Monday, April 7, 2008

Merdekalah Petani!

Oleh Isidorus Lilijawa


Para petani yang berasal dari seluruh wilayah Kabupaten Ende - Flores berkumpul di Desa Ngalupolo Kecamatan Ndona, Kamis (27/9) – Minggu (30/9). Ada apa? Selama empat hari itu mereka mengadakan rembuk petani. Sebagai petani dengan latar belakang sosial, kultur dan topografis yang berbeda, momen rembuk itu tentu sangat berharga untuk sharing karya dan sharing hidup sebagai petani. Tentu saja dalam rembuk itu terkuak kisah gagal sukses, suka duka, tawa dan air mata dalam menjalani panggilan hidup sebagai petani, sebagai orang-orang yang membaktikan dirinya untuk mengolah tanah (petani: pe-tanah). Dari sharing hidup itu terbentuklah Forum Petani Kabupaten Ende. Sebuah forum yang diberi bobot oleh keringat dan air mata, perjuangan keras mempertahankan hidup dan kesadaran sebagai komponen penting dalam konstruksi hidup berbangsa dan bernegara. Dengan forum itulah, para petani sedang berjuang menggapai kemerdekaan mereka. Bangsa kita memang telah merdeka selama 62 tahun, namun para petani kita belum merasakan indahnya kemerdekaan itu. Justru ketidakadilan yang sering mereka kecapi.
Rembuk petani dalam hari-hari itu hemat saya merupakan sebuah momen strategis untuk membangun jati diri dan membangkitkan kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan para petani. Dengan rembuk itu, para petani kita sedang melawan sebuah arus besar monopoli pemanfaatan ruang publik oleh kepentingan struktur-struktur politik di daerah kita. Tak dimungkiri bahwa pemberitaan dan diskusi mengenai para petani kita cenderung kurang berdaya pikat dibanding reportase dan diskursus tentang politik dan kekuasaan atau selebriti dan sepak bola. Para petani yang karena anggapan khalayak sebagai pengolah tanah, pekerja kasar ditempatkan pada posisi lebih rendah ketimbang wacana sekitar kehidupan para white colar, seperti para pejabat dan politisi. Padahal sebagian besar pejabat dan politikus kita itu berasal dari keluarga petani dan kelangsungan hidup bersama kita banyak didukung oleh perjuangan para petani. Ini memang sesuatu yang tidak adil.
Rembuk petani itu dengan demikian menjadi sebuah kesempatan membenturkan dominasi kekuasaan dan struktur politik pada dinding kesadaran bahwa petani itu ada dan memiliki kekuatan yang besar. Di saat para politisi sibuk bergerilya mengamankan posisi pada Pilkada mendatang dan pejabat sibuk mengkalkulasi berapa persen keuntungan dari proyek-proyek yang bakal masuk kantong pribadi, para petani justru berkumpul dan berembuk bersama. Mereka berbicara dari hati ke hati, dari kepala ke kepala, membangun komitmen bersama sebagai orang-orang yang senasib dan sepenanggungan untuk melawan struktur yang menindas sambil memperkuat basis mereka sebagai petani yang sadar dan kritis.
Petani adalah peran yang sangat penting, yang patut diapresiasi karena telah mengubah sejarah hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Dalam diri para petani kita melihat makna homo faber secara utuh. Petani adalah manusia yang bekerja, yang mengaktualisasikan dirinya dengan mengolah tanah dan menghasilkan sesuatu dari tanah. Ia bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Keringat dan air matanya di ladang, di sawah terlebur dalam hasil panen yang dinikmati oleh begitu banyak orang dalam ruang lingkup yang berbeda melalui proses ekonomi; produksi, distribusi dan konsumsi. Petani bukan peran sisa setelah orang gagal tes PNS berkali-kali atau gagal menjadi politikus atau stres karena tidak bisa bersaing mendapatkan pekerjaan lain. Petani juga bukan pekerjaan rendahan sebagaimana ada dalam pandangan kultur Barat atau pekerjaan para budak dan hambat sebagaimana nyata dalam konsep masyarakat Yunani dahulu. Bukan juga sesuatu yang menyakitkan seperti konsep lama masyarakat Ibrani atau sebuah bentuk hukuman atau dosa menurut anggapan komunitas Kristen purba (C.Wright Mills dalam bukunya White Colar, 1953).
Sejak pola hidup nomaden seperti yang dilakoni oleh suku pygme, orang Bosyes, bangsa Aeta, bangsa Eskimo dan berbagai suku Indian yang ada di Amerika Utara dan Selatan atau suku-suku bangsa primitif di Asia dan Afrika tidak terjadi lagi, manusia mulai melakoni sebuah bentuk kehidupan baru. Pola hidup sedenter. Viktor C Ferkiss mengungkapkan bahwa sekitar tahun 7000 sebelum Masehi, di wilayah perbukitan Timur Tengah manusia mulai hidup dalam komunitas-komunitas pertanian. Di sana mereka mulai dengan pola kerja baru yakni bertani. Peradaban pertanian itu sebenarnya muncul pertama secara lebih konkret baru pada tahun 4000 sebelum Masehi di lembah-lembah sungai Tigris dan Eufrat, Yangtze, Nil dan Indus di mana terdapat tanah endapan yang subur dan persediaan air yang berlimpah. Bentuk kerja pertanian ini ternyata membawa angin segar bagi manusia saat itu dengan terciptanya kecukupan pangan. Bersama dengan itulah, lahirlah peradaban baru oleh spesialisasi kerja seperti menjadi tukang, nelayan, peternak. Dengan peradaban baru ini manusia mulai melepaskan ketergantungan pada alam dan perlahan-lahan berusaha untuk menguasainya.
Bertani, menjadi petani dengan demikian merupakan sebuah panggilan hidup. Panggilan untuk mempertahankan peradaban manusia dan mengembangkan kualitas-kualitas manusia. Sebagai panggilan, petani adalah sebuah tugas dan tanggung jawab yang mulia. Bahkan dalam tinjauan teologis, para petani karena kerja mereka mendapat predikat co-creator. Mereka melanjutkan karya Allah dalam penciptaan dan menjadikan tanah/alam sebagai sarana menuju keselamatan umat manusia. Karena itu, tindakan dan sikap yang merendahkan dan meremehkan peran para petani adalah sikap yang berlawanan dengan nilai-nilai peradaban. Dalam bahasa yang sarkastik, pola perilaku dan sikap semacam itu hanya milik orang-orang tak beradab alias biadab. Sebagai pemicu peradaban, struktur politik dan kekuasaan yang ada sekarang ini semestinya mempunyai tanggung jawab moral untuk mengawetkan, mempertahankan dan menjaga agar para petani tidak tergerus gempuran industrialisasi dan globalisasi. Yang diharapkan adalah ada kebijakan yang berpihak pada para petani dan melindungi kepentingan mereka.
Terkait dengan rembuk petani di atas, ada beberapa hal yang perlu diungkapkan. Pertama, rembuk petani merupakan kesempatan bagi para petani untuk duduk bersama, saling mendengar, membangun ikatan batin bersama dan selanjutnya membentuk jaringan/koneksi bersama. Dengan jaringan ini, mereka bukan lagi pribadi-pribadi individual melainkan pribadi-pribadi kolektif. Dalam kolektivitas ini mereka mempunyai kekuatan bersama, mempunyai posisi tawar yang tinggi. Kiranya forum yang ada dapat mewakili hasrat dan kepentingan para petani dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Forum itu adalah suara para petani dalam merebut peluang pasar dan peluang politis yang tersedia. Permasalahan para petani di Lio Utara Ende misalnya juga adalah persoalan petani di Nangapanda Ende. Harga gabah yang rendah untuk warga Detusoko Ende mesti juga menjadi keprihatinan petani Maurole Ende.
Kedua, Bentara Flores Pos (3/10) menulis: “Terbentuknya Forum Petani Kabupaten Ende menggambarkan realitas bangkitnya kekuatan lama yang telah ‘dibenamkan’ penguasa selama bertahun-tahun. Kesadaran ini mesti menginspirir petani untuk memperjuangkan aspirasi. Petani adalah kelompok kekuatan terbesar bangsa ini yang jika disatukan dan diikat bersama bersama dalam satu rasa, nasib dan komitmen akan membawa dampak politis yang besar. Kekuatan ini akan menentukan gerak politik dan keberlangsungan ekonomi.” Jika pernyataan ini dikonfrontir dengan situasi kita saat ini, terlihat bahwa para petani sering menjadi korban politik. Mereka adalah korban janji-janji palsu para elit politik yang pada musim kampanye legislatif atau pilkada turba ramai-ramai ke desa-desa dan pura-pura peduli dengan kondisi riil orang desa. Para petani masih dilihat sebagai objek politik, yang dibutuhkan adalah suara mereka saat menjoblos di tempat pemungutan suara, bukan totalitas diri mereka dan segala persoalannya. Benar bahwa kekuatan itu ”dibenamkan” juga dengan pola-pola semacam ini. Dengan terbentuknya forum petani ini diharapkan agar para petani kembali tampil sebagai satu kekuatan besar bangsa ini. Petani bisa menentukan arah kebijakan di level pemerintah daerah dengan membuat tekanan-tekanan kepada pemerintah.
Ketiga, forum petani ini mesti mengamankan kepentingan petani dari rongrongan penguasa dan pengusaha yang sewenang-wenang menentukan kebijakan pasar dan harga komoditi di pasar. Bukan hal baru jika petani kita yang berjuang keras menanam dan merawat tanamannya tetapi pengusaha x atay y yang bertambah kaya. Mengapa? Para petani kita dibodohi. Tidak ada persatuan di antara para petani. Ada yang justru berpihak pada pengusaha loba semacam itu. Harga beras begitu rendah, harga coklat diatur sesuka pengusaha. Malah penguasa pun tak bergeming asal setoran komisi dari pengusaha tak berhenti masuk sakunya. Forum mesti mengambil sikap. Aktifkan kembali kelompok simpan pinjam, koperasi di desa-desa agar bisa menjadi penyalur komoditi petani dengan harga yang layak. Kemerdekaan para petani diinjak-injak tatkala hak untuk menentukan harga justru pada pengusaha yang tidak merasakan susahnya membajak sawah, bermalam di kebun atau menahan panas seharian di ladang.
Keempat, rembuk tani itu dihadiri juga oleh para tokoh agama dari pihak gereja. Ini berarti, upaya mengangkat harkat para petani bukan hanya tanggung jawab para petani. Gereja harus peduli terhadap persoalan para petani karena para petani itu adalah gereja, umat Allah yang sedang berziarah dalam keringat dan air mata, dalam canda dan tawanya di tengah dunia ini. Gereja kita saat ini adalah gereja yang berwajah kaum miskin. Banyak petani kita menjadi bagian dari wajah gereja karena kemiskinan itu. Apakah gereja tetap tinggal diam? Para agen pastoral perlu memberdayakan para petani itu. Apa yang dibuat P. Alex Ganggu, SVD selaku Ketua Tim Koordinasi Rembuk Petani II adalah hal yang patut diteladai oleh segenap agen pastoral. Opsi gereja untuk berpihak pada kaum miskin tidak mesti menjadi arsip di dokumen-dokumen gereja yang tersusun rapi di rak-rak buku. Keberpihakan itu harus dihidupi dalam pelayanan kepada orang-orang kecil, para petani itu. Ini penting karena tanpa pemberdayaan, advokasi dan pendampingan para petani kita cukup sulit menghadapi semena-menanya penguasa dan pengusaha di daerah ini.
Kelima, para petani perlu menghidupkan religiositas alam. Ini berarti alam perlu diperlakukan secara baik. Tugas untuk mengolah tanah tidak selalu berarti menguasai dan mengorbankan apa saja yang tumbuh di atas tanah itu. Lingkungan alam harus tetap terjaga dan terpelihara sehingga mendukung usaha para petani itu. Beberapa kasus seperti penebangan liar untuk membuka lahan dan pembakaran hutan mesti dihindari. Ini butuh kesadaran para petani. Sebagai yang mengolah tanah, alam, para petani memiliki kedekatan dengan tanah dan apa yang tumbuh di atasnya. Sangat disayangkan jika karena hasrat untuk mendapatkan uang atau penghasilan, wajah alam dinodai. Religiositas alam ini mencakup juga penghayatan terhadap kearifan-kearifan lokal yang masih berlaku di desa-desa kita. Dengan mendengar kearifan lokal dan menjiwai religiositas alam, para petani tentu mendapat berkat dari alam itu sendiri. Forum petani telah dibentuk. Kemerdekaan para petani telah diproklamirkan. Mulailah untuk mempertahankan kemerdekaan itu dan mengisinya sesuai tugas dan tanggung jawab petani. Itulah panggilan hidup petani. Jika di Ende sudah terbentuk forum petani, kapan di daerah lain?

Dimuat di Flores Pos, 3 Oktober 2007

No comments: