Monday, April 7, 2008

Pariwisata NTT Jelang VIY 2008

Oleh Isidorus Lilijawa


Tahun 2008 adalah tahun yang spesial bagi dunia pariwisata di Indonesia. Pemerintah telah menetapkan tahun ini menjadi tahun kunjungan wisata atau Visit Indonesia Year (VIY) 2008. Artikulasi dari momen ini adalah membangkitkan kembali kelesuan pariwisata yang dialami di negeri ini pasca berbagai tagedi seperti bom Bali, bom Mariot, berbagai kerusuhan di tanah air, bencana alam, dan sebagainya. Untuk konteks NTT misalnya, kelesuan pariwisata akibat penerapan status Siaga V daerah Timor Barat. VIY 2008 adalah kesempatan untuk menghidupkan kembali potensi-potensi wisata dan berbaga kebijakan menyangkut pariwisata.
Betapa tidak, pariwisata sudah diakui sebagai industri terbesar abad ini, dilihat dari berbagai indikator seperti sumbangan terhadap pendapatan dunia dan penyerapan tenaga kerja. Karena berbagai karakteristiknya itu, pariwisata telah menjadi sektor andalan dalam pembangunan ekonomi berbagai negara dan teritori, seperti di kawasan Pasifik dan Kepulauan Karibia. Namun, pariwisata bukan hanya menyangkut urusan ekonomi. Sebagai faktor yang multisektoral, pariwisata tidak berada dalam ruang hampa, melainkan ada dalam suatu sistem yang besar, yang komponennya saling terkait, dengan berbagai aspeknya, termasuk aspek sosial, budaya, lingkungan, politik, keamanan dan seterusnya. Tahun-tahun belakangan ini pariwisata bahkan menjadi salah satu prime-mover dalam perubahan sosial budaya di berbagai daerah, terutama daerah-daerah tujuan wisata (DTW). Pertanyaan kita, apakah NTT sudah merespon VIY 2008 ini? Atau malah masih ’suam-suam kuku’?
Provinsi NTT dikenal dan menjadi terkenal juga karena potensi wisata yang dimilikinya. Yusuf L Henuk, rekan Forum Akademia NTT (FAN) yang saat ini sedang berada di Mesir, dalam milis FAN membanggakan NTT di hadapan rekan-rekannya dari berbagai negara dengan mengatakan bahwa di Mesir ada Piramid yang dibuat manusia, tetapi di NTT ada Komodo dan Danau Triwarna Kelimutu yang dibuat oleh Tuhan sendiri. Inilah salah satu kebanggan kita orang NTT yang daerahnya kaya potensi wisata.
Pemerintah melalui Dinas Pariwisata telah merancang berbagai program wisata, memperhatikan potensi-potensi wisata dan menyediakan berbagai sarana-prasarana penunjang lainnya. Tujuannya tidak lain agar pengembangan pariwisata bisa menjadi prime-mover dalam sektor kehidupan masyarakat NTT, khusunya DTW yang ada di berbagai kabupaten. Pariwisata mempunyai keterkaitan ekonomi yang sangat erat dengan banyak sektor melalui apa yang disebut trickle-down effect dan multiplier effect. Karena itulah, Dinas Pariwisata setiap kabupaten telah menelurkan banyak program dan menata potensi-potensi wisata itu menjadi atraktif bagi pengunjungnya.
Berbagai potensi wisata seperti Danau Triwarna Kelimutu di Ende, Varanus Komodoensis di Manggarai Barat, Taman Laut di Riung Ngada, Pasir Putih di Alor, dan berbagai potensi wisata di setiap kabupaten adalah daya tarik wisata yang dimiliki NTT. Tak heran bila setiap tahun animo wisatawan kian tinggi mengunjungi tempat-tempat wisata itu. Potensi dan keindahan alam semacam ini memang membanggakan masyarakat NTT itu sendiri. Pariwisata menjadi brand-image di mana orang bisa mengenal NTT. Bicara tentang NTT, tentu tidak terlepas dari bicara tentang pariwisatanya.
Namun, keberadaan yang terberi ini seringkali menjadi kebanggaan hampa tatkala tidak ada upaya kultivasi dan pengelolaan dari berbagai pihak agar DTW di setiap daerah itu menjadi lebih baik, lebih berkembang dan lebih berdaya guna. Ini yang menjadi masalah utama dalam mengembangkan pariwisata di NTT. Belum ada perhatian yang purna untuk pariwisata. Paling-paling ketika ada ritual tertentu, seperti lomba layar internasional, ada kunjungan tamu-tamu pemerintahan dari Jakarta, pariwisata itu bisa sedikit menggeliat.

Membangun Citra
Setiap DTW mempunyai citra (image) tertentu, yaitu mental maps seseorang terhadap suatu destinasi yang mengandung keyakinan, kesan, dan persepsi. Citra yang terbentuk di pasar merupakan kombinasi antara berbagai faktor yang ada pada destinasi bersangkutan (seperti cuaca, pemandangan alam, keamanan, kesehatan dan sanitasi, keramahtamahan, dan lain-lain). Di lain pihak, informasi yang diterima oleh calon wisatawan dari berbagai sumber atau dari fantasinya sendiri. Pencitraan ini sangat penting karena pariwisata berkaitan dengan simbol dan makna.
Citra juga bisa memberi kesan bahwa suatu destinasi akan memberikan suatu atraksi yang berbeda dengan destinasi lainnya, sehingga menambah keinginan untuk mengunjungi destinasi tersebut. Destinasi selalu berusaha menguatkan brand-image-nya yang positif di mata pasar internasional. Mereka selalu mempromosikan image tersebut dengan slogan atau ikon yang langsung dapat merepresentasikan atau mengasosiasikan destinasi tersebut. Beberapa contoh, Singapura: The heart of Asia; Malaysia: Truly Asia; Bali: Paradise; Indonesia: ultimate in diversity. NTT juga bisa memiliki slogan misalnya amazing land. Mengapa tidak?
Membangun citra ini tidak mudah. NTT sebagai salah satu DTW di Indonesia harus berbenah untuk membangun citranya sebagai tempat wisata yang menarik dan bagus. Pertanyaannya, apa yang sudah Pemerintah NTT buat untuk membangun citra NTT selaku DTW? Apa yang sudah orang NTT buat untuk membangun citra tanah kebanggaannya ini? Hemat saya, citra NTT sebagai DTW bisa rusak karena sebagai tempat wisata, ia tidak memiliki daya nilai jual tinggi untuk menarik minat para calon wisatawan. Artinya, sebagai faktor penarik (pull factors), tiga komponen utama suatu destinasi yakni wisatawan, wilayah (objek dan atraksi) dan informasi mengenai wilayah belum dikelola dengan baik.
Faktor penarik itu terkait dengan ketersediaan fasilitas yang diperlukan oleh wisatawan. Ada enam kelompok besar kebutuhan yang harus disediakan oleh suatu DTW yakni transportasi yang baik, akomodasi yang layak, tersedianya makanan yang mencukupi, atraksi menarik (rekreasi, pentas budaya, entertainment), tersedianya barang-barang harian. Bila hal-hal ini dikonfrontasikan dengan kondisi DTW di NTT, muncul beberapa pertanyaan bagi kita. Apakah faktor-faktor di atas sudah terpenuhi sehingga bisa membangun citra NTT sebagai DTW di Indonesia? Kita harus realistis. Di beberapa DTW di NTT ini soal transportasi saja sudah sulit. Keadaan jalan rusak parah, kendaraan terbatas. Belum lagi fasilitas lain seperti penerangan (listrik mungkin menyala hanya 12 jam pada malam hari), wartel, internet belum ada. Selain itu, adakah tersedia makanan khas setiap daerah, warung-warung makan bagi para wisatawan, tempat jualan sovenir khas DTW setempat, kain tenun, sanggar seni. Soal kesehatan lingkungan; apakah akomodasi bersih, lingkungan bersih. Apakah toilet yang bersih juga tersedia?
Inilah sarana dan prasarana penunjang wisata yang perlu dibenahi. Pihak-pihak terkait dalam hal ini Dinas Pariwisata mesti bekerja lebih serius. Gencarnya promosi keluar tak ada maknanya jika kita tidak menyiapkan tempat yang layak bagi para wisatawan itu. Masyarakat NTT, para pelaku wisata, LSM peduli wisata, kelompok sadar wisata yang ada, elemen masyarakat lainnya perlu memperhatikan hal-hal ini. Menjaga citra itu lebih sulit daripada membangunnya. Dan untuk kita tentu lebih sulit karena membangun citra saja masih sulit apalagi menjaganya. Namun, kita mesti tetap berjuang agar potensi wisata NTT semakin berkembang dan terkenal.

Wisata Budaya
Saya mulai dengan sebuah pertanyaan ini. Apa yang kita suguhkan kepada para peserta lomba layar internasional yang menyinggahi beberapa DTW di NTT setiap tahun? Pantai Kupang? Taman laut? Komodo? Pasir Putih? Toh yang seperti itu bisa juga mereka jumpai di tempat lain. Apa suguhan khas kita? Pada tataran ini sudah saatnya kita di NTT mengembangkan pariwisata budaya selain pariwisata alam. Pariwisata budaya melibatkan masyarakat lokal secara lebih luas dan lebih intensif, karena ’kebudayaan’ yang menjadi daya tarik utama pariwisata melekat pada masyarakat itu sendiri.
Pengembangan pariwisata di NTT bisa memadukan dua paket ini; wisata alam dan wisata budaya. Kekayaan budaya lokal semestinya diangkat ke permukaan untuk dihidupkan lagi. Di NTT ini ada begitu banyak tarian daerah, atraksi budaya, simbol-simbol budaya, perlengkapan budaya di antaranya pakaian adat dan tenunan tradisional. Paket-paket ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan karena salah satu motivasi yang mendorong perjalanan seorang wisatawan adalah motivasi budaya (cultural motivation). Dengan motivasi ini para wisatawan ingin mengetahui budaya, adat, tradisi, dan kesenian daerah lain. Termasuk juga ketertarikan pada berbagai objek tinggalan budaya (monumen bersejarah, misalnya).
Pengembangan wisata budaya ini bisa menjadi titik perhatian pemerintah dan masyarakat NTT sendiri. Sebagai contoh, kemajuan wisata Bali dipengaruhi juga oleh tersedianya paket wisata budaya ini. Masyarakat Bali menyuguhkan budaya khas Bali kepada para wisatawan yang datang ke daerah itu. Pengalaman saya saat menikmati wisata Borobudur juga menegaskan pentingnya paket wisata budaya dikembangkan di setiap DTW di NTT ini. Para pengunjung Borobudur tidak saja menikmati indahnya salah satu keajaiban dunia itu, tetapi disuguhkan aneka paket wisata budaya seperti musik gamelan, berbagai kerajinan tangan, museum sejarah, sovenir khas Borobudur. Pengelolaan berbagai DTW di NTT memang belum bisa mengejar profesionalisme pengelolaan DTW Borobudur. Namun hemat saya kita mesti terbuka untuk belajar dari kesuksesan pengelolaan pariwisata di tempat lain. Mengapa kita kok berjalan-jalan di tempat saja?
Berbicara tentang pariwisata sebagai prime-mover pembangunan, maka dimensi ekonomis pariwisata menjadi titik perhatian. Pariwisata mempunyai energi dobrak yang luar biasa yang mampu membuat masyarakat mengalami metamorfose dalam berbagai bidang kehidupan. Banyak kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha. Apakah kita di NTT sudah merasakan nilai guna dari kehadikran berbagai DTW di NTT ini? Sangat disayangkan jika nilai jual DTW di berbagai daerah di NTT ini menjadi komoditi bagi pihak-pihak tertentu untuk mendulang rupiah dan dolar, dan bukan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Semacam pertanyaan refleksi untuk kita; apakah potensi wisata di NTT telah menebalkan dompet masyarakat NTT? Apakah ada peluang kerja yang tercipta dan dimanfaatkan oleh warga NTT? Hemat saya, apatisme masyarakat dalam mengembangkan pariwisata di NTT bisa dipicu juga oleh pengelolaan wisata yang tidak profesional. Dalam arti, nilai guna dan keuntungan potensi wisata itu justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu atau pihak-pihak tertentu dan bukan oleh masyarakat NTT sendiri. Kalau kondisinya memang seperti ini, maka berbagai DTW di NTT tidak lain adalah sapi perah. Susunya dinikmati oleh orang di daerah lain. Mereka semakin gemuk dan bergizi sedangkan warga lokal di DTW bersangkutan kian kurus.
Masih tentang lomba layar internasional yang menyinggahi beberapa DTW di NTT, hemat saya ini adalah peluang wisata yang bagus bagi masyarakat NTT. Tinggal saja bagaimana masyarakat, pengelola wisata dan pemerintah menangkap peluang ini. Kegiatan tahunan ini perlu disiasati sehingga menjadi ajang pameran wisata NTT. Untuk itu, kemasan-kemasan wisata budaya seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya perlu dipersiapkan. Kegiatan ini mesti membuka perluang bagi masyarakat lokal dengan kearifan lokalnya untuk berbenah. Itu artinya, segala potensi yang ada di NTT perlu diberdayakan. Pemda NTT boleh menyiapkan dana, namun pengelolaan sepenuhnya harus ada pada masyarakat lokal itu sendiri.
I Gde Pitana dan Putu G Gayatri dalam buku Sosiologi Pariwisata menulis bahwa ada dampak negatif dari pengembangan pariwisata seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi, munculnya neo-kolonialisme atau neo-liberalisme. Pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi negara-negara maju terhadap negara berkembang. Sebagian fasilitas diimpor dari luar. ”Mobil didatangkan dari Jerman, komputer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, Whisky dari Scotlandia, tas dari Italia, karpet dari Irlandia.” Gambaran ini hanya mau menegaskan bahwa dalam pengelolaan pariwisata (festival layar, misalnya) perlu adanya prinsip subsidiaritas. Apa yang tidak bisa ditangani masyarakat lokal, baru boleh diambil alih oleh Pemerintah daerah setempat. Kalau semuanya didatangkan dari luar, apa untungnya DTW di NTT bagi masyarakat NTT? Arah pengembangan pariwisata di NTT masih dalam pertanyaan, sebagaimana judul tulisan ini. Kiranya, berbagai DTW di NTT ini terus diperhatikan dan dibenah agar kita tidak sekadar berbangga dengan potensi wisata yang ada tanpa pernah mengembangkannya menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat bagi masyarakat NTT sendiri.

Anggota Forum Akademia NTT. Tamatan STFK Ledalero. Menulis buku, “Mengapa Takut Berpolitik?” (Pustaka Nusatama, 2007).

1 comment:

Firman said...

maju terus pariwisata indonesia...