terhadap kebijakan negara. Perempuan sebagai golongan sebenarnya mendapatkan dukungan negara, tetapi asal belum meraih keuntungan, atau setidak-tidaknya sebagian keuntungan dari dukungan tersebut.
Perempuan dan laki-laki secara teoritis mungkin saja bersatu dalam perjuangan revolusioner, tetapi pada analisis terakhir mereka menjadi subyek politik yang berbeda dalam hubungannya dengan negara. Hal yang menarik untuk kita kaji adalah dari sekian banyak model negara yang dikenal, baik itu negara kuno, asli atau modern, peranan perempuan dipolitisir sekian sehingga lebih memberi perempuan persamaan de facto bukannya de jure. Kita pun tahu dari pengetahuan dan fakta yang ada bahwa di negara-negara yang menjunjung tinggi dan mendukung emansipasi dan partisipasi politik wanita pun, baik lembaga-lembaga kekuasaan negara, maupun peranan-peranan politik resminya, tetap didominasi oleh kaum lelaki. Untuk hal ini, sejumlah penulis feminis menyatakan bahwa negara tidak netral, karena struktur dan lembaga negara didominasi oleh lelaki, yang pada akhirnya negara melembagakan hak istimewa kaum laki-laki.
Bagaimana peran pemerintah dalam menciptakan peluang dan mengembalikan peluang bagi partisipasi politik kaum perempuan? Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah telah menetapkan UU Partai Politik Nomor 31 Tahun 2003 dan UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2002 yang berupaya mengakomodasi partisipasi perempuan dan memberi peluang bagi keterwakilan kaum perempuan dalam lembaga birokrasi dan politik pembuat keputusan. Pasal 65 (1) UU Pemilu menyebutkan setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD I, DPRD II, untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Pasal 7 (e) UU Partai Politik menyebutkan bahwa rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi harus memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Juga pasal 13 (3) menyatakan bahwa kepengurusan partai politik di setiap tingkat dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah parpol sesuai dengan AD/ART dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini dicapai melalui peningkatan jumlah perempuan secara signifikan dalam kepengurusan parpol di setiap tingkatan. Inilah kekuatan hukum dalam mendorong proses percepatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif atau pada tingkat politik pembuat keputusan.
Mungkinkah UU Parpol dan UU Pemilu ini akan memberikan akses bagi kaum perempuan dalam percaturan politik? Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Soemarjono, S.H dalam kunjungan kerjanya di Sikka (Flores Pos 16/6/2003) mengemukakan bahwa kaum perempuan harus menangkap signal UU pemilu tahun 2003 sebagai langkah maju untuk berada pada mainstreaming politic (arus utama politik). Artinya, UU ini perlu dicermati dan diperhatikan secara serius agar tidak cuma menjadi retorika politik sesaat, bahkan menjadi scandallum (batu sandung) bagi kaum perempuan dalam berjuang ke arah itu. Hal ini mengindikasikan bahwa sudah saatnya kaum perempuan harus berjuang dan bekerja lebih aktif dalam mendapatkan kesempatan ini. Dan harapan yang sama pun dilambungkan pada setiap elemen masyarakat yang terlibat dalam percaturan politik agar mentaati dan mengikuti UU yang sudah diturunkan. Untuk itu, pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu mempersiapkan aturan yang jelas dan bila perlu disertai dengan sanksi jika ada partai politik yang mengabaikan dan tidak memperhatikan seruan UU ini.
Inilah harapan kita ke depan yakni sekiranya pada Pemilu 2004 nanti, keterwakilan kaum perempuan dalam level politik pengambil keputusan dan lembaga-lembaga birokrasi meningkat sejalan dengan kuantitasnya. Patut kita ingat bahwa perempuan bisa menerapkan haknya sebagai warga negara secara baik dan menjalani peran yang dipercayakan kepadanya dalam dedikasi dan pelayanan yang tinggi dan lebih baik dari pada kaum lelaki. Inilah kelebihannya.

Dimuat di Mingguan Dian, 16 November 2003





PEREMPUAN DAN KEKERASAN DOMESTIK



Siapapun makluk di bumi ini tak dapat menyangkal dan memungkiri keagungan seorang perempuan. Untuk melukiskan citra agung itu, penulis Christanand dalam bukunya Membangun jati diri wanita mengutip tulisan Yosef Mindszenty menulis, “Orang yang paling penting di dunia ini adalah seorang ibu. Ia memang tidak memperoleh kehormatan telah membangun Katedral Notre Dame. Tidak perlu. Ia telah membangun sesuatu yang lebih hebat dari Katedral manapun, sebuah rumah bagi jiwa yang kekal. Bahkan malaikat pun tidak dianugerahi berkat macam itu. Mereka tidak dapat mengambil bagian dalam satu karya ajaib Tuhan menciptakan orang – orang kudus baru bagi surga. Hanya ibu yang dapat…”
Inilah sebuah pengakuan kebenaran yang tulus bagi keagungan seorang ibu yang juga seorang perempuan. Bila direnungkan lebih jauh, keagungan seorang wanita tidak saja terletak dalam aspek prokreasi tetapi dalam pengabdian yang total bagi kehidupan. Perempuan mengabdi karena cintanya pada seorang anak manusia yang dikandung, dilahirkannya, hingga saat ia melihat dan merasakan dunia dengan segala panorama keindahan serta pahit getirnya kehidupan.
Tempora mutantur et nos mutantur in illis (waktu terus berubah dan manusia pun berubah di dalamnya). Paradigma berpikir tentang perempuan dan pengabdiannya pun tak lepas dari imbas perubahan itu. Ia yang kita kagumi, agungkan, sayangi ternyata menyimpan bilur lama dalam sejara pengabdian manusia. Perempuan telah dan sering di perlakukan sebagai the second class, dipandang rendah dan tak berarti di hadapan budayanya sendiri, dalam dunia tempat anak- anaknya yang dilahirkan berdiam. Pertanyaan retoris buat kita, siapah yang menindas perempuan: lelaki? dirinya sendiri? atau pengabdiannya? Perempuan makhluk sejuta misteri yang tak habis dipikirkan dan dipersoalkan. Banyak sudah ulasan dan reportase yang diterbitkan hanya untuk membahas siapakah perempuan dan kehidupannya. Tak jarang , semua hal di atas hanya merupakan perulangan pembeberan fakta tentang kekerasan yang di alami perempuan serta kuasa patriarkhi diatasnya.
Annie Lecrec dalam bukunya Kalau Perempuan Angkat Bicara mengupas secara lugas dan berani mengenai apa yang ia dan kaum permpuan umumnya rasakan dan alami sebagai sebagai bukti dan wujud pengabdiannya. Dikatakan bahwa “Jika kebajikan lelaki adalah kekuatan, maka kebajikan perempuan disebut pengabdian. Dan yang menindas perempuan sebenarnya bukanlah kekuatan lelaki melainkan kebajikan perempuan sendiri yang yang selalu dianggap sebagai bernilai tertinggi: Pengabdian.” Dengan demikian, segala tugas yang diserahkan pada perempuam entah sebagai kontruksi budaya seperti tugas kerumahtanggaan, mengasuh anak ataupun secara alami seperti melahirkan harus dilaksanakan melalui dan dengan pengabdian. Sebuah pengabdian yang tidak datang dengan sendirinya tetapi terungkap dalam bentuk tanpah pamrih, kerepotan dan pengorbanan.
Kita pun bisa bertanya , pengabdian macam manakah yang menindas perempuan? Ketika pengabdian perempuan terpasung belenggu domestifikasi perannya sendiri, di sanalah terjadi penindasan perempuan. Ini berarti peran perempuan hanya dibatasi pada urusan seputar rumah tangga (tripel R: kasur, dapur, sumur). Akibatnya, perempuan kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri sehingga selalu termajinalisasi dalam kemajuan zaman. Kaum perempuan terlena dalam pengabdiannya sampai –sampai ia tak sanggup bicara tentang dirinya. Mereka terbuai angin tradisi yang sudah demikian jadinya. Tanpa disadari perempuan telah terperangkap dalam arus spiral pembodohan oleh pembungkaman yang melingkupi dirinya. Ini adalah kekeliruan terbesar dari pihak perempuan. Dari kekeliruan ini lahirlah kekerasan demi kekerasan terhadapnya. Namun soal kekerasan ini cuma kerucut –kerucut es yang tampak pada permukaan laut. Di balik permukaan itu sebetulnya tersembunyi gunung- gunung es raksasa yang adalah ketimpangan gender. Perempuan kerap hidup dalam sebuah dunia pengabdian yang justru melahirkan kekerasan domestik yang sering dipakai sebagai alat subordinasi dirinya. Kekerasan ini didefinisikan sebagai penyerangan fisik atau psikologis dalam medan pengabdian wanita terutama dalam keluarga.
Berbagai data dan penelitian menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sering terjadi namun tidak pernah dipersoalkan secara terbuka. Selain tidak ada hukum yang menjamin korban, juga karena budaya kita belum mendukung para istri untuk berani mempersoalkan kekerasan yang dialaminya. Kekerasan domestik seringkali diingkari demi sebuah harmoni. Perempuan yang menjadi korban beranggapan bahwa bercerita pada orang lain tentang kekerasan yang di alaminya adalah sesuatu yang tabu, yang akan merusak nama baik suami/keluarga. Maka jalan keluar yang ditempuh adalah memulihkan harmoni melalui sebuah mekanisme internal atau mendiamkannya.
Kekerasan terhadap perempuan sangat rentan oleh lemahnya supremasi hukum. Di Indonesia, suami yang memaksa hubungan seksual terhadap istrinya dengan ancaman, tidak dapat dikenai tindakan kriminal perkosaan. Pasal 285 KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Karena itu pidana perkosaan hanya berlaku jika korban bukan istri pelaku. Ekstrimnya, perkosaan oleh suami bukanlah tindakan kriminal.
Di samping hal–hal di atas, berbagai kemajuan teknik seperti meluasnya pengunaan berbagai alat elektronik rumah tangga yang tampaknya mampu meringankan kerepotan kaum perempuan, tidak sedikit pun mengubah peran mereka sebagai pengabdi, pelayan, dan hanya menguntungkan kepentingan pabrik atau pejualannnya. Demikian pula temuan metode pencegahan kehamilan yang aman dan menjanjikan suatu revolusi luar biasa dalam kondisi perempuan mungkin malah memberi kesempatan untuk penindasan gaya baru, jika kaum perempuan dipaksa untuk menerima metode itu diluar kehendaknya. Seorang top model Jerry Hall pernah berkata, “I’m not agree with you but I’ll not blame you.” Sering kali perempuan terpaksa mengalah bahkan mengorbankan martabat dirinya demi lelaki.
Untuk melukiskan alur kekerasan domestik ini, Ruth Tiffany Barnhouse dalam bukunya Identitas Wanita menulis, “Kedudukan wanita dari tahun ke tahun jelas telah berubah makin buruk. Kaum wanita berperilaku seperti orang dungu ….. Terasa menyedihkan, bahwa setelah kita pintar menempatkan diri sebagai ‘kaum lemah’ kita kini malah menyerupai perempuan suku bangsa primitif yang sepanjang hari bekerja di ladang, berjalan jauh untuk mengumpulkan kayu bakar, dan mengangkut segala perabot dapur dan rumah tangga di kepala, sementara laki-laki yang perkasa melangkah di depan, tanpa beban kecuali sebilah senjata untuk mempertahankan perempuannya.” Inikah makna sebuah pengabdian?
Sudah saatnya bagi kaum perempuan untuk berjuang merebut kebebasan berbicara. Mereka mesti keluar dan membebaskan diri sendiri dari pasung pembungkaman yang membelenggunya. Tibalah saatnya untuk berbicara, menyuarakan hal yang paling mendesak ini “Stop violence against women”. Ini berarti bahwa pengabdian yang diberikan tidak boleh sampai mengorbankan harga diri dan martabat yang berakibat pada penindasan. Pengabdian haruslah menciptakan kebebasan memperoleh peluang dan hak yang sama dengan lelaki. Maka redefinisi pengabdian seorang wanita itu mutlak perlu dibuat. Katakanlah reformasi pengabdian. Sudah saatnya kaum perempuan berbicara dan berjuang bukan dengan perang melawan laki-laki atau mempersatukan kekuatan untuk menghancurkan lelaki, juga bukan untuk membalas dendam atas mereka tetapi bekerja sama dengan kaum lelaki dalam membangkitkan suatu masyarakat yang tanpa hubungan dominasi dan eksploitasi jenis kelamin. Perempuan mesti berbicara atas namanya sendiri tentang segala hal yang menimpa dirinya. Jika tidak mau dikatakan penghianat. Sebab ada diam yang mengkhianati suara batin, harga diri dan martabat. Inilah diam sebagai penghianatan. Wanita tidak perlu terlalu berharap pada bicara lelaki. Kaum wanita hendaknya menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Akhirnya, dengan menindas serta merendahkan wanita dan pengabdiannya, kita sebenarnya kehilangan bagian yang sangat penting dari kekayaan manusia, dari suatu kecerdasan yang dihayati dalam kehidupan, dari semangat nyata untuk berbagi dan bekerja sama, padahal semua masyarakat sangat membutuhkannya. Karena selama masih ada penindasan itu, kaum perempuan harus mempertahankan diri terhadap kekuatan perusak dengan menggunakan kekayaannya yang berwujud kemurahan hati, kesabaran dan ketekunan. Merekalah yang memiliki berbagai kemampuan dan tenaga yang sangat dibutuhkan oleh generasi mendatang.


Dimuat di Pos Kupang, 13 Oktober 2003






PEREMPUAN DALAM PILKADAL


Pilkadal sebagai wahana perhelatan demokrasi telah dilaksanakan di NTT. Wacana pilkadal didengungkan seiring dengan meningkatnya animo masyarakat pada figur pemimpin baru yang dipilih secara langsung. Masyarakat menyambut gembira momen seperti ini, karena inilah saatnya rakyat menunjukan ‘nilai jual’ dan ‘daya tawar’-nya kepada setiap paket yang akan bersaing dalam pilkadal. Nilai jual rakyat memang mahal. Karena itu, momen pilkadal ini betul-betul diisi dengan berbagai upaya promosi politik, pemberdayaan politik, pemaparan visi-misi, dan kampanye dari setiap paket demi menyenangkan sebanyak mungkin suara rakyat. Dari pelaksanaan pilkadal NTT khususnya di Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Flores Timur, Sumba Barat, Sumba Timur, dan sebentar lagi di Lembata, penulis melihat ada sesuatu yang kurang. Bukan soal sengketa pilkadal atau berbagai persoalan yang lahir pasca pilkadal. Tetapi hemat penulis, sebuah persoalan mendasar yang muncul nyata dalam pertanyaan ini: di manakah kaum perempuan dalam pilkadal?
Pertanyaan di atas sebenarnya mau menggugat sejauh masa partisipasi politik kaum perempuan dalam pilkadal atau dengan kata lain seberapa besar ruang partisipasi politik itu dibuka bagi kaum perempuan? Tak dipungkiri bahwa kaum perempuan telah terlibat dalam perhelatan pilkadal seabgai pemilih, yang memiliki hak suara. Namun, cuma itukah akses politik mereka? Bila pertanyaan hanya demikian, maka hemat saya kaum perempuan masih memainkan peran sebagai back up team atau tim pendukung bagi kelanggengan kuasa kaum lelaki. Fakta bertutur bahwa dari sekian banyak paket yang diajukan dalam pilkadal di NTT tak seorang perempuan pun yang direkrut menjadi calon bupati ataupun calon wakil bupati. Fakta ini memperjelas bahwa partisipasi politik kaum perempuan masih sangat terbatas dan dibatasi oleh kepentingan patriarkhi. Ternyata bila dilihat secara riil, ada begitu banyak kaum perempuan NTT yang berkualitas, yang bisa mengelola pemerintahan, yang berbudi dan berhati, yang mampu bersaing dalam pesta pilkadal. Lantas di manakah mereka?
Kenyataan di atas perlu direfleksikan oleh segenap komponen masyarakat. Dalam pilkadal rakyatlah yang berperan menentukan siapa yang pantas memimpin daerahnya. Rakyat melalui partai politik menjalankan fungsi rekruitmen. Artinya, partai politik menjadi representasi suara rakyat dalam menentukan paket-paket yang siap bertarung dalam pilkadal. Namun, ketika tak seorang perempuan pun yang direkrut ke dalam paket-paket cabup dan cawabup, kita dapat bertanya: ini salah siapa? Apakah kesalahan partai politik? Kesalahan rakyat yang tidak berorientasi gender? Ataukah kesalahan kaum perempuan sendiri yang memang kurang menunjukkan kualitasnya dan tak mau masuk dalam iklim persaingan politik? Saling melempar tanggung jawab bukanlah solusi yang bijak. Tetapi membiarkan momen pilkadal terlewatkan tanpa partisipasi politik kaum perempuan secara utuh juga bukan hal yang bijak. Kita sebenarnya telah menciptakan sebuah kecelakaan sejarah. Sejarah yang kurang tersentuh perspektif gender adalah kecelakaan. Karena banyak nilai dan kualitas plus kaum perempuan yang tak dapat kita rasakan dan alami, yang sesungguhnya dapat menjadi sangat bernilai bagi tatanan kehidupan ketika mereka menjadi pemimpin. Nilai plus itulah yang diharapkan dapat mengubah wajah dunia dan peradaban manusia.
Di lain pihak, diskursus seputar keterlibatan politis kaum perempuan akan luntur ketika menyentuh tembok konstruksi sosial. Konstruksi sosial kita memungkinkan kaum perempuan tak dapat bergerak aktif dalam politik. Peran laki-laki sangat dominan/sangat kuat sehingga kalaupun ada kaum perempuan yang muncul dakam karier politik, ini terlebih bukan karena kualitasnya, tetapi merupakan kebaikan dari laki-laki (istri yang akan berkiprah dalam politik harus mendapat izin dari suami). Seorang pejabat tinggi Indonesia pernah menyatakan bahwa untuk mengangkat seorang perempuan sebagai pejabat tinggi dalam jajarannya ‘repot’ karena pejabat perempuan mobilitasnya ‘terbatas’ sebab ia harus melakukan urusan keluarga (pekerjaan domestik). Seorang perempuan yang sibuk melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, sulit untuk melaksanakan tugas yang mengharuskan mereka berpisah dengan keluarga. Kalau masih lajang dan harus keluar malam karena melaksanakan tugasnya, maka ia akan menjadi ‘bahan cakap’ tetangganya. Pola pikir masyarakat yang telah terkonstruksi seperti ini bisa jadi mempengaruhi pola rekruitmen partai politik. Dengan demikian, kita dapat melihat secara lebih jelas posisi kaum perempuan dalam bargaining politik, tetapi apakah memang kaum perempuan sudah semestinya seperti itu?
Pentas politik dunia telah menyajikan kiprah politis sekian banyak kaum perempuan. Ada yang menjadi presiden, perdana menteri, anggota senat, gubernur, bupati, dan berbagai jabatan politis lainnya. Namun, mengapa hal itu masih sulit terwujud di NTT secara khusus dalam momen pilkadal? Baiklah bila momen pilkadal kali ini menjadi wahana pembelajaran bagi pelaksanaan pilkadal di kabupaten-kabupaten lain di NTT. Untuk itu diskursus tentang perempuan dan wacana yang berperspektif gender mesti menjadi prioritas dalam berbagai upaya edukasi dan pemberdayaan politik. Satu hal utama yang mau diangkat dalam kaitannya dengan figur pemimpin perempuan adalah logika hati sebagai kekayaan kaum perempuan. Inilah kualitas plus kaum perempuan yang mesti menjadi nilai jual dan daya tawar tinggi bagi sebuah rekruitmen politik. Saya yakin dengan hatinya, kaum perempuan sanggup memberikan sesuatu yang terbaik untuk bangsa dan negara, untuk masyarakat kita. Bukankah keterpurukan bangsa dan negara kita selama ini lebih karena intervensi kaum lelaki yang berkuasa?
Blaise Pascal yang hidup antara tahun 1623-1662 membuat demakrasi antara pengetahuan ilmiah dan iman – religius. Menurutnya, rasionalitas tak dapat diterapkan secara tak terbatas dalam bidang moral dan agama. Dengan jalan intuisi, manusia mampu menangkap kekayaan dan kedalaman hidupnya sendiri. Jalan intuisi ini disebut esprit definesse (semangat ketajaman intuisi). Karena akal manusia bersifat kognitif, maka ia tak mampu menemukan dan meyakini hukum dan norma-norma. ‘Hati memiliki alasan-alasannya sendiri yang tidak dikenal oleh akal’ (le coeur a ses raisons le raison ne connait point). Ini berarti bahwa menyangkut pengalaman penghayatan hidup religius dan moral, akal budi sendiri tak mampu memberikan pemahaman yang utuh. Penghayatan hidup moral dan religius hanya dapat dihayati dengan membuka hati untuk menerima unsur-unsur pengatahuan tersebut yang berada di luar jangkauan akal budi. Menurut Pascal, ada logika khusus untuk itu yakni ‘logika hati’. Selain Pascal, muncul pula Santo Agustinus yang mengedepankan Filsafat Hati (Philosophia Cordis). Bagi Agustinus, cor (hati) merupakan pusat pribadi dan organ kesatuan subtansial manusia. Philosophia cordis Agustinus memberikan pada hati peranan penting dalam proses epistemologis manusia, terutama dalam pengetahuan religius dan moral. Ini mengindikasikan peran urgen hati dalam teori pengetahuan Agustinus. Walaupun ia tahu bahwa hati bisa sesat, namun ia menemukan dimensi lain dari hati yakni cor rectum (hati yang tulus, murni) yang berfungsi sebagai norma dalam kehidupan moral manusia.
Bila kita terlanjur mengklaim bahwa kaum perempuan adalah insan yang kurang rasional karena lebih mengutamakan hati, intuisi dan perasaan, maka ada sekian banyak pengalaman harian dalam pergaulan kita dengan kaum perempuan, yang justru mengafirmasi bahwa mereka adalah insan rasional. Apa yang diungkapkan para pemikir di atas merupakan fakta dari rasionalitas kaum perempuan. Karena itu, mendiskreditkan kaum perempuan sebagai figur yang lamban berpikir dan kurang rasional adalah suatu bentuk irasionalitas yang sulit dipertanggungjawabkan. Perempuan dan logika hatinya mesti dilihat sebagai suatu kekayaan yang amat kita butuhkan dalam hidup ini pun dalam urusan publik, ruang sosial-politis. Itu berarti membatasi ruang gerak partisipasi politis kaum perempuan yang dilakukan partai merupakan hal yang irasional. Bukti kelemahan partai yang tidak menangkap suatu anugerah besar yakni logika hati yang sekian sering sulit ditemukan dalam diri kaum lelaki. Hati merupakan inti kepribadian manusia. Melaluinya, kaum perempuan menghayati perannya sebagai perempuan. Dengan hati perempuan mengabdi untuk memberikan daya hidup baru pada kehidupan supaya bertumbuh dan berkembang seperti apa adanya. Dengan hati perempuan berpikir, berbicara, mencintai, mendekati sesama, mendengar dan terlibat dalam aneka karya pelayanan publik. Dari hati terungkap keluar kelembutan, keindahan, ketabahan, ketekunan dan penyerahan diri tanpa pamrih. Dari hati muncul pula harapan meraih sukses setelah penderitaan: untuk melaksanakan tugas penuh risiko; untuk menerima sesama seperti adanya. Hati mewarnai setiap tindakan, perhatian dan cinta kasihnya. Dalam dasar terdalam ini tindakan manusia dipertimbangkan, diputuskan dan dilakukan.
Dalam segala tugas dan jabatan apapun peran kaum perempuan sangat penting. Dengan hatinya mereka bisa memberikan apa yang selama ini belum bisa diberikan kaum lelaki. Mereka mampu mempertimbangkan dan melihat lebih jauh dan jernih arti sebuah keputusan publik. Pada zaman ini, pengabdian dengan hati hampir sulit ditemukan terlebih ketika kaum perempuan disisihkan dan diabaikan dalam partisipasi politik. Kehadiran dan keberadaan mereka sangat kita butuhkan. Cara pendekatannya, keindahan dan kelembutan, ketabahan dan ketekunannya, kesabaran dan keluwesannya adalah daya kekuatan yang mesti mewarnai hidup dan situasi berbangsa dan bernegara kita. Perempuan dengan logika hatinya dapat mempertimbangkan, memutuskan dan memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Kiranya dalam pilkadal di kabupaten lain, perempuan dapat lebih terlibat di dalamnya dengan menjadi cabup atau cawabup. Akan ada warna tersendiri bila mereka ada dan hadir di sana. Itulah warna hati, warna keibuan. Untuk kaum perempuan, inilah tantangan yang mesti dihadapi dengan berani. Yang dibutuhkan adalah bukti bahwa kaum perempuan memang bisa terlibat dalam urusan publik, dalam ruang politik.


Dimuat di Expo NTT, 8-15 April 2006





TAMA NA! SOBRA NA! PALITAN NA!



Setiap tanggal 8 Maret kita merayakan Hari Perempuan Sedunia. Apa yang bisa kita maknai dari momen semacam itu? Apa yang mau kita rayakan dari hari perempuan ini? Apakah kita merayakan kegelisahan dan ketertindasan kaum perempuan yang mereka alami setiap hari atau membangkitkan respek dan penghargaan terhadap kaum perempuan dengan segala keunggulan dan potensi yang mereka miliki. Pertanyaan-pertanyaan kecil ini setidaknya membantu kita mencari arti hari perempuan untuk diri kita, lingkungan kita, masyarakat kita dan tentu saja dalam relasi kita dengan kaum perempuan itu sendiri.
Catatan kecil ini lebih mengarah pada sejauh mana kaum perempuan berperan dalam ruang partisipasi politik kita dan bagaimana mereka diberi ruang peran politis yang setara. Tak dimungkiri bahwa ruang partisipasi politik kita adalah ruang yang penuh ketimpangan, ruang dominasi patriarki, ruang maskulin. Padahal sejak awal, orang bijak seperti Aristoteles sudah berkata kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari umat manusia, karena menurutnya “Manusia pada hakikatnya adalah makhluk politik; sudah menjadi pembawaannya hidup dalam suatu polis.” Hanya dalam polis manusia dapat mencapai nilai moral yang paling tinggi. Di luar polis, manusia menjadi subhuman (binatang buas) atau superhuman (tuhan).
Menempatkan kaum perempuan dalam ruang politik adalah sebuah keharusan. Dalam ruang itu, perempuan tidak cukup hanya diberi peran sebagai penonton, penggembira dan figur di belakang layar. Perempuan mesti menjadi pemain, pelakon dan penentu kebijakan dalam ruang politik itu. Dan ini hanya dimungkinkan oleh beberapa hal. Pertama, kaum perempuan harus berusaha untuk tampil sebagai pemain dan pemeran lakon politik dengan keunggulan-keunggulannya. Kedua, sistim politik harus berwajah feminisme. Artinya, dominasi maskulin dalam ranah politik mesti disadari oleh kaum laki-laki sebagai hal yang tidak adil karena ada figur perempuan yang kualitasnya jauh melebihi kaum lelaki hanya saja mereka tidak diberi peluang yang sama untuk itu.
Saya teringat pada nyanyian yang dikumandangkan oleh para demonstran people’s power pada waktu menggulingkan Presiden Marcos, Tama na! Sobra na! Palitan na! (Cukup sudah! Cukup sudah! Kami menghendaki perubahan! Kalau semua perempuan mengatakan, Cukup sudah! Cukup sudah! Kami menghendaki perubahan! Maka perubahan harus dimulai dari diri perempuan itu sendiri, sebagai bagian dari investasi identitasnya agar orang lain dapat mengatakan mereka sendiri telah memulainya. Tidak hanya itu, kaum lelaki juga mesti berkata, cukup sudah, cukup sudah, kita menindas dan membatasi ruang gerak politis perempuan karena mereka memiliki keunggulan dan bisa menjadi pemimpin yang baik dan bertanggung jawab.

Angka Ketidakadilan
Ruang politis kita di NTT misalnya adalah ruang dominasi patriarki padahal lebih dari setengah jumlah penduduk NTT adalah perempuan. Jumlah penduduk NTT 4.165.568 jiwa; perempuan 2.091.076 jiwa (50,20%) dan laki-laki 2.074.492 jiwa (49,80%). Data menunjukkan bahwa dari aspek politik, rendahnya partisipasi perempuan pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di NTT turut mempengaruhi akses dan kontrol perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk rendahnya kader perempuan dalam kepemimpinan masa depan.
Data yang disampaikan Ibu Sofia Malelak de Haan dalam Pertemuan Raya Perempuan GMIT beberapa saat lalu bisa memberikan gambaran keterwakilan perempuan. Di lembaga eksekutif, kepala daerah (gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota terdiri dari laki-laki 34 orang dan tidak ada perempuan. Untuk posisi jabatan struktural, prosentasi perempuan sangat kecil. Eselon II sebanyak 45 orang, terdiri dari laki-laki 40 orang (89%) dan perempuan 5 orang (11%), diperinci atas badan: 14 laki-laki dan tidak ada perempuan; dinas: 15 laki-laki dan 2 perempuan; biro: 11 laki-laki dan 2 perempuan; rumah sakit umum: 1 perempuan.
Di lembaga legislatif, prosentase keterwakilan perempuan pada Pemilu 2004 adalah: DPR Pusat asal NTT berjumlah 13 kursi terdiri atas laki-laki 11 orang (84,62%) dan perempuan 2 orang (15,38%). DPRD Provinsi NTT berjumlah 55 orang terdiri atas laki-laki 49 orang (89,09%) dan perempuan 6 orang (10,91%). DPRD Kabupaten/Kota berjumlah 552 orang terdiri dari laki-laki 430 orang (89,5%) dan perempuan 50 orang (10,5%). Untuk tahun 2004 semua kabupaten/kota memiliki keterwakilan perempuan walau prosentasinya kecil. DPD Pusat asal NTT berjumlah 4 orang dan semuanya laki-laki (100%), perempuan (0%). Pada lembaga yudikatif, jabatan fungsional (jaksa sebanyak 22 orang terdiri dari laki-laki 20 orang dan perempuan 2 orang).
Apa yang bisa kita katakan setelah mengamati data di atas? Apakah ada tepukan di dada tanda penyesalan disertai gumaman Tama na! Sobra na! Palitan na! Mungkin saja ada, bisa juga tidak, apalagi jika data-data itu dilihat sebagai sesuatu yang sudah seharusnya demikian (taken for granted). Membaca transendensi angka-angka di atas adalah membaca fakta ketidakadilan serentak fakta dominasi kaum lelaki dalam merebut kue partisipasi politik. Apakah tidak ada lagi perempuan di NTT yang berkualitas sehingga tidak bisa diakomodir dalam ruang-ruang kekuasaan di atas?
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah membenturkan mindset, pola pikir, paradigma usang yang masih dikonstruksi masyarakat turun-temurun terhadap eksistensi kaum perempuan dengan keunggulan dan potensi kaum perempuan yang luar biasa yang kita amati saat ini. Konstruksi masyarakat patriarki cenderung menjegal kualitas perempuan dengan ‘hambatan-hambatan’ yang sudah terpola mulai dari hambatan fisik kodrati, hambatan teologis, sosial budaya, paradigma hingga hambatan historis. Perkembangan zaman dan modernitas saat ini seharusnya menggugurkan aneka stereotip terhadap kaum perempuan karena mereka sebenarnya mampu dan bisa diandalkan.
Mengapa Condoliza Rice, seorang perempuan, dipercayakan sebagai menteri luar negeri untuk negara adidaya sekelas Amerika? Karena ia bisa, punya kemampuan, keunggulan dalam memimpin, dalam mengorganisir dan mengkoordinasi, memiliki sentuhan kepemimpinan plus, memimpin dengan hati. Mengapa negara-negara lain banyak mempercayakan kaum perempuan menduduki jabatan-jabatan strategis? Karena masyarakat negara itu tahu bahwa perempuan ada seperti laki-laki, memiliki kemampuan dan keunggulan yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan bersama dalam komunitas bernama negara. Di daerah kita, keunggulan dan potensi perempuan jarang dimunculkan dan cenderung untuk tidak diakui jika tanpa menyertakan kehadiran laki-laki yang menjadi penolong. Sebaliknya, stereotip usang tetap berkumandang walau telah lekang digilas zaman.

Membangun dengan Hati
Untuk konteks NTT yang memiliki filosofi membangun dengan hati, memimpin dengan hati, hemat saya kehadiran kaum perempuan sebagai pemimpin, pelakon peran dalam ruang partisipasi politik sangat dibutuhkan. Perempuan dengan logika hatinya dinilai cocok untuk membangun NTT. Dengan hatinya, jelas mereka memiliki perhatian yang lebih, memiliki kecermatan, ketelitian dalam bekerja, memiliki kelembutan untuk merespons persoalan, memiliki pendekatan seorang ibu. Sayangnya, keunggulan-keunggulan ini tidak kita manfaatkan untuk membangun NTT. Kita masih begitu percaya terlampau banyak pada keunggulan lelaki. Amati peta persoalan di NTT. Kegagalan para pemimpin kita yang nota bene adalah lelaki terjadi karena hati dan perhatiannya ditempatkan di belakang pikiran dan pemikirannya. Pikiran yang sarat dengan ambisi dan kepentingan pribadi baik yang tidak kasat mata seperti haus kehormatan, pengkultusan diri maupun yang kasat mata seperti penimbunan harta dan uang. Padahal kaum perempuan telah mulai belajar memimpin ketika mereka mulai mengelola dapur agar terus berasap dan mengatur organisasi rumah tangga agar menjadi home bagi suami dan anak-anak. Kaum perempuan adalah pemimpin yang kreatif, mempunyai komitmen dan tanggung jawab, memiliki kemampuan merasakan, membaca situasi, inisiatif, sensitif, merasakan dan melihat dengan hati. Mengapa tidak kita akomodir untuk mengelola polis provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa-desa kita di NTT?
Merayakan hari perempuan saat ini adalah sebuah upaya mengambil sikap terhadap kekosongan ruang politis dari sentuhan kaum perempuan. Peluang untuk memasuki ruang politis selalu terbuka. Namun, apakah peluang itu bisa ditangkap oleh kaum perempuan sendiri dan juga rela dibagikan oleh kaum lelaki? Masih ada serangkaian pesta pilkada di daerah-daerah se-NTT. Masih ada pesta demokrasi tahun 2009. Masih ada jabatan struktural yang kehilangan ‘perhatian’ karena tidak ada pemimpin perempuan. Kiranya, ruang-ruang itu makin dibuka lebar untuk kehadiran kaum perempuan. Dan yang utama adalah memposisikan seorang pemimpin daerah, pemimpin struktur, pemimpin instansi berdasarkan profesionalisme, keunggulan, bukan berdasarkan perbedaan gender yang telah terpola memojokkan kaum perempuan.
Sudah saatnya kita berteriak lebih keras, Tama na! Sobra na! Palitan na! Kaum perempuan ingin perubahan. Laki-laki ingin perubahan. Masyarakat ingin perubahan. Provinsi dan daerah kita ingin perubahan. Mengapa perubahan itu tidak kita mulai dengan memilih dan mempercayakan kaum perempuan menjadi pemimpin kita? Mengapa partai-partai politik kita tidak memberi ruang lebih besar bagi kaum perempuan mewujudkan keunggulan-keunggulannya? Harapan ini harus terus dinyalakan agar pada saatnya ada api yang membakar kebobrokan sistim birokrasi dan pemerintahan kita, ada api yang menghangatkan rakyat yang ‘dingin’ karena kelaparan, kurang gizi, keterbelakangan, ada api yang memanaskan tungku-tungku produktivitas rakyat yang mengenyangkan rakyat dengan hati dan perhatian penuh dalam membangun. Api itu adalah kaum perempuan dan kita tentu butuh api untuk hidup kita saat ini. Mari kita berapi-api berkumandang Tama na! Sobra na! Palitan na!

Dimuat di Flores Pos, 8 Maret 2007



HUJAN BATU DI NEGERI ORANG



Pada tahun 2004, Nurlela diselundupkan ke Malaysia dengan janji akan dipekerjakan di sebuah restoran. Namun, setibanya di Malaysia, ia dipaksa menjadi pekerja seks. Karena menolak, Nurlela nyaris diperkosa oleh Ah Cho, agennya di Malaysia. Saat terjadi pergumulan, tangan Nurlela meraih pisau. Kemudian ia menghujamkan pisaunya tepat di ulu hati Ah Cho. Nurlela pun menyerahkan diri ke polisi setempat. Polisi menjebloskannya ke penjara atas tuduhan melakukan pembunuhan.
Itu sepenggal kisah tragis yang dialami Nurlela, tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Malaysia. Tentu ada banyak Nurlela lain yang mengalami perlakuan kasar dan kejadian serupa. Masih ingat Nirmala Bonat, TKW asal NTT yang wajahnya disetrika majikan? Impian kebanyakan wanita mendulang hujan emas di negeri orang, ternyata tak kesampaian. Mereka justru ditimpa hujan batu yang menghancurkan masa depan dan kehidupannya sendiri.
Tak dapat kita mungkiri bahwa tahun demi tahun jumlah TKW yang ke luar negeri makin bertambah, entah yang diproses legal maupun ilegal (diselundupkan). Untuk konteks kita di NTT, terbukanya peluang untuk bekerja di luar negeri merupakan sebuah harapan bagi sejumlah perempuan untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya. Dengan keuntungan ganda yang bisa dipetik, pemerintah menyerahkan perekrutan dan penempatan pada Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Keuntungan ganda itu, selain untuk meningkatkan taraf hidup/kesejahteraan kaum miskin, pengiriman buruh migran dapat menekan angka kemiskinan, pengangguran dan mendatangkan devisa bagi negara. Sementara itu menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang ingin bergerak di bidang jasa pengiriman tenaga kerja.
Pengiriman tenaga kerja wanita yang terus meningkat itu terutama pada sektor informal sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Mereka dikirim ke Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, Brunei Darusalam, Arab Saudi. Yang unik, walau masyarakat kita yang patriarkis masih mematok aturan bahwa laki-lakilah kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama, namun pengiriman TKW jauh lebih banyak, legal maupun ilegal. Kenyataan menunjukkan bahwa dibandingkan dengan laki-laki, gaung keberhasilan wanita lebih terdengar dari pada lelaki. Namun ironisnya pada saat yang sama perempuan lebih banyak bermasalah bahkan masalah yang sangat berat. Masalah yang paling mengerikan justru dialami buruh migran perempuan yakni kekerasan, pemerkosaan dan perdagangan (trafficking). Hal itu mengakibatkan sebagian dari TKW yang pulang berada dalam keadaan sakit, bahkan dirampok uang dan kehormatan, dianiaya hingga gila. Inilah situasi hujan batu di negeri orang itu.
Mingguan Hidup, 4 Februari 2007 menulis kisah Irene Fernandez pemimpin lembaga Tenaganita yang fokus pada pembelaan hak-hak buruh migran. Menurut Irene, 80 persen PRT di Malaysia berasal dari Indonesia. Jumlahnya mencapai 320.000 orang. Pekerja domestik dari Indonesia tidak memperoleh perlindungan apa-apa dari Kerajaan (Malaysia) atau dari Indonesia. Mereka tidak ada kontrak. Kontrak yang dibuat selalu antara majikan dengan agen. Tidak ada gaji minimal. Gaji mereka sangat rendah, antara 350-400 RM (Rp840.000-960.000) per bulan. Itu pun tidak selalu diberikan. Ada banyak kasus siksaan dan perkosaan.
Tarik Dorong
Modus operandi perdagangan perempuan dapat terjadi dengan alasan memberikan pekerjaan lewat kedok pengiriman buruh migran. Kepala UPT Gender UKAW Kupang, Dra. Amelia M. radja Pono-Manuain, MSi pernah melakukan penelitian lapangan pada 35 orang mantan TKW dan keluarga mereka pada dua lokasi di NTT yakni Kabupaten TTS dan Kota Kupang yang merupakan representasi fenomenal dari kondisi buruh migran perempuan NTT.
Ada faktor penarik dan pendorong yang menyebabkan mereka mengambil keputusan untuk bekerja di luar negeri. Faktor penarik paling dominan adalah gaji yang tinggi, jenis pekerjaan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari (tidak butuh keahlian tinggi) dan penggunaan alat-alat elektronik sehingga serba gampang. Daya tarik lainnya adalah pengalaman hidup di luar negeri yang menjanjikan, gaya hidup modern. Adapun faktor pendorong dominan adalah kemudahan karena boleh berhutang bahkan mudah memperoleh dokumen. Kondisi keluarga yang minim juga jadi pendorong. Selain itu, pengangguran, kerja tanpa bayar, tidak lanjutkan studi dan keberhasilan teman jadi pendorong berikutnya.
Proses rekrutmen berlangsung melalui penyebaran informasi melalui radio, koran atau melalui petugas lapangan yang dibayar Rp400.000-500.000/kepala. KTP palsu dengan nama yang sudah diganti jadi praktik yang sering terjadi. Seluruh calon TKW berangkat melalui perusahaan tertentu yang mengaku sebagai perusahaan resmi namun tidak seluruhnya benar. Pemerkosaan juga sering terjadi di tempat penampungan dan ada yang berhasil kabur karena tercium rencana trafficking. Kenyataan di balik perekrutan adalah walaupun ada calon TKW yang tidak memenuhi syarat karena tidak lulus tetapi dipaksakan untuk dikirim karena perusahaan sudah terlanjur membayar kepada calo dan sudah menggunakan biaya untuk pelatihan. Itu sudah terhitung hutang. Calon TKW dilepaskan jika membayar ganti jutaan rupiah.
Dalam rangka penempatan, lagi-lagi calon TKW tidak memiliki posisi tawar. Tempat kerja dipilih oleh majikan berdasarkan foto yang dikirim. Setelah tiba di tempat dokumennya selalu dipegang majikan. Apabila si TKW kabur, maka statusnya menjadi buruh migran tidak berdokumen karena dokumennya ada pada majikan. Ini adalah awal dari status buron di negara tujuan dan selanjutnya menjadi korban diperas pihak keamanan, diperkosa oleh calo baru. Banyak majikan yang suka menerima TKW ilegal agar bebas asuransi dan tanggung jawab lainnya.
Pengalaman di tempat kerja sangat bervariasi. Banyak yang merasa wajar dengan kondisi seperti penyekapan (kebanyakan di Malaysia), yang lain sering dihantui rasa takut. Penggajian pada umumnya berjalan baik, tetapi sayangnya selama 4-7 bulan pertama gaji itu untuk membayar hutang kepada PJTKI melalui agen di negara tujuan. Mengenai jam kerja, hanya sebagian kecil yang mempunyai jam kerja yang wajar yakni 7-8 jam/hari. Sebagian lainnya mempunyai jam kerja tinggi bahkan ada yang sampai 20 jam sehari sehingga terpaksa tidur di kamar mandi. Ada TKW yang disayangi majikan sehingga kontraknya diperpanjang sampai 3 kali. Tetapi ada yang dilecehkan dan kabur sebelum masa kontrak selesai. Ada TKW yang berhasil membawa puluhan juta rupiah sehingga dapat bangun rumah, membeli tanah, bemo, dll. Ada pula yang tertimpa nista. Harga diri diinjak-injak. Mereka diperkosa, dihamili, dianiaya dan dijadikan budak.


Trafficking
Menurut definisi GAATW (Global Alliance Against Traffic in Women), perdagangan perempuan adalah semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk ancaman menggunakan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkannya, dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau kondisi seperti perbudakan.
Resolusi PBB tahun 1994 menentang perdagangan perempuan. Definisi perdagangan perempuan menurut PBB adalah pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi sebagaimana tindak ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan perempuan seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrut, pedagang dan sindikat kejahatan.
Dari dua definisi di atas terlihat bahwa perdagangan perempuan tidak hanya meliputi tujuan eksploitasi seksual tetapi berbagai tujuan. Memang banyak perempuan yang bermigrasi dengan mengetahui tujuan untuk bekerja pada industri hiburan / seks, tetapi banyak pula perempuan yang lebih menderita karena mendapati dirinya telah berada di dalam industri seks di luar kemauan mereka melalui penipuan dan paksaan. Ketika para perempuan tersebut mengajukan tuntutan kepada pedagang perempuan, mereka malah mungkin ditahan dengan tuduhan melakukan prostitusi.
Apabila kenyataan yang dialami TKW ditempatkan dalam bingkai definisi-definisi di atas, maka sebenarnya banyak fenomena yang telah dapat dikategorikan sebagai perdagangan perempuan. Kenyataan itu mengindikasikan adanya nuansa, batas yang semakin tipis antara kerja dan perdagangan perempuan. Karena itu banyak perempuan pencari kerja yang tidak menyadari bahwa mekanisme yang mereka jalani adalah mekanisme perdagangan perempuan / manusia.

Butuh Perda
Beberapa saat lalu, DPRD NTT menghasilkan rancangan Perda inisiatif DPR tentang trafficking. Ini suatu langkah maju wakil rakyat kita yang berpikir dan mau berbuat sesuatu dengan political will-nya untuk kaum perempuan khususnya TKW. Dari sosialisasi di setiap kabupaten, ada respon hebat yang menunjukkan bahwa perdagangan perempuan itu sudah menjadi masalah bersama. Di Ngada misalnya, para pemimpin agama diminta untuk terlibat dalam proses perekrutan tenaga kerja. Supaya jangan ada masalah baru cari pemimpin agama.
Kapan Ranperda ini di-Perda-kan? Kita berharap agar DPR secepatnya menetapkan Perda mengenai perdagangan perempuan. Dengan itu, TKW kita bisa mendapat perlindungan dan hak-haknya secara layak. Arus perdagangan bebas telah menciptakan tenaga kerja sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan. TKW pada gilirannya hanya dipandang sebagai modal manusia yang merupakan salah satu dari faktor produksi.
Pemerintah kita memandang para TKI atau TKW sebagai pahlawan devisa. Tetapi sanjungan itu belum diikuti dengan sikap yang konsisten untuk menyediakan perangkat hukum yang melindungi keselamatan buruh selama bekerja di luar negeri. Kebijakan politis untuk menerapkan perdagangan bebas mestinya diikuti political will untuk menyediakan perangkat hukum yang melindungi para pekerja migran. Kita tantang pihak eksekutif dan legislatif kita, kapan ada Perda perdagangan perempuan? Supaya jangan lagi lahir jeritan Nurlela dan Nirmala yang lain.

Dimuat di Flores Pos, 14 April 2007



PEREMPUAN DAN TIRANI KATA


Pada tahun 2004, warga masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah dihebohkan oleh ulah Don Juan Kupang yang mengaku menghamili lima orang gadis dari sembilan orang yang dituduhkan kepadanya. Don Juan lokal ini memang cerdik bercampur licik ketika ia memperdayai gadis-gadis yang dengan serta merta percaya pada rayuan gombalnya. Pada titik ini, ada satu fakta yang terungkap yakni rentannya gadis-gadis itu (kaum perempuan) terhadap kata-kata lelaki. Kata menjadi sebuah tirani yang menyiksa, memberangus kebebasan dan masa depan anak-anak manusia. Kata memang perlu diwaspadai. Karena dengan kata-kata itulah Don Juan menggelapkan masa depan dan kehidupan para gadis yang pada akhirnya menderita karena ulahnya.
Dalam buku Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas, Albert Camus dengan nuansa filosofisnya yang kental melukiskan figur Don Juan. “Seandainya mencintai saja sudah cukup, segalanya akan terlalu mudah. Semakin kita mencintai, yang absurd semakin menjadi kokoh. Sama sekali bukanlah kurangnya cinta yang membuat Don Juan berpindah-pindah dari satu perempuan ke perempuan yang lain. Tetapi karena ia benar-benar ‘mencintai’ perempuan-perempuan itu dengan semangat yang sama dan setiap kali dengan sepenuh hatinya. Karena itu, ia harus mengulangi pemberian diri itu. Itulah sebabnya setiap perempuan berharap memberikan sesuatu yang belum pernah diberikan oleh perempuan lain kepadanya. Namun, setiap kali mereka hanya benar-benar keliru dan perlu mengulangi pengalamannya” (Camus, 1999: 89).
Yang disarankan oleh Don Juan adalah pemuasan diri. Seorang perempuan cantik selalu menimbulkan gairah. Don Juan hanya menginginkan perempuan lain. Don Juan menghayati etika kuantitas. Namun, ia tidak bermaksud ‘mengoleksi’ perempuan. Ia hanya menguras habis jumlah itu dan melahap kesempatan hidup dan masa depan mereka. Wajah-wajah yang hangat dan penuh kekaguman itu dijelajahinya dan ditelantarkannya.
Terjadi pada lokus dan fase historis yang berbeda tidak menghilangkan esensi gairah Don Juanisme dalam dunia kita saat ini. Kasus Don Juan lokal yang menggemparkan bumi NTT itu menghentak kesadaran kita akan sebuah akumulasi fakta kekerasan seksual terhadap kaum perempuan. Di manakah letak kekuatan seorang Don Juan? Dalam khazanah sastra, seorang kritikus sastra A.A.Teeuw berkredo, “semuanya tergantung pada kata”. Hemat saya, kekuatan seorang Don Juan adalah kata. Kata itu biasa namun sering berbisa. Kata bagai anggur manis penghibur sekaligus mahkota duri azab duka. Ia dapat meneguhkan dan juga menghancurkan. Ia mampu meyakinkan dan menistakan. Ia dapat berupa sederetan janji-janji manis nan muluk, namun bisa menjadi cuma kehampaan karena pengelabuan dan tipuan yang licik. Itulah realitas kata.
Mengapa kaum perempuan rentan pada kata? Inilah sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban kita sini kini. Ketika para Don Juan diidentikkan sebagai perayu, apakah kaum perempuan harus berada pada kutub yang berseberangan yakni yang mudah dirayu, dikelabui, dan dipermainkan? Tentu tidak! Tetapi melihat begitu banyak ‘korban’ yang berhasil ditaklukkan Don Juan, kita perlu menjadi muak dan gelisah. Kaum perempuan perlu mengantisipasi kekerasan kata. Kata dalam skoup dan limitasi tertentu adalah sang tirani. Kata dalam mulut dan ucapan Don Juan adalah kata yang menindas, memperkosa, dan merendahkan martabat kaum perempuan. Kata, dengan demikian perlu diwaspadai. Caranya, pengendalian diri dan kontrol diri dalam pergaulan dan interaksi sosial.
Bila ditarik garis penghubung antara perempuan dan Don Juan, maka kita akan mendapatkan sebuah dialektika relasi subjek-objek. Don Juan adalah pelaku, subjek seksual, yang menikmati, sedangkan kaum perempuan adalah objek seksual, mereka yang tersubordinat, yang terpaksa menanggung malu, yang menderita dan dicemooh. Hubungan keduanya memenuhi pola relasi dialogal Martin Buber, Ich-Es atau I-It. Don Juan bertindak sebagai Ich atau I, sedangkan kaum perempuan adalah Es atau It. Ich atau I memiliki karakter mempunyai dan memonopoli, yang lain (kaum perempuan) diperlakukan sebagai barang, ada eksperimentasi, pendayagunaan dan obyektivasi. Dari kasus Don Juan yang merebak ini, kita dapat membayangkan bahwa praktik semacam ini sudah berlangsung lama dan telah memakan banyak korban. Namun, mengapa baru sekarang tabir kebejatan moral ini tersingkap? Salah satu jawabannya adalah bahwa para korban sungguh menghayati perannya sebagai objek. Dalam arti bahwa ia tidak dapat berbuat lebih daripada diam dan menderita sendiri. Kadang-kadang kita mesti berpikir bahwa aksi si Don Juan ini terus berlangsung karena ditunjang oleh kondisi kaum perempuan yang sangat memungkinkan hal itu terjadi. Mereka hanya diam dan menderita dalam diam. Belum lagi bila pihak keluarga mengintimidasi agar hal yang membuat aib dalam keluarga itu tidak perlu dibesar-besarkan. Semuanya demi reputasi dan keutuhan keluarga. Para korban justru diam karena dijinakkan oleh keluarga. Stereotip sosial yang menyakitkan dan beban psikologis yang dialami para korban menyatu dalam diamnya.
Sampai kapankah kaum perempuan bisa menjadi tuan atas dirinya sendiri? Inilah situasi yang digambarkan oleh Paulo Freire sebagai ‘silent culture’. Para perempuan (korban) dibiasakan menjadi bisu walaupun mereka bukan penyandang cacat tunawicara. Ludwig Wittgenstein seorang filsuf hermeneutik membahasakannya dengan ungkapan ini, “where of one can not speak, there of one must be silent” (bila ada hal di mana seseorang tidak dapat berbicara, maka ia harus diam). Namun, karena keharusan seorang manusia berbicara atas namanya sendiri, maka ia memperbaiki preposisi di atas dengan, “where of one can not speak, there of one must be speak” (bila ada hal di mana seseorang tidak dapat bicara, maka ia harus berbicara). Ini berarti sudah saatnya kaum perempuan angkat suara untuk berkata. Kata adalah anugerah. Para korban harus berbicara atas apa yang dialaminya. Para perempuan lain pun harus berbicara atas nama para korban. Karena kodrat keperempuanan itu sama, maka apa yang dialami para korban adalah juga aib dan derita bagi semua perempuan.
Diam itu tidak selamanya emas. Martin Luther King pernah berkata, “There comes a time when silence is betrayal” (ada saatnya ketika diam adalah sebuah pengkhianatan). Aksi diamnya kaum perempuan terhadap adanya kata rayuan dan pengelabuan kaum lelaki adalah juga sebuah pengkhianatan atas nama dirinya sendiri. Pengkhianatan atas nurani diri ini menyebabkan mereka sulit keluar dari penjara ketertindasan kaum lelaki dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam menyuarakan hak dan kepentingannya yang diabaikan. Saat ini adalah saat kaum perempuan harus berbicara. Ketika para Don Juan mempunyai senjata kata untuk merayu, menggoda, dan memfitnah kaum perempuan, kata-kata yang sama juga harus digunakan oleh kaum perempuan untuk melawan, menolak rayuan dan menunjukkan kehargaan dirinya yang otentik.
Sejauh mana suara-suara kaum perempuan dapat didengar? Boleh jadi mereka telah bersuara tetapi volumenya lemah dan mungkin diredam sekian oleh berbagai faktor. Menyikapi hal ini, maka kita yang mampu bersuara, bersuaralah untuk kaum perempuan. Berbagai komponen masyarakat hendaknya diaktifkan. Pemerintah perlu menanggapi aksi kekerasan ala Don Juan ini dengan memikirkan dan menciptakan seperangkat aturan dan hukum yang melindung kaum perempuan dari kekerasan seksual. Keluarga sebagai habitat asli para korban sebaiknya proaktif membongkar persoalan ini. Bukannya memberi ultimatum diam demi harmoni dan nama baik keluarga.
Kekerasan multidimensi yang dialami kaum perempuan bukan semata-mata kemalangan mereka tetapi juga merupakan petaka kemanusiaan yang menimpa kita. Selagi masih ada kekerasan, kemanusiaan kita belum sepenuhnya merdeka dan kita belum menjadi orang-orang merdeka, manusia-manusia sadar yang diterangi cahaya pencerahan. Bersama kaum perempuan, mereka yang tertindas itu, kita perlu bereksodus. Kita perlu keluar dari situasi perhambaan dan penindasan. Situasi perbudakan Mesir yang dialami kaum perempuan mesti menyadarkan mereka untuk beralih ke tanah terjanji. Memang tidak mudah, seperti sulitnya menjadi perempuan. Laut Merah budaya patriarkhi, padang gurun kemapanan mitos dan tradisi senantiasa menghadang dan menantang. Tetapi, tidak perlu takut. Tiang api dan tiang awan akan menyertai perjuangan luhur ini. Jalan ke Kanaan, tanah terjanji itu di mana ada susu dan madu kebebasan, persamaan hak, kesetaraan martabat, pengakuan jati diri kaum perempuan perlu kita retas dan lalui.

Dimuat di Timex, 13 Desember 2006


ANAKMU BUKAN MILIKMU


“Anakmu bukan milikmu/mereka milik Sang Hidup/yang rindu pada dirinya sendiri. Lewat kita mereka ada/namun tidak dari kita. Mereka ada pada kita/tetapi bukan milik kita. Berikan mereka kasih sayang/tetapi jangan sodorkan bentuk pikiran kita. Patut diberi rumah untuk raganya/tetapi tidak untuk jiwanya/sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan/yang tak mungkin kau kunjungi meskipun hanya dalam mimpi.”

Khalil Gibran, sang penyair Lebanon telah menggoreskan kata-kata indah sarat makna di atas untuk menggambarkan triade relasi: orang tua, anak dan Sang Pencipta. Namun keindahan dan kedalaman makna kata-kata ini pupus seketika oleh perilaku orang tua (ibu) yang begitu tega menganiaya dan mencabut nyawa anaknya sendiri. Sungguh ironis. Ibu, dia yang diserahi tugas nan luhur dalam kodrat kewanitaannya untuk mengandung dan melahirkan anak, dia sendiri pula yang justru menghilangkan kehidupan itu sendiri.
Berita tentang anak-anak korban perang, anak-anak korban penganiayaan, dan kekerasan dalam rumah tangga sering membuat hati kita teriris-iris. Kita tentu merasa ngeri menyaksikan bocah-bocah yang terluka, berdarah, cacat akibat terjangan peluru, rudal maupun reruntuhan bangunan. Walau batas pandangan kita hanya sebatas televisi ataupun surat kabar, namun ada perasaan pilu dan keprihatinan mendalam yang tergurat dalam kalbu apalagi sebagai seorang ibu.
Derita anak milik Sang Hidup terjadi lagi di Kampung Proyek, Desa Matawi Katingga, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur. Kalikit Pajanji (11 tahun) tewas setelah dianiaya ibu kandungnya, ERW (27 tahun), Jumat (24/11) pukul 11.00 wita di rumahnya.
Kejadian ini mendapat beragam tanggapan dari orang-orang yang masih mempunyai hati untuk anak-anak, hati untuk aksi pro-life. Dalam penilaian paling ekstrem, tindakan ibu ERW ini dinilai lebih rendah dari binatang. Hewan saja sangat pandai menjaga anaknya, karena itu ia sangat beringas menghadapi tantangan yang mengancam keselamatan anaknya. Tetapi, ERW oleh alasan yang sederhana toh bisa menghentikan denyut kehidupan putra kandungnya sendiri. Justifikasi sebuah proverbia terbukti: “Sekejam-kejamnya harimau tidak mungkin ia memangsa anaknya sendiri.” Namun, seorang ibu ternyata tega berbuat apa yang tidak dilakukan binatang.
Dari peristiwa ini, ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai bahan permenungan dan refleksi kita dalam merajut hari-hari hidup sebagai orang tua dan anak berdasarkan syair-syair Gibran, sekaligus mengantisipasi aksi KDRT yang marak akhir-akhir ini, khususnya kekerasan terhadap anak.
Pertama, anakmu bukan milikmu. Orang tua adalah kokreator Allah. Persekutuan suami dan istri dalam rumah tangga mempunyai panggilan membentuk keluarga dan menghasilkan keturunan. Anak-anak terlahir dari orang tua, namun anak bukan milik orang tua. Kehidupan seorang anak dianugerahkan oleh Sang Hidup. Anak adalah milik Sang Pencipta. Dengan demikian, setiap orang tidak berhak menghilangkan nyawa anaknya, termasuk ibu yang melahirkannya. Tindakan ibu yang mencabut nyawa anaknya merupakan sebuah pengkhianatan terhadap kodrat kewanitaannya.
Kitab Suci memperlihatkan kedekatan hubungan antara perempuan dengan kehidupan itu sendiri. Perempuan selalu disebut “Hevah” yang artinya “Hai kehidupan”. Ia adalah pembawa kehidupan. Midszenty menulis, “Orang yang terpenting di atas dunia ini adalah seorang ibu. Ia telah membangun sesuatu yang lebih agung dari segalanya yakni tubuh bayi mungil yang sempurna. Bahkan malaikat pun tak diberi tugas semulia itu.” Keagungan seorang ibu sebagai Hevah luntur dengan sendirinya, ketika dengan sadar, tahu dan mau, ia menghilangkan nyawa anaknya.
Kedua, berikan mereka kasih sayang, tetapi jangan sodorkan bentuk pikiran kita. Alvin Toffler, seorang futurologi meramalkan, “Institusi-institusi keluarga dewasa ini tengah memasuki ambang kehancuran. Masa modern merupakan masa perpecahbelahan keluarga.” Perpecahan semacam ini akan berdampak buruk pada pendidikan anak-anak. Orang tua tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap anak-anak mereka. Pendidikan yang diterapkan pada anak-anak bertendensi otoriter. Orang tua justru memaksa anak harus mengikuti kehendak, cita-cita dan kemauan mereka tanpa memperhatikan kehendak bebas seorang anak dalam perjuangan mencapai apa yang dicita-citakannya.
Tidak jarang ada orang tua yang mendidik anak dengan kekerasan. Dengan argumentasi bahwa itu demi kebaikan anak sendiri dan wujud kasih sayang orang tua. Apakah penganiayaan dan derita yang dialami Pajanji adalah sebuah bentuk pendidikan yang berbasis kasih sayang? Dalam mendidik anak, harus diperhatikan juga kepentingan anak bersangkutan, bukan melulu kemauan orang tua. Kasih sayang tidak pernah menghalalkan cara hingga menghilangkan nyawa. Kasih sayang tidak tercapai dengan menganiaya anak hingga babak belur dan meninggal. Menjadi ibu dengannya bukan saja sebatas melahirkan, tetapi dituntut tanggung jawab lebih dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan itu. Sebuah ungkapan berbunyi, “Hati wanita (ibu) dapat melihat lebih banyak dari sepuluh mata lelaki.” Namun, di manakah hati seorang ibu tatkala anaknya menjerit karena dipukul, menjerit karena kehausan dan akhirnya mati lemas?
Ketiga, patut diberi rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya, sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah untuk masa depan. Seorang anak membutuhkan perlindungan dan perhatian dari orang tuanya. Mereka membutuhkan rumah (house) untuk raganya, tetapi lebih dari itu mereka membutuhkan home untuk jiwanya. Anak itu semacam tabula rasa nihil que scriptum est (papan kosong yang tak bertuliskan apa-apa).
Kehadiran orang tua sebagai pembimbing, penuntun, guru bagi kehidupan anak-anak sangat urgen dalam periode ini. Dengan demikian, sedikit demi sedikit mereka belajar untuk mengisi kekosongan dirinya melalui orang tuanya dan sesama. Hal-hal negatif yang diperlihatkan orang tuanya akan terekam dalam papan kosong itu. Sebaliknya, pola laku dan kebiasaan baik akan tercatat dalam tabula rasa itu. Mesti tetap diingat bahwa anak-anak hidup dalam dunianya sendiri yang berbeda dari dunia dewasa/orang tua. Karenanya, patut disayangkan ketika jiwa seorang anak tergoncang oleh persoalan orang tua atau orang tua melampiaskan berbagai problem yang tak terselesaikan pada diri seorang anak yang tidak mengetahuinya dan sama sekali tidak berdaya. Pajanji adalah korban kebringasan ibunya. Mungkin inilah kegenapan ramalan seorang Alvin Toffler.
Biarlah hukum positif yang akan mengadili tindakan ERW. Namun yang mau diharapkan adalah agar kaum ibu sadar akan tanggung jawabnya sebagai pembawa kehidupan. Benih yang telah disemaikan dan dipelihara dalam kandungan selama 9 bulan dan dilahirkan dengan susah payah, penuh pengorbanan sebaiknya dipelihara dan dirawat dengan penuh kasih sayang. Ia menghasilkan kehidupan. Namun ketika ia sendiri yang menyebabkan kematian sang anak terkasih, buah kehidupan, apalagi yang masih bisa diharapkan dari seorang ibu?
“Katakan kita busur, merekalah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Mahatahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangkan tangan kita dengan kekuasaan-Nya, hingga anak panah melesat jauh dan cepat. Namun, kita perlu menjaga, membersihkan dan berusaha mengarahkan panah!” Pajanji, si anak panah yang patah oleh busurnya sendiri. Kiranya kita terkenang Pajanji dan mengingat tugas menjaga, membersihkan dan berusaha mengarahkan panah menuju bidikan keabadian.

Dimuat di Timex, 11 Desember 2006



2 comments:

juy_juy said...

weh... temanya kok mirip tulisanku di blog aq....

Unknown said...

1XBet
Betting in India. It can be great to find the most popular 토토사이트 brands, especially ones that offer betting gri-go.com on sports https://septcasino.com/review/merit-casino/ such as football, tennis,  Rating: 1/10 1xbet korean · ‎Review by Riku VihreasaariWhere https://septcasino.com/review/merit-casino/ can I find 1xbet?Where can I find 1xbet betting?