Monday, April 7, 2008

Situasi Batas di Tapal Batas

Oleh Isidorus Lilijawa


Persoalan tapal batas antara Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai (juga calon Kabupaten Manggarai Timur) masih terus bergulir. Para pejabat dan aparat kerap melontarkan pendapat dan gagasan terkait penyelesaian soal ini di media massa. Namun hingga saat ini, persoalan tapal batas dua kabupaten tetangga ini masih belum ada titik jelasnya. Rakyat di tapal batas sedang menanti dan terus menanti solusi apa yang bakal diambil Pemerintah Provinsi NTT selaku pihak yang berwenang menyelesaikan soal ini. Dengan terus berlalunya waktu tanpa adanya kepastian penyelesaian soal ini, maka sepertinya pemerintah sedang menghidupkan api dalam sekam bagi warga kedua kabupaten, Ngada dan Manggarai di tapal batas itu.
Beberapa saat lalu, pernah meletus aksi ‘panas’ di wilayah tapal batas itu. Puluhan anggota Suku Baar di Desa Sambinasi Kecamatan Riung memblokir jalan trans utara Flores, tepatnya antara Riung-Pota. Pemblokiran ini dipicu masalah batas wilayah antara Pemkab Manggarai dengan Ngada yang belum diselesaikan Pemprov NTT (PK,4/8/2007). Beberapa minggu kemudian, situasi panas itu terjadi lagi. Sebuah kapela di Riominsi terbakar. Pelakunya belum diketahui (PK,28/8/2007). Selain itu, kehadiran anggota TNI Kodim Manggarai sebanyak 30 orang dan Polres Manggarai 8 orang yang melakukan kegiatan TNI Manunggal dan membangun rumah salah seorang warga Manggarai di tapal batas itu sempat menimbulkan pertanyaan dan pernyataan yang ‘panas’ dari warga Desa Benteng Tawa – Riung Barat (FP,8/9/2007 - PK,28/8/2007).
Lantas, apa tanggapan dan antisipasi pemerintah dan aparat keamanan terhadap persoalan di tapal batas ini? Ketua DPRD Ngada Thomas Dolaradho minta agar Bupati Ngada dan Bupati Manggarai perlu membangun niat untuk bertemu dan pimpinan DPRD dan Muspida mendiskusikan cara penyelesaiannya seperti apa (FP,8/9/2007). Selama masalah di perbatasan belum diselesaikan, gubernur minta semua aktivitas di perbatasan dihentikan (FP,8/9/2007). Dandim 1612 Ruteng, Letkol (Inf) Bambang AS, mengirim anggota satu peleton untuk memantau dan mengamankan kondisi di lapangan agar tidak terjadi chaos (PK,5/8/2007). Pertemuan dua pucuk pimpinan daerah yang difasilitasi Depdagri menyepakati selama kurun waktu kasus akan diselesaikan dalam waktu tiga tahun sejak pengesahan Manggarai Timur menjadi kabupaten otonom. Penyelesaian akan mengacu pada dokumen yang ada (PK,5/8/2007).
Mencermati persoalan di tapal batas ini dapatlah saya katakan bahwa masyarakat di tapal batas saat ini sedang berada di situasi batas dan mengalami situasi itu. Karl Jaspers seorang filsuf eksistensialis Jerman mengartikan situasi batas sebagai situasi penuh ketidakpastian, ketegangan, ambruknya hidup di ambang kehancuran, kematian, sakit dan penderitaan. Warga Sambinasi, Riominsi, Benteng Tawa, Buntal, Labuan Kelambu sedang mengalami situasi itu. Kalau menurut Jaspers, situasi batas adalah situasi genting yang tak bisa dihindari di mana eksistensi telah sampai pada batas pertaruhan habis-habisan dengan hidup, maka situasi batas di tapal batas Ngada dan Manggarai itu justru diciptakan dan direkayasa oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Situasi itu sebenarnya bisa dihindari kalau ada niat baik untuk menghindarinya dengan solusi yang bijak.
Dalam persoalan tapal batas ini, hemat saya para pengambil kebijakan di dua kabupaten bertetangga itu (Ngada dan Manggarai) dan pihak Pemprov NTT mesti bersikap rendah hati pada sejarah titik batas itu. Interpretasi yang berlebihan atas fakta sejarah itu justru membuat persoalan kian pelik. Rendah hati pada sejarah artinya rela belajar dari dokumen-dokumen sejarah yang ada, juga rela mendengar dari pelaku-pelaku sejarah di dua titik wilayah perbatasan itu. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu disoroti dalam persoalan tapal batas ini.
Pertama, Asisten Tata Praja Setda NTT, Yos A Mamulak dalam rapat kerja dengan jajaran Pemkab Manggarai mengatakan bahwa pilar tapal batas Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngada tidak akan berubah. Pasalnya, pilar tapal batas yang ditanam sejak tahun 1973 adalah sah sesuai dokumen (PK,8/10/2007). Karena itu, menurut Mamulak, penyelesaian konflik tapal batas Ngada dan Manggarai mengacu pada dokumen dan peta sejarah yang dibuat tahun 1916 dan 1918. Selain itu dalam dokumen juga terungkap kesepakatan bersama antara Bupati Yan Yos Botha dan Bupati Frans Sales Lega. Dokumen kesepakatan 1973 telah dikukuhkan melalui keputusan Gubernur NTT tanggal 22 Januari 1973 yang ditindaklanjuti dengan penanaman pilar. Namun, Mamulak mengakui keputusan Gubernur NTT terkait tapal batas tanpa diawali penelitian dan verifikasi lapangan. Menurut saya, pernyataan ini penting sebagai bukti kerendahan hati pemerintah bahwa apa yang dibuat dulu tidak selalu benar. Dokumen yang ada perlu ditinjau lagi karena fakta di lapangan ternyata lain. Artinya, dokumen ini perlu dikonfrontasikan dengan fakta di tapal batas dan bila perlu direvisi. Pemprov NTT selaku pihak yang berwewenang menyelesaikan persoalan ini mesti juga mendengar suara-suara masyarakat akar rumput yang betul mengetahui sejarahnya.
Masyarakat Adat Riung Nusantara (MARINA) yang dikoordinir oleh Florianus Aser dalam surat yang disebar melalui mailing list riungsejagat@yahoogroups.com, menyatakan bahwa batas calon Kabupaten Manggarai Timur dengan Kabupaten Ngada telah mengambil kurang lebih 40-an Km wilayah Ngada ke arah timur atau ratusan kilometer dari utara ke selatan. Titik-titik batas yang disebutkan dalam dokumen pemekaran Manggarai Timur itu pun bertentangan dengan Keputusan Gubernur NTT Nomor 22 tahun 1973 tentang Kesepakatan Batas Wilayah antara Kabupaten Ngada dan Manggarai. Titik batas kedua kabupaten dalam Keputusan Gubernur dimaksud adalah di Buntal, namun dalam titik batas calon Kabupaten Manggarai Timur disebutkan di Labuan Kelambu, artinya semakin jauh mencaplok wilayah Kabupaten Ngada. MARINA mengklaim ada ‘permainan’ di Senayan yang menetapkan batas-batas calon Kabupaten Manggarai Timur dengan Ngada tanpa sepengetahuan Bupati dan DPRD Ngada.
Padahal, titik batas di Buntal sebagaimana diatur dalam Keputusa Gubernur NTT Nomor 22 Tahun 1973 itu pun sudah ditolak oleh masyarakat Ngada, khususnya Kecamatan Riung dan Riung Barat yang sudah berabad-abad mendiami kawasan Sangan Sipar, Buntal dan Labuan Kelambu. Dengan demikian, batas Kabupaten Ngada dengan calon Kabupaten Manggarai Timur seharusnya disesuaikan dengan titik batas yang telah ditentukan pada saat pembentukan kedua Kabupaten, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 69 Tahun 1958. Titik batas sejarah kedua kabupaten di utara adalah Sangan Sipar membentang dari utara ke selatan sampai Wae Mokel, bukan di Buntal atau Labuan Kelambu.
Kedua, lambannya Pemprov NTT dalam hal ini Gubernur NTT menyelesaikan persoalan ini membuat masyarakat di tapal batas berada dalam ketidakpastian. Pemprov telah berjanji untuk datang ke perbatasan dua wilayah ini guna menyelesaikan soal yang ada pada bulan Agustus. Namun sampai saat ini turba solusi itu belum dibuat. Masyarakat tetap menanti dalam ketidakpastian, khususnya warga di Buntal, Benteng Tawa, Riominsi, Labuan Kelambu. Malah jangka waktu penyelesaian diberi selama 3 tahun setelah daerah otonomi Manggarai Timur diresmikan dan selama itu tidak boleh ada aktivitas di daerah tapal batas itu. Ini sangat memukul perasaan masyarakat akar rumput. Saat ini mereka tidak berladang, bersawah, karena lahan-lahan itu di daerah tapal batas yang nota bene tidak boleh ada aktivitas di situ. Bagaimana mereka harus mendapatkan makanan? Bagaimana mereka membiayai anaknya yang sekolah jika mereka tak diberi jaminan rasa aman untuk mengolah sawah, kebun dan ladangnya? Lantas mengapa pihak yang harus menyelesaikan persoalan ini terkesan membiarkan soal ini berlarut-larut? Jangan sampai masyarakat setempat mencari rasa keadilan dengan cara mereka sendiri. Ini yang perlu diantisipasi pemerintah. Diamnya mereka saat ini bukan diam yang nirmakna. Mereka diam karena janji pemerintah. Tetapi jika janji itu tak ditepati, ‘hal-hal yang panas’ tentu bisa terulang lagi.
Berkaitan dengan itu, dua kabupaten tetangga Ngada dan Manggarai yang terlibat dalam persoalan ini agar mencari waktu untuk duduk bersama. Duduk bersama ini perlu sebagai langkah awal berbicara bersama mengenai persoalan bersama ini. Pada titik ini, segala kepentingan selain kepentingan masyarakat di daerah perbatasan harus dijauhkan. Sejarah masyarakat di tapal batas harus menjadi rujukan. Ruang diskusi bersama ini perlu bukan untuk saling mengklaim dan membenarkan atau mempersalahkan, tetapi sebagai ruang untuk melihat bersama, mana sejarah dan rujukan yang benar, mana yang keliru. Jangan karena pihak yang berwenang menyelesaikan soal ini adalah Gubernur NTT, lantas semua menanti solusi dari atas (Pemprov). Sebagai pihak yang sangat dekat dengan masyarakat perbatasan, pemerintah dua daerah ini mesti proaktif menciptakan rasa aman, nyaman, dan rasa adil bagi warga di perbatasan.
Alex Dungkal, seorang wartawan di Jakarta dalam riungsejagat@yahoogroups.com menulis begini: “Kita percaya Gubernur NTT Piet A Tallo, Bupati Ngada Piet Nuwa Wea dan Bupati Manggarai Chris Rotok masih memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan perbatasan ini secara hukum dan beradab. Sungguh tak terbayangkan jika trio pemimpin ini gagal menuntaskan masalah perbatasan yang sudah lama memendam. Rakyat di daerah perbatasan - sebagian besarnya berasal dari etnis Riung – tak paham apa itu pemekaran, tapi mereka tahu persis di mana tanah milik orang lain dan di mana ‘tanah milik kami’ (terra nostrae). Mereka paham ajaran leluhur bahwa manusia boleh beranak-cucu, tapi tanah tidak.”
Ketiga, status konflik di tapal batas ini mau tidak mau butuh keterlibatan aparat keamanan dari dua kabupaten. Sikap kritis warga Benteng Tawa yang mempertanyakan anggota Kodim Manggarai membangun satu rumah penduduk di daerah bermasalah adalah hal yang tepat. Aparat keamanan hendaknya tidak bermain di air keruh. Konflik ini perlu dicari solusi dan bukan untuk dibisniskan. Kalau dengan konflik ini aparat keamanan perlu berjaga-jaga di sana, itu memang tugas mereka. Tetapi jangan sampai kondisi warga yang mulai tenang justru terpicu oleh konflik yang dimulai aparat keamanan sendiri. Dan kehadiran aparat keamanan dalam jumlah banyak di tapal batas tidak menjadi monster yang menakutkan warga sekitar. Kita tentu tidak menutup mata terhadap berbagai kasus di negeri ini seperti Aceh, Papua, Poso, Ambon. Konflik di daerah itu dibisniskan oleh aparat militer untuk melanggengkan kepentingan mereka. Kiranya hal ini tidak terjadi di tapal batas Ngada – Manggarai yang tengah bergolak ini. Dalam hal ini, aparat keamanan harus bertindak profesional. Mereka tidak boleh membela pihak-pihak tertentu dan melakukan tindakan represif terhadap pihak lain. Trauma militerisme masih tergurat jelas di wajah warga tapal batas. Jangan menambah panjang deretan derita mereka.
Masyarakat di daerah perbatasan Ngada dan Manggarai saat ini sedang bergulat dengan situasi batas. Kita tentu tidak ingin melihat pergulatan itu berkepanjangan dengan konflik yang tidak terselesaikan. Peran pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah adalah mencari jalan keluar bagaimana masalah perbatasan ini diatasi. Reaksi-reaksi masyarakat Suku Baar, MARINA, Benteng Tawa perlu diterjemahkan secara lebih jeli dan akurat agar kita bisa hidup lagi secara damai sebagai saudara dan saudari di tapal batas dua kabupaten ini.

Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero-Maumere

No comments: