Monday, April 7, 2008

Pojok Buku

(Menumbuhkan Masyarakat Membaca di NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa


Tulisan P. John Dami Mukese, SVD dalam buku 15 Tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur tentang “Mendongkrak Budaya Membaca di NTT” patut mendapat apreasiasi oleh segenap warga NTT. Dalam buku itu, Pater Dami telah memetakan secara jelas mengapa budaya membaca itu belum tumbuh dan mengakar di bumi NTT ini. Selain mengemukakan problem mentalitas yang lahir dari dalam diri seperti malas membaca dan rendahnya minat baca orang NTT, faktor-faktor luar seperti pengaruh alat telekomunikasi, sistem pendidikan dan persoalan ekonomi menjadi titik perhatian tulisan itu. Tulisan mengenai pojok buku ini tidak berusaha mengaburkan penjelasan artikel dalam buku memori Pos Kupang itu. Saya ingin menyambung apa yang telah dimulai dalam tulisan itu dengan beberapa catatan kecil mengenai ‘budaya’ membaca di NTT.
Judul tulisan ini terinspirasi oleh deretan kata-kata yang terpampang di dinding toko buku Penerbit Ledalero di kompleks STFK Ledalero Maumere. Pada dinding toko buku itu tertulis kata-kata ini Book Corner – Meeting Point (Pojok Buku – Titik Pertemuan). Di area toko buku itu tersedia buku-buku yang bisa dibaca dan dibeli, sekaligus sederetan kursi untuk diskusi dan bincang-bincang. Posisi toko buku itu memang ada di pojok kompleks, namun syukur bahwa ia tidak terpojok dari lalu lintas intelektual para mahasiswa STFK Ledalero dan pencinta kebijaksanaan lainnya. Berada di pojok namun tidak terpojok adalah aliran budaya cinta buku, budaya membaca, budaya diskusi yang sedang dihidupi oleh seminaris dan para mahasiswa STFK Ledalero saat ini.
Gambaran tentang pojok buku di atas secara lebih luas mesti menjadi bagian dari upaya mendongkrak budaya membaca di NTT. Senada dengan apa yang ditulis Pater Dami Mukese, hemat saya upaya kita orang NTT untuk mendongkrak budaya baca tidak lain adalah tidak memojokkan buku tetapi menjadikannya sebagai salah satu pojok yang berarti dari rumah dan keluarga kita. Ada anggapan bahwa membeli buku dan membaca buku adalah urusan kaum intelektual, para akademisi dan mahasiswa dan bukan menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat umum. Anggapan ini ditunjang oleh asumsi bahwa membaca adalah kegiatan intelektual yang cocok dilakukan oleh kaum intelektual. Anggapan yang keliru ini terlanjur menjadi bagian dari konsep masyarakat kita jika kepada mereka diminta untuk membiasakan diri membaca buku, majalah atau koran. Padahal membaca buku adalah kebiasaan positif yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Persoalan yang selalu diangkat berkaitan dengan upaya membumikan budaya membaca adalah ketiadaan uang untuk membeli buku. Padahal alasan seperti ini seringkali terkesan dibuat-buat. Pater Dami mempertanyakan hal itu dengan menulis: “Kalau masalah ekonomi, khususnya ketiadaan uang menjadi masalah utama orang tidak membeli buku, majalah atau koran, mengapa orang NTT bisa mengeluarkan uang banyak untuk hal-hal yang bukan kebutuhan pokok setara makan, perumahan dan pakaian, semisal rokok minum dan bahkan judi? (15 Tahun Pos Kupang: 260).

Reading Society
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun swasta untuk mendongkrak minat baca dan menumbuhkan budaya baca yang tujuannya adalah membentuk masyarakat baca (reading society). Pemerintah dengan perpustakaan-perpustakaan daerah, perpustakaan keliling berupaya meningkatkan melek huruf masyarakat dan menyediakan pengetahuan bagi masyarakat. Lembaga-lembaga swasta semisal LSM pun membuka taman bacaan masyarakat, taman bacaan anak untuk mendongkrak budaya membaca. Di sekolah-sekolah pun hampir selalu ada perpustakaan sekolah. Ini berarti sarana untuk membaca telah disiapkan walau masih ada kekurangan di sana sini. Namun, mengapa membaca belum menjadi budaya kita orang NTT?
Coba kita periksa, berapa banyak orang yang mampir di perpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah/kampus setiap hari? Berapa jam seminggu dipakai untuk membaca buku? Berapa banyak uang dihabiskan untuk membeli buku-buku bacaan? Berapa banyak koleksi buku-buku bacaan kita? Apakah kita mempunyai perpustakaan pribadi?
Saat masih sebagai wartawan Flores Pos, saya mengadakan riset sederhana di sebuah perpustakaan umum di Ende. Dari data rekapan jumlah pengunjung pada bulan Desember 2006, jumlah pengunjung laki-laki 375 orang, perempuan 1342 orang. Pengunjung pada pagi hari 757 orang dan sore hari 964 orang. Total pengunjung selama bulan Desember 1721 orang. Pelajar SD 179 orang, SMP 200, SMA 325, mahasiswa 1013, dosen tidak ada, guru 1 orang, umum 3 orang. Terlihat jelas bahwa minat baca kaum perempuan lebih tinggi dibanding lelaki. Yang menyedihkan, tidak ada dosen yang baca dan hanya seorang guru serta 3 masyarakat umum. Mungkin saja merkea mempunyai perpustakaan pribadi di rumah masing-masing. Tetapi jika tidak, maka hal ini patut disesalkan. Padahal, membaca adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup seorang dosen atau guru. Ini baru di Ende, belum lagi di daerah lainnya.
Taufiq Ismail pada tahun 2000 mengungkapkan data yang menyedihkan mengenai perbandingan jumlah buku yang wajib dibaca dan dibahas oleh siswa SMA di 13 negara. Datanya sebagai berikut: USA 32 judul, Belanda 30, Prancis 30, Jerman 22, Jepang 22, Swiss 15, Kanada 13, Rusia 12, Brunei 7, Malaysia 6, Singapura 6, Thailand 5, Indonesia 0 judul. Data terbaru dari Taufiq Ismail tahun 2003, mengatakan bahwa siswa SMU di Malaysia diwajibkan membaca novel 12 judul, cerita pendek 18, drama 8, puisi modern 18, puisi tradisional 18, prosa tradisional 12. Di Indonesia? Sangat memprihatinkan. Kalau dulu Malaysia berguru pada bangsa kita, sekarang mereka lebih maju dan berkembang dari pada kita.
Kurangnya minat baca dalam masyarakat kita membuat minat menulis menjadi tidak tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Indonesia kekurangan penulis, sangat minim buku yang diterbitkan. Menurut Hikmat Kurnia dari Agromedia group, bangsa yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini, ternyata hanya mampu menerbitkan buku kurang dari 10.000 judul buku per-tahun. Itu pun mayoritas terjemahan dari buku-buku luar negeri. Padahal negara-negara ASEAN kira-kira 2-4 kalinya. Jangan lihat pula jumlah penerbitan buku-buku di negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat atau negara-negara di Eropa. Mereka sepertinya ada di langit dan kita masih jongkok di bumi.

Budaya Nonton
Membaca buku memang belum membudaya di kalangan masyarakat kita. Media informasi seperti televisi lebih populer ketimbang buku. Dalam menyerap informasi, masyarakat cenderung memilih mendengar dan menonton daripada membaca. Budaya mendengar dan menonton berkembang begitu pesat. Apalagi media informasi elektronik memudahkan hal itu. Dengan itu, televisi menduduki posisi sentral dalam rumah-rumah kita. Ia ada di tempat yang strategis, yang mudah dipantau dari beberapa posisi. Akibatnya, buku-buku pun dipojokkan. Masih bagus kalau dipojokkan dan menjadi pojok buku yang bisa dimanfaatkan untuk membaca kapan saja. Tragis jika pergeseran itu mempengaruhi sikap dan kebiasaan kita untuk memojokkan buku dan menempatkannya pada skala prioritas nilai yang kesekian.
Budaya nonton sangat dominan dalam masyarakat kita saat ini. Tak perlu tunggu suatu penelitian ilmiah, lihat saja rumah kita dan rumah-rumah tetangga kita. Berapa jam televisi menyala dalam sehari? Berapa jam anggota keluarga kita melotot di depan televisi? Berapa banyak orang yang kecanduan sinteron, dan acara-acara tertentu yang ditawarkan televisi?
Seorang pakar pendidikan mengenai efek samping tayangan televisi terhadap otak, Jane M. Healy Ph.D, dalam jurnal AAP News mengemukakan bahwa “Higher levels of television viewing correlate with lowered academic performance aspecially reading scores. Maksudnya, kuatnya anak memelototi televisi berhubungan erat dengan merosotnya prestasi akademik anak, khususnya nilai membaca. Salah satu sebabnya, anak yang terbiasa menonton televisi, otaknya cenderung ‘banyak istirahat’. Untuk menikmati tayangan televisi tidak diperlukan usaha yang sungguh-sungguh, sehingga otak anak terlatih untuk malas. Gambar yang setiap detik berganti menjadikan otak anak tidak sabar dengan berbagai materi yang membutuhkan proses dalam otak.
Menurut M Fauzi Adhim, satu pesan yang jelas dari televisi adalah otak anak-anak dibuat tidak terbiasa berpikir, dan membuat anak kelebihan bahan yang tidak seharusnya diterima. Ini menjadikan kendali otak anak lemah dan pada waktu yang sama otak anak mengalami kelelahan sehingga tidak siap untuk belajar. Dalam kemampuan membaca, anak-anak Sekolah dasar (SD) di Indonesia menempati urutan ke-30 dari 31 negara yang diteliti oleh International Reading Achievment (IRA) dan urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti oleh International Education Achievment (IEA).
Membaca buku bisa mengubah pola pikir seseorang untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan. Membaca buku juga bagian dari proses pendidikan bagi pembacanya. Hanya saja, sebagian besar kegiatan membaca selama ini kerap diterima sebagai kewajiban atau keharusan. Hal itu dikatakan pakar pendidikan Arief Rachman. Menurutnya, orang tua dan guru harus terlibat aktif menumbuhkan minat baca di kalangan anak dan siswa. Jangan biarkan anak menonton tayangan televisi yang tidak jelas. Menyalahkan anak dan siswa saja tentu tidak bijak, apabila orang tua dan guru tidak memberikan teladan. Sangat indah ketika kita menyaksikan anak-anak sejak dini sudah dibiasakan untuk membaca, sebagaimana bocah-bocah kecil yang telaten ‘mengunyah’ Pos Kupang dalam kover buku 15 Tahun Pos Kupang itu.

Membaca dan Menulis
Membaca buku erat kaitannya dengan menulis. Keduanya adalah elemen yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Menulis tanpa membaca ibarat orang buta yang sedang berjalan. Artinya, dalam proses penulisan, seseorang akan mengalami banyak kesulitan, tertatih-tatih dan sekali berjalan lantas berhenti karena tidak tahu tujuannya. Sementara itu, membaca tanpa menulis ibarat orang pincang. Pengetahuan yang kita miliki tidak dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang. Karena ilmu pengetahuan yang tidak dikembangkan dan disampaikan kepada orang lain secara lisan atau tulisan terasa kurang memberikan makna dalam kehidupan.
Membaca tidak lain adalah supplement food atau energy drink bagi para penulis. Kalau ada penulis yang mengaku bisa produktif tanpa membaca sama sekali, hemat saya ada dua kemungkinan. Pertama, ia memang sudah mencapai tahap ‘manusia guru’ atau manusia setengah dewa. Kedua, ia berbohong, dan ini rupanya lebih masuk akal. Menulis bisa gampang kalau suplai informasi ke otak dan batin kita memadai. Proses pemasukan informasi itu berasal terutama dari aktivitas membaca. Membaca berarti memberi makna. Dengan membaca kita menafsirkan teks sekaligus belajar memahami konteks. Kita mencoba memahami apa yang tersurat sekaligus apa yang tersirat. Ini menjadi bagian pemulihan energi untuk penulis.
Buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku, kita menimba banyak manfaat. Membaca itu memperluas wawasan dan memperkaya perspektif kita, memperoleh banyak solusi atas berbagai masalah yang dihadapi, mengatasi trauma atau frustrasi, memadukan kerja pikiran sadar dan tidak sadar. Selain itu, membaca berarti mengolahragakan pikiran dan menimba kesegaran baru.
Sudah saatnya budaya membaca itu menjadi budaya kita. Anak-anak dilatih untuk membaca dan mencintai bacaan sejak dini. Perpustakaan yang ada di mana-mana bukanlah museum bagi buku-buku bacaan. Itu universitas rakyat, seperti moto perpustakaan umum di daerah-daerah. Ada banyak buku menarik dan berguna di perpustakaan-perpustakaan kita yang ada saat ini. Namun, tak ada artinya jika tidak dibaca. Benar kata-kata Joseph Brodsky, pengarang asal Rusia: “Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membaca buku.” Bahkan ada anekdot satir untuk kita: “Kalau orang Jepang tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur.”
Masyarakat membaca (reading society) bisa dimulai dari kebiasaan membaca. Pojok buku adalah salah satu alternatif menumbuhkan budaya membaca itu. Jangan lagi kita memojokkan buku dan membuat buku-buku tak berarti karena terpojok terus dalam skala prioritas kita. Sudah saatnya masyarakat NTT bangkit dan membumikan budaya membaca. Kiranya tahun 2008 ini dapat menjadi tahun membaca untuk seluruh masyarakat NTT.


Isidorus Lilijawa adalah sarjana filsafat tamatan STFK Ledalero. Pernah menjadi staf Media Center Unwira Kupang (2005/2006) dan mantan wartawan Dian/Flores Pos Ende (2006/2007), anggota FAN (Forum Akademia NTT), penulis lepas berdomisili di Kupang.

No comments: