Monday, April 7, 2008

Diskursus Sekolah

Menggagas Redefinisi Sekolah
(Menyelami Kritik Neil Postman)
Oleh Isidorus Lilijawa


Banyak kebodohan tidak selalu dibawa sejak lahir tetapi seringkali diciptakan orang setelah dilahirkan ke dunia. Kebodohan yang sama kerap dilestarikan setelah orang menjadi dewasa dan hidup di tengah masyarakatnya. Untuk itu, mengupayakan kecerdasan merupakan kondisi mutlak demi humanisasi. Seorang pakar pendidikan, M. J. Lengeveld menilai bahwa pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik (animal educabile), makhluk yang harus dididik (animal educandum), makhluk yang dapat dan harus dididik dan sekaligus mendidik (homo educandus). Boleh jadi, untuk mengeliminir kebodohan yang ada dan menciptakan kecerdasan yang harus ada, sekolah mesti berbenah. Karena itu, kita perlu menggagas redefinisi sekolah-sekolah kita.

Pendidikan yang Membelenggu
Hampir selama 30 tahun siswa SD sampai SMU tidak mengalami pendidikan yang sungguh membebaskan, tetapi justru pemaksaan dan pemasungan kebebasan berpikir para siswa. Hal ini terutama karena pendidikan di Indonesia telah lama digunakan sebagai alat politik penguasa untuk tetap melanggengkan kekuasannya dengan dalih kesatuan dan nasionalisme (Suparno, 2001:150).
Sekolah dijadikan sebagai tempat penyeragaman kultur non-multinilai. Demi kebersamaan dan keharmonisan dalam sekolah, para siswa tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan gagasan-gagasan yang berbeda. Mereka tidak dibiasakan untuk berdebat dan mempersoalkan keberbedaan mereka. Yang ditampilkan adalah keseragaman, kesamaan demi kesatuan yang keliru. Perbedaan pendapat, terlebih perbedaan nilai yang dibawa dari masyarakat, tidak pernah didiskusikan di sekolah, bahkan dianggap tabu.
Cukup lama praktik pembelajaran di sekolah menganut sistem feodal, yang mana guru adalah penguasa tunggal yang otoriter terhadap siswa. Guru dianggap tahu, siswa tidak tahu; guru mengajar, siswa diajar; guru berbicara, siswa mendengar; guru berpikir, siswa dipikirkan; guru aktif, siswa pasif. Ketika guru ’harus’ mengikuti kurikulum dari atas, kebebasannya untuk berpikir dan berkreativitas dibatasi. Hal yang sama juga dilakukannya terhadap para siswa. Guru memperlakukan dirinya seakan-akan sebagai acuan pengetahuan yang utama. Sejak duduk di bangku sekolah, para siswa diajari bukan untuk menjadi dirinya lagi. Bila seluruh kelas diam, guru merasa senang karena siswa penurut dan ’sudah paham’, padahal mereka (para siswa) selain takut berargumen, juga cemas mempertanyakan sesuatu yang berbeda dari yang guru ajarkan.

Kritik Postman
Kecemasan akan masa depan pendidikan sudah berkali-kali dinyatakan oleh para pemikir pendidikan. Sinisme, satire, dan kredo yang berjuang menyingkap selubung praktik-praktik kotor pendidikan muncul tanpa henti: deschooling society (masyarakat bebas dari sekolah) dari Ivan Illich, the end of school menurut Everett Reimer, pedagogy of the oppressed dalam pandangan Paulo Freire dan the end of education menurut Neil Postman.
Neil Postman sebagai seorang pedagog dalam bukunya The End of Education (Kematian Pendidikan) menyatakan bahwa pendidikan di sekolah bisa jadi sangat konservatif, terutama ketika sekolah lebih banyak berperan sebagai tembok pembatas daripada ruang yang lapang untuk pergerakan pikiran. Proses pendidikan di sekolah tampak sebagai sosok yang tidak mengenal belas kasihan. Pendidikan, demikian Postman, juga lebih banyak mengajarkan ketidakberdayaan (Postman, 2001: viii). Sekolah, menurutnya, telah kehilangan maknanya sebagai wahana pendewasaan bagi seluruh penghuni di dalamnya dan otoritas-otoritas yang bersinggungan dengan keberadaannya.
”Apa bedanya sekolah dengan penjara jika ruang-ruang kelas bagi siswa lebih mirip kerangkeng-kerangkeng; pintu yang tertutup ketika pelajaran berlangsung sehingga siswa kehilangan cakrwala optik alternatif; bangku-bangku memaku tubuh para siswa supaya tidak sedikitpun bergerak; dan tentu saja guru-guru yang berperan mirip sipir penjara, marah jika dikritik, menolak jika ada usulan, membentak jika ada kesalahan dan memukul ketika ada yang dirasakannya pantas dipukul,” demikian Postman.
Salah satu kritik Postman berkaitan dengan fenomen kematian pendidikan yang tengah kita rasakan adalah perlunya mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dalam proses pendidikan. Situasi pendidikan kita diwarnai oleh pola pengajaran monolog, pendiktean dan satu arah. Apakah pertanyaan memang diperlukan? Realitas teknologis dan alat-alat informasi adalah hamparan luas di hadapan para siswa sekarang. Jawaban-jawaban atas problem teknis kehidupan sudah muncul di mana-mana dalam berbagai rekayasa teknologi. Jika jawaban sudah tersedia, apa yang harus dipertanyakan? Tentu saja bukan pragmatisme kebutuhan (untuk apa bertanya jika semua sudah tersedia), melainkan kritisisme historis agar tindakan menjadi proporsional dan tidak saling merugikan.
Karenanya, pendidikan harus dilakukan tidak sekadar ’mengajarkan apa yang ada’ tetapi justru ’mempertanyakan kenapa semua ada’. Sebuah aforisme Nietzsche yang terkenal dan hemat saya relevan dengan situasi pendidikan kita adalah: ”Dia yang memiliki kata kunci mengapa (why) di dalam menjalani kehidupan ini, maka dia akan bisa bersabar terhadap suatu keadaan bagaimanapun (how)”. Awal dari kematian pendidikan adalah ketika pertanyaan mengapa dianggap tidak perlu dan siswa diajarkan untuk mengamini apa yang diajarkan sebagai taken for granted (sudah semestinya demikian).
Postman juga menggugat sekolah sebagai lembaga pendidikan yang cenderung mengajarkan orang tentang bagaimana memperoleh penghasilan untuk membiayai hidup dan mengabaikan persoalan tentang bagaimana seseorang harus menjalani hidup ini. Tujuan pendidikan adalah pemanusiaan manusia. Manusialah yang harus menjadi target sasar, bukannya mengutamakan cara dan metode pengajaran yang justru tidak memihak kepentingan siswa, manusia yang belajar.

Redefinisi Sekolah
Walau pada awal tulisan ini kita telah menyelisik bagaimana sekolah bisa menjadi monumen kematian pendidikan, namun kita tidak bisa mungkiri bahwa sejatinya tugas sekolah sebagai panti pendidikan adalah mengusahakan emansipasi. Tugas itu mencakup bagaimana sekolah mengantar dan menolong peserta didik dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa dan utuh. Memang dibutuhkan kerendahan hati dan pertobatan segenap komponen sekolah agar bisa menata sekolah kembali pada tugas sejatinya di atas.
Secara lebih spesifik, ada tiga sasaran emansipatorik dalam pendidikan, yaitu mengantar peserta didik menjadi: pertama, manusia eksplorator yang suka mencari, bertanya, berpetualang, dengan bertolak dari keyakinan bahwa manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan yang hanya pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada. Kedua, manusia kreatif, pembaru, berjiwa terbuka dan merdeka, kritis, kaya imajinasi dan fantasi, tidak mudah menyerah pada nasib. Ketiga, manusia integral yang paham dan sadar akan multidimensional kehidupan, paham akan kemungkinan jalan-cara alternatif, pandai membuat pilihan yang benar atas dasar pertimbangan yang benar, yakin akan pluralitas kehidupan sekaligus mampu mengintegrasikannya ke dalam suatu keranga pengertian dan perilaku yang sederhana (Supratiknya, 1999: 273).
Sekolah adalah salah satu basis internalisasi nilai-nilai luhur. Banyak waktu dihabiskan di sekolah untuk mengajar dan menanam nilai-nilai itu hingga diinternalisasikan menjadi milik diri. Sekolah juga berperan sebagai tempat sivilisasi manusia. Karena itulah, mengapa sekolah-sekolah memerlukan anak-anak untuk berada di sekolah dalam sebuah tempat yang jelas dan pada waktu yang telah ditentukan serta mengikuti beberapa aturan, misalnya: mengangkat tangan ketika mereka ingin berbicara, tidak berbicara ketika teman lainnya berbicara, tidak meninggalkan kelas sebelum waktunya, dan memperlihatkan kesabaran terhadap murid-murid yang lamban. Rekayasa teknologi barangkali tidak tampak menarik dalam fungsionalisasi sekolah seperti ini.
Bagaimana menyikapi fenomen kematian pendidikan yang sedang kita alami? Hemat saya, kritik Postman pun tak ada gunanya jika kita tidak membangun pertobatan dalam diri berkaitan dengan cara kita memperlakukan sekolah dan peserta didik di dalamnya. Tentu saja kita membutuhkan sebuah gebrakan baru, suatu reformasi dan transformasi dalam dunia pendidikan. Paradigma lama yang berstereotip negatif tentang sekolah sudah saatnya ditinggalkan. Sekolah-sekolah kita dewasa ini membutuhkan redefinisi atas peran dan fungsinya.
Menggagas redefinisi sekolah berarti: pertama, - mengutip pemikiran John Dewey, bapak pendidikan demokratis modern Amerika – para murid harus diajak melihat dan memahami kebenaran sebagai alat bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Pendidikan harus berubah sesuai dengan perubahan masalah yang dialami masyarakat. Dewey menolak keras metode pengajaran otoriter dan yang menekankan hafalan karena ini berarti para murid tidak diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan kebenaran. Kedua, metode pembelajaran perlu dibenahi lagi supaya lebih dialogis. Guru dan siswa saling belajar membangun pengetahuan dan mengusahakan sistem pembelajaran yang lebih demokratis.
Ketiga, perlu diusahakan kejujuran dalam pencarian pengetahuan. Persoalan menyontek, menyuap guru untuk menaikkan nilai dan memanipulasi nilai siswa, jual beli ijazah, pemakaian gelar akademik palsu, harus diberantas dengan tegas. Keempat, policy pendidikan harus lebih otonom dan bukan sentralisasi ketat. Penyeragaman kurikulum hanyalah kamuflase dari penipuan dan kelicikan sepihak, malah membebani pelaku pendidikan di daerah-daerah.
Kelima, fungsi guru tetap penting. Karena itu perlu guru yang kritis, yang terbuka terhadap kritikan dan yang kritis terhadap setiap aturan dari atas. Keenam, perlu ditingkatkan pendidikan nilai (humaniora), pendidikan budi pekerti demi penanaman nilai-nilai luhur kehidupan. Ketujuh, menurut John Dewey, sekolah sebaiknya tidak diasingkan dari masyarakat, sehingga para siswa dapat belajar dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar dapat diikutsertakan dalam menghidupi dan membangun sekolah. Masyarakat adalah sekolah yang sejati. Melalui interaksi dengannya peserta didik dapat diarahkan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.


Dimuat di Timex, Oktober 2007

No comments: