Monday, June 2, 2008

Anggaran Pro Poor

(Mengkritisi manajemen anggaran di NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa


Stasiun TV RCTI dalam segmen Indonesia Bangkit yang dirangkai berita Seputar Indonesia, Senin (26/5) lalu menurunkan potret ironi NTT. Tayangan awal menyoroti tiga bocah di salah satu daerah di Kupang yang berebutan makan jagung bose sepiring. Pada sebuah fokus, tampak seorang bocah yang lebih kecil menangis karena tak kebagian rezeki itu. Sementara itu, tayangan selanjutnya menyoroti istana Gubernur NTT yang megah, mewah dan luas. Sebuah istana yang menghabiskan uang rakyat sebesar Rp.16 M. Pada sesi selanjutnya, dilaporkan bahwa APBD NTT tahun 2008 sebesar Rp.1,08 triliun. Sayang bahwa dari jumlah itu, porsi untuk rakyat hanya 39%. Ini belum lagi membukitnya kasus korupsi pejabat selama tahun 2007 yang mencapai 80 kasus, namun baru 3 pelaku yang dipenjarakana. Padahal negara (rakyat) mengalami kerugian sebesar Rp. 215 M. Luar biasa!
Gambaran awal ini hanya mau menegaskan bahwa manajemen anggaran publik ini NTT saat ini belum pro poor (belum berpihak pada orang miskin). Pertanyaan sederhana untuk kita refleksikan? Masih berbanggakah kita sebagai pejabat yang tinggal di rumah jabatan yang mewah sementara orang-orang miskin di sekitar kita untuk makan jagung bose saja masih susah? Apa artinya rumah jabatan gubernur, rumah jabatan walikota Kupang yang berkelas hotel bintang lima jika masyarakat tetap bertiarap dalam kemiskinan dan kemelaratan?

Prinsip Anggaran
Selama 5 hari (19-23 Mei 2008) bertempat di Hotel Orchid Kupang, para peserta dari 9 kabupaten/kota dan provinsi melakukan sebuah lokakarya dan pelatihan perencanaan dan penganggaran terpadu, yang difasilitasi oleh GTZ melalui program GLG (good local government). Syukurlah bahwa ada dua orang yang diundang menjadi observer dalam lokakarya ini, saya dari INCREASE dan rekan Vincent Bureni dari Bengkel APEK Kupang. Momen ini sangat bermanfaat karena selain memantau, kami juga terlibat bersama-sama dengan rekan-rekan dari Bappeda kabupaten/kota dan provinsi, juga peserta yang diutus dari SKPD tertentu menggeluti proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dokumen rakyat yang bernama APBD itu.
Terkait dengan lokakarya dan pelatihan itu, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui mengenai anggaran. Anggaran publik memiliki beberapa prinsip. Pertama, transparan. Dokumen anggaran dapat dengan mudah diakses oleh publik. Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang bagi keterlibatan publik secara langsung. Selain itu, adanya hubungan yang kuat antara program dan nilai alokasi anggaran dengan kondisi aktual kebutuhan masyarakat. Ini untuk mengetahui seberapa besar penetapan anggaran mengakomodir kepentingan publik, khususnya masyarakat miskin. Aspek transparan ini juga terkait dengan adanya kebijakan yang memberikan tempat/ruang kontrol dan monitoring oleh lembaga independen dan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelembagaan sebagai media “check and balance” dan ada prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan/pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan menjamin hak informasi publik.
Kedua, rasional. perhitungan besaran penerimaan dan pengeluaran dilakukan dengan metode yang jelas dan terukur, bukan dengan perkiraan-perkiraan dan kepentingan pihak tertentu. Ketiga, akuntabel. Ini berhubungan erat dengan komitmen pemerintah untuk mengelola anggaran secara transparan, ada jaminan yang jelas terhadap hak-hak masyarakat dalam pelaksanaan anggaran dan ada prosedur pertanggungjawaban anggaran oleh pemerintah kepada publik yang diatur dalam suatu kebijakan/peraturan daerah. Keempat, keadilan dan proporsional. Maksudnya, anggaran dialokasikan pada sektor-sektor tertentu yang mendesak dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas sebagai kompensasi pemerintah kepada kelompok masyarakat tertentu (miskin) untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang telah menciptakan ketidakadilan ekonomi.
Sementara anggaran yang pro poor mempunyai beberapa prinsip. Anggaran harus dikelola secara transparan, akuntabel, partisipatif dan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran; menggunakan prinsip keadilan anggaran (efektif, efisien, dan adil); program/kegiatan mempunyai indikator yang jelas dan terukur. Selain itu, orang miskin ditargetkan untuk mendapatkan perhatian khusus (orang miskin menerima manfaat lebih besar); perencanaan dan penganggaran difokuskan pada akar masalah dari kemiskinan; memberikan kemampuan pada orang miskin agar dapat mengakses dan menggunakan sumber daya yang dapat membantu mereka untuk keluar dari kemiskinan; orang miskin dapat berpartisipasi dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi atas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Anggaran pro poor adalah praktik penyusunan dan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja ditujukan untuk membuat kebijakan, program, dan proyek yang berpihak pada kepentingan masyarakat miskin. Anggaran pro poor dapat dilihat dari dampaknya apakah dapat meningkatkan kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.

Mengkonteks
Apa korelasinya anggaran pro poor untuk NTT? Dari beberapa prinsip yang dikemukakan di atas, hemat saya belum semuanya teraplikasi dalam ruang perencanaan hingga penetapan dan dalam ruang praksis pelaksanaan APBD di lapangan. Penyusunan anggaran kita belum transparan. Warga tidak dilibatkan secara aktif. Malah ini seolah-olah jadi privilese eksekutif dan legislatif. Anggaran kita juga belum akuntabel. Ada banyak tikus dalam karung beras anggaran kita. Anggaran daerah kita bocor sepanjang jalan. Anggaran itu pun belum adil dan proporsional. Membangun istana pemerintah yang megah dan menguras biaya bisa, tapi memberi makan untuk rakyat sendiri tak bisa.
Data BPS tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 17%, sementara jumlah penduduk miskin di NTT adalah 28%. Pada tahun 2004, diperkirakan rata-rata pendapatan masyarakat NTT adalah sekitar Rp2,9 juta/orang/tahun, sedangkan pendapatan masyarakat Indonesia hampir mencapai Rp9,5 juta/orang/tahun. Jumlah penduduk miskin di NTT tahun 2007 sebanyak 1,16 juta jiwa atau 27,51%. Untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada tahun 2005 Provinsi NTT menduduki peringkat ke-31 dari 33 provinsi lainnya. Data BPS NTT sampai dengan 17 Januari 2006, menunjukkan bahwa di NTT terdapat 952.508 RT yang mana 75,45% adalah RT miskin. Angka kematian ibu melahirkan adalah 554 jiwa/1000 kelahiran dan angka kematian bayi adalah 72 jiwa/1000 kelahiran. Jumlah pengangguran di NTT sampai bulan Agustus 2007 sebanyak 77,7 ribu jiwa atau 3,7%. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2005 turun menjadi 3,1% dari 4,8% pada tahun 2004 (BPS NTT 2006). Data korupsi terkini hasil temuan BPK-RI yang dipublikasikan pada tanggal 16 Mei 2006, sampai dengan semester II TA 2005 terdapat 331 kasus penggunaan dana anggaran publik yang berindikasi korupsi dan diduga dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp.184,54 M. Dan berita terbaru hasil analisis ICW sebulan lalu, NTT naik peringkat untuk kategori provinsi terkorup yakni ke-3 di Indonesia.
Apa yang mau dikatakan dengan data dan fakta ini? Sudah saatnya APBD di NTT ini baik di provinsi maupun kabupaten menerapkan anggaran yang pro poor. Masih banyak orang kecil dan orang miskin di NTT yang butuh perhatian, butuh makan dan pengobatan, tidak sekadar membangun aneka istana pemerintahan, menggelontorkan banyak biaya untuk perjalanan dinas yang belum dirasa urgen, mendesak dan terkesan diada-adakan. Anggaran pro poor adalah sebuah kemendesakan dan kemestian untuk konteks NTT saat ini. Yang perlu dibuat adalah adanya kehendak politik dan tekad keras pihak-pihak yang secara langsung mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam penanggulangan kemiskinan. Menciptakan iklim yang mendukung berupa peraturan/kebijakan daerah yang mendukung penanggulangan kemiskinan, usaha kecil, akses terhadap kredit, pedagang kaki lima, penghapusan pungutan terhadap hasil-hasil pertanian. Membangun tata pemerintahan yang baik melalui keterbukaan, pertanggungjawaban publik, penegakan hukum, penghapusan birokrasi yang menyulitkan, pemberantasan korupsi.

Belajar dari Jembrana
Kabupaten Jembrana beberapa tahun terakhir menjadi kabupaten paling disoroti karena keberhasilan pemerintah setempat membebaskan biaya sekolah dan biaya kesehatan bagi masyarakatnya. Banyak daerah yang melakukan studi banding ke sana, termasuk beberapa daerah di NTT ini. Apa yang dibuat setelah pulang studi dari sana? Ini yang belum tampak. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Jembrana pada tahun 2001 Rp.1 M, 2002 Rp.6 M, 2003 Rp.9,2 M dst, 2006 Rp.11,2 M. Angka-angka ini jauh lebih kecil dari Denpasar dan Badung yg pada saat bersamaan meningkat di atas Rp.250 M. Dan mungkin juga lebih kecil dari PAD kabupaten/kota kita di NTT. PAD NTT sendiri tahun 2002 Rp.81,6 M, 2003 Rp.94,3 M, 2004 Rp.123,7 M, 2006 Rp.175,9 M.
Namun, mengapa dengan PAD yang terbatas, Pemkab Jembrana dapat melakukan hal-hal berikut ini: Tahun 2005 untuk menggratiskan pendidikan dan biaya kesehatan Pemkab Jembrana mengalokasikan Rp.110 M (89 M untuk pendidikan dan 20 M lebih untuk kesehatan); lebih dari itu, para petani sawah dibebaskan dari PBB atas lahan sawah (kira-kira nilainya Rp.670 juta); penataan perizinan (ada sekitar 50 perizinan, akta catatan sipil 5 jenis dan pelayanan kependudukan) yang menghindari ‘kontak langsung’ dengan pejabat, sehingga menghindari ‘pungli’ dan korupsi. Mengapa Jembrana bisa? Kuncinya adalah pemerintah berani melakukan inovasi, kreasi dan efisiensi. ”Tujuan berpemerintahan, apalagi dalam otonomi daerah, terutama adalah menyejahterakan rakyat, bukan untuk kekuasaan.” Ini komitmen Bupati Jembrana.
Gebrakan yang Bupati Jembrana lakukan adalah pengadaan kartu pengenal PNS tanpa biaya karena sekaligus merupakan Kartu ATM dari Bank Provinsi (efisiensi dan mendidik kebiasaan menabung); terobosan untuk belanja rutin di kantor-kantor. Penerapan standar dan sistem pergudangan yang baik sehingga bisa ditekan kemungkinan korupsi dan kuitansi fiktif atau penggelembungan harga dan bentuk manipulasi lainnya. Dalam 6 tahun terakhir tidak pernah mengalokasikan pembelian kendaraan baru melainkan menggunakan kendaraan dinas lama dan sebagian kendaraan sewa, dan yang lainnya. Berbagai terobosan dan inovasi itu menghasilkan penghematan biaya 20-50 persen. Manajemen anggaran pro poor di NTT bisa belajar dari Jembrana. Sayang jika dengan sekian banyak potensi yang ada di bumi Flobamorata ini, kita hanya dikenal karena ranking 3 terkorup di Indonesia.

Pemerhati Masalah Anggaran Publik.
Saa ini bekerja di Institute of Cross Timor Economic and Social Development (INCREASE)

Masyarakat dan Partisipasi Anggaran

Oleh Isidorus Lilijawa

Dalam siklus penyusunan APBD, bulan Januari–Pebruari adalah waktu untuk melakukan Musrenbangdes/dus (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa/Dusun). Pada momen ini, masyarakat bersama-sama merumuskan kebutuhan pembangunan yang akan dijalankan di dusun atau desa bersangkutan sebelum kesepakatan itu dibawa ke tingkat kecamatan dan seterusnya kabupaten. Kesannya memang sebuah pendekatan partisipatif yang bottom up, tetapi praksis di lapangan justru masih jauh dari yang diharapkan. Musrenbangdes/dus belum mencerminkan partisipasi anggaran masyarakat setempat.
Temuan Lokakarya Membangun Pemahaman Bersama Tata Pemerintahan yang Baik Pemprov NTT kerja sama dengan GTZ, tanggal 3-6 Juli 2007 mengerucutkan beberapa persoalan di antaranya: (1) sistem dan mekanisme perencanaan dan penganggaran belum terintegrasi; (2) penentuan prioritas usulan masyarakat lebih kuat dipengaruhi pertimbangan politis dan lobi eksekutif; (3) Musrenbangdes/dus sekadar formalitas (masyarakat lebih menganggap sebagai ritual tahunan, bukannya sebuah proses yang berkesinambungan); (4) minimnya informasi yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran partisipatif pada tingkat masyarakat desa; (5) peserta dan/atau fasilitator hanya sebatas mengidentifikasi masalah, tidak mampu melakukan analisis sehingga tidak menemukan kebutuhan dan pemecahannya secara benar; (6) kelompok perempuan dan rentan belum dilibatkan dalam perencanaan dan penganggaran, kalaupun terlibat tidak dalam kapasitas untuk mengambil keputusan.
Beberapa temuan ini dalam kacamata skeptis melahirkan tanya: masih urgenkah Musrenbangdes/dus bagi masyarakat kita saat ini? Skeptisisme ini terkuak tatkala kita mencermati berbagai temuan di atas. Selaih itu, Musrenbangdes/dus saat ini sepertinya menjadi ”proyek” tahunan pemerintah daerah tanpa ada upaya edukasi anggaran bagi masyarakat. Lebih miris lagi jika suara-suara masyarakat yang mengkristal dalam Musrenbang di desa, hilang lenyap ditelan belantara birokrasi dan politis ketika berada pada tahap musrenbangkab. Mengapa? Karena pada tahap Musrenbangkab terjadi pertarungan sengit antara RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang disusun oleh Bappeda dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) yang merupakan agenda Bupati/Walikota terpilih. Agenda ini erat kaitannya dengan ”janji politik” yang disampaikan pada saat kampanye. Suara masyarakat bisa-bisa terpinggirkan dan terabaikan apalagi dalam pembahasan anggaran level kabupaten, tidak dibuka ruang partisipasi bagi masyarakat untuk hadir dan memantau proses pembahasan anggaran.

Hak Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran adalah hak masyarakat. Hak ini terkait dengan prinsip partisipasi yakni masyarakat harus diberdayakan, diberi kesempatan, dan diikutsertakan untuk berperan mulai dari tahap perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Partisipasi bukan hanya berupa kehadiran masyarakat atau perwakilan masyarakat di dalam kegiatan-kegiatan seremonial perencanaan. Partisipasi seharusnya berwujud aspirasi, akses, dan kontrol. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan dalam mempengaruhi dan mewarnai keputusan yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Dari 8 tingkatan partisipasi yakni manipulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, penentraman, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, kontrol masyarakat, masyarakat kita masih berada pada level manipulasi hingga penentraman. Pada level ini tingkat pembagian kekuasaan berciri tak ada partisipasi hingga sekadar justifikasi agar masyarakat mengiyakan. Yang pemerintah buat melalui terapi bertujuan sekadar agar masyarakat tidak marah; pada pemberitahuan sekadar informasi searah/sosialisasi; pada tingkat konsultasi masyarakat didengar, tetapi saran mereka tidak selalu dipakai. Padahal ideal partisipasi anggaran adalah tingkat keterlibatan dan pengaruh individu dalam penyusunan anggaran, serta proses di mana pelaksana anggaran diberikan kesempatan untuk terlibat dan mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan anggaran.
Salah satu daerah di Indonesia yang patut menjadi model pembelajaran dalam partisipasi anggaran adalah Kabupaten Sumedang – Jawa Barat. Pemkab setempat menghasilkan Perda No.1/2007, tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah Kabupaten Sumedang. Pada Perda itu dicantumkan penghitungan sumber daya di awal perencanaan (pagu indikatif awal tahun perencanaan); jaminan terhadap keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah yang dilembagakan dalam bentuk Forum Delegasi Musrenbang (FDM); adanya jaminan prioritas kegiatan hasil Musrenbang diakomodasikan dalam penganggaran. Dalam Perda itu juga dirumuskan Pagu Indikatif Kecamatan (PIK) yakni sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program. Dengan FDM, masyarakat mempunyai wakil untuk mengawasi dan memantau perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan anggaran publik. Apakah kita mau belajar juga dari Sumedang?

Celah Partisipasi
Masyarakat bisa berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran. Pada tahap pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) antara panitia anggaran eksekutif dan legislatif, juga pada saat paripurna di DPRD celah untuk masyarakat adalah masyarakat (baik individu maupun lembaga) bisa memberikan masukan dan kritik terhadap draft dokumen KUA pada saat hearing di DPRD (lisan atau tulisan); memberi masukan dan hadir selama proses pembahasan (tulisan atau SMS); membangun opini publik dengan menggunakan media (koran atau radio).
Dalam proses penetapan anggaran seperti penyusunan draft RKA–SKPD/kerangka pembiayaan di internal Pemda, yang mana pembahasan hanya melibatkan SKPD dengan Bappeda dan Bagian Keuangan, yang keluarannya adalah kerangka rencana RAPBD, masyarakat pun bisa terlibat. Pada proses ini ada titik kritis pertama, karena bisa terjadi usulan dadakan/pencoretan rencana kegiatan hasil Musrenbang. Celah yang bisa digunakan masyarakat adalah melakukan komunikasi dengan dinas/instansi secara informal untuk konfirmasi tentang rencanan usulan kegiatan atau sekaligus memberikan masukan dan tambahan kegiatan berdasarkan rujukan kepada hasil Musrenbang apabila ada yang terlewat. Selain itu, bisa membangun hubungan secara personal dengan pejabat di SKPD.
Pada tahap pembahasan draft RKA-SKPD di DPRD antara SKPD dengan Komisi DPRD yang diawali dengan pembahasan secara umum kerangka rencana RAPBD antara panitia anggaran eksekutif dan legislatif, masyarakat bisa berpartisipasi. Celah keterlibatannya adalah pada saat pembahasan di Komisi DPRD, masyarakat bisa melakukan pengawalan dengan hadir di tempat pembahasan atau meminta hearing secara resmi ke DPRD dan melakukan diskusi dengan anggota Komisi DPRD secara informal. Pada tahap pembahasan pendahuluan RAPBD, yang mana ada titik krusial kedua yakni akan terjadi tarik menarik berbagai kepentingan, warga bisa terlibat pada saat DPRD melakukan hearing dengan masyarakat untuk sosialisasi RAPBD; masyarakat bisa melakukan monitoring selama pembahasan, memberi masukan dan sekaligus membangun publik opini melalui media massa dan kelompok kepentingan bisa melakukan monitoring di pembahasan yang menjadi minatnya.
Pada tahap pengesahan APBD masyarakat pun bisa terlibat dengan diundang resmi oleh DPRD pada seluruh rapat paripurna (masyarakat tidak bisa memberi masukan, hanya mendengarkan saja). Warga bisa membuat tulisan pada saat paripurna dan disebarkan ke peserta dan undangan. Masyarakat bisa hadir pada tahapan pembahasan/penyelarasan dan masih bisa memberi masukan melaui surat atau SMS, dan masyarakat bisa meminta hearing dengan Panggar DPRD. Pada tahap pelaksanaan APBD masyarakat dapat terlibat dengan memonitoring pelaksanaan kegiatan (apakah sesuai dengan rencana); melihat alokasi anggaran, apakah sesuai dengan budget yang telah direncanakan (berapa nilai riil kegiatan, apakah tender dilakukan secara transparan dan akuntabel). Kalau terjadi dugaan penyimpangan bisa diangkat dan dilaporkan kepada institusi yang berwenang
Tahap akhir siklus APBD adalah evaluasi dan pengawasan. Ada yang bersifat administratif dan politis. Administratif oleh Bawasda. Politis oleh DPRD pada arena LKPJ. DPRD melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan APBD triwulanan atau semesteran. Evaluasi satu tahun yaitu pada arena LKPJ. Celah keterlibatan warga pada tahap ini adalah pada saat evaluasi tahunan, warga bisa memberi masukan ke DPRD, dengan mengkritisi dokumen LKPJ Bupati dengan melihat pelaksanaan di lapangan. Warga bisa memberikan penilaian (melakukan komparasi) antara rencana dan target yang telah disepakati di dokumen KUA dengan dokumen LKPJ.
Keuntungan adanya keterlibatan publik dalam perencanaan hingga evaluasi APBD adalah meningkatkan kualitas perencanaan dan alokasi sumber daya demi efisiensi penggunaan sumber daya yang terbatas. Selain itu, memperkuat proses demokrasi dan meningkatkan rasa saling percaya. Semuanya ini hanya terjadi apabila ada kemauan politik dari pemerintah dan wakil rakyat. Perjuangan untuk terlibat dalam proses anggaran bukanlah upaya yang mudah apalagi kultur birokrasi dan politis kita masih cukup rigid pada hal-hal ini. Namun, tidak mesti ada kata menyerah. Karena APBD adalah hak rakyat, maka sudah saatnya rakyat harus terlibat dalam seluruh proses anggaran. Lembaga pemberdayaan masyarakat sudah saatnya melakukan advokasi dan studi yang terfokus pada politik anggaran. Karena apa artinya pemberdayaan jika masyarakat tidak sanggup memberdayakan diri sendiri untuk mengontrol apa yang menjadi haknya yakni APBD.

Pemerhati masalah anggaran publik.
Saat ini Sekretaris DPC GERINDRA Kota Kupang.