Monday, April 7, 2008

Melawan Lupa

Melawan Lupa
Oleh Isidorus Lilijawa


Di negeri ini kita mengenal cukup banyak hari yang diperingati secara nasional. Ada peringatan hari pahlawan, hari ibu, hari anak, hari lingkungan hidup, hari sumpah pemuda, hari proklamasi, hari perempuan, hari buruh, dan hari peringatan lainnya. Apa yang kita buat pada hari-hari peringatan semacam itu? Tentu sesuai dengan jenisnya, pelaku peringatan adalah mereka yang menjadi bagian dari hari peringatan bersangkutan. Yang merayakan hari buruh adalah para buruh. Hari perempuan diisi dengan berbagai kegiatan oleh kaum perempuan. Demikian pun hari anak. Lalu untuk hari proklamasi, sumpah pemuda dan hari pahlawan misalnya, siapa yang merayakannya? Sebagai warga bangsa, kitalah yang memberi makna dan merayakan peringatan hari-hari bersejarah itu. Bukan para pahlawan, para pendiri bangsa ini dan pemuda era 1928.
Sebagai peringatan yang rutin tahunan, boleh jadi konsep kita tentang hari-hari peringatan itu telah membaku. Ada apel bendera, buat perlombaan memasak, lari karung, sepak bola, menulis. Bisa juga demonstrasi menuntut ini dan itu. Ada pula seminar, diskusi, pengobatan gratis. Hal-hal ini memang baik. Namun, merayakan hari-hari peringatan sebatas yang artifisial, seremonial, rutinitas, kontinuitas belum sepenuhnya tercakup dalam konsep memaknai hari peringatan itu. Hari-hari peringatan itu mesti dimaknai lebih dalam, digali lebih jauh dan diartikan lebih luas. Kita mesti sampai pada fokus menemukan spirit, roh, yang transendens, religiositas dari hari-hari peringatan nasional di negeri ini. Salah satu dari fokus itu adalah menyelami kultur ingatan dalam aksi-aksi melawan lupa.

Kultur Ingatan
Hari pahlawan yang dirayakan setiap tanggal 10 November merupakan bagian dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. Sejarah bangsa ini telah dicatat dengan tinta darah kegigihan para pahlawan mempertahankan negeri ini dari kolonialisme. Di Surabaya, Bung Tomo membakar semangat pertempuran prajurit Indonesia untuk terus menggempur penjajah. Pekikan Bung Tomo dari corong radio dan teriakannya di medan pertempuran menggelorakan semangat dan patriotisme para pejuang. Kata-kata yang keluar dari mulut Bung Tomo adalah tablet yang mendongkrak energi keberanian dan kekuatan para pejuang untuk pantang menyerah melawan penjajah.
Kisah Bung Tomo dan para pejuang di medan laga Surabaya telah usai. Kita telah merdeka. Namun, ingatan kolektif kita berkaitan dengan momen 10 November 1945 itu terus dipupuk. Sejarah ditulis. Buku-buku membantu ingatan kita untuk tetap terjaga pada memori masa silam itu. Berbagai episode pertempuran difilmkan demi mempertahankan ingatan kita pada apa yang telah terjadi. Semuanya bertujuan agar kita tidak lupa. Dan untuk itu, kita mesti terus melawan lupa. Karena lupa dan melupakan adalah suatu keseringan yang mudah menggerogoti kita.
Di seantero negeri ini dibangun banyak monumen untuk melawan lupa sekaligus melestarikan kultur ingatan pada sejarah masa lalu. Ada banyak patung pahlawan berdiri di pusat-pusat kota. Makam-makam pahlawan menjadi bagian dari tata ruang sebuah kota. Pahlawan-pahlawan nasional dan daerah diperkenalkan dan dipelajari sejarahnya. Tujuannya jelas bukan kultus individu. Toh para pahlawan yang telah berbakti dan beralih hidup itu bukan manusia individu yang egonya tinggi. Mereka adalah pahlawan karena meletakkan kepentingan umum (bonum commune) di atas kepentingan diri termasuk keselamatan nyawa sendiri.
Pada titik ini, upaya melestarikan kultur ingatan melalui kesenian seperti membangun patung para pahlawan dan penjasa bangsa, mendesain makam para pahlawan, membuat film tentang pahlawan-pahlawan nasional atau membukukan kisah para pahlawan dan menciptakan lirik-lirik lagu perjuangan adalah upaya-upaya melawan lupa. Namun kita tidak boleh berhenti sampai pada mengagumi keindahan patung-patung atau terpesona dengan heroisme para pahlawan dalam buku-buku cerita dan film-film dokumenter. Kita mesti menyelisik lebih jauh bahwa dalam keindahan itu ada sejarah penderitaan yang nyata. Mereka yang dipahlawankan adalah mereka yang berjuang melawan penderitaan itu. Ada penderitaan dalam rupa kolonialisme, otoritarianisme, keserakahan, subordinasi perempuan, ketimpangan kaya miskin, kesewenang-wenangan penguasa. Dan kita mesti sadar bahwa akar-akar penderitaan itu masih ada hingga saat ini. Dalam pulchrum (keindahan) itu ada malum (penderitaan).
Apa yang dikemukakan di atas ditegaskan oleh pernyataan Dr. Paul Budi Kleden, SVD dalam bukunya Membongkar Derita bahwa gerakan ingatan kolektif lebih mudah diciptakan oleh karya-karya bernafas seni daripada pusat-pusat dokumentasi dan buku-buku sejarah yang ditulis sebagi pegangan untuk les sejarah di sekolah-sekolah. Bentuk-bentuk penuturan penderitaan di dalam karya-karya seni itu lebih mengendap ke dalam ingatan masyarakat. Walaupun sebuah karya seni merupakan karya satu orang seniman dan bukan karya bersama, tetapi karena kepekaan perasaannya, seorang seniman dapat menciptakan sesuatu, yang senantiasa membangkitkan ingatan orang akan penderitaannya sendiri atau penderitaan orang lain.
Dan saya perlu menambahkan bahwa memaknai karya seni semacam itu tidak boleh sebatas pada pemenuhan hasrat estetis. Lebih jauh kita mesti membongkar derita yang berada di balik karya-karya itu. Inilah aspek transendens dari hari-hari peringatan nasional di negeri ini khususnya hari pahlawan. Dan itu berarti tugas kita saat ini adalah terus menjaga keterjagaan ingatan kita pada pengalaman penderitaan di masa lalu dengan berjuang melawan kesewenang-wenangan penguasa dan pengusaha saat ini, berkanjang melawan ketidakadilan dan membongkar praktik-praktik yang menindas kehidupan kita.

Epistemologi Ingatan
Upaya kita mengingat, menjaga ingatan dan berjuang melawan lupa adalah sebuah proses epistemologis. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, mengingat adalah awal dari proses mengetahui. Ingatan kita adalah pengetahuan kita. Ingatan sebagai pengetahuan adalah proses memuntahkan ke permukaan semua realitas yang telah terjadi yang terkubur dalam file-file memori kita.
Mengenang para pahlawan adalah sebuah upaya yang tidak saja memutar pita memori kita pada deretan para pahlawan bangsa ini yang dikenal, diberi gelar pahlawan dan didokumentasikan dalam arsip-arsip bertinta emas di tumpukan-tumpukan arsip negeri ini. Ada banyak pahlawan yang tidak terdaftar, yang hidup mereka berakhir tragis karena risiko menempatkan kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Ada banyak figur di negeri ini yang pantas menjadi pahlawan, namun ’dikalahkan’ sejarah bangsa sendiri. Kita ingat Wiji Tukul yang getol berorasi dengan puisi-puisinya melawan rezim Soeharto dan akhirnya hilang tak tentu rimba dari negeri sendiri. Ada Romo Mangun yang berjuang dalam kesendirian bersama warga Kali Code, yang tak menuntut gelar-gelar kebesaran dari negeri ini. Yang terakhir kita ingat pejuang HAM, Munir, yang meninggal dalam kesendirian di atas dirgantara Eropa dalam penerbangan menuju negeri Belanda.
Untuk mereka yang benar-benar berjuang demi kemanusiaan, mengutamakan kebenaran dan keadilan tanpa takut bedil dan regangan nyawa, kita patut mendedikasikan pengenangan hari pahlawan tahun ini bagi mereka. Milan Kundera dalam bukunya, The Book of Laughter and Forgetting, mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa kita memang kerap jatuh dalam dosa mudah melupakan sejarah, pun sejarah penderitaan. Kita cenderung melupakan dosa-dosa kekerasan masa lalu dan berbagai penyimpangan terhadap martabat manusia entah karena kita takut mengingatnya atau karena kita merasa itu bukan bagian dari sejarah hidup kita. Munir dan Wiji Tukul misalnyua selalu tampil mengingatkan kita semua agar tidak lupa. Mereka, seperti juga mendiang Bung Karno selalu berapi-api menggelegarkan jasmerah: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Mereka dengan cara perjuangannya yang biasa namun konsisten hingga akhir telah berupaya melawan tindakan ”mematikan ingatan” oleh para penguasa sembari terus ”mempertahankan ingatan” terhadap berbagai penderitaan masa lalu.
Hari pahlawan hanya sehari. Namun, mengenang dan memaknai hari pahlawan haruslah setiap hari. Epistemologi ingatan kita tetap bertahan jika kita selalu me-refresh file memori kita dan bukan meniadakannya. Nilai-nilai kepahlawanan sangat kita butuhkan dalam zaman kita saat ini. Upaya Bung Tomo mengobarkan semangat para pejuang di medan laga telah usia. Kini tugas kita melanjutkan semangat itu dalam hidup kita. Ada banyak penderitaan yang mendera hidup kita saat ini. Para penjajah itu tidak lagi dari negara lain, tetapi lahir dari negeri sendiri bahkan dalam diri pemerintah dan aparat kita. Korupsi masih merajalela. Kesewenangan-wenangan hukum masih berlaku; yang mencuri ayam dihukum, yang korup uang negara ratusan juta dan miliaran rupiah dibiarkan bebas. Para petani dan nelayan kita terus terjajah. Harga ditentukan sepihak oleh tengkulak dan pengusaha. Keringat mereka sering tak dihargai secara pantas. Kaum perempuan kita masih diperlakukan tidak adil, dijual, dijadikan budak seks. Nasib tenaga kerja juga tidak jelas, sering jadi korban di negeri orang.
Siapa yang harus jadi pahlawan untuk mereka-mereka ini? Pangeran Diponegoro hanyalah nama. Wiji Tukul hilang rimbanya. Romo Mangun telah mangkat. Munir dibungkam dalam tetesan-tetesan racun arsenik. Siapa yang harus jadi pahlawan? Bertanyalah pada diri kita sendiri. Ataukah kita masih terus membiarkan penderitaan sejak zaman Diponegoro berkecambah hingga zaman ini saat kita selalu ber-handphone ria? Di setiap daerah kita, ada pahlawan daerah. Ada Raja Sonbay di Timor. Teka Iku di Sikka. Marilonga di Ende. Motang Rua di Manggarai. Nipado di Ngada-Nagekeo. Mengapa pemerintah dan aparat kita tidak menjejaki nilai-nilai luhur para pahlawan itu? Apakah mereka lupa dan kita juga diserang penyakit lupa? Lantas, apa makna mentahtakan figur-figur pahlawan itu di tengah wajah kota kita? Jika cuma penyaluran hasrat estetis, itu belumlah cukup.
Yukio Mishima (1925-1970) menulis begini: ”If we value so highly the dignity of life, how can we not also value the dignity of death? No death may be called futile.” Apresiasi yang kita berikan pada kehidupan seharusnya berlaku sama pada kematian, karena kematian selalu membawa makna dan bukan hal yang sia-sia. Kematian para pahlawan yang wajah mereka hanya dapat kita saksikan dalam patung-patung dan tugu peringatan atau dalam film-film dokumenter bukanlah kematian yang sia-sia. Kematian mereka adalah tanda bahwa ingatan mesti tetap terjaga. Tidak boleh takluk pada kelupaan dan penderitaan. Kematian mereka mesti seperti biji gandum yang jatuh ke tanah, mati dan kemudian tumbuh menghasilkan banyak buah. Kematian mereka sebagai pahlawan mesti memberi ruang bagi kita untuk lahir dan bertumbuh sebagai pahlawan sini kini.
Kita yang hidup di zaman ini dengan berbagai kompleksitas hidup kita mempunyai tugas yang sama yakni melawan lupa, mendobrak aksi mematikan ingatan dan terus melestarikan kultur ingatan khususnya ingatan pada penderitaan itu sendiri. Sekiranya kesenian yang menghadirkan pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanan tidak menenggelamkan kita dalam kenikmatan estetis semata, tetapi selalu menyadarkan kita bahwa ada pesan penderitaan yang diwartakan, yang harus kita berantas saat ini.






No comments: