Monday, April 7, 2008

Tahun Baru Harapan Baru


Oleh Isidorus Lilijawa



Setiap pergantian tahun atau peralihan momen tertentu selalu mengingatkan kita tentang dua hal ini. Pertama, sesuatu yang mesti ditinggalkan atau dilupakan, dan kedua, hal-hal yang menjadi obsesi yang harus diraih. Karena itulah, dalam setiap aspek peralihan, serah terima, suksesi entah itu dalam soal waktu, jabatan dan kepercayaan orang senantiasa menerapkan manajemen ini, kontinuitas dan diskontinuitas. Kontinuitas adalah suatu keberlangsungan, penerusan nilai dan program yang ada, mempertahankan yang telah ada, menjaga tradisi dan melestarikan sejarah. Sedangkan diskontinuitas merupakan sebuah model pemutusan tali sejarah, tidak ada kelanjutan, mulai dengan yang baru, menciptakan sejarah baru.
Hari-hari awal di tahun yang baru tengah kita lewati. Tahun 2008 bukan lagi obsesi tetapi fakta. Hari-hari awal ini tentu menjadi kesempatan yang baik bagi kita sebagai pribadi, keluarga, maupun komunitas untuk menimbang dan mempertanyakan tempat kita di tengah dunia yang terus berubah ini. Upaya memaknai tahun yang baru tak bisa dilepaspisahkan dari apa yang sudah kita buat di tahun sebelumnya. Sebelum memasuki tahun 2008, kita telah mengakrabi dan bergelut dengan hari-hari di tahun 2007. Tak dapat dimungkiri bahwa ada banyak kisah yang kita tulis, rupa-rupa gambaran yang kita desain selama tahun 2007. Kisah dan gambaran itu menjadi hal yang berharga ketika kita memasuki sebuah babak baru kehidupan kita di tahun yang baru.
Ditinjau dari aspek kontinuitas, ada hal-hal positif yang mau kita teruskan dan pertahankan di tahun yang baru ini. Sesuatu yang positif itu bisa berupa pola laku dan sikap kita di rumah, kantor, dan dalam hidup bermasyarakat. Bisa juga kinerja dan tanggung jawab kita terhadap kepercayaan yang didaulatkan oleh orang lain, komitmen populis kita terhadap jabatan publik yang kita emban. Apa yang menurut kita sukses di tahun 2007 sebaiknya terus dipertahankan dan ditingkatkan di tahun yang baru ini. Dalam aspek diskontinuitas, dengan pergantian tahun, ada hal-hal tertentu yang harus dilupakan dan ditanggalkan dari memori kita. Hal-hal yang cenderung berusaha untuk dilupakan itu seperti pengalaman yang menyakitkan, penderitaan hidup, kisah tragis. Pertanyaan untuk kita; apakah kita boleh melupakan segala hal di tahun yang lama demi sesuatu yang baru di tahun baru?

Melawan Lupa
Hemat saya, salah satu tugas dan tanggung jawab kita saat memasuki tahun yang baru adalah berjuang melawan lupa. Peralihan tahun tidak melulu bermakna melepaskan sesuatu yang lama (diskontinuitas). Walau kita mempunyai alasan untuk melupakan kegetiran hidup, penderitaan dan kesakitan di tahun yang lama, namun kita bisa belajar memanajemen hidup secara lebih baik di tahun yang baru dengan mengunyah pengalaman sakit dan derita itu.
Ada pengalaman-pengalaman tertentu yang mesti terus dilestarikan ingatannya. Ini berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai memoria passionis (ingatan akan penderitaan). Mengingat dan terus mengingat penderitaan di masa lalu terlebih yang disebabkan oleh struktur kekuasaan yang menindas, oleh ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa yang menyebabkan penderitaan begitu banyak orang, mengakibatkan kehilangan hak hidup orang-orang kecil adalah upaya mengingat yang tak ada titik batasnya.
Ada pengalaman komunal dalam konteks kita di NTT selama tahun 2007 yang patut diingat dan terus dimaknai. Praktik-praktik kotor dalam tubuh pemerintahan masih sering terjadi. Penyakit korupsi, kolusi, nepotisme masih merajalela. Mafia hukum dan calo-calo proyek bergentayangan. Kisah trafficking, manipulasi dan penggelembungan anggaran mewarnai hari-hari di tahun 2007. Kita tidak boleh melupakan hal-hal ini. Karena melupakannya hanya berarti kita membiarkannya terus berkecambah kian panjang di tahun yang baru. Tindakan kita adalah mengingat. Dan ini bukan sekadar menyimpannya dalam file-file memori kita atau menjadikannya sebagai tumpukan memori usang di gudang benak kita. Mengingat berarti belajar untuk tidak mengulangi hal yang sama. Mengingat juga berarti menjadi kritis terhadap situasi semacam itu. Mengingatnya sama halnya dengan berjuang membasmi hal-hal kotor semacam itu dari keseharian hidup kita di tahun yang baru.
Milan Kundera dalam bukunya, The Book of Laughter and Forgetting, mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa kita memang kerap jatuh dalam dosa mudah melupakan sejarah, pun sejarah penderitaan. Kita cenderung melupakan dosa-dosa kekerasan masa lalu dan berbagai penyimpangan terhadap martabat manusia entah karena kita takut mengingatnya atau karena kita merasa itu bukan bagian dari sejarah hidup kita. Pada tataran ini, kita perlu berkaca pada petuah Bung Karno yang selalu berapi-api menggelegarkan jasmerah: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kita mesti memasuki tahun yang baru dengan penuh kesadaran. Peralihan tahun bukan sekadar formulasi siklis waktu linear. Setiap pergantian tahun adalah kesempatan untuk mengisi baterei (recharge) komitmen kita melawan tindakan ”mematikan ingatan” oleh para penguasa sembari terus ”mempertahankan ingatan” terhadap berbagai penderitaan masa lalu. Pada titik ini, tahun yang baru bisa bernilai khairos (berdaya keselamatan) bagi kita yang memasukinya.

Harapan Baru
Tahun yang baru selalu melahirkan harapan yang baru. Ada banyak intensi dan obsesi yang dibangun. Di tahun yang baru ini kita tentu berharap agar kehidupan menjadi lebih beradab, penghasilan bertambah, kesehatan membaik, urusan jodoh berjalan lancar, dan sebagainya. Sebagai setitik waktu dari perputaran masa, tahun 2008 diharapkan membawa banyak perubahan dalam hidup kita. Tak mengherankan jika ucapan selamat tahun baru selalu disertai ungkapan doa dan harapan agar sukses di tahun yang baru.
Tak pernah ada harapan tanpa kerinduan. Hasrat rindu melahirkan harapan untuk bertahan dan menggapai obsesi yang telah dibangun. Tahun 2008 adalah momen di mana kerinduan itu diharapkan bisa digapai, walau kita sadar bahwa ada kerinduan metafisis, kerinduan yang tak pernah terpuaskan karena kita memang tak pernah sampai pada inti kerinduan itu. Satu guratan harapan untuk semua orang adalah agar di tahun yang baru ini, segala sesuatu menjadi lebih baik dari tahun yang lalu. Ini harapan kita. Sejauh manakah harapan itu bisa digapai?
Sesaat sebelum memasuki tahun 2007, Mama Lauren, paranormal kondang yang prediksinya hampir tak pernah meleset meramal bahwa tahun 2007 bencana akan lebih parah. Berita buruknya ada pada alam, gunung meletus, gempa bumi, kecelakaan laut dan udara akan terjadi. Karena itu masyarakat harus hati-hati. Ramalannya tergenapi. Tahun 2007 diawali dengan tragedi yang memilukan. Eforia sukacita menyambut tahun yang baru, redup, suram dan gelap seketika mendengar kabar hilangnya pesawat Adam Air dalam penerbangan dari Bandara Juanda, Surabaya menuju Bandara Sam Ratulangi, Manado.
Akankah ramalan yang sama terjadi di tahun 2008 ini? Kita tidak tahu, tetapi kita tentu tahu bahwa kita mempunyai harapan bahwa di tahun baru ini negeri kita terhindar dari berbagai bencana itu; bencana alam, bencana moral, bencana nurani, bencana kemanusiaan, bencana strukutral dan bencana atas bencana. Harapan inilah yang membuat kita teguh memasuki tahun yang baru walau kita pun belum tahu akan jadi apakah kita pada lembaran-lembara hari yang akan datang silih berganti itu.
Dalam kata pengantar untuk Novel Surat-Surat Dari Dili, Dr. Paul Budi Kleden, SVD melukiskan secuil konsepsi Ernst Bloch tentang harapan. Bloch (1885-1977) menggagas ‘filsafat harapan’. Baginya, harapan akan masa depan yang baik merupakan pendorong bagi manusia untuk senantiasa mencari jalan keluar di tengah himpitan tantangan. Penulis novel ini, Maria Matildis Banda sependapat dengan Ernst Bloch bahwa harapan mesti terus dinyalakan untuk membakar kehampaan hidup menjadi hidup yang berisi. ”Fernando menengadah. Pesawat terbang menembus cakrawala” (hal. 90). Masih ada cakrawala, masih ada harapan, masih ada jalan keluar bagi persoalan hidup. Dialektika pesimisme dan optimisme juga nampak dalam percakapan Isabella dan Bomane. “Bomane, ada bulan patah di langit. Kenapa bisa patah?” (hal. 175). Kehilangan harapan yang Isabella alami tatkala melihat tanda-tanda alam itu mendapat peneguhan dari Bomane. “Bulan tidak patah. Dia hanya muncul sepenggal saja untuk menerangi jalan kita pulang” (hal. 175). Asa masih ada walau setitik. Inilah optimisme yang harus ada bagi kita ketika menapaki hari-hari di tahun 2008. Walau bulan cuma muncul sepenggal, namun ia masih bisa menerangi jalan pulang kita manusia, berjalan pulang menuju harapan awal yang mulai pupus.
Kehilangan harapan berkaitan erat dengan masa lalu. Masa lalu adalah kenangan. Memoria yang terbangun tentang masa lalu dapat menentukan arah dan orientasi hidup. Masa lalu bukanlah sampah, bukan untuk disesali. Masa lalu mesti menjadi teks terbuka bagi sebuah pembelajaran. Ia adalah ensiklopedi yang perlu dibolak-balik, menemukan referensi bagi kekinian. Masa lalu selalu ada. Tak pernah bisa ditiadakan. ”Ya. Sebaiknya memang kita tidak pernah tahu. Melihat masa lalu sepertinya melihat kunang-kunang dalam kegelapan. Hanya titik-titik cahaya, yang tak dapat dijangkau, tetapi selalu ada!” (hal. 260). Masa lalu memberi pijakan untuk sebuah masa kini dan peziarahan menuju masa depan. Masa lalu selalu membangkitkan harapan untuk berubah.
Masa lalu kita di tahun 2007 mungkin bisa disesali, tetapi tidak dapat dihilangkan. Masa lalu itu melekat dengan kekinian kita. Ini sejalan dengan upaya kita untuk melawan lupa. Kita harus melawan berbagai upaya pembiaran yang menyebabkan hidup kita di tahun 2007 menjadi kurang berarti, seperti membiarkan praktik korupsi jalan terus, membiarkan orang-orang kecil ditindas terus, membiarkan pengusaha mengatur harga sesukanya. Kita mesti memasuki tahun yang baru dengan tekad baru pula. Tahun baru adalah kelahiran baru bagi perjalanan hidup kita. Sebelum tahun baru kita merayakan dies natalis Domini. Ini adalah kekuatan yang memampukan kita untuk mengubah dunia ini menjadi lebih baik dan memenuhi ruang batin dan ruang hidup kita dengan kedamaian (pacem in terra).
Kelahiran kita di tahun yang baru ini adalah kelahiran untuk mengubah (born to change). Mengubah kondisi sosial bukan hanya tugas pemerintah atau LSM yang peduli. Ini tugas kita semua. Kita harus berani mengubah diri karena tanpa itu kita tak akan sanggup mengubah dunia ini. Tahun 2008 adalah saatnya kita dilahirkan untuk berharap (born to hope). Untuk mengubah wajah NTT menjadi lebih baik, mesti ada tanur harapan yang terus menyala. Tanpa harapan boleh jadi aksi mengubah kita cuma sebatas formalitas. Untuk mewujudkan dua hal ini, tahun 2008 adalah saat bagi kita untuk dilahirkan kembali (born to reborn). Setelah dilahirkan dalam peristiwa natal, kita diberi tugas untuk membidani lahirnya kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, kepedulian sosial, pengorbanan, pertobatan dalam segala ranah hidup kita entah sebagai eksekutif, legislatif, penegak hukum, pengusaha, kontraktor, petani, pedagang kecil, guru, mahasiswa, dan sebagainya. Dan ketika gema perdamaian pacem in terra diwartakan oleh para malaikat saat dies natalis Domini, kita disadarkan untuk melahirkan kembali kedamaian itu di tahun 2008 ini, dan bukan sebaliknya kita terlahir untuk membunuh (born to kill) karakter sesama dan kepentingan publik.

Dimuat di Timex, Januari 2008



No comments: