Monday, April 7, 2008

Serviam!

(Catatan ‘Emas’ Buat Komunitas Ursulin)
Oleh Isidorus Lilijawa

Pada tanggal 21 Oktober 2006 yang lalu, lembaga pendidikan SD, SMP, dan STPM Santa Ursula merayakan pesta pelindung sekolah bertepatan dengan pesta Santa Ursula. Pada saat itu pula, komunitas biara Suster Ursulin Ende yang mengelola panti pendidikan itu membuka secara resmi perayaan emas (50 tahun) keberadaannya di Ende. Perayaan emas itu memuncak pada hari ini, Selasa (7/8) di Ende. Lintasan waktu dan peristiwa ini ternyata memiliki arti tersendiri bagi komunitas biara Suster Santa Ursula dan segenap komponen pelayanannya. Ini berarti waktu yang dilalui para Suster Ursulin itu bukan sekadar sebuah konsep waktu kronos, waktu yang biasa dalam pergantian hari, bulan dan tahun. Waktu yang dialami dan dimaknai komunitas biara ini adalah sebuah waktu bernilai khairos, waktu yang menyelamatkan, waktu yang bernilai penyelamatan dalam upaya menyelamatkan dan memberi keselamatan kepada sebanyak mungkin orang melalui karya pelayanan mereka.
Pada hari ini, 30.000-an pengikut Santa Angela (pendiri suster-suster Ursulin) di seluruh dunia merayakan kegembiraan atas usia emas pengabdian para suster ursulin di Ende–Flores. Sebuah sukacita yang beralasan. Tarekat suster-suster yang didirikan oleh Santa Angela Merici di Kota Brescia, Italia pada tanggal 25 November 1535 itu kini berkembang menjadi sebuah tarekat besar dengan keanggotaan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Ragi yang kecil itu akhirnya mengembang, melintasi benua dan menjangkau pelosok-pelosok dunia. Santa Angela yang lahir di Via del Castello 96 di pinggiran Kota Desenzano adalah gadis bersahaja yang ditempa oleh suka duka hidupnya masa itu sehingga menjadi seorang perempuan dewasa yang berkarakter luar biasa.
Perkumpulan kecil itu oleh Santa Angela diserahkan ke dalam perlindungan Santa Ursula. Santa Ursula adalah putri raja Britania yang memadukan keberanian seorang lelaki dan kehalusan seorang perempuan. Ia menjadi martir perawan yang berani dan setia mempertahankan iman dan kesuciannya hingga dibunuh oleh raja Atila di dekat Kota Koln, Jeman.
Pada perayaan puncak semacam ini, pertanyaan yang biasa dilontarkan biasanya menyangkut pemaknaan. Ini berarti memaknai pesta emas biara ursulin di Ende bukan saja sesuatu yang historis sifatnya. Ada sesuatu yang lain, yang transhistoris dan melampaui deretan angka-angka waktu. Inilah yang kita kenal dengan nilai-nilai. Hemat saya, momen pesta emas ini adalah momen revitalisasi nilai-nilai hidup Santa Ursula. Berkaitan dengan itu, memaknai pesta emas ini adalah kesempatan membuka teks masa lampau, membaca konteks masa kini dan mendesain kontekstualisasi pelayanan di masa depan. T. S. Eliot menulis: “Masa depan peradaban manusia sangat bergantung pada masa lampau dan masa kini. Rencana masa depan memerlukan analisis menyangkut pengalaman masa lampau dan pelajaran dari masa kini.”
Salah satu upaya merevitalisasi nilai-nilai hidup Santa Ursula adalah dengan terus menghidupi Serviam. Kata ini terasa dekat dengan kehidupan para suster ursulin. Serviam (servare, bahasa Latin yang berarti aku mengabdi) adalah simbol, logo sekaligus prinsip hidup para suster ursulin. Menjadi abdi Tuhan dan mengabdi secara total kepada Tuhan melalui pelayanan kepada sesama adalah prinsip hidup para ursulin. Revitalisasi nilai serviam berarti moto dan prinsip hidup ini tidak saja menjadi deretan huruf-huruf mati yang terpaku pada tembok bangunan, terpatri di ruang-ruang komunitas atau tertera di pakaian dan kendaraan biara. Kata itu adalah prinsip yang harus hidup dalam diri para suster ursulin, yang mesti terpancar dari pengabdian pada sesama, yang terus mengalir dalam kepedulian pada sesama dan lingkungan. Singkat kata, serviam mesti menjadi darah dan daging bagi segenap pengikut Santa Ursula.
Merefleksikan makna serviam di usia 50 tahun adalah sesuatu yang perlu. Usia semacam ini adalah usia-usia kematangan untuk takaran manusia dan kebertubuhannya. Namun, refleksi kritis mesti tetap jalan agar yang matang itu tidak menjadi stagnan, mapan dan tentu saja status quo. Menjadi pengabdi Tuhan di zaman ini bukanlah sesuatu yang mudah. Serviam pun tidak menjadi prinsip yang mudah diimplementasikan. Banyak model pelayanan saat ini yang sarat kepentingan. Aku mengabdi agar mendapatkan pengakuan. Aku mengabdi untuk mendapatkan sesuatu bagi kepentinganku. Aku mengabdi dengan memproyekkan orang lain. Aku mengabdi untuk menaikkan reputasi. Pelayanan dan pengabdian kerap kali dimanipulasi dari makna sebenarnya. Apakah pola-pola ini sempat singgah di biara ursulin? Jika sempat, kebaskanlah debu-debunya yang masih melekat di tembok dan jalanan biara agar tak ada jejak lagi di sana.

Serviam dalam Pendidikan
Komunitas suster-suster Santa Ursula sangat dikenal dari berbagai sekolah yang dikelolanya. Saya sempat tak habis pikir melihat foto-foto dan majalah siswa-siswi Sekolah Santa Theresia milik suster Ursulin di Jakarta. Luar biasa, baik dari segi performance maupun kualitasnya. Di Ende, SDK dan SMP Santa Ursula menjadi sekolah idaman bagi para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di situ. Yang dicari ternyata sesuatu yang kian langka di sekolah lain yakni aspek kedisiplinan dan humanitas. Ketika jam 7.00 pagi anda melintasi Jalan Wirajaya, tepat di depan kompleks sekolah Ursula, suasana begitu hening. Jam-jam seperti itu para siswa sudah duduk manis di kursi di kelas masing-masing dan siap mendengarkan pelajaran. Pada saat yang sama di sekolah lain, para siswa masih berkeliaran di luar kelas, masih kejar-kejaran. Ini satu contoh bahwa membumikan disiplin tidak harus dalam karya besar. Disiplin waktu bisa menjadi ukuran kedisiplinan dalam aspek yang lain.
Momen emas Komunitas Santa Ursula Ende adalah juga saat yang tepat untuk merefleksikan kiat-kiat pelayanan dalam bidang pendidikan di sekolah. Salah satu pemikir dan konseptor pendidikan Ursulin di Indonesia adalah Suster Francesco Marianti, OSU. Selama menjadi Kepala Sekolah SMU Cor Yesu, Malang (1965-1972) dan Kepala Sekolah SMU Santa Ursula, Jalan Pos, Jakarta (1973-1998), ia telah mewarnai perjalanan hidup ribuan muridnya dengan konsep dan praksis pendidikannya yang human dan handal.
Fikir, sebuah buku yang dipersembahkan alumni SMU Santa Ursula Jakarta yang tergabung dalam Panekuksanur kepada Suster Francesco memuat berbagai visi, gagasan dan pengalamannya di dunia pendidikan. Menurutnya, pendidikan bukan saja bertujuan mengasah aspek intelektualitas saja, tetapi juga aspek keterampilan, kepribadian dan kepekaan sosial. Itu berarti, peserta didik tidak hanya diarahkan menjadi manusia yang pintar dan terampil, tetapi juga menjadi pribadi yang mandiri dan berorientasi pada nilai-nilai serta menjadi manusia yang humanis atau peduli sesama.
Lebih jauh dari itu, sekolah adalah investasi. Pendidikan adalah satu-satunya harta yang tidak akan habis dimakan zaman. Jika kita mewariskan harta benda kepada anak-anak kita, itu tidak kekal. Harta benda bisa musnah dalam sekejap. Namun ilmu pengetahuan, semakin kita memberi, semakin kita menjadi kaya.
Suster Francesco menggarisbawahi konsep pendidikan Ursulin dengan istilah sekolah masyarakat. Sekolah mempunyai hubungan yang tak terpisahkan dengan lingkungan sekitar, khususnya di mana sekolah itu berada. Pada titik ini, sekolah bukanlah monade atau menara gading ilmu pengetahuan yang jauh dari realitas masyarakat dan lingkungannya. Karena itu, mesti ada relasi dialogal antara sekolah dan lingkungan. Sekolah mesti maju bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya. Mendirikan sekolah dengan itu tidak hanya urusan pembangunan fisik. Yang paling sulit adalah mempersiapkan perangkat lunaknya sehingga sebuah sekolah betul-betul mempunyai karakter. Proses ini bisa berlangsung puluhan tahun.
Suster Francesco menulis: “Dengan menyediakan semua fasilitas yang mahal, tentunya sekolah-sekolah eksklusif hanya bisa menerima murid-murid yang berasal dari keluarga kaya saja. Sebagai sekolah untuk rakyat kebanyakan, kita tidak bisa melakukan cara seleksi seperti itu. Satu hal yang saya khawatirkan dari kehadiran sekolah eksklusif, bagaimana anak-anak kaya ini siap masuk ke masyarakat, jika sehari-hari hanya bergaul di antara golongannya saja? Bagaimana anak-anak ini menghadapi kehidupan, jika suatu hari nasib mereka tidak semujur orang tua mereka?”
Di samping mengoptimalkan pengetahuan, sebuah sekolah perlu mengoptimalkan penanaman berbagai nilai positif yang kelak berguna dalam kehidupan; seperti beriman, kemandirian, kerja sama dan solidaritas. “Karena itulah, saya lebih bangga mencetak anak-anak yang tidak terlalu hebat-hebat amat, tetapi peduli terhadap orang lain; daripada mencetak anak-anak yang hebat otaknya tetapi hanya peduli terhadap nasibnya sendiri,” katanya.
Praksis pendidikan yang diimplementasikan komunitas Santa Ursula adalah praksis pendidikan yang membentuk anak didiknya sebagai orang yang berpikir. Khalil Gibran menulis: “You may chain my hands and shackle my feet, you may even throw me into a dark prison, but you shall not enslave my thinking because it’s free.” Banyak hal yang sebetulnya menjadi bisa lebih baik atau berkualitas apabila manusia tidak terlalu cepat berbicara. Melalui proses berpikir yang berfungsi sekaligus sebagai tenggang waktu untuk mengendapkan segala persoalan, maka akan tampak suatu kejernihan. Dengan berpikir, seseorang jadi lebih sadar dalam bertindak dan berbicara. Proses berpikir bukanlah melulu mengangkat masalah pada level otak karena manusia juga punya hati. Dengan menggunakan hati, seseorang bisa melihat lebih tajam, baik melihat ke dalam dirinya sendiri, maupun dalam melihat suatu permasalahan.
Hemat saya, dalam ranah pendidikan Ursulin peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan benih-benih kreativitas. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai kesempatan seperti pentas seni, pesta sekolah, pun dalam proses pembelajaran di kelas. Yang mau digapai dari kebebasan berkreasi ini adalah kesadaran bahwa manusia yang kreatif akan memiliki kemampuan untuk mengubah hambatan jadi peluang. Karena itu, di samping Intelligence Quotient (IQ atau kecerdasan intelektual), Emotional Quotient (EQ atau kecerdasan emosional) dan Spiritual Quotient (SQ atau kecerdasan spiritual), manusia pun memerlukan Adversity Quotient (AQ atau kemampuan mengubah hambatan jadi peluang). AQ dibutuhkan karena hidup pada hakikatnya tidak senantiasa mulus, tetapi ada naik turunnya. Peserta didik diajak untuk tidak takut pada tantangan. Tetapi beranilah menghadapi tantangan karena setiap tantangan selalu mempunyai ruang peluang yang mengubah hidup menjadi lebih baik.
Usia emas sedang dilalui. Masa depan sedang diprediksi berdasarkan teks kemarin dan konteks hari ini. Komunitas biara suster Santa Ursula pun tidak berhenti di titik emas ini. Proses pemanusiaan manusia terus berlangsung dalam belanga pendidikan di lembaga itu. Tantangan memang ada dan kadang tak terhindarkan. Namun itu bukanlah ancaman. Dengan sekolah berpikir yang digagas di ruang-ruang kelas, di tempat-tempat pelayanan lainnya, tantangan itu bisa menjadi peluang untuk membumikan terus-menerus prinsip serviam. Masyarakat dan dunia sedang menanti sentuhan pengabdian para pengikut Santa Ursula. Serviam, selamat merayakan usia emas.


Simpatisan Santa Ursula
isidrojawa@yahoo.com

No comments: