Monday, April 7, 2008

Menjadi Perantau yang Beriman

Oleh Isidorus Lilijawa


Selama bulan September 2007 ini, umat Katolik se-Regio Nusra (Nusa Tenggara) merayakan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Sebuah momen di mana konsentrasi umat beriman terfokus pada Firman Tuhan yang menjadi ilham dasar dan daya dorong yang memberikan arah bagi hidup dan karya pastoral Gereja di wilayah Regio ini. Tema yang diusung BKSN ini adalah “Abraham: Berkat Bagi Segala Bangsa” (Kej 12:3). Empat pekan berturut-turut, umat yang tergabung dalam Komunitas Basis Gerejani (KBG) membuat pertemuan-pertemuan kelompok, menyelenggarakan katakese-katakese sesuai dengan tema yang disodorkan Komisi Kitab Suci (KomKit) wilayah Regio Gerejawi Nusra.
Salah satu tema menarik adalah tema pertemuan Minggu Pertama: “Abraham, Perantau Yang Terberkati” (Kej 11: 27-12:9). Abraham adalah seorang sosok perantau yang sadar merantau. Ia meninggalkan kampung halamannya karena krisis sosial ekonomi yang menimpa wilayah Mesopotamia; ada perpindahan bangsa-bangsa dan kelaparan hebat yang memaksa Abraham dan keluarganya keluar dari sana. Kitab Kejadian 12 mengatakan Abraham meninggalkan negerinya karena inisiatif Allah untuk menyelamatkannya dari kiris itu. Perintah Allah itu disertai janji berkat yang akan diberikan kepada Abraham. Abraham menanggapi perintah Allah dengan penuh ketaatan. Ia pergi ke negeri yang dijanjikan Tuhan meskipun ia tidak tahu persis ke mana ia harus pergi. Di negeri lain itu ia membangun mezbah. Ia sangat percaya bahwa janji Allah akan terpenuhi. Abraham menjadi perantau yang berhasil karena ia menjadi sangat kaya, memiliki banyak ternak, emas dan perak (Kej 13:2). Dia bukan hanya perantau yang kaya raya, tetapi juga perantau yang beriman dan taat kepada Tuhan. Kekayaannya dilihat sebagai tanda bahwa ia diberkati Tuhan (bdk. Bahan untuk pertemuan umat basis, hal 8 dan 25-26).
Hemat saya, tema ini sangat sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat NTT saat ini yakni perantauan. Setiap tahun terjadi eksodus tenaga kerja ke beberapa negara tetangga, khususnya ke Negeri Jiran Malaysia. Banyak warga NTT yang saat ini berada dan bekerja di Malaysia. Dan tentu saja jumlah itu akan bertambah setiap tahunnya. Kepergian mereka dipicu banyak sebab. Di antaranya, seperti yang dialami Abraham yakni masalah sosial ekonomi; seperti kemiskinan, kelaparan. Juga sebab lain seperti ingin mendapat pekerjaan, ingin memperbaiki ekonomi keluarga, konflik dalam keluarga, bencana alam, kondisi alam yang kurang produktif, terbuai janji para calo.
Kepala UPT Gender UKAW Kupang, Dra. Amelia M. Radja Pono-Manuain, M.Si pernah melakukan penelitian lapangan pada 35 orang mantan TKW dan keluarga mereka pada dua lokasi di NTT yakni Kabupaten TTS dan Kota Kupang yang merupakan representasi fenomenal dari kondisi buruh migran perempuan NTT. Ada faktor penarik dan pendorong yang menyebabkan mereka mengambil keputusan untuk bekerja di luar negeri. Faktor penarik paling dominan adalah gaji yang tinggi, jenis pekerjaan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari (tidak butuh keahlian tinggi) dan penggunaan alat-alat elektronik sehingga serba gampang. Daya tarik lainnya adalah pengalaman hidup di luar negeri yang menjanjikan, gaya hidup modern. Adapun faktor pendorong dominan adalah kemudahan karena boleh berhutang bahkan mudah memperoleh dokumen. Kondisi keluarga yang minim juga jadi pendorong. Selain itu, pengangguran, kerja tanpa bayar, tidak lanjutkan studi dan keberhasilan teman jadi pendorong berikutnya.
Kebanyakan para perantau kita yang bermodalkan nekad itu mengalami kesulitan ketika berada di tempat tujuan. Banyak kisah pilu kita baca, dengar dan amati dalam tayangan televisi, dalam surat-surat kabar. Kisah para perantau kita yang gagal, kisah para perantau yang menjadi korban penindasan majikan, korban perkosaan para calo, korban penganiayaan dan perampasan hak dan hartanya oleh pihak-pihak tertentu. Kisah pilu Nirmala Bonat dan pemulangan besar-besaran perantau bangsa ini dari Negeri Jiran adalah cerita menyedihkan buat daerah kita. Mingguan Hidup, 4 Februari 2007 menulis kisah Irene Fernandez pemimpin lembaga Tenaganita yang fokus pada pembelaan hak-hak buruh migran. Menurut Irene, 80 persen PRT di Malaysia berasal dari Indonesia. Jumlahnya mencapai 320.000 orang. Pekerja domestik dari Indonesia tidak memperoleh perlindungan apa-apa dari Kerajaan (Malaysia) atau dari Indonesia. Tidak ada kontrak untuk mereka. Kontrak yang dibuat selalu antara majikan dengan agen. Tidak ada gaji minimal. Gaji mereka sangat rendah, antara 350-400 RM (Rp840.000-960.000) per bulan. Itu pun tidak selalu diberikan.
Penelitian Dra. Amelia M. Radja Pono-Manuain, MSi menyebutkan, pengalaman di tempat kerja sangat bervariasi. Banyak yang merasa wajar dengan kondisi seperti penyekapan (kebanyakan di Malaysia), yang lain sering dihantui rasa takut. Penggajian pada umumnya berjalan baik, tetapi sayangnya selama 4-7 bulan pertama gaji itu untuk membayar hutang kepada PJTKI melalui agen di negara tujuan. Mengenai jam kerja, hanya sebagian kecil yang mempunyai jam kerja yang wajar yakni 7-8 jam/hari. Sebagian lainnya mempunyai jam kerja tinggi bahkan ada yang sampai 20 jam sehari sehingga terpaksa tidur di kamar mandi. Ada TKW yang disayangi majikan sehingga kontraknya diperpanjang sampai 3 kali. Tetapi ada yang dilecehkan dan kabur sebelum masa kontrak selesai. Ada TKW yang berhasil membawa puluhan juta rupiah sehingga dapat bangun rumah, membeli tanah, bemo, dll. Ada pula yang tertimpa nista. Harga diri diinjak-injak. Mereka diperkosa, dihamili, dianiaya dan dijadikan budak.
Kisah para perantau kita sebagaimana dipaparkan di atas sangat kontras dengan pengalaman Abraham yang juga seorang perantau. Tak dapat disangkal bahwa ada perantau kita yang berhasil karena tujuan merantaunya jelas dan mampu mengelola hidupnya dengan baik. Namun, tidak sedikit juga para perantau kita masuk dalam kategori orang-orang gagal. Abraham menjadi perantau dengan segenap hati, pikiran, tenaga, yang semuanya berfokus pada penyelenggaraan Tuhan. Abraham melihat panggilan untuk merantau adalah sebuah perintah dan kehendak Tuhan. Karena itu, Abraham adalah teladan para perantau, model perantau yang beriman dan terberkati. Lalu Perantau kita? Tidak sedikit para perantau dari daerah kita yang kurang menghayati ”imannya”. Penghayatan iman yang kurang ini menjadi nyata ketika kebanyakan perantau kita adalah perantau ilegal, tidak memiliki dokumen perjalanan dan dokumen lainnya yang dibutuhkan, tidak mengikuti pelatihan-pelatihan keterampilan yang dianjurkan sebelum pergi, kurangnya keterampilan dan pendidikan, kurang memiliki motivasi yang jelas (hanya sekadar ikut-ikutan dan sekadar ke luar negara). Hal ini diperparah dengan penghayatan hidup keagamaan yang morat-marit.
Dampak lanjut dari kurangnya penghayatan iman ini adalah lahirnya berbagai persoalan ketika perantau yang sudah bersuami/beristeri melupakan pasangan hidupnya di daerah asal dan mencari pendamping hidup yang lain. Perhatian terhadap anak-anak berkurang karena sudah ada anak hasil hubungan dengan orang baru di tanah rantau. Salah satu fenomen lainnya yang krusial adalah merebaknya praktik pergaulan bebas di tanah rantau. Hubungan seks bergonta-ganti pasangan sangat memungkinkan menularnya HIV/AIDS. Dan patut disayangkan ketika para perantau itu kembali, selain membawa ringgit mereka juga membawa benih HIV/AIDS buat suami/isteri yang menanti di rumah. Hal ini menjadi krusial karena keluar masuknya para perantau ilegal ini sulit terpantau petugas pemerintahan yang berwenang. Setelah HIV/AIDS menggerogoti tubuh, orang baru sadar bahwa hujan emas tak selamanya emas. Ternyata ada batunya.
Menyadari kekurangber-iman-nya para perantau kita sebagaimana disajikan di atas adalah sebuah kritik juga bagi keberimanan kita orang-orang NTT, keberimanan pemerintah dan aparat penegak hukum. Penghayatan iman pemerintah kita dipertanyakan tatkala gelombang pencari kerja terus bereksodus ke Negeri Jiran. Apakah pemerintah tidak bisa menyediakan/membuka lapangan kerja bagi warga masyarakatnya sehingga mereka tidak harus merantau. Manakah kebijakan pemerintah yang mengatur soal tenaga kerja yang lebih memperhatikan kepentingan para pencari kerja itu. Jangan sekadar kita kebakaran jenggot ketika anak NTT Nirmala Bonat disetrika wajahnya atau banyak perantau kita dipulangkan. Sebagai pemerintah dan instansi-instansi teknis terkait, membuat persiapan bagi para pencari kerja sebelum ke luar negeri, memudahkan proses kepemilikan dokumen, memberikan sosialisasi tentang dampak perantauan ilegal adalah bagian dari penghayatan iman itu.
Penghayatan iman aparat penegak hukum kita juga patut digugat. Banyak kali para calon tenaga kerja kita dikibuli para calo dan perusahaan pengerah jasa tenaga kerja yang hanya ada papan nama. Apa tindakan aparat bagi pelaku kekerasan semacam itu? Jangan sampai komitmen melayani masyarakat tercederai oleh lembaran-lembaran rupiah yang melambai-lambai dari tangan para calo. Sudah bagus bahwa aparat kepolisian kita sering menggagalkan penyelundupan para tenaga kerja ke negara tetangga. Namun, tidak berhenti di situ. Iman sebagai wujud kepedulian terhadap sesama dan ketaatan kepada Pemilik Kehidupan (bukan mamon) mesti menjiwai pelayanan aparat dalam memberantas percaloan tenaga kerja dan fenomen trafficking yang kian marak saat ini.
Dengan membiarkan para tenaga kerja kita ditindas dan praktik trafficking terus berjalan, keberimanan para wakil rakyat kita perlu dipertanyakan. Sebagai representasi rakyat, para wakil rakyat mesti peduli dan taat pada kehendak rakyat. Kapan peraturan daerah tentang perantauan yang sehat atau trafficking membumi di NTT? Semoga tidak sekadar wacana ketika ada tuntutan dari masyarakat. Tetapi harus jadi komitmen untuk melindungi kepentingan rakyat. Kasihan jika penyumbang devisa terbesar untuk negeri ini disepelekan begitu saja dan tidak dilindungi dengan peraturan hukum yang berlaku. Sebagai basis terkecil dalam masyarakat, keluarga berperan penting dalam menumbuhkan iman anak-anaknya yang merantau. Memberikan pendampingan, peneguhan, kekuatan, nasehat, motivasi yang jelas adalah bentuk tanggung jawab keluarga terhadap anggota keluarga yang merantau. Dengan itu, selain mengupayakan para perantau menjadi betul-betul beriman, keluarga mesti juga tampil sebagai unit sosial yang beriman juga.
Menjadi perantau yang beriman dengan demikian bukan semata-mata tugas para perantau. Itu harus menjadi tugas semua komponen masyarakat; pemerintah, wakil rakyat, aparat penegak hukum dan keluarga. Para perantau kita perlu dibekali dengan persiapan yang cukup sebelum pergi merantau. Artinya, selain mendapat pembekalan berupa keterampilan, dokumen, mereka juga perlu mendapat pembekalan rohani agar di tanah rantau pun tetap ada ”mezbah”, tempat dialog dan komunikasi dengan Allah dibangun. Abraham adalah contoh perantau yang beriman karena itu berhasil. Keberhasilan para perantau kita dengan itu bukan sekadar berhasil mengumpulkan banyak rupiah, tetapi bagaimana mereka memahami panggilan untuk merantau sebagai sebuah sapaan dari Atas, dari Penyelenggara Kehidupan ini. Kiranya, kita masih selalu berkiblat pada Abraham.


Dimuat di Timex, September 2007





No comments: