Monday, April 7, 2008

Mendengarkan Kota

(Catatan Kecil Untuk City Council)
Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil


Pada penghujung tahun 2007 lalu, Walikota Kupang melantik Badan Pengurus City Council Kota Kupang. Membentuk City Council merupakan sebuah terobosan Pemkot Kupang agar kota Kupang benar-benar hadir sebagai Kota KASIH. Pembentukannya tentu tidak tanpa alasan yang mendesak. City Council berperan menampung aspirasi masyarakat, membahas dan menyampaikannya kepada Walikota. Selanjutnya, City Council juga menangani berbagai persoalan perkotaan seperti pertamanan, tata ruang, air bersih, sampah, ruang terbuka hijau.
Pembentukan City Council ini di satu pihak dinilai menjawabi kebutuhan masyarakat Kota Kupang yang mulai sumpek dengan situasi kota. Namun, di sisi lain menimbulkan beragam pertanyaan. Apakah City Council sanggup membawa perubahan di Kota Kupang? Sejauh manakah City Council mengatasi aneka problem urban yang sedang merambah Kota Kupang?
Pembentukan City Council di satu pihak tentu tidak dapat dilepaspisahkan dari kebutuhan masyarakat Kota Kupang. Kebutuhan itu sejalan dengan makin berkembangnya Kota Kupang sebagai sebuah metropolis. Menurut Lewis Mumford, metropolis merupakan kata jadian Yunani: meter dan polis yaitu ibu kota. Lalu metropolis direntang pengertiannya menjadi “Major city center and its environs”. Metropolis secara historis berbeda dari conurbasi atau megapolis (istilah Jean Gottmann), karena megapolis adalah gabungan metropolis (I. Bambang Sugiharto: Wajah Baru Etika & Agama, 2000 hal. 210).
Pembentukan metropolis berkaitan dengan perkembangan industri. Industri membutuhkan banyak tenaga kerja. Karena daerah tidak bisa memenuhi pangsa tenaga kerja yang memadai, maka mengalirlah manusia dari desa ke kota. Ledakan tenaga kerja dan meningkatnya teknologi mengakibatkan membengkaknya jaringan organisasi, sekaligus meningkatkan produktivitas. Dengan itu kawasan kota menjadi luas dan taraf kehidupan pun naik. Kota-kota menjadi pusat kegiatan yang berinteraksi dengan wilayah pinggiran. Kota menjadi metropolis. Dengan status sebagai ibukota Provinsi, kota Kupang menjadi setaraf dengan ibu kota berbagai provinsi di Indonesia, yang dapat menjadi barometer perkembangan kota-kota kabupaten lain di NTT. Namun, apa artinya metropolis tanpa penataan kota yang terarah dan jelas?

Persoalan Urban
Secara historis ada keyakinan bahwa bentuk purba kota muncul antara tahun 4000 dan 3000 SM di wilayah Mesopotamia. Perkembangan kota ditandai oleh pola hidup sedenter yang mana masyarakat saat itu sudah mulai menerapkan pola hidup bertani. Perkembangan kota di dunia Barat baru muncul kemudian. Dan kota menjadi simbol kebebasan dan kreativitas, pusat budaya, ekonomi dan teknologi. Kota-kota di Barat merupakan simbol kuat upaya manusia membebaskan diri dari determinasi kuasa alam.
Perkembangan kota di daerah kita tentu tidak terlepas dari pengaruh pertumbuhan kota yang sudah mulai di dunia Timur maupun dunia Barat. Secara idealistis, metropolis adalah “peradaban”, dengan nilai budaya dan kesopanannya. Secara sosial, kota adalah kesatuan pemukiman yang ditandai oleh kesatuan bangunan yang dihuni oleh penduduk nonagraris. Sistem kesatuan bangunan dikelompokkan menjadi wilayah kegiatan ekonomis, kebudayaan, pemerintahan maupun ilmu. Namun konotasi paling lazim adalah bahwa metropolis berarti “krisis”, sehingga secara sinis orang suka menyebutnya dengan miseropolis, kota penderitaan. Pada umumnya krisis itu menyangkut kepadatan penduduk, kesehatan, perumahan, pekerjaan, maupun kriminalitas.
Aneka persoalan urban juga terjadi di Kota Kupang. Sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan, Kota Kupang menjadi tujuan para pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di NTT ini untuk menuntut ilmu pengetahuan. Kehadiran para pelajar dan mahasiswa ini membutuhkan ruang untuk hidupnya. Maka kebutuhan akan rumah kos tak terelakkan. Namun, sayang bahwa hidup di kos-kosan yang sering kurang terkontrol oleh pemilik kos justru menimbulkan persoalan baru seperti kehamilan di luar nikah, pergaulan bebas dan disiplin belajar yang menurun.
Kota Kupang juga menjadi pusat ekonomi. Banyak orang mempertaruhkan hidupnya dengan mengadu peruntungan di Kota Kupang. Persaingan ekonomi yang keras dan tidak sehat kadang mematikan geliat golongan ekonomi kecil dan sebaliknya semakin mengokohkan kekuasaan golongan ekonomi menengah ke atas. Efeknya, jurang antara kaya dan miskin kian terbuka lebar; lahirnya pengangguran; timbulnya kriminalitas (memalak, menodong, mencuri, merampok). Masalah urban lainnya adalah kepadatan penduduk dan perumahan. Membanjirnya kaum migran dari desa ke kota pada gilirannya menuntut rumah yang sehat dan murah. Namun, tak dipungkiri bahwa oleh keterbatasan modal dan belum ada perhatian serius dari pemerintah, kelompok-kelompok migran ini membentuk perkampungan yang kumuh dan tidak nyaman, menyerobot ruang terbuka hijau untuk membangun rumah-rumah sederhana.
Oleh tuntutan hidup yang begitu tinggi, di Kota Kupang kita menyaksikan menggeliatnya dunia malam. Para pekerja seks komersial menjajakan tubuhnya di rumah-rumah penduduk dan membuat penawaran di keremangan jalan-jalan kota. Pekerjaan pun menjadi masalah krusial. Banyak angkatan kerja yang mengadu nasib di Kupang. Kemelut terjadi dalam hal sempitnya lapangan kerja, ketiadaan skill, rendahnya pendidikan. Toh setiap tahun sekian banyak orang mengalir ke Kupang. Jika ini tidak disiasati maka Kupang bakal menjadi kota dengan tumpukan manusia yang tak mempunyia pekerjaan. Persoalan lainnya adalah kekurangan air bersih, air yang tak layak diminum karena mengandung bakteri ecoli, ruang-ruang kota yang gundul karena penataan taman yang kurang jelas, menumpuknya sampah di sembarang tempat dan membusuknya kotoran yang tersumbat di saluran-saluran air.
Kota sebagai metropolis saat ini memang berwajah ganda. Keindahan itu kumuh, peradaban itu biadab, modernitas yang nyaman itu serentak juga mengancam. Cukup menarik bila kita melacak faktor-faktor penyebab di balik gejala-gejala itu. Ada banyak faktor, namun yang cukup mendasar adalah logika pertumbuhan dari perubahan kota. Mengapa logika? Karena pertumbuhan kota bukan semata-mata proses alamiah, melainkan sebagian merupakan produk strategi dan kebijakan para teknokrat dan pemerintahan, dalam kaitannya dengan kepentingan nasional dan internasional. Kebijakan pemerintah yang memberi izin kepada para investor untuk membuka usaha di ruang terbuka hijau tentu akan mempersempit paru-paru kota. Rancangan tata ruang kota yang tidak berdasarkan Amdal akan menyebabkan daerah kota rawan bencana banjir, longsor, dll. Ini ditambah dengan kenyataan bahwa setiap metropolis di dunia ternyata berkembang dengan pola yang kurang lebih sama. Masalah-masalah urban di Jakarta dalam banyak hal mirip dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Calcutta, Tokyo, Paris, London, Caracas dan sebagainya. Dan dalam hal-hal tertentu, permasalahan itu dialami juga oleh Kota Kupang.

Partisipasi Warga
Saya tidak yakin bahwa persoalan-persoalan di Kota Kupang akan beres diselesaikan oleh City Council tanpa partisipasi warga kota. Jika City Council itu menjadi bagian dari partisipasi warga kota, yang di dalamnya warga juga terlibat, maka harapan untuk menjadikan Kupang sebagai kota KASIH tentu tidak bertepuk sebelah tangan. Ini artinya, mustahil mengatasi kompleksitas persoalan Kota Kupang tanpa melibatkan warga masyarakat. Yang menantang justru komposisi kepengurusan City Council yang adalah tokoh-tokoh di Kota Kupang. Apakah dengan ketokohan mereka masalah Kota Kupang dapat diatasi?
Hasil studi yang dilakukan Institute Ecosoc sepanjang tahun 2006-2007 di Kota Jakarta misalnya menunjukkan adanya kesenjangan sudut pandang antara warga kota dan pemerintah kota, terutama dalam menilai persoalan kota terkait peran warga, hak kaum miskin dan sektor informal (Kompas, 8/8/2007). Pemerintah kota merasa sudah menjalankan semua prosedur peran serta warga sesuai dengan undang-undang. Namun jajak pendapat terhadap 505 warga Jakarta menemukan beberapa hal: 75 persen warga mengaku tidak tahu tentang informasi terkait peran serta warga; 53 persen warga menilai pemerintah hanya melibatkan kelompok tertentu (konsultan) dalam pengambilan keputusan menyangkut kota; 26 persen warga mengaku prosedur peran serta warga tidak sepenuhnya dijalankan; 19 persen warga melihat keterbatasan kapasitas masyarakat untuk dapat berperan serta dan 9 persen melihat warga sendiri apatis terhadap perannya atas kota.
Bagaimana dengan peran serta warga di Kota Kupang? Walau belum ada penjajakan tentang hal itu (dan sebaiknya dibuat jajak pendapat), pengalaman warga Jakarta bisa menjadi cermin bagi pemerintah kota Kupang untuk lebih serius memperhatikan partisipasi warga kota dalam mengurus kotanya sendiri. City Council memang perlu, namun ia tidak bisa berbuat banyak tanpa melibatkan partisipasi warga. Pemerintah kota sebaiknya tidak berpuas diri dengan adanya City Council karena kompleksitas problem perkotaan mustahil terselesaikan hanya oleh lembaga ini. Dan City Council tidak harus memangkas partisipasi dan peran serta masyarakat biasa.
Dari pengalaman di atas, terlihat bahwa praktik peran serta warga masih pada level prosedural. Peran serta yang genuine dan substansial belum terjadi. Bila pola seperti ini dijalankan di daerah kita, maka beban pemerintah dalam membangun kota akan kian berat karena kota akan semakin ditinggalkan warganya. Warga tak merasa memiliki kota. Karena itu mereka tak punya kepentingan untuk membelanya. Padahal sumber daya dan kapasitas pemerintah dalam membenahi kota kian terbatas, sementara masalah kota semakin kompleks.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah kota Kupang ke depan? Jika kita masih mengakui ide kota sebagai ruang membangun peradaban, sementara jantung peradaban yang sesungguhnya adalah warga, solusi atas persoalan kota seharusnya bisa ditemukan pada warga kota Kupang sendiri. Tidak cukup pada para konsultan kota dan City Council. Kini kecerdasan masyarakat kian meningkat dan tuntutan akan peran warga dalam pengambilan keputusan menyangkut urusan publik kian tak terhindarkan. Sudah saatnya pemerintah kota Kupang mendengarkan kotanya. Mendengarkan kota berarti mendengarkan warganya, bukan hanya para konsultannya dan bukan juga cuma para pengurus City Council.
Metropolis adalah kota harapan, sebagaimana Kupang adalah kota harapan bagi warga NTT dan luar NTT yang ingin bertaruh hidup di sana. Orang-orang berbondong-bondong memasukinya dengan harapan berbunga-bunga. Kepahitan dan kekumuhan kehidupan urban tidak pernah mengurangi niat orang untuk mencari peruntungan di sana. Metropolis demikian memikat dan membelenggu, sehingga orang pun sulit mundur. Dengan istilah Rudolf Otto, barangkali ini bisa disebut Mysterium Fascinans juga. Orang berkeyakinan bahwa segalanya bisa terjadi di kota metropolitan. Hidup manusia bisa dirancang dan disulap. Segala kepahitan dan derita bisa ditanggung karena harapan untuk berubah selalu ada. Tugas pengelola kota adalah mengamankan harapan orang-orang itu agar tetap terjaga. Dan ini hanya bisa dibuat melalui program pembangunan perkotaan yang nyata.
City Council telah diberi kepercayaan untuk mewujudkan kota Kupang sebagai Kota KASIH. Kepercayaan itu tentu nihil tanpa memberi kepercayaan serupa kepada segenap warga Kota Kupang untuk mengurus kotanya. Ada banyak pekerjaan rumah yang mesti dibereskan City Council. Tidak saja soal sampah dan taman kota, juga bukan hanya ruang terbuka hijau dan izin mendirikan bangunan. Lebih dari itu, yang utama adalah bersama seluruh warga Kupang mewujudkan kota Kupang sebagai kota peradaban, kota yang dihuni oleh orang-orang beradab. Kiranya di tahun yang baru tugas membangun peradaban ini kian terarah dan terealisir.



Dimuat di Pos Kupang, Januari 2008

No comments: