Monday, April 7, 2008

Partai Politik dan Ekseptasi Masyarakat

Oleh Isidorus Lilijawa


Pasca reformasi tahun 1998, lahir banyak partai politik di negeri ini. Gelombang kebebasan yang diusung reformasi memungkinkan munculnya berbagai partai politik yang baru. Jika selama beberapa dekade sebelumnya hanya ada 3 partai politik, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golongan Karya (Golkar), maka momentum reformasi menjadi titik star pendeklarasian berbagai partai politik. Fenomen semacam ini menimbulkan serangkaian pertanyaan; apakah dengan semakin banyaknya partai politik, kehidupan berdemokrasi di negara ini semakin baik? Apakah partai politik masih menjadi ekseptasi (harapan) masyarakat untuk meraih kehidupan yang lebih baik di negeri ini atau hanyalah sarana meraih kekuasaan semata?
Untuk repurifikasi orientasi partai politik itulah, beberapa saat lalu dilaksanakan Seminar dan Focus Group Discusion, program kerja sama Bappenas RI dan UNDP yang bekerja sama dengan KPUD Provinsi NTT dan menghadirkan dua narasumber Prof. Ramlan Surbakti dan Dr. Kotan Y. Stefanus (Timex, 13/12). Yang menarik dari seminar itu adalah sari pemikiran yang menyatakan bahwa partai politik saat ini masih sibuk dengan urusan mendapatkan kekuasaan dan lupa melaksanakan perannya sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas.
Untuk mendeteksi kerancuan arah partai politik itulah, Dr. Kotan Stefanus mengemukakan empat pathologi sosial ketika memotret demokrasi di Indonesia dalam era reformasi. Pertama, hilangnya rasa saling percaya antara berbagai kelompok kekuasaan sosial politik di dalam masyarakat. Kedua, kecenderungan menggunakan kekuatan massa untuk memenangkan bargaining politik. Ketiga, munculnya otoritarianisme populis dalam percaturan politik dan relasi-relasi kekuasaan yang semakin mempersulit proses pembangunan politik sebagai sistem. Keempat, berkaitan dengan demokrasi sebagai nilai, terlihat para aktor politik ibarat hanya memenuhi sebuah undangan dalam suatu resepsi yang segala sesuatunya telah dipersiapkan, dan di sana ia cuma duduk patuh tanpa kritik.
Potret pathologi sosial ini menyata juga dalam kehidupan partai politik. Dan boleh jadi, partai politik saat ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pathologi sosial itu. Hal ini terjadi karena parpol tidak berjalan sesuai arah dan tujuannya melainkan menyimpang oleh kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu.

Peran Partai Politik
Secara konseptual, agar mampu memainkan perannya dalam penegakan demokratisasi, maka partai politik setidak-tidaknya harus mampu memainkan beberapa fungsi, antara lain: pertama, sebagai sarana komunikasi politik. Dengan fungsi ini partai politik harus mampu berperan sebagai penyalur aspirasi pendapat rakyat, menggabungkan berbagai macam kepentingan (interest aggregation), dan merumuskan kepentingan (interest articulation) yang menjadi dasar kebijakannya. Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Dengan fungsi ini partai politik harus mampu berperan sebagai sarana untuk memberikan penanaman nilai-nilai, norma dan sikap serta orientasi terhadap fenomen politik tertentu. Upaya parpol dalam sosialiasi politik antara lain meliputi penguasaan pemerintah dengan memenangkan setiap pemilu, menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum, dan mampu menanamkan solidaritas dan tanggung jawab terhadap para anggotanya maupun anggota lain (in group dan out group).
Selain dua fungsi ini, fungsi yang ketiga adalah sebagai sarana rekruitmen politik. Dengan fungsi ini parpol mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai, baik melalui kontak pribadi maupun melalui persuasi. Fungsi keempat, sarana pengatur konflik. Parpol berfungsi mengatasi berbagai macam konflik yang muncul sebagai konsekuensi dari negara demokrasi yang di dalamnya terdapat persaingan dan perbedaan pendapat (Muhammad Zaenuddin: 2004, 121).
Berdasarkan uraian fungsi parpol di atas, rakyat tentu sangat mengharapkan agar parpol menjadi aktor yang baik dalam proses demokratisasi di negara ini. Artinya, parpol mesti menjadi pisau bedah bagi fenomen pathologi sosial yang kian menggejala di republik ini. Bahkan untuk semakin memperjelas dan mempertegas fungsi parpol, UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menggariskan beberapa fungsi partai politik sebagai sarana:
Pertama, pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, menciptakan iklim yang kondusif dan program konkrit serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat. Ketiga, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Keempat, partisipasi politik warga negara dan kelima, rekrutmen politik dalam pengisian politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.

Konteks NTT
Dampak reformasi juga terasa di Provinsi NTT ini. Berbagai macam partai baru lahir dan mendeklarasikan diri. Jika ini menjadi salah satu rujukan menguatnya demokratisasi, maka fenomen semacam ini patut diapresiasi. Artinya, rakyat tidak ‘terpaksa’ memilih partai yang itu-itu saja karena memang yang ada hanya itu. Dengan paradigma baru, visi, misi dan komitmen populis yang dibangun, partai-partai baru dapat menjadi saluran aspirasi rakyat yang representatif. Rakyat tentunya dapat mendewasakan cara berpikir politisnya dengan menguji kemungkinan-kemungkinan baru yang ditawarkan begitu banyak partai saat ini.
Kehadiran partai-partai politik di NTT memberi warna tersendiri bagi percaturan politik lokal dan tentu juga mengakomodir keterlibatan politis rakyat. Namun, acapkali kehadiran partai-partai ini membingungkan rakyat selaku ‘tuan demokrasi’ yang mempunyai hak pilih tak tergantikan itu. Beberapa fenomen itu menjadi jelas ketika kita bertanya seperti ini: apa arti partai politik bagi rakyat dan bagi partai politik, rakyat itu siapa. Pertanyaan-pertanyaan ini memang layak diuji dalam jajak pendapat atau hearing antara rakyat dan partai politik. Namun, sebagaimana saya katakan di atas bahwa acapkali kehadiran partai politik membingungkan rakyat, terindikasi oleh hal-hal berikut ini.
Pertama, perlu ada kerendahan hati dari partai-partai politik untuk mengatakan bahwa parpol belum menjadi ekseptasi rakyat untuk meraih visi kehidupan rakyat itu sendiri. Apakah parpol kita sudah menjalankan fungsi sebagaimana dipaparkan di atas? Kita bisa menilai dan menjawabnya sendiri. Partai politik kita kadang terlalu sibuk pada urusan meraih kekuasaan dan melupakan fungsi-fungsi lain seperti pendidikan politik rakyat dan representasi suara rakyat. Kesibukan sekitar panggung kekuasaan nyata ketika masing-masing parpol bekerja keras jelang pemilu, pilkada provinsi atau kabupaten. Saat-saat seperti rakyat menjadi sahabat yang paling dekat bagi partai politik. Slogan-slogan populis didengungkan dan dicanangkan di mana-mana. Rakyat baru mulai diajak dan ditarik untuk mengenal dan memahami partai politik beberapa waktu sebelum acara-acara di atas. Setelah kesibukan politik itu selesai, partai politik urus dirinya, rakyat pikir dirinya, dan masing-masing seperti dua orang yang tidak saling kenal.
Kedua, cobalah bertanya kepada rakyat pendidikan politik apa yang telah diberikan partai-partai politik kepada mereka. Anda mengharapkan jawaban seperti apa? Partai politik kita belum mampu memberikan pendidikan politik yang benar kepada rakyat sebelum dirinya sungguh-sungguh mampu mendidik dirinya sendiri dengan moralitas politik yang baik. Dalam lima tahun, sebuah tahapan pemilu, partai politik sibuk menjelang satu sampai dua tahun menuju pemilu atau pilkada berikutnya. Sebelum-sebelumnya ya mungkin isitirahat atau cuti panjang. Ini artinya, partai politik belum mampu memanfaatkan waktu selama lima tahun untuk menanamkan pendidikan politik kepada rakyat. Saya membayangkan jika ada partai yang menyelenggarakan seminar di kampung, membuat diskusi-diskusi berkala bersama warga guna membicarakan realitas global dan persoalan mereka sendiri, membuat aksi penyadaran hukum, bakti sosial. Jika hal-hal ini saja belum dibuat, bagaimana mungkin parpol mengklaim bahwa ia telah melakukan pendidikan politik kepada rakyat.
Ketiga, teks buku politik yang dibaca oleh rakyat selama ini adalah teks yang menyajikan kisah-kisah miris-minor hingga comedian para aktor politik yang terlahir dari dapur partai politik. Rakyat mengerti dengan jelas bagaimana parpol dan aktor politik saling sikut merebut posisi, bagaimana aksi para politikus kutu loncat, pengkhianat parpol. Rakyat juga menyaksikan lahirnya partai dengan dualisme kepemimpinan, tidak ada yang mau kalah, semua mau menang dan mau perang. Rakyat memirsa aktor politik jadi pelawak dadakan (mendadak lawak) di panggung dan mengalirkan janji-janji manis pro rakyat, sementara rakyat semakin tahu bahwa lawakan itu hanya ‘pengelabuan’ dan janji-janji itu pemanis mulut belaka. Bagaimana rakyat bisa belajar berpolitik secara etis jika partai politik menjadi mazhab yang mengajarkan aliran politik dengan menghalalkan segala cara.
Keempat, sekian sering, hal-hal di atas dilihat sebagai dinamika dalam percaturan politik demi meraih yang lebih baik. Hemat saya ini argumentasi klise yang sudah basi. Kan tidak logis preposisi ini, meraih yang baik dengan cara-cara yang buruk. Dinamika politik harus menjadi lebih baik dari hari ke hari. Dinamika itu juga mengisyaratkan semakin intesnya parpol menjalankan peran-perannya. Sangat disayangkan jika dinamika politik kita dari tahun ke tahun hanya berputar sekitar sikut-sikutan meraih posisi dan meninabobokan rakyat dengan janji-janji manis. Kadang politik diibaratkan sebagai daerah tidak hitam dan tidak putih. Dan parpol adalah ruang yang berwarna tidak jelas. Dan ketidakjelasan inilah yang memungkinkan bahwa segala sesuatu sangat mungkin dalam sebuah ruang dan formulasi politik. Sebagaimana kata orang, politik adalah seni membuat kemungkinan dari berbagai kemungkinan menjadi hal yang memungkinkan.
Hemat saya, ruang politik tidak melulu ruang bernama mungkin. Ruang politik itu riil, jelas dan mesti juga berwarna jelas. Karena roh politik adalah etos dan moral, maka politik itu juga berwarna hitam atau putih dan bukan tidak hitam dan tidak putih. Saya ingin mengatakan bahwa anggapan yang keliru tentang politik tidak pantas menjadi landasan untuk membiarkan segala hal bisa terjadi dalam ruang politik. Dari terminusnya, politik itu sebuah upaya luhur untuk meraih kesejahteraan bersama. Ada nilai yang jelas yang mau diraih. Dan partai politik seharusnya tidak lagi membiarkan dirinya hidup dalam anggapan-anggapan yang keliru
Dalam tahun ini, di NTT akan digelar berbagai perhelatan demokrasi. Pilkadal gubernur dan wakil gubernur, juga belasan pilkadal di daerah. Sudah sejak beberapa saat lalu partai-partai politik sibuk dengan agendanya untuk meraih target pada perhelatan itu. Lagi-lagi rakyat yang menjadi incaran. Deklarasi paket, mobilisasi massa dan agenda-agenda partai terus berjalan di daerah-daerah. Apa yang bisa rakyat lakukan pada saat-saat semacam ini? Saya yakin bahwa walau pendidikan politik yang rakyat terima begitu kurang, namun mereka sanggup menentukan pilihan politisnya. Rakyat saat ini sudah semakin kritis dan bisa belajar sendiri dari apa yang mereka lihat, dengar dan baca. Rakyat adalah hakim yang adil, yang akan menghukum partai politik mana yang tidak layak dan mana yang layak dengan caranya sendiri. Rakyat juga akan mencari keadilannya sendiri atas partai-partai itu.
Bagi partai-partai politik, selamat bertarung. Selalu ingat bahwa tugas parpol tidak sekadar suksesi politik. Masih ada tugas lain yang juga penting (peran sebagai tugas). Kiranya, walau berkedip-kedip, parpol masih terus berjuang mempertahankan ekseptasi rakyat. Dengan modal inilah, parpol bisa dikenang dan dicintai rakyat.


Dimuat di Timex, Januari 2008




No comments: