Monday, April 7, 2008

Pilkada dan Narsisme Elite

Oleh Isidorus Lilijawa


Dalam beberapa waktu terakhir ini perhatian kita cukup tersedot oleh berita seputar suksesi. Skala pemberitaan itu bervariasi. Suksesi presiden RI tahun 2009 nanti telah mulai diwacanakan saat ini. Masing-masing partai politik mulai menjagokan calon presiden dan wakil presiden. Untuk konteks NTT, pilkada gubernur NTT tahun 2008 telah ramai dibicarakan. Belum lagi pilkada di beberapa kabupaten di NTT yang akan digelar dalam satu hingga dua tahun ini. Gosip-gosip politik beterbangan. Obrolan ringan hingga wacana serius ditampilkan di mana-mana.
Ada fenomen menarik dari riak-riak suksesi di atas. Bagi kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya dan tidak dapat dicalonkan lagi, saat-saat akhir ini menjadi momen di mana mereka berupaya memberikan yang terbaik untuk daerahnya. Tentu saja, program yang belum dilaksanakan akan diupayakan secepatnya terealisasi agar ‘turun tahta’ dengan hati tenang dan berjalan dengan kepala tegak. Sedangkan presiden maupun kepala daerah yang periode pertama masa jabatannya segera berakhir dan memiliki peluang untuk dicalonkan lagi, mereka sibuk memanfaatkan waktu untuk mendulang dukungan rakyat. Bukan cuma itu, berbagai agenda dirancang dan program populis dadakan diluncurkan agar mendapat nilai ‘baik’ dan bisa dipilih lagi untuk periode kedua.
Jangan heran jika ada asumsi politik yang menyatakan bahwa masa jabatan presiden itu sebaiknya enam tahun. Dua tahun pertama untuk penyesuaian diri dengan kultur birokrasi dan politik. Dua tahun bekerja sungguh-sungguh dan dua tahun terakhir mempersiapkan diri untuk dicalonkan lagi menjadi presiden. Pernyataan ini bisa jadi sebuah kritik untuk pemerintah kita saat ini yang tidak memanfaatkan waktu secara maksimal untuk melayani kepentingan rakyat, tetapi lebih banyak waktu itu dipakai untuk mempersiapkan pencalonan kembali menjadi presiden atau kepala daerah. Apa yang dikatakan di atas bisa juga berlaku untuk kepala-kepala daerah kita yang segera mengikuti suksesi. Waktu untuk melayani rakyat porsinya kian kecil dibandingkan waktu untuk urusan partai pendukung, temu kader, acara ini itu yang ‘bernuansa’ populis tetapi efeknya justru untuk kepentingan langgengnya kekuasaan.

Corak narsisme
Limas Sutanto dalam opininya di Kompas (30/10/2007) menyajikan sebuah tulisan dengan judul “Elite” Narsistik. Menurutnya, dalam kacamata psikodinamik, “elite” Indonesia memperlihatkan corak-corak narsisme (cinta diri berlebih). Corak narsisme itu antara lain berupa tindakan menyodorkan diri sebagai calon presiden, lewat deklarasi ataupun rangkaian aktivitas penonjolan diri berselubung keramahan dan tebar senyum, dengan pretensi mendapatkan simpati. Demokrasi dipakai sebagai piranti rasionalisasi perilaku narsistik. Para “pakar” dan “pengamat” memperkuat rasionalisasi dengan mengatakan, semua itu “wajar, sah, bahkan baik”. Narsisme “elite” semacam itu perlu diguncang dengan pertanyaan terapeutik: Benarkah masalah bangsa Indonesia di sini dan kini adalah “memilih presiden baru”? “Elite” menjawab iya, tetapi kita menegaskan, bangsa Indonesia di sini dan kini masih dibelit enam masalah besar, yaitu kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan (termasuk korupsi), dan rendahnya kualitas pendidikan.
Menurut Limas, keenam masalah besar bangsa Indonesia ini bukan seperti penyakit flu yang akan sembuh dalam waktu singkat. Lalu apa yang terjadi jika pemegang kekuasaan terus sibuk dengan tetek bengek aktivitas meraih kembali kekuasaan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya? Tidak pelak lagi, bangsa Indonesia akan terus dibelit enam masalah besar, terus semrawut, dan kehidupannya kian tidak bermutu. Di lubuk hati bangsa Indonesia saat ini bergema ungkapan, “Kapan gerakan pembebasan bangsa Indonesia akan lahir dan akan bertumbuh kembang?” Ungkapan itulah yang sebenarnya tersuarakan mewakili makna aktual “pengalaman dunia dalam” (inner world experience) bangsa Indonesia di sini dan kini.
Rasa cinta diri berlebih saat ini sedang dipertontonkan para elite politik kita. Berbagai persoalan yang bersentuhan langsung dengan eksistensi rakyat sepertinya kurang mendapat perhatian serius. Enam masalah besar di atas adalah persoalan-persoalan aktual dan faktual bagi masyarakat. Namun, bagaimana mau menuntaskan persoalan-persoalan itu jika virus rasa cinta berlebih itu cukup imun untuk ditaklukan dengan antibiotika spirit populis. Ujung-ujungnya, dari waktu ke waktu kita hanya menyaksikan program-program kerja pemerintah yang tidak tuntas, program yang dilaksanakan tidak secara sungguh-sungguh, bahkan lahir berbagai kebijakan yang sarat masalah.
Dody Achamd, seorang staf pengajar di ITB Bandung dalam Surat Pembaca Tempo (18/11/2007) menulis Polusi Wajah Politisi. Menurutnya, belakangan ini wilayah perkotaan marak dengan kemunculan banner atau spanduk yang menampilkan wajah-wajah politisi dari berbagai partai. Sepintas isinya tampak mulia dari ucapan selamat menjalankan ibadah puasa hingga ucapan selamat menjalankan Idul Fitri yang baru berlalu. Namun, wajah-wajah mereka yang mendominasi titik-titik strategis ruang kota telah membuat wajah kota tercemar. Kepada Anda para politisi, apakah tidak ada cara lain yang lebih elegan untuk dikenal masyarakat? Misalnya dengan berkarya nyata, sehingga masyarakat otomatis akan mengenal dan mengingat Anda, daripada sekedar mejeng, tersenyum bisu tanpa makna di perempatan-perempatan jalan.
Keprihatinan Dody Achmad ini bisa menjadi keprihatinan kita. Lihat saja wajah kota kita. Gambar-gambar para politisi yang bakal bertarung dalam pilkada bertebaran di mana-mana. Bahkan dinding rumah dan pintu-pintu rumah pun tertempel gambar-gambar itu. Jika Dody Achmad melihat hal ini sebagai polusi, hemat saya yang perlu kita cermati adalah jangan sampai murahnya figur-figur itu nampang di mana-mana menyebabkan nurani kita terpolusi. Yang dicemaskan bukan saja gambar-gambar yang membuat polusi tetapi kata-kata mereka dan tindakan preparasi jelang pilkada menjadikan hati nurani rakyat, ketenangan rakyat terpolusi. Polusi itu terjadi ketika rakyat dininabobokan dengan janji-janji politik dan elite politik mengkorupsi waktu untuk rakyat dengan sibuk urus kepentingan diri.

Teologi Politik
Dalam kacamata teologi politik, fenomena semacam ini bisa dicerna dalam dua alur besar teologi politik yakni teologi politik lama dan teologi politik baru. Teologi politik adalah teologi yang bisa dipakai untuk para pemimpin, para elite politik, dan pemerintah. Dalam teologi politik, tidak saja medan politik yang perlu diberi warna dasar teologis, tetapi khazanah teologi mesti diberi bobot politis. Toh sumber-sumber teologi seperti tradisi-tradisi iman dan Kitab Suci tidak terlepas dari nuansa politik.
Dalam teologi politik lama, politik dihayati sebagai upaya mempertahankan kuasa dengan berbagai cara bahkan yang tak halal. Juga usaha memanipulasi kebenaran dan keadilan dengan rasionalisasi yang logis dan sistematis. Tokoh teologi politik lama adalah Eusebius dari Caesarea yang mengembangkan teologi politiknya untuk memperkokoh posisi kaiser Konstantinus dengan argumentasi-argumentasi teologis politisnya. Eusebius mengembangkan teologi politik yang memperkuat posisi kaiser dan merestui politik expansi-imperialis-nya. Tokoh lainnya adalah Carl Schmitt, seorang ahli hukum negara yang menulis “Teologi Politik” (1922) untuk membela kekaiseran Prusia atau Republik Weimar terhadap serangan anarkisme yang ateistis.
Teologi politik lama dalam konteks kita diwakili oleh segelintir “elite” yang narsistik. Mereka mencintai diri dan kepentingannya secara berlebihan sehingga menjadikan jabatan dan kekuasaan yang dimiliki sebagai instrumen pemuas dahaga narsistik. Narsisme itu mengabaikan entitas lain di luar dirinya. Semata-mata yang menjadi fokus adalah diri sendiri. Karena itu, “elite” semacam ini menyembah pada totalitas “sang aku”. “Elite” seperti ini sibuk dengan suaranya sendiri, yang merangkum kepentingan, keinginan dan tenaga narsistiknya sendiri yang begitu sentral dan dominan.
Lakon Eusebius dan Schmitt telah diambil alih oleh para “pengamat” dan “pakar” di Indonesia saat ini. Dengan pertimbangan “simbiosis mutualisme”, mereka menyokong hasrat “elite” politik untuk mengokohkan monumen kekuasaannya di negeri ini. “Elite” yang menyodorkan diri sebagai calon presiden dinilai sangat demokratis dan tidak melanggar konstitusi yang hidup di Indonesia. Pencitraan demokrasi dalam rasionalisasi semacam itu justru melanggengkan praktik-praktik yang tak demokratis karena sepertinya masalah terbesar bangsa ini adalah memilih presiden baru. Padahal bila dicerna, ada enam masalah besar di republik ini dan di antaranya tidak ada masalah pemilihan presiden baru. Ini yang menyedihkan. Masalah utama diabaikan, tetapi “elite” justru sibuk dengan kepentingannya sendiri dalam corak-corak narsisme.
Konteks perpolitikan kita juga kerap menampilkan aplikasi teologi politik baru. Teologi politik baru lahir sebagia refleksi atas satu sejarah dunia yang ditandai oleh peristiwa tragis yang menghancurkan kemanusiaan dan kehidupan melalui perang dingin, perlombaan senjata dan perusakan lingkungan. Teologi politik baru menghadapi dan mengamati politik dalam hermeneutika kecurigaan, karena kecurigaan adalah prasyarat bagi terciptanya sikap kritis.
Negeri ini telah berpuluh-puluh tahun merdeka, namun ia justru berdiri di atas sebuah “teologi puing-puing”. Bangsa Indonesia telah melepaskan diri dari kungkungan rezim Soeharto yang otoriter selama 32 tahun. Selepas itu, ada upaya membangun kembali sendi-sendi kehidupan bangsa yang terkoyak dan hancur dalam iklim reformasi. Namun, sampai sejauh ini, perubahan itu belumlah cukup berarti untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis multidimensi yang menderanya. Bahkan akhir-akhir ini, “elite” rajin berbicara tentang pemilihan presiden, figur-figur mana yang layak, kalkulasi politik macam mana untuk memenangkan pasangannya. Perhatian dan pembicaraan semacam ini justru menyedot energi dari konsentrasi dan komitmen mereka untuk memenuhi kebutuhan rakyat bangsa ini. Rakyat tetap berkutat dengan enam masalah besar, yaitu kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan (termasuk korupsi), dan rendahnya kualitas pendidikan.
Padahal menurut Limas Sutanto, di bahu elite Indonesia terbebankan tiga tugas penting, yaitu merancang upaya sistematik panjang bersinambung untuk mengatasi enam masalah besar itu, melaksanakan rancangan yang dihasilkan, dan mengawal pelaksanaan rancangan hingga mencapai tujuannya. Namun, tugas penting itu diredusir pada menghangatnya pembicaraan tentang pemilihan presiden (juga kepala daerah). Sehingga efektivitas pelayanan para pemimpin di negeri ini sangat terbatas. Dari lima tahun masa jabatan, yang efektif hanya satu atau dua tahun. Selebihnya adalah urusan menyangkut bagaimana mempertahankan kuasa yang ada dan urusan menyangkut diri dan keluarga.
Johann Baptist Metz, pencetus dan peletak dasar teologi politik baru menekankan deprivatisasi politik dan agama. Baginya, politik mesti menjadi urusan umum bukan kepentingan privat. Dengan menggelorakan hasrat narsisme, para “elite” sebenarnya sedang menghidupkan politik sebagai urusan privat di ruang kepentingan mereka sendiri. Mereka lupa bahwa esensi politik sebagai pro bono publico harus menyentuh kebutuhan rakyat yang paling miskin sekalipun. Sebagaimana Dorothee Sölle yang mengungkapkan apatisme dan resignasi yang bisa jadi dihidupi rakyat karena terlalu terbebani aneka persoalan hidup, Limas Sutanto justru mengajak rakyat bangsa ini agar bersama-sama berani memikul tugas mengeluarkan bangsa ini dari lilitan enam masalah besar itu. Terhadap para elite, kita berharap agar berani membuka diri terhadap realitas penderitaan pihak lain, memberi ruang bagi pihak lain dalam diri sendiri dan menerima serta menjalani kehidupan sebagai kebersamaan dan pengalaman berbagi antara diri dan pihak lain.
Kapan gerakan pembebasan bangsa Indonesia akan lahir dan bertumbuh kembang? Pertanyaan ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, tetapi kepada kita-kita. Gerakan pembebasan bangsa ini dari lilitan aneka persoalan tidak cukup diurus pemerintah apalagi pola pemerintahan yang dibangun itu justru menimbulkan soal demi soal. Saatnya kita sebagai rakyat berjuang merombak sistem yang ada, yang menyebabkan lahirnya enam masalah besar bangsa ini. Itu hanya ditunjang jika kita tidak hidup sebagai rakyat yang narsistik pula. Sekaranglah saatnya kita menjaring para elite dengan kriteria yang jelas dan jujur. Hindari para elite yang menyebabkan banyak polusi di negeri dan daerah kita. Sungguh lebih bijak jika mereka menghabiskan waktu pengabdian selama lima tahun itu dengan bekerja bagi kepentingan rakyat. Bukan sekadar ’jual tampang’ secara murah di baliho-baliho kota dan poster-poster yang melayang hingga pelosok desa. Toh rakyat kian jeli menjaring siapa yang bakal ’digugurkan’ pada saatnya sebelum ia menebarkan virus narsisme dan menyebarkan polusi politik setelah ’jadi’ pejabat lagi.


Isidorus Lilijawa, warga Oebufu, anggota forum akademia NTT. Sarjana filsafat dari STFK Ledalero. Saat ini koordinator program ACILS-LPA NTT.



No comments: