Monday, April 7, 2008

Munir,Bukan Sekadar Nama

Oleh Isidorus Lilijawa

“Saya ini nasionalis, tahu! Yang tidak nasionalis itu pejabat negara yang rajin bicara soal nasionalisme, tetapi rajin pula menggarong harta negara. Perwira tinggi militer yang gagah bicara soal cinta tanah air sambil menyunat jatah makan harian prajuritnya, itu yang tidak cinta negaranya…” Demikian kata-kata Munir yang dikutip AA Sudirman, wartawan Suara Pembaharuan dalam buku Munir Sebuah Kitab Melawan Lupa.
Munir, pada tanggal 7 September 2004 silam telah menyeberangi dunia yang lain dalam kesendiriannya. Memiliki hasrat sekuat baja untuk menuntut ilmu di negeri Kincir Angin – Belanda, Munir justru mengalami situasi batas dan meninggal di atas benua Eropa, awal September di musim gugur. Munir ditemukan telah meninggal (pukul 06.00/12.00 WIB), dua jam sebelum mendarat di Bandara Amsterdam-Schiphol, pukul 08.10 pagi. Dua bulan kemudian, 11 November, terungkap bahwa Institut Forensik Belanda NFI menemukan arsen (arsenicum) tersisa sebanyak 465 miligram di lambung dan sekitar 3,1 dan 4,8 miligram di darah dan urinenya.
Setelah 3 tahun ia pergi dari medan perjuangan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia, namanya tidak pernah luntur dari ingatan dan kesaksian begitu banyak orang yang ’diselamatkannya’. Walau hingga kini penyelesaian masalah Munir hanyalah sebuah dagelan hukum, nama Munir justru tidak menjadi luntur karena permainan para mafia hukum itu. Kebenaran pasti akan terungkap. Hanya soal waktu saja, kapan. Setelah Polycarpus bersaksi, ditahan, dilepaskan dan dijerat lagi dengan novum (bukti baru), giliran Ongen ’gondrong’ yang diincar polisi. Toh, kasus Munir semakin tidak jelas. Hanya ada retorika-retorika hukum yang dilontarkan. Badan intelijen negara (BIN) diduga berada di belakang aksi pembunuhan itu. Tetapi juga mana bukti dan siapa oknumnya? Juga belum jelas. Yang jelas saat ini adalah senyum sinis pemilik tubuh ringkih, berambut kemerahan dengan sisiran old-fashioned dari dunia seberang menyaksikan tingkah para mafia hukum di negeri ini. Dan dari seberang sana pun Munir tetaplah seorang nasionalis sejati.
Munir memang bukan siapa-siapa dan tak ada apa-apanya. Dia hanyalah si ”Daud” yang berani berhadapan dan berperang melawan ”Goliath” di negeri ini, mulai dari Soeharto, hingga berbagai aksi kekerasan yang dilakukan aparat TNI terhadap para mahasiswa. Jejak langkah Munir tak tertulis dalam prasasti dan disimpan di museum perjuangan di negeri ini. Tetapi, dalam hati para buruh yang dibela hak-haknya, dalam diri para aktivis yang hilang, dalam diri para korban pelanggaran HAM, nama Munir abadi. Si Daud Munir tampil di pentas negeri ini berteriak tentang penghargaan HAM. Ia amat kritis terhadap kasus Tanjung Priok maupun perang di daerah konflik seperti Aceh, Timor Timur, Papua dengan menyelidiki dan menggugat ulah oknum, aparat dan institusi yang berkuasa. Bahkan sebelum memasuki situasi batas itu, Munir masih giat menyelidiki sejumlah isu seputar korupsi, dana perang di Aceh, serta menyiapkan kampanye menentang RUU TNI sehingga sempat dicekal BIN sebelum terbang ke Belanda.
Kehilangan Munir dari pentas negeri ini mengindikasikan bahwa perjuangan menegakkan HAM, upaya memperjuangkan kebenaran dan keadilan selalu mempunyai risiko yang tidak ringan. Hanya orang-orang yang berani dan berkomitmen sungguh yang sanggup menerobos kepekatan kabut penyelesaian kasus-kasus HAM di negeri ini. Munir hadir sebagai duri dalam daging bagi penguasa, bagi aparat yang bertindak sewenang-wenang seolah-olah negara ini dibuat sebagai kontrak antara diri dan kepentingannya sendiri. Munir memang tidak sekadar nama. Dia adalah perantara, medium, ketika kita berbicara tentang penghormatan kepada HAM, penegakan hukum, supremasi sipil, demokrasi dan keadilan. Munir adalah ”cara” memperjuangkan semua itu. ”Cara” itu adalah kebersahajaan, kepedulian, keberanian, keteguhan moral, kesabaran, konsistensi, tidak kenal lelah, kejujuran, nondiskriminasi, kecerdasan.
Kepergian Munir adalah sebuah perutusan, karena dengan itu setiap kita diminta tanggung jawab untuk meneruskan perjuangannya, mempertahankan komitmen pada kebenaran dan keadilan. Haidar Bagir yang menulis tentang Munir dalam Munir Sebuah Kitab Melawan Lupa mempertanyakan apa makna kepergian Munir bagi kawan-kawan (kita semua) yang ditinggalkannya? Munir bagaikan sebening-beningnya kaca untuk bercermin bagi kita semua. Kaca yang menunjukkan betapa bopengnya wajah kita. Yang mengingatkan semua bahwa apa yang kita perjuangkan, belum seberapa dibandinkan dengan kerja almarhum selama ini. Atau ”...Ibarat magma yang penuh keyakinan, kekuatan moral, dan kecerdasan yang jernih, teguh dan sabar yang menular kepada kita semua melalui kepergiannya,” kata Romo Sandyawan.
Milan Kundera dalam bukunya, The Book of Laughter and Forgetting, sebagaimana disitir J. Pramowardhani mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa kita adalah bangsa pelupa. Lupa atas dosa-dosa masa lalu, kekerasan-kekerasan masa lalu dan berbagai penyimpangan masa silam. Munir justru tampil pada fase ini. Ia berseru-seru seperti Yohanes di padang gurun agar kita tidak terjangkit penyakit ’lupa’. Ia mengingatkan kita agar tidak lupa. Ia menghidupkan kultur anamnesis, kultur pengenangan pada masa lampau.
Mengenangkan masa lampau selalu berarti menerobos kepekatan dan timbunan memori yang terpecah-pecah, memori sejarah yang dimanipulasi. Munir telah memulainya. Karena seperti Walter Benjamin, ia yakin bahwa memoria passionis, ingatan pada mereka yang menderita dan kalah adalah hal yang sangat urgen bila kita mengusahan sebuah pertobatan dan transformasi di masa kini. Pengenangan pada masa lalu itulah yang membangkitkan daya mesianis dalam diri Munir untuk berteriak, menggugat, bersaksi, menuduh, mencibir, menyindir aktor-aktor kekerasan di negeri ini. Munir ibarat sebuah kitab yang tidak lekang oleh ruang dan waktu. Ia melawan tindakan yang ’mematikan ingatan’ sekaligus mengajak kita untuk mempertahankan ingatan dan membuat perlawanan terhadap lupa.
Munir adalah sebuah nama yang sederhana. Namun dalam kesederhanaan itu, ia bermakna menyinari (Munir bahasa Arab adalah sinar). Munir dengan KontraS-nya berusaha menyinari nasib kelabu para korban penculikan dan tindak kekerasan rezim Soeharto dan post bom reformasi pecah. Munir memang kecil. Karena itu, ia lebih berfungsi seperti lilin, yang berusaha menerangi kegelapan dengan tak gentar menghabiskan dirinya sendiri.
Goenawan Mohamad dalam sebuah eleginya tentang Munir menulis: ”Dengan tubuhmu yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan di setiap senja kala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama kekerasan, yang kedua ketidakadilan, yang ketiga keserakahan, dan yang keempat kebencian. Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan. Ya, ayah kalian melawan semua itu- empat penunggang kuda yang menakutkan itu, hasrat kekuasaan itu, juga ketika hasrat itu mendekat ke dalam dirinya sendiri – dengan jihad yang sebenarnya sunyi.”
Munir adalah sosok yang menggetarkan bagi bangsa ini. Ia tidak sekadar nama dan pejuang kemanusiaan yang tidak takut dengan kekuasaan dan bedil, melainkan ia menjadi penggerak moralitas publik. Ketika bangsa mengalami sebuah trauma ketakutan akan kekuasaan yang menggunakan ”bedil” sebagai alat untuk menakuti publik, Munir hadir dengan segala kepolosannya untuk mengatakan kepada publik bahwa di negeri ini semua harus tunduk pada norma kemanusiaan dan keadilan. Munir adalah sebuah jalan untuk menegakkan moralitas di tengah bangsa yang sakit ini.
Tiga tahun lalu, dalam kesunyian ia pergi meninggalkan kita. Seperti biji gandum, jika tidak jatuh ke tanah tentu ia tidak akan menghasilkan banyak buah. Munir sudah pergi. Ia memberi kesempatan kepada setiap kita untuk menghasilkan buah kebenaran, keadilan dan cinta kasih. Perjuangan Munir belum berakhir, walau jasadnya terlebur tanah di pemakaman terakhir. Sanggupkah kita meneruskan perjuangan Munir? ”If we value so highly the dignity of lefe, how can we not also value the dignity of death? No death may be called futile” -Yukio Mishima – (1925-1970). Dengan pernyataan itu, Mishima mau mengatakan bahwa apresiasi yang kita berikan pada kehidupan seharusnya berlaku sama pada kematian, karena kematian selalu membawa makna dan bukan hal yang sia-sia. Kematian Munir bukanlah hal yang sia-sia jika kita memaknai kematiannya sebagai awal dari perjuangan kita untuk membela kehidupan ini. Kematian hanyalah situasi batas, bukan situasi akhir. Munir sudah terbatas bagi kita secara fisik, tetapi ia tidak pernah berakhir untuk kita.
Seperti yang dituliskan seorang feminis, Virginia Woolf, kepada Leonard, suaminya sebelum ia menenggelamkan dirinya, “…ada yang harus mati, agar kita semua bisa menghargai hidup.” Saya yakin, Munir ingin agar kita memaknai kepergiannya seperti itu. Dan mau menunjukkan kepada kita bahwa hidup bisa menjadi sesuatu yang mewah, manakala kita telah berhenti menebarkan harapan dan membiarkan mesin kekerasan terus menggerus rasa kemanusiaan kita. Munir, memang bukan sekadar nama. Di dunia lain pun ia tetaplah seorang demokrat tulen dan nasionalis sejati.


Isidorus Lilijawa, dilahirkan di Riung – Ngada, 4 April 1979. Sekarang mahasiswa pasca sarjana STFK Ledalero. Menyelesaikan S1 Filsafat di STFK Ledalero tahun 2005. Tahun 2005/2006 menjadi staff Media Center Unika Widya Mandira Kupang. Tahun 2006/2007 menjadi editor dan wartawan Flores Pos/DIAN. Email: isidrojawa@yahoo.com




















No comments: