Monday, April 7, 2008

Lembata oh Lembata

Miseropolis Lembata
(Kado untuk 8 Tahun Otonomi Lembata)
Oleh Isidorus Lilijawa


Pada tanggal 12 Oktober 2007, Kabupaten Lembata merayakan usia otonomi ke-8. Sebuah usia yang tidak mudah dibilang muda lagi. Sejak berpisah dari kabupaten induk Flores Timur 8 tahun lalu, Lembata mulai berbenah sebagai daerah otonomi baru. Otonomi Lembata adalah kristalisasi dari perjuangan masyarakat Lembata baik di tingkat pusat maupun di level lokal untuk mempercepat kesejahteraan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang berada di pulau ikan paus itu.
Pertanyaan sederhana, bagaimanakah wajah Lembata setelah 8 tahun berpisah dari Flores Timur dan membentuk daerah otonomi sendiri? Eko Budihardjo dalam opini di Kompas (22/9/2007) menulis tentang Metropolis atau Miseropolis. Perkembangan kota-kota di Indonesia bergerak menuju kota metropolis, kota yang dicirikan oleh perkembangan dan kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Namun, tak dapat dihindari bahwa akibat salah kelola, salah atur, salah urus, banyak kota yang justru berubah menjadi miseropolis (kota yang menyengsarakan) warganya. Di kota miseropolis ini, para warganya tidak mendapatkan pelayanan yang memadai bahkan penguasa kota hadir sebagai tirani yang membuat rakyat tambah sengsara. Di kota seperti ini, korupsi merajalela, nafsu uang membara, dan rakyat terperosok dalam kemiskinan berkepanjangan.
Apakah Lembata setelah 8 tahun ini menjadi metropolis atau miseropolis? Sesuai judul tulisan ini, alhasil setelah 8 tahun bergulat dengan diri sendiri, diberi keleluasaan untuk mengurus diri sendiri dengan potensi diri yang ada, Kabupaten Lembata justru jatuh dalam model miseropolis. Bentara Flores Pos (5/10/2007) menulis judul besar: ”Kabupaten Sarat Masalah”. Dikemukakan bahwa setelah 8 tahun berotonomi, masalah hilir mudik silih berganti di kota ini. Tampaknya pemerintah sedang mempertontonkan politik pengalihan persoalan. Beberapa persoalan yang belum tuntas di antaranya lokasi Pasar Inpres Lewoleba yang terbakar belum menggapai ujung solusi. Kantor bupati di Lusikawak ditelantarkan. Gaji para guru belum dibayar. Masalah calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) yang memalukan. Kasus tambang yang ditolak rakyat tetapi dipaksakan pemerintah dan DPRD.
Walau telah berusia otonomi 8 tahun, wajah Lembata nampak kusam dan kusut di tengah gempuran kemajuan. Kantor-kantor pemerintah ”terserak-serak” di seantero Kota Lewoleba. Lewoleba sendiri ibarat nenek tua yang ngos-ngosan mendaki bukit. Jalan begitu jelek. Lobang-lobang aspal menganga kelaparan. Kota begitu semrawut, jauh dari kesan indah. Belum lagi sebagian kantor pemerintah masih mengontrak rumah penduduk. Lembata betul-betul menjadi kota miseropolis karena persoalan-persoalan yang meresahkan dan menyengsarakan rakyat ini.
Dambaan rakyat Lembata pada awalnya untuk menjadikan Lembata sebagai city of future, kota masa depan seperti Kanaan yang kaya susu dan madunya tidak kesampaian. Malah Lembata saat ini adalah city of sorrow, kota dukacita, kota penuh tangis dan air mata orang-orang kecil yang menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa daerah. Dukacita itu menjadi sempurna dengan persoalan yang hingga kini kian panas, yakni persoalan tambang emas dan tembaga. Jika dengan proyek terakhir ini para pejabat pemerintah dan DPRD ramai-ramai mendapat jatah ”hujan emas”, masyarakat Lembata di Kedang, Leragere, Lebatukan justru siap-siap memanen ”hujan batu”. Dan karena itulah, perayaan 8 tahun otonomi Lembata hemat saya adalah perayaan para pejabat legislatif dan eksekutif yang kecipratan rezeki selama 8 tahun itu dan karena itu mereka patut mensyukurinya. Tetapi, apakah perayaan itu juga menjadi perayaan petani di Leragere atau nelayan di Kedang sana? Belum tentu. Bisa jadi mereka tak merasa ada sesuatu yang berbeda setelah Lembata menjadi kabupaten baru. Malah masalah demi masalah mendera rakyat semacam persoalan tambang yang mencemaskan dan mengganggu kolektivitas lokal mereka.

Kultur Uang
Miseropolis Lembata kian terasa dengan persoalan tambang yang hingga saat ini masih memanas. Penolakan rakyat sepertinya tidak mempan untuk pemerintah. Rencana tambang jalan terus padahal di satu pihak rakyat berseru ”tolak tambang harga mati”. Seperti juga persoalan-persoalan lain di atas, hemat saya kultur uang sudah merasuki rasionalitas pemerintah dan DPRD setempat. Hasrat untuk menguasai uang, termasuk dana yang diperuntukkan bagi rakyat dan para guru sangat besar. Karena uang, pemerintah mati-matian dengan rencana tambang. Karena uang, DPRD tidak memiliki sikap menerima atau menolak tambang. Bahkan DPRD tidak bisa menjadi lembaga yang diharapkan masyarakat. DPRD berantakan, seperti kata Yohanes Vianey K Burin (FP, 5/10/2007).
Pola dan perilaku yang sangat mendewakan uang seperti di atas, dalam bahasa H. Marcuse masuk dalam kategori masyarakat yang berdimensi satu (one dimensional society). Masyaraka berdimensi satu membentuk manusia yang pasif, puas dan tidak kritis. Satu-satunya minat yang dikembangkan dengan gencar adalah minat untuk memuaskan keinginan. Dan itu terwujud dalam ambisi akan uang (pecuniary culture). John Dewey menulis, ”Kita sedang hidup dalam kultur uang. Kultur dan ritusnya menentukan pertumbuhan dan keruntuhan suatu lembaga dan ia menguasai nasib setiap individu.” Persaingan dalam kultur uang ini tak kalah kejamnya dari persaingan dalam ”hutan” yang dibayangkan Darwin (survival of the fittest). Uang menjadi dewa yang mahakuasa: segalanya bisa dibeli, harta maupun manusia. Karena uang kesetiaan dapat diubah menjadi khianat, cinta dapat menjadi benci, benci dapat menjadi cinta; budak dijadikan tuan, tuan menjadi budak; kebodohan menjadi kepandaian, kepandaian menjadi kebodohan. Uang menjadikan manusia materialistis dan individualistis.
Setelah kita sedikit mengetahui gambaran tentang uang, sekarang kita bisa melihat bagaimana faktor uang mempengaruhi relasi antara pemerintah, DPRD, investor dan masyarakat Lembata dalam kasus tambang. Pertama, Merukh Enterprise sebagai investor jelas-jelas mengandalkan uang untuk membeli lahan dan pemerintah Lembata. Dengan modal uang yang bertumpuk-tumpuk, investor ini sangat yakin bahwa hamparan wilayah Kedang, Leragere, Lebatukan akan jatuh ke dalam kuasanya. Apalagi dengan kuasa uang itu ia telah ’mencicil’ modal ke dalam saku-saku pemerintah dan DPRD Lembata. Kendaraan roda dua dan roda empat bakal dibeli sebagai kado buat pemerintah. Stuba tambang dibiayainya. Belum lagi pertemuan demi pertemuan dengan pemerintah dan DPRD yang digelar di hotel-holte mewah di Jakarta. Merukh berpikir soal rakyat Lembata sebagai objek. Yang utama untuknya adalah berapa tong uang yang bakal kembali ke brankasnya setelah tambang itu beroperasi. Mau jadi apa nantinya rakyat di tiga daerah itu, itu bukan urusannya. Merukh hadir dengan profit-oriented bukan empowerment-oriented.
Kedua, pemerintah Kabupaten Lembata yang dinakhodai bupati dan wakil bupati. Komponen ini getol meneruskan rencana tambang emas dan tembaga itu. Mereka tak peduli aksi penolakan rakyat baik secara langsung melalui demonstrasi maupun tidak langsung melalui berbagai ritual adat. Uang membuat mata mereka silau. Dengan argumentasi yang dipaksakan, mereka berani bertaruh bahwa Lembata bakal seperti negeri Kanaan yang kaya susu dan madunya jika rencana tambang itu direalisasikan di Lembata. Penolakan masyarakat dengan alasan ekonomi (hilangnya lahan untuk bertahan hidup), alasan ekologis (pencemaran dan perusakan lingkungan), alasan kultur (hancurnya kearifan lokal) tidak digubris. Malah ancaman kepada rakyat ditebarkan. LSM dan pihak yang mendukung aksi massa dituding sebagai aktor intelektual.
Di manakah nurani pemerintah berhadapan dengan jeritan rakyat kecil? Nurani itu telah terbeli lembaran-lembaran rupiah dan fasilitas-fasilitas mewah yang digaransi Merukh. Sayang sekali bahwa di tengah penolakan rakyat yang begitu gencar, bupati cs merasa tak ada apa-apanya. Ibarat anjing boleh menggonggong, kafila terus berlalu. Lantas dengan uang, rakyat diadu domba, dipecah belah. Cermin mentalitas penjajah. Kepada warga diiming-imingi uang, apartemen, fasilitas mewah jika menyerahkan tanahnya. Kolektivitas rakyat pun terpecah karena uang itu. Lantas Dullah Demong dan Hasan Abu yang mengaku diri sebagai pemegang hak ulayat, yang menyerahkan tanah calon lokasi tambang disebut sebagai pahlawan, teladan dan contoh rakyat yang bertanggung jawab. Ternyata itu palsu. Pemerintah kok suka percaya pada yang palsu. Ada apa?
Ketiga, DPRD Lembata. DPRD sebagai wakil rakyat adalah representasi suara dan kepentingan rakyat. Ini teori yang dibakukan dalam konsep dan buku-buku. Sejatinya begitu. Dewan Perwakilan Rakyat adalah wakil rakyat. Ia ada karena ada rakyat yang mengangkatnya sebagai wakil. Tugas wakil adalah melaksanakan apa yang dikehendaki, yang menjadi aspirasi dan kepentingan yang diwaikilinya yakni rakyat. Dengan menyebut diri sebagai wakil rakyat, terbaca jelas bahwa yang utama itu bukan wakil itu tetapi siapa yang diwakilinya. Di Lembata hal ini terbalik. DPRD menganggap diri sebagai yang utama. Karena itu, agenda mereka mati-matian harus dijalankan walau implikasinya sangat kurang untuk mewakili rakyat. Demi Bimtek (bimbingan teknis) Keuangan di Jakarta, kantor DPRD, rumah rakyat itu dibiarkan kosong melompong. Lucunya, Bimtek soal keuangan, tetapi prinsip populis dan suaranya justru mudah terbeli uang. Mau bukti?
Piter Bala Wukak, anggota Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL) mempertanyakan sikap DPRD Lembata yang awalnya menyetujui stuba tambang tetapi setelah itu tidak peduli pada aspirasi masyarakat yang menolak tambang (FP, 5/10/2007). Bahkan anehnya, DPRD Lembata belum mengambil sikap politiknya berkaitan dengan tambang, apakah menerima atau menolaknya. Sudah sejauh ini belum ada sikap politik. Sampai kapan? Pemerintah jalan terus dengan mengeluarkan ijin lokasi tambang, rakyat terpecah-pecah, yang menolak datang dari kampung-kampung unjuk rasa di bawah terik, sampaikan aspirasi langsung dalam teriakan-teriakan yang membisu. DPRD kok masih berpangku tangan. Malah pelesir ke Jakarta untuk Bimtek. DPRD itu wakil siapa; rakyat, pemerintah atau Merukh?
Dugaan Bala Wukak bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dalam hubungan antara Merukh dan DPRD mungkin jadi alasan DPRD untuk diam. Jelas bahwa uang dan fasilitaslah yang ’mendiamkan’ mereka. Sebagai lembaga pengawas dan pengontrol eksekutif, tidak beralasan jika wakil rakyat Yohanes V K Burin mengatakan sia-sia perjuangan masyarakat yang menolak tambang karena Bupati Lembata telah mengeluarkan surat izin prinsip dan izin lokasi. Tugas DPRD untuk meninjau lagi, panggil bupati dan minta pertanggungjawaban. Bukannya diam-diam dan pasrah. Jangan-jangan sedang terlibat perselingkuhan politis dan mendapat jatah mamon dari sumber yang sama. Siapa tahu?
Keempat, rakyat Lembata. Untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, mengapa orang harus takut. Keyakinan warga Kedang, Leragere, Lebatukan yang menolak tambang adalah hal yang prinsipil. Mereka belum merasa penting hadirnya tambang di wilayah mereka. Tambang itu setan, bencana, petaka. Karena itu, tawaran uang mereka tolak. Janji-janji apartemen mereka tak gubris. Bagi mereka uang bukan segalanya. Sejengkal tanah pun tak diberi karena mereka tahu, tanah itu hidup, tanah itu darah, tanah itu harga diri. Untuk apa menyerahkan tanah, lantas setelah itu mereka melarat. Pemberdayaan rakyat yang menolak tambang yang dilakukan oleh LSM pro rakyat patut diapresiasi. Uang itu bukan segalanya. LSM militan seperti ini bahkan tak butuh uang untuk mengadvokasi rakyat. Ini berbeda dengan pemerintah dan DPRD yang karena uang justru mengkhianati dan membenci rakyatnya sendiri.
Untuk kelompok rakyat yang oportunis, inilah saatnya memanen uang. Sepaham saja dengan rencana pemerintah sudah mendapat apa-apa, apalagi menyerahkan tanah yang diklaim sebagai ulayat. Tentu ganjarannya lebih besar. Dalam golongan oportunis ini ada wajah-wajah kaum intelektual dan kaum agamawan yang karena mendapat fasilitas, perhatian dan sedikit jatah dari pemerintah, mereka sepakat mendukung rencana tambang itu. Bahkan dengan kualitas intelek dan kuasa keagamaannya, mereka coba membangun argumentasi melalui media massa tentang kebaikan yang bakal diproduksi tambang bagi rakyat Lembata dan dengan sentuhan logis sistematis dalam permainan kata-kata mereka berusaha menyucikan dosa-dosa pemerintah setempat. Sinisme moral Julien Benda terbukti. Kaum intelektual sering menjadi intelektual tukang. Termasuk tukang argumentasi untuk hal-hal yang salah, malum, yang dilakukan pemerintah.
Politik uang memang sedang bermain di Lembata. Uang menjadi dewa yang dipuja-puja para pejabat dan politisi. Uang menjadikan Lembata sebagai the city of sorrow. Setelah 8 tahun, jangan harap Lembata menjadi sebuah metropolis jika manajemen birokrasi dan manajemen politik berlaku seperti saat ini. Merayakan usia ke-8 otonomi Lembata adalah merayakan miseropolis bagi rakyat kecil di Kedang, Leragere dan Lebatukan. Tentu tidak ada guratan kegembiraan selain merasa lelah sebagai rakyat. Apalagi setelah pemerintah dan DPRD tak peduli lagi dengan yang empunya ”kedaulatan” itu.

Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero

No comments: