Monday, April 7, 2008

Politik Kampung dan Politik Kampungan

Oleh Isidorus Lilijawa


Suksesi gubernur NTT masih setahun lagi, namun wacana tentang suksesi itu sudah mulai menghangat. Para bakal calon gubernur NTT periode 2008-2013 sudah dan sedang menghangatkan situasi politik di NTT. Ada yang sudah secara terang-terangan menunjukkan diri, mewartakan siapa pasangannya dan menyebutkan kendaraan politik yang akan ditumpangi. Ada pula yang masih terus bergerilya, mencari karib sepaket dan kendaraan politik yang bakal mengantarnya ke arena suksesi. Deal-deal politik terus berlangsung. Dinamika perpolitikan semacam ini kian menghangat dan boleh jadi memanas pada hari-hari ke depan. Namun, inilah politik dan seni berpolitik, suatu upaya menata bonum commune yang meniscayakan dinamika dan mobilitas.
Dalam upaya memperkenalkan dan mengetahui sejauh mana komitmen para bakal calon gubernur terhadap masyarakat NTT dan kompleksitas persoalannya, PMKRI Cabang St. Yohanes Don Bosco Ende menggelar dialog publik, Sabtu (27/10). Hadir pada dialog publik itu tiga kandidat bakal calon gubernur NTT, Gaspar Parang Ehok, Beny K. Harman dan Alfons Loemau. Tampil sebagai pembanding dalam dialog itu adalah Pater Dr. Philipus Tule, SVD.
Yang menarik dari dialog publik itu adalah pernyataan Pater Philipus Tule, SVD selaku pembanding. Menurutnya, pemimpin NTT mesti berpolitik secara kampung, bukan kampungan. Politik kampung artinya ia melihat NTT sebagai satu kampung besar. Dengan demikian ia akan melihat masyarakat yang di dalamnya ada tanah dan rumah dengan gubernur sebagai mosalaki – daki (pemimpin). Dengan berpolitik kampung akan lahir pemimpin yang berbudaya yang mendengarkan aspirasi rakyat. Sementara jika para pemimpin berpolitik kampungan, maka mereka akan memilah-milah rakyat. Akan ada polarisasi dan primordialisme. Politik kampungan ini akan merusak tatanan hidup masyarakat NTT (Flores Pos, 1/11).
Pernyataan di atas hemat saya tidak saja ditujukan bagi para pemimpin NTT saat ini dan para bakal pemimpin yang akan bertarung dalam Pilkada gubernur 2008. Lebih jauh, apa yang diungkapkan itu ditujukan kepada kita warga masyarakat NTT agar memiliki pemetaan yang jelas tentang figur-figur pemimpin kita yang sudah, sedang dan akan terlibat dalam kancah suksesi. Setidak-tidaknya, kita sudah memiliki kriteria untuk mengamankan suara dan hak pilih kita pada hari suksesi. Dan tentunya agar kita menjadi pemilih yang berpolitik kampung bukan kampungan.

Politik Kampung
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kampung dipahami sebagai desa, dusun, kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu (KBBI, hal. 383). Kampung dengan demikian merupakan sebuah entitas yang dihuni oleh orang-orang yang beraneka ragam latar belakang sosial budaya dan peran dalam masyarakat bersangkutan. Orang-orang dalam sebuah kampung diikat oleh aturan bersama untuk mencapai tujuan hidup bersama. Kampung adalah basis di mana harapan-harapan setiap orang untuk mencapai tujuan hidupnya dibangun.
Dalam konteks yang lebih luas, kampung adalah sebentuk polis. Jika Plato menyebut polis untuk mengartikan negara kota, maka kampung adalah sewujud polis karena merupakan kumpulan orang-orang merdeka dengan hak yang sama untuk menata kehidupan bersama. Politik kampung dengannya merupakan upaya untuk menata kehidupan bersama sebagai orang-orang merdeka demi meraih bunom commune. Penataan kehidupan bersama ini mengandaikan partisipasi dari segenap komponen yang ada di dalam kampung. Dan mereka yang menjadi pemimpin dari sebuah kampung adalah mereka yang dipercayakan untuk mengambil kebijakan, mendorong, mencontohkan, berkaitan dengan segala upaya mewujudkan pro bono publico (kepentingan umum).
Desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan negara ini adalah kampung kita. Di wilayah-wilayah ini kita mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga kampung. Dalam ke-NTT-an kita, provinsi ini adalah sebuah kampung besar, tempat bermuaranya segala arus kepentingan masyarkat NTT. Kampung NTT ini berdiri di atas berbagai perbedaan suku, bahasa, etnis, agama, dan golongan. Keberbedaan ini menjadikan NTT sebagai sebuah kampung besar yang kaya khazanah sosial, budaya dan religi. Kampung besar NTT ini membutuhkan pemimpin yang mengenal karakter dan kebutuhan orang-orang sekampung. Dan karena itu sang pemimpin akan berjuang untuk kepentingan seluruh warga kampung. Warga kampung NTT membutuhkan pemimpin yang mempersatukan bukan memecah-belah; pemimpin yang merakyat bukan meraja; pemimpin yang mempedulikan kepentingan rakyat bukan menumpuk harta pribadi dan keluarga; pemimpin yang tanggap pada aspirasi rakyat bukan gagap menyuarakan aspirasi itu.
Kita di NTT saat ini memang membutuhkan figur pemimpin yang tahu dan pandai berpolitik kampung. Pemimpin model ini mengindahkan nilai-nilai budaya, tidak mengabaikan kearifan lokal dan mendahulukan keutamaan-keutamaan religius. Seperti seorang mosalaki di kampung yang mempunyai peran membantu memecahkan persoalan warganya, mendamaikan yang bertikai dan menjadi simbol persatuan warga kampung, sosok pemimpin di kampung besar NTT haruslah pemimpin yang PAS. Pemimpin model ini mengetahui problem apa yang dialami warganya. Dari problem itu ia tahu kebutuhan apa yang diharapkan warganya. Setelah mengetahui problem ia pandai membuat analysis atas persoalan itu. Pada tingkat analisis, akar persoalan mesti dicari, pertanyaan mengapa terus diajukkan dan tidak percaya begitu saja pada laporan-laporan atau data-data di atas kertas yang disampaikan staf dan bawahannya. Tahap akhir adalah menemukan solution atas problem yang dialami warganya. Solusi ini bukan sekadar untuk kesenangan sesaat para warga, tetapi sebuah langkah bijak yang diambil guna memenuhi kebutuhan warga yang mengalami persoalan itu.
Sebagaimana seorang mosalaki, pemimpin NTT mestilah dia yang tahu menghargai tanah dan rumah warganya, yang pandai mengelola potensi-potensi dalam kampung untuk kepentingan warga kampung dan tampil sebagai seorang yang berbudi luhur, yang mengindahkan orang-orang kecil dan miskin serta berjuang bersama mereka memerangi faktor-faktor yang menciptakan penindasan, kemelaratan dan keterpurukan warga kampung.

Politik Kampungan
Kata kampungan merupakan turunan dari kata pokok kampung yang diberi sufiks –an. Menurut KBBI, kampungan berarti tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, kurang ajar, berandalan. Menyebut seseorang kampungan berarti pada pribadi orang bersangkutan melekat hal-hal negatif ini; tidak tahu adat, kurang ajar, tidak tahu aturan main, tidak paham sopan santun dan tidak terdidik atau kurang mendapat pengajaran yang baik.
Berdasarkan pengertian di atas, politik kampungan selalu dikaitkan dengan upaya-upaya yang mencederai tujuan politik untuk meraih bonum commune. Politik kampungan justru melahirkan malum (penderitaan) bagi masyarakat. Dalam berpolitik secara kampungan inilah bonum individuum diutamakan ketimbang bonum commune. Pater Philipus Tule, SVD menyebutkan orang yang berpolitik kampungan akan memilah-milah rakyat dan menyuburkan benih primordialisme. Ini memang tepat karena orang yang kampungan cenderung merusak kohesivitas, melorotkan solidaritas dan mengangkangi soliditas warga sekampung.
Pemimpin dan calon pemimpin kampung besar NTT ini tentu tidak diharapkan berpolitik secara kampungan. Namun, fakta politik kita kerap mempertontonkan para pemimpin dan calon-calon pemimpin yang sudah dan sedang berpolitik secara kampungan. Para pemimpin kita sering memperlakukan jabatan politis seperti jabatan turunan dan warisan keluarga atau nenek moyangnya. Dengan jabatan yang diperoleh itulah mereka cenderung membangun kampung kecilnya sendiri, mendirikan kerajaan pribadi dan keluarga di tengah sebuah kampung besar, memilih orang-orangnya sendiri untuk menduduki pos-pos penting dan mendasarkan kepemimpinannya pada berapa banyak duit dan harta yang masuk ke kas pribadi dan lumbung keluarga.
Dalam kampung besar NTT ini, orang yang berpolitik kampungan cenderung mengabaikan keluhan warga kampung kecil yang lain dan selalu mengutamakan kepentingan kampung di mana ia dilahirkan dan banyak berjasa bagi dirinya. Pemimpin dan calon pemimpin yang berpolitik kampungan kerap berpolitik tanpa etika. Ada beberapa kriteria berpolitik tanpa etika. Pertama, materialisme praktis. Hati-hatilah dengan tipe pemimpin macam ini. Mereka kerap menunjukkan diri begitu saleh, kudus, peduli dengan urusan-urusan agama, dan selalu menyebut nama Tuhan saat berpidato di mana-mana. Tetapi, hati mereka penuh rencana busuk, kemabukan dan pesta pora. Ke mana-mana menyebut nama Tuhan, namun di kantor mereka korupsi. Dengan jabatannya mereka mengumpulkan harta untuk kepentingan pribadi. Kedua, oportunisme. Pemimpin dan calon pemimpin model ini selalu mengobral janji. Pandai bermulut manis, berkata-kata bijak, tetapi mereka akan memanfaatkan masa-masa kepemimpinannya untuk membayar cost politik yang sudah dipakai saat suksesi. Pemimpin seperti ini komitmennya tidak jelas. Ia akan berpihak pada orang atau pihak yang membawa keuntungan baginya. Ia tidak peduli pada kepentingan orang yang dilayani jika tak menguntungkan posisinya. Ketiga, formalisme. Tipe pemimpin seperti ini adalah mereka yang selalu tampil formal, resmi, neces, rapi, memukau seperti tokoh panutan. Namun, penampilan itu hanya mengelabui saja. Ada intrik-intrik bulus yang direncanakan, yang ujung-ujungnya memuaskan kepentingan diri dan mengamankan lumbung keluarga.
Tingkat risiko sangat tinggi apabila kampung besar NTT ini dipimpin oleh para pemimpin yang berpolitik kampungan. Mau dibawa ke manakah biduk NTT ini? Kemiskinan kian mendera rakyat. Korupsi terus meningkat. Kesenjangan kaya miskin kian melebar. Harga-harga kebutuhan pokok sering tak terjangkau. Rakyat terus menderita. Lantas, mengapa kampung besar ini tetap seperti ini? Tanpa ada niat dan ketulusan hati para pemimpin untuk menanggalkan gaya politik kampungan dan menerapkan politik kampung, situasi NTT mungkin terus begini, terus menjadi sebuah kampung besar yang nasibnya tidak tentu.

Sosok Ideal
Sebagai sebuah kampung besar, NTT layak dipimpin oleh pemimpin yang berpolitik kampung bukan politik kampungan. Sambil menatap jarak suksesi gubernur NTT yang kian mendekat, warga NTT tentu mempunyai kriteria pemimpin yang ideal menurut penilaian masing-masing. Namun, saya tetap yakin bahwa semua warga kampung besar NTT tidak ingin biduk NTT dikayuh oleh orang-orang yang berpolitik kampungan, yang berpolitik tanpa etika, tanpa budaya, dan tanpa religiositas. Karena itulah, mesti ada sosok ideal yang ditetapkan guna membantu kita menjaring dan menyaring para calon pemimpin NTT saat ini.
Dalam Surat Kabar Mingguan Dian (11/11/2007), Uskup Agung Ende, Mgr. Sensi Potokota, Pr mengemukakan sosok ideal gubernur NTT periode 2008-2013 seturut kriteria Gereja Katolik Ende. Pertama, isu pokok di NTT adalah kemiskinan. Hampir 80 % masyarakat NTT miskin. Problem ini sepertinya turun-temurun dari rezim ke rezim. Maka siapa yang menjadi pemimpin NTT adalah orang yang benar-benar mempunyai komitmen pribadi dan mempunyai program nyata untuk mengatasi masalah kemiskinan. Kedua, korupsi juga menjadi masalah yang parah di NTT. Maka orang yang sungguh-sungguh mempunyai komitmen pribadi untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi adalah figur yang diharapkan memimpin NTT. Ketiga, secara de facto, NTT merupakan wilayah kepulauan, sehingga secara geografis terpecah oleh wilayah dan kesukuan. Polarisasi amat menonjol. Pemimpin yang dicari adalah dia yang mampu menjadi pemersatu perbedaan-perbedaan yang ada, yang merangkul semua dan mencegah isu SARA.
Jika kriteria-kriteria ini disodorkan kepada para calon gubernur NTT, saya yakin tidak ada yang menegasikan dirinya bahwa ia tidak mampu. Semua merasa bisa memenuhi kriteria-kriteria itu dan sanggup membawa NTT keluar dari kubangan aneka persoalan di atas. Pekerjaan berat saat ini ada pada rakyat NTT sendiri. Apakah kita sebagai rakyat mampu secara cermat memilih para calon pemimpin NTT secara kritis dan bertanggung jawab? Ini bukan tugas ringan. Para calon gubernur itu mempunyai strategi politik yang tidak kampungan untuk mendulang suara rakyat NTT. Ada wajah lama. Ada wajah baru. Ada juga wajah baru namun orang lama karena telah berlama-lama di daerah lain. Strategi bisa berbeda; ada yang turba rutin, menggalang dialog dengan kelompok-kelompok massa. Ada pula yang bergaya sinterklas, memberi sumbangan sana sini. Ada yang rendah hati katakan tidak punya apa-apa hanya komitmen populis. Ada pula yang menghipnotis massa dengan selebaran-selebaran, poster-poster yang terpampang di baliho-baliho kota dan dinding-dinding kios di desa-desa. Ada yang berwujud penanggalan yang terpaku di rumah-rumah penduduk dan kantor-kantor. Politik memang selalu menarik.
Sosok ideal pemimpin NTT ke depan adalah dia yang berpolitik kampung dan tidak berpolitik kampungan. Itu harapan kita. Tetapi sejauh mana kita mengetahui pola laku politik mereka, ini butuh kecermatan kita. Karena ada yang sebelum terpilih jadi pemimpin, menunjukkan laku politik dan komitmen politik kampung. Tetapi satu dua tahun setelah terpilih mulailah politik kampungannya kambuh. Ini memang butuh kehati-hatian kita. Tetapi dengan itu bukan berarti kita memilih abstain pada para calon pemimpin itu. Tugas kita tidak sebatas mencermati dan memilih. Selanjutnya kita masih bertanggung jawab untuk mengkawali kinerja mereka dalam pemerintahan dengan kekritisan kita. Masih ada waktu bagi kita untuk menjaring, menyaring dan mengkritisi setiap figur calon pemimpin NTT. Dan tak hanya itu. Kita pun mesti menjadi warga NTT yang berpolitik kampung, bukan kampungan atau bahkan kekampung-kampungan dalam menentukan siapa yang layak jadi pemimpin NTT 2008-2013.


Pernah dimuat di Timex

No comments: