Monday, April 7, 2008

Napi, PSK dan HIV/AIDS

Oleh Isidorus Lilijawa


Dalam diskusi tentang “Bahaya Moke Bagi Kehidupan dan Perilaku Manusia” yang diselenggarakan Yayasan Aku Cinta Kehidupan (ACK) di Rutan Maumere - Flores, Rabu (19/9), para napi mengusulkan kepada Pemkab setempat agar segera melokalisasi pekerja seks komersial (PSK) yang ada di Kota Maumere saat ini. Upaya lokalisasi itu dinilai dapat meminimalisasi berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS) dan berbagai penyakit lainnya (Flores Pos, 24/9).
Kesadaran para napi untuk menyuarakan hal di atas patut diberi apresiasi. Dari balik terali besi, mereka ternyata tidak sekadar terpekur menunggu kapan saatnya dibebaskan dari ruang prodeo itu, tetapi dalam ruang kesendirian maupun kolektif itulah mereka masih berpikir tentang masa depan umat manusia; masa depan generasi muda Sikka. Terlepas dari kasus apa mereka dihukum dan dimasukkan ke rumah tahanan, seruan moral yang mereka lontarkan saat diskusi itu adalah isyarat bahwa telah lahir sebuah metanoia, sebuah pertobatan batin, suatu transformasi sikap dan pemikiran untuk menjadi warga masyarakat yang lebih baik. Dengan demikian, hemat saya fungsi rumah tahanan perlu diperdalam tidak saja sebagai rumah hukuman, tetapi harus menjadi rumah pembelajaran, rumah pembinaan, ruang pertobatan dan ruang transformasi.
Usulan melokalisasi PSK di Kota Maumere merupakan sebuah usulan yang menarik untuk dikaji. Sebagai sebuah daerah perkotaan yang terbuka dan mudah dijangkau melalui perhubungan darat, laut dan udara, Kota Maumere sangat strategis dan menjadi tempat transit segala kepentingan masyarakat. Bahkan oleh budaya urban yang kian merebak, ramai-ramai orang dari berbagia daerah dan pelosok mencari hidup di kota ini. Tak dapat disangkal, terjadilah interaksi sosial melalui hubungan kepentingan ekonomi, psikologis, sosial, maupun budaya. Dan dalam arus transaksi kepentingan itu, tak dimungkiri ada orang yang melakoni hidup sebagai PSK. Anjuran para napi itu menegaskan bahwa telah dan sedang ada PSK yang beroperasi di Maumere dengan wilayah-wilayah target tertentu.
Alasan yang dikemukakan terkait lokalisasi itu adalah meminimalisasi berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS), menekan angka kriminal akibat perbuatan asusila. Berkaitan dengan penularan HIV/AIDS, selain melalui jarum suntik, dari ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya, kontak seksual bergonta ganti pasangan adalah salah satu penyebabnya. Dan para PSK adalah kelompok yang sangat rawan dan berisiko terkena HIV/AIDS. Sebagai profesi yang konon setua sejarah peradaban manusia, pelacuran terkait dengan banyak sisi gelap manusia. Coba saja kita mencari tahu bagaimana seorang perempuan bisa menjadi seorang PSK, maka kisahnya pastilah terkait erat dengan seorang penipu, seorang lelaki bajingan, atau hal-hal yang lebih serius seperti kemiskinan, industri pariwisata, ketimpangan hubungan lelaki-perempuan dalam suatu masyarakat dan faktor-faktor struktural lainnya dalam sistem sosial-politik masyarakat yang bersangkutan.
Dengan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi, para PSK yang bekerja secara ilegal (disebut ilegal untuk membedakan dari yang legal yang dilokalisasi) berusaha mencari dan menanti peruntungannya sendiri-sendiri. Pada titik ini kepentingan perut (ekonomi) mendapat prioritas yang lebih tinggi ketimbang kepentingan kesehatan. Tidak adanya kontrol kesehatan yang rutin seperti kalau dilokalisasi, maka para PSK ilegal itu rawan tertular HIV/AIDS dan IMS. Dan tentunya para pelanggannya juga akan tertular penyakit yang sama. Kalau saja ada PSK yang sudah tertular HIV/AIDS dan dalam sehari ia melayani 3-4 orang pelanggan yang tidak mau menggunakan pengaman (kondom), tentu korban penularan itu bertambah. Seandainya para pelanggan itu tertular dan mereka telah berkeluarga, maka penyakit yang sama akan ditularkan kepada isteri di rumah. Bayangkan saja kalau ada beberapa PSK yang sudah terinfeksi HIV/AIDS, berapa korban HIV/AIDS yang terus bertambah? Untuk diketahui bahwa hingga Maret 2007, jumlah korban yang terinfeksi HIV/AIDS di Kabupaten Sikka berjumlah 38 orang. Ada dari antaranya yang telah meninggal dunia. Sebuah angka yang bukan kecil. Tanpa pencegahan dan sosialisasi yang rutin, angka itu akan bertambah dengan begitu cepat oleh berbagai faktor di antaranya gonta ganti pasangan seks berkat kehadiran PSK.

Pro Kontra Lokalisasi
Anjuran para napi Rutan Maumere agar para PSK di Kota Maumere dilokalisasi adalah sebuah langkah yang perlu dimaknai. Diskusi semacam ini memang penting dan karena itu perlu dibuka ruangan yang lebih luas untuk membicarakannya. Artinya, praktik PSK yang berlangsung di dunia remang-remang itu perlu dibuka dari kedok semacam itu. Ada yang pro lokalisasi dengan alasan seperti di atas; untuk mencegah penularan berbagai penyakit (HIV/AIDS, IMS), mencegah tindakan kriminal asusila, mengurangi hasrat remaja untuk coba-coba bermain seks, perlu diberantas (dilokalisasi) karena PSK adalah penyakit masyarakat, mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain, supaya mudah dikontrol kesehatannya, bertentangan dengan nilai-nilai budaya setempat dan agama.
Di lain pihak, ada juga yang kontra lokalisasi. Alasannya, lokalisasi PSK berarti kita melegalkan kejahatan, memberi ruang pada praktik-praktik amoral, membiarkan praktik sub-human (perendahan martabat wanita, penganiayaan, perlakuan semena-mena di tempat lokalisasi), mentolerir penyakit masyarakat. Kelompok seperti ini lebih melihat prostitusi sebagai kegiatan yang harus dibasmi, entah dalam lokalisasi maupun yang bertindak ilegal di hotel-hotel dan pub-pub.
Pro kontra semacam ini bisa berkaca dari pro kontra masyarakat terhadap sosialisasi penggunaan kondom beberapa dasawarsa lalu. Dari kacamata moral (masyarakat kita adalah masyarakat bermoral dan berhukum), promosi kondom untuk pencegahan AIDS menjadi kontroversial karena masyarakat bisa menganggapnya sebagai legitimasi bagi praktik prostitusi. Meski anggapan ini baik adanya, tetapi ada baiknya juga untuk dikaji ulang mengingat drastisnya perubahan nilai dalam fenomen kehidupan seks manusia modern. Artinya, apakah mengecam atau mengutuk pelacuran masih efektif bila tingkat promiskuitas (tidak mampu membeda-bedakan) masyarakat saat ini sudah sangat tinggi? Itu baru secara promiskuitas sementara secara situasional, soal yang lebih gawat lagi adalah bahaya AIDS sendiri. Dalam perkara AIDS, kondom sebenarnya mempunyai konsep moral yang jelas dan tidak dirancukan dengan kacamata moral terhadap praktik prostitusi. Moralitas kondom di sini adalah moralitas penyelamatan yang mencoba memaafkan kekhilafan manusia dalam perilaku seksualnya. Tegasnya, penggunaan kondom untuk mencegah AIDS tidaklah identik dengan memberi legitimasi bagi praktik prostitusi.
Lontaran ide para napi agar di Kota Maumere perlu dibangun lokalisasi untuk para PSK adalah sebuah wacana yang perlu didiskusikan. Tanpa tendensi untuk terus melestarikan prostitusi di Maumere, keyakinan para napi adalah lokalisasi bisa meminimalisir penularan HIV/AIDS dan IMS lainnya. Namun, ide ini perlu dikonfrontasikan dengan ide lain yang memilih menghilangkan PSK dari Kota Maumere, dan bukan sekedar dilokalisasi. Ini memang pekerjaan berat bagi pemerintah dan masyarakat Kota Maumere untuk menempatkan persoalan PSK dan HIV/AIDS pada porsi yang strategis untuk dibahas dan dicari jalan keluarnya. Karena yang dihadapi dalam kaitannya dengan PSK ini adalah manusia-manusia, maka pendekatan yang humanistik mutlak perlu. Bukan soal mau menghilangkan PSK dari Kota Maumere atau sekadar melokalisasinya. Yang terutama adalah harus ada alasan yang mencukupi (sufficient rasionis) untuk menegaskan bahwa kedua-duanya tidak harus ada di Kota Maumere.

Ironi PSK
Dalam tataran yang lebih dalam, anjuran para napi Rutan Maumere agar PSK dilokalisasi adalah sebuah ide yang baik untuk menakar sejauh mana moralitas masyarakat kita saat ini. Pembicaraan menyangkut kehadiran PSK di sisi lain adalah sebuah ironi bagi struktur-struktur sosial politik dalam masyarakat kita. Pertanyaannya, lebih bermoral manakah: seorang PSK yang baik atau seorang politikus yang jahat? Apa jawaban anda jika seseorang bertanya begitu kepada anda? Menurut F X Rudy Gunawan, dalam buku Pelacur dan Politikus, “dalam masyarakat yang sudah terbiasa menistakan seorang pelacur (sementara seorang politikus bisa berbicara tentang kebaikan, keadilan dan kesejahteraan rakyat sambil menginjak-injak apa yang mereka sebut rakyat itu), pasti sulit untuk mendapat jawaban bahwa PSK yang baiklah yang lebih bermoral.”
Lucunya, konsep-konsep moralitas pun kemudian terbentuk berdasarkan pola hubungan yang berlaku antara laki-laki dan perempuan tersebut. Apa yang baik bagi lelaki belum tentu baik bagi perempuan. Apa yang dilarang untuk kaum perempuan malah dibolehkan untuk kaum lelaki. Perempuan lalu menjadi pelacur, perex, lonte, dan entah apalagi sebutannya jika ia tidur dengan lebih dari satu lelaki. Sebaliknya lelaki tidak pernah disebut sebagai pelacur sekalipun tiap malam ia meniduri pelacur. Imbalan uang yang diberikan oleh kaum lelaki seakan menghapus begitu saja nilai perbuatan mereka, menghibakan pada kaum perempuan sebagai pihak yang menanggung dosa. Jika kita kembali ke pertanyaan semula: “Siapakah yang sebenarnya yang lebih bermoral, seorang pelacur yang baik atau politikus yang jahat?”, apa jawaban anda sekarang” Atau anda hanya akan mengangkat bahu dan berkata: emang gue pikirin. Kalau sudah begitu, ya apa boleh buat.
Keberanian kita menempatkan persoalan prostitusi pada porsi yang sebenarnya adalah hal yang perlu agar persoalasn itu bisa didekati secara jelas dan tepat. Kebanyakan PSK adalah korban dari sekian banyak struktur; ekonomi, sosial, politik, kultur yang menempatkan dan memaksa mereka bermain di posisi seperti itu. Seorang pelacur yang sangat sukses di Kairo menulis tentang sikap politiknya terhadap negerinya begini: “Saya katakan pada orang dari kepolisian itu bahwa saya tak tahu apa-apa mengenai patriotisme. Bahwa negeri saya bukan saja tak memberi apa-apa, malah telah mengambil segalanya dari saya, termasuk kehormatan dan martabat saya.”
Pelacur itu bernama Firdaus. Ia bisa anda temukan di sebuah novel karya Nawal el-Saadawi yang berjudul Perempuan di Titik Nol. Sebuah novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata sebelum Firdaus dihukum mati. Pernyataan Firdaus dilontarkannya ketika ia menolak “orang penting” yang ingin menidurinya dan mengirim seorang polisi untuk menjemputnya. Firdaus menjadi pelacur yang hebat melalui suatu penderitaan panjang yang menimpa dirinya hingga sampai pada tingkat kesadaran yang sangat politis. Penolakannya terhadap para politikus (“Orang penting”) yang mencoba menggunakan kekuasaan untuk membeli tubuhnya adalah sikap politiknya yang diekspresikan secara lugas, jujur, dan berani. Ketika ia dipenjara karena penolakannya itu, ia menyewa pengacara terkenal di Kairo yang dengan mudah membebaskan dan membuktikan dirinya sebagai “wanita terhormat”.
Sisi lain kehidupan Firdaus dan para PSK menelanjangi segala borok yang ada dalam masyarakat kita. Kemunafikan dan kebusukan masyarakat juga dapat terkuak hanya lewat seorang pelacur. Soalnya, seperti kata F X Rudy Gunawan, kita semua sebenarnya bukan tak mungkin juga adalah pelacur-pelacur yang bersembunyi di balik segala kepintara akal busuk kita sebagai well educated people. Bahkan bukan tak mungkin kita sebenarnya lebih parah karena bukan hanya tubuh yang kita jual, tetapi malah pikiran, kemiskinan dan penderitaan orang lain atau prinsip dan harga diri kita sendiri.
Anjuran para napi di atas tetaplah relevan dan penting untuk didiskusikan bukan saja untuk konteks Maumere, tetapi juga untuk daerah lain di NTT ini. Dan lebih dari itu, anjuran itu adalah sebuah cambuk bagi kita untuk mengevaluasi moralitas publik dan moralitas pribadi (kesetiaan, kejujuran, ketulusan) berhadapan dengan fakta PSK dan HIV/AIDS saat ini. Suara-suara para napi yang sedang ber-metanioa itu perlu menjadi suara kritis bagi kita segenap warga Kota Maumere, komponen pemerintah, LSM dan stakeholder lainnya. PSK dan HIV/AIDS adalah ancaman bagi kehidupan manusia. Mari kita secara bijak dan bajik menyikapinya demi kebaikan umum termasuk juga kebaikan para PSK itu sendiri. Kita nantikan gebrakan selanjutnya dalam ruang-ruang diskusi dan praksis kebijakan pemerintah.

Dimuat di Flores Pos, 3 Oktober 2007

1 comment:

Rima said...

Hi Fr. Isidorus,

Senang sekali membaca tulisan dari lelaki Flores yang peka dan peduli atas isu perempuan - apalagi mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan yang bisa dibaca banyak orang. I love your article and I'm so proud of you!

Saya sudah beberapa kali baca artikel Fr. di Flores Pos dan sangat suka dengan gaya penulisannya karena analisis Fr. atas konteks isu yang dikemukakan maupun pembahasaannya enak dibaca.

Tadi saya cari bahan buat menulis (... tugas kuliah, bukan buat buku atau opini :-)) terkait dengan isu perempuan di NTT dan Ngada khususnya. Kebetulan ketemu artikel ini. Saya jadi tertarik untuk baca 'Perempuan di ujung pena' yang akan - atau sudah (?) terbit. Pasti bagus.

Oya, cuma mau bilang proficiat saja. Mudah-mudahan suatu saat bisa kenal Fr. lebih baik.

Salam dari Adelaide,

Rini Maghi