Monday, April 7, 2008

feature

· Seputar Hari Bapak Nasional (1)


Mengalir dari Solo

Oleh Isidorus Lilijawa
Kontributor

Setahun yang lalu tepatnya pada tanggal 12 November 2006, Hari Bapak Nasional (HBN) dideklarasikan. Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret bekerja sama dengan PIP (Putera Ibu Pertiwi) mendeklarasikannya untuk wilayah Flores dan Lembata di Maumere. Tahun ini mereka mengenang setahun deklarasi HBN. Mengapa harus ada HBN? Tulisan berseri ini berusaha menguak tanya di atas.


Figur Bapak Harapan adalah judul sebuah buku Kenangan Deklarasi Hari Bapak Nasional Wilayah Flores – Lembata, 12 November 2006. Dalam buku setebal 247 halaman ditambah lampiran-lampiran itu terkuak aneka kisah seputar deklarasi HBN. Buku itu terus bersuara menggemakan deklarasi yang sama kepada setiap kita. Beberapa kisah kecil itu diutarakan lagi di sini agar perayaan HBN bukan lagi perayaan mereka tetapi bergegas menjadi perayaan kita.
Semuanya mengalir dari Solo. Ketika merayakan Hari Ibu pada tahun 2005, PIP mengadakan lomba menulis “Surat Untuk Ibu”. Masyarakat begitu antusias mengikuti perlombaan ini. Surat-surat terbaik dikumpulkan dan kemudian dijadikan sebuah buku. Namun, perlombaan itu tidak selesai begitu saja. Ada aspirasi yang lahir, yang menjadi pekerjaan rumah buat PIP, terlontar oleh para peserta lomba di atas. “Kapan kami menulis surat untuk bapak?”
Banyak kalangan terutama anak-anak, setiap tahun ketika merayakan Hari Ibu dan Hari Anak selalu bertanya: “Ada Hari Ibu, ada Hari Anak, mengapa tidak ada Hari Ayah/Bapak?”
Lontaran ide yang sarat makna itu direnungkan oleh PIP hingga mengkristal pada gagasan mendeklarasikan HBN. Karena itulah, pada tanggal 12 November 2006 di Kota Budaya Surakarta, HBN dideklarasikan. Tujuan deklarasi HBN adalah pertama, menciptakan tradisi baru dan membangun kesadaran pada keluhuran figur dan peran seorang bapak dalam wilayah budaya nusantara maupun dalam kacamata kemanusiaan universal. Kedua, sebagai sarana komunikasi dan terapi bagi anak-anak yang mengalami keretakan atau putus hubungan kasih sayang dengan bapaknya. Banyak bapak telah menjadi figur yang tidak menggembirakan bagi anaknya.
Dian, seorang remaja menuangkan perasaan hatinya berkaitan dengan perubahan perilaku ayahnya dalam buku Kenangan Buat Ayah (PIP Solo, hal.125). “Masalah kedua adalah masalah tingkah laku ayah yang dulunya sering di rumah dan menemani kami. Tetapi beberapa bulan terakhir ayah berbeda. Dian sering mendengar fitnahan dan guncingan tentang ayah, yang membuat hati Dian terluka dan menangis. Dian tidak suka ayah dibicarakan seperti itu dan mengatakan hal yang tidak Dian senang. Ayah, Dian mohon ayah berhenti ke rumah orang itu, karena ayah akan menghancurkan diri ayah sendiri dan menghancurkan perasaan Dian serta adik-adik.”
Tujuan ketiga, Hari Bapak menjadi sarana rekonsiliasi pribadi maupun antarpribadi, antargenerasi dan antargender. Keempat, sebagai upaya penanaman nilai-nilai luhur jati diri bangsa sebagai pegangan generasi muda dari masa ke masa. Kelima, sebagai kesempatan bagi para bapak untuk merefleksikan diri dan peran mereka baik dalam lingkup kesatuan sosial yang paling kecil (keluarga) maupun dalam masyarakat di berbagai bidang profesi, panggilan dan jabatan.
Mengapa PIP? Putra Ibu Pertiwi (PIP) adalah sebuah perkumpulan yang bermarkas di kota budaya Surakarta, Jawa Tengah. PIP didirikan di Kota Solo pada November 1989. Putra Ibu Pertiwi merupakan sebuah gerakan moral di Kota Solo. PIP hadir di tengah pergulatan sosial kemasyarkatan dengan segala kompleksitasnya. Ia mengusung motto: “Membangun kesadaran budaya membawa perekat bangsa” dan semboyan: “Kita memang berbeda-beda tetapi satu hati.”
Putra Ibu Pertiwi menjadi salah satu pelopor gerakan moral dan kemanusiaan yang lebih berorientasi pada refleksi budaya bangsa Indonesia dan berkiprah dalam koridor pendidikan masyarakat. Sifatnya inklusif. Ia menampung anak bangsa dari segala level dengan menghidupi spiritualitas lintas: lintas agama, lintas suku, lintas ras, budaya dan golongan.
Mengacu pada spiritualitas lintas inilah, PIP merasa bertanggung jawab secara moral untuk mendeklarasikan HBN. Dan Seminari Tinggi St Ritapiret adalah partner yang terpanggil untuk menggemakan gagasan ini di Indonesia Timur.


Memilih hari khusus untuk mengenang para bapak ternyata sudah dimulai di Amerika Serikat pada abad ke-19. Gagasan hari bapak datang dari seorang ibu rumah tangga yang merasa amat berterima kasih kepada ayahnya, seorang veteran perang bernama William Smart. Istrinya meninggal ketika melahirkan dan tinggalah William seorang diri di pedesaan sebelah timur negara bagian Washington dan dalam kesunyian membesarkan anak-anaknya penuh kasih sayang. Salah seorang anaknya bernama Louise Smart Dodd amat merasakan kasih sayang ayah mereka ketika mereka masih kecil hingga hidup berkeluarga selama kurang lebih 21 tahun.
Hal itulah yang mendorong dia pada tahun 1909 mengusulkan sebuah hari untuk menghormati ayahnya yang kemudian dirayakan pertama kali di Spokane, Washington pada tanggal 19 Juni 1910. Baru pada tahun 1966, Presiden Lyndon Johnson menyatakan hari bapak sebagai Hari Bapak Nasional dan diperingati setiap minggu ketiga bulan Juni.
Gagasan Hari Bapak kemudian menyebar ke seluruh dunia dan diperingati secara berbeda-beda. Selain di Amerika Serikat dan Kanada, Hari Bapak juga dirayakan pada minggu ketiga bulan Juni di Cina, Belanda, Pakistan, Turki, Singapura, Afrika Selatan dan Hong Kong. Sedangkan di Belgia, Italia, Portugal dan Spanyol, Hari Bapak diperingati pada tanggal 19 Maret.
Usia HBN di Indonesia memang belum apa-apa, baru setahun. Namun, deklarasi HBN itu bukan tanpa arti. Merindu bapak harapan, kira-kira inilah asa dari deklarasi itu. Keluarga kita, masyarakat dan bangsa ini sedang merindukan figur bapak yang penuh harapan. Bapak yang bertanggung jawab, penuh kasih, menyayangi keluarga dan menjadi contoh bagi anak-anak.
PIP dan Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret telah menabur benih-benih harapan itu melalui deklarasi HBN. Kiranya gema HBN itu tidak saja marak meriah untuk dua komunitas peduli ini tetapi menyeberangi batas-batas teritori di Flores dan Lembata, menukik ke dalam pergumulan hidup rakyat kebanyakan. Di negeri ini, gagasan deklarasi HBN mengalir dari Solo. Mudah-mudahan saja, deklarasi yang telah dikumandangkan di Maumere setahun silam itu terus berkumandang dan bergema dalam diri setiap penghuni dua pulau ini dan menjadi bagian dari ingatan kolektif masyarakat.
Mari kita gemakan lagi deklarasi HBN: “Bagaikan bumi yang gersang menantikan tetesan hujan di angkasa agar dari rahim Ibu Pertiwi terlahir semua yang hidup dan menghidupkan, demikian IBUNDA, merindukan curahan kasih SANG BAPAK, agar terciptalah kehidupan baru yakni kita, SANG ANAK. BAPAK adalah pencipta KITA dari daging dan darah serta napasnya yang tertumpah di taman IBUNDA. Maka, atas berkat rahmat Sang Pencipta, HARI INI 12 NOVEMBER Kita deklarasikan sebagai HARI BAPAK NASIONAL INDONESIA, hari yang dipakai anak-anak untuk mengenang keberadaan dan peran ayahnya termasuk para Bapak Bangsa Indonesia dari masa ke masa. Maumere-Flores, 12 November 2006.”








Seputar Hari Bapak Nasional (2)


Bapak Berkuda, Ibu Jalan Kaki

Oleh Isidorus Lilijawa
Kontributor


Untuk memaknai peringatan satu tahun pendeklarasian Hari Bapak Nasional (HBN), panitia HBN Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret menggelar seminar setengah hari bertema Peran Bapak Dalam Kehidupan Masyarakat, Sabtu (10/11). Seminar ini menghadirkan tiga orang pembicara; P. Ansel Doredae, SVD (dari perspektif sosio budaya), Ibu Andia de Crita (Perempuan dari Perspektif Ekonomi dan Peran Bapak dalam Masyarakat), dan Bpk Alexander Longginus (dari Perspektif Sosio Pembangunan).
Dalam sesi pertama, Pater Ansel tampil sebagai pembicara dan dipandu oleh Romo Ben Belawa, Pr selaku moderator. Suasana diskusi menggeliat ketika seorang peserta mengajukkan pertanyaan seperti ini. Dalam kata pengantar untuk buku Perempuan Di Titik Nol, Mochtar Lubis melukiskan kondisi perempuan di salah satu wilayah di NTT. Perempuan di daerah itu adalah mereka yang setiap sore kembali dari kebun, berjalan kaki sambil memikul kayu bakar di pundaknya, menjunjung bakul di kepala dan menggendong anak. Sementara suaminya, berada di belakangnya menunggang seekor kuda sambil memanggul parang simbol kejantanannya.
Terhadap pertanyaan ini Pater Ansel menimpali bahwa apa yang dikatakan Mochtar Lubis itu terjadi di Bajawa-Ngada. Dan ilustrasi di atas sebenarnya lebih ngeri ketika sang ibu dengan beban yang begitu berat masih harus menyeret dua anaknya, sementara sang bapak santai-santai di atas kuda sambil mengisap rokok. Ini bukan ilustrasi, tetapi sesuatu yang riil terjadi di masyarkat. Oleh pola budaya, hal seperti ini dianggap biasa. Namun, inilah bentuk ketidakadilan para bapak terhadap isteri-isteri mereka. Secara lebih tegas, hal ini merupakan suatu model penindasan. Sering kita melihat fakta seperti ini, namun sering pula kita merasa sebagai hal yang biasa.
Seorang peserta lainnya, Siflan Angi, menegaskan bahwa kisah seperti di atas bukan saja terjadi di Ngada tetapi terjadi juga di Lio. Menurutnya, dalam konsep orang Lio, ketika seorang lelaki membayar belis, maka pada saat itu pihak lelaki sudah membeli isterinya. Perempuan berharga seperti belis. Karena itu, lelaki bisa sesukanya memperlakukan isterinya karena telah dibelis tuntas. Lebih sadis lagi, kesewenang-wenangan itu bukan saja datang dari suami, tetapi dari keluarga suami juga. Ini memang fakta kita.
Memperingati Hari Bapak adalah momen membuka bilur-bilur ketertindasan kaum ibu dan perempuan serta mencari jalan keluar bersama-sama. Atas berbagai fakta di atas dirasa perlu menghidupi pendidikan nilai dalam keluarga. Selain itu, sosialiasi berkaitan dengan pengarusutamaan gender dan Hari Bapak perlu digiatkan sehingga merasuki hati sanubari para bapak dan seluruh warga masyarakat. Solusi lain adalah kembali ke ajaran agama kita. Dalam Kitab Suci, tidak pernah lelaki disuruh untuk menindas isterinya. Tetapi, ada pengakuan bahwa kita bukan lagi dua melainkan satu. Sayangnya bahwa ketika sang isteri capek berjalan ditindih beban di kepala dan bahu, sang ayah tidak pernah merasakannya sebagai bagian dari kecapekannya juga. Yah, kita bukan lagi satu tetapi tetap dua; sebagai isteri itu tugasmu, bukan tugas suami. Kasian..
Ada harapan yang ingin digapai. Dengan membumikan HBN ini, mudah-mudahan perlahan namun pasti, setiap pulang kebun kita menyaksikan bapak dan ibu tampak akrab di atas punggung seekor kuda atau bapak memikul kayu, menggendong anak dan ibu menjunjung bakul berjalan beriringan atau ibu dan anaknya menunggang kuda sementara bapak memikul kayu, membawa bakul dan menarik tali kuda.

“Laki-laki itu tahu beres saja. Kalau pulang rumah tidak ada makan artinya kacau!” Ini kata-kata Ibu Krita, dosen Unipa Maumere saat menjawab pertanyaan peserta diskusi.
Ketidakadilan perlakuan terhadap perempuan tidak saja terjadi dalam fakta seperti dilukiskan di atas, tetapi sangat nyata juga dalam aspek ekonomi. Para bapak cenderung mengklaim diri sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Karena itu, sering mereka bertindak semena-mena terhadap isteri dan anak-anak.
“Itu tidak selalu benar. Ibu juga menjadi sumber pendapatan bagi keluarga. Bahkan kalau pengupahan dihitung berdasarkan jumlah jam kerja, maka penghasilan terbesar justru diterima kaum ibu. Mereka bekerja dari pagi hingga petang bahkan malam. Kaum bapak pulang kerja langsung istrirahat. Jadi tidak adil jika ibu dinomorduakan karena tidak memberi pemasukan bagi keluarga,” kata ibu Krita.
Kiprah perempuan dalam perspektif ekonomi rumah tangga lebih diarahkan bagaimana kaum ibu mengelola keuangan keluarga. Dalam keluarga mesti ada ‘planning’ (perencanan) bagaimana menggunakan uang yang ada. Mesti pula ada prioritas.
“Jangan heran jika suami marah-marah. Setiap saat selalu defisit anggaran. Lalu uang yang disetor kepada isteri itu dikemanakan semuanya. Ini bahaya kalau ibu-ibu rumah tangga tidak mempunyai “skill” untuk mengelola uang. Bagaimana bisa menabung untuk masa depan keluarga jika anggaran selalu defisit.”
Sebuah fenomen menarik saat ini adalah efek pengarusutamaan gender telah membuka ruang yang cukup luas bagi kaum perempuan untuk berkiprah. Saat ini perempuan sudah diberi ruang untuk berkarir dan memasuki dunia struktural dan birokrasi. Perempuan juga sudah terlibat dalam dunia bisnis dan mendapat upah yang layak.
Menurut ibu Krita, sudah saatnya pengupahan itu mesti berbasis kompetensi. “Lelaki dan perempuan boleh bekerja di bidang yang sama dengan golongan yang sama. Namun kompetensi bisa berbeda. Dan kaum perempuan bisa mendapatkan upah yang lebih besar jika mereka mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.”
Sebelum warta gender digembar-gemborkan, kaum perempuan terjebak dalam stereotipe peran SDK (sumur, dapur dan kasur). Dengan adanya kemajuan pola pikir masyarakat saat ini, kaum perempuan berlomba-lomba untuk bekerja. Bahkan mereka menjadi tulang punggung keluarga. Kita bisa amati jika dalam keluarga isteri yang bekerja dan suami menunggui anak dan rumah. Isterilah yang menjadi sumber panghasilan. Hanya sayang bahwa seringkali mahligai rumah tangga jadi berantakan gara-gara suami dan iseri berlomba-lomba untuk kerja. Anak tak diperhatikan dan komunikasi keduanya tidak jalan. Ini tipe keluarga di persimpangan ambruk.
Tuntutan ekonomi bisa menyebabkan kaum perempuan berjibaku dengan berbagai peluang kerja. Ada yang jadi bintang iklan. Mereka rela berpose ‘sepotong-sepotong’ asal dibayar mahal. Peserta diskusi mempersoalkan tampilan ‘seronok’ kaum perempuan yang tak saja di majalah lelaki tetapi justru di majalah peremuan yang dikelola perempuan.
Kadang tuntutan bisnis bisa saja mengorbankan nilai-nilai kesopanan dan moralitas. Dan ini hanya salah satu contoh bahwa ada begitu banyak perempuan yang telah menjadi “nyonya besar” yang lupa menyadarkan kaumnya sendiri. “Nyonya-nyonya besar” ini sudah terlena dalam kemewahan dan kemudahan hidup. Jabatan dan posisi mereka kadang membuat mereka begitu jauh dari kaumnya sendiri. Padahal di tetangga sebelah rumah, masih ada isteri yang terus ditampar suami dan tak jauh di pelosok sana, ibu-ibu desa masih tertatih-tatih merangkak dengan setumpuk beban di kepala dan bahu sementara sang suami jadi pahlawan dan pengawal dari belakang.
Momen HBN menjadi momen tukar gagasan, bagi cerita dan baku kritik. Kita memang butuh saat-saat seperti ini agar para bapak bisa mereposisi perannya; melindungi bukan mempecundangi, menafkahi bukan menampari, mengasihi bukan mezalimi, mencintai bukan mencincangi.



Seputar Hari Bapak Nasional (3/habis)


Jangan Cuma Ingat Botol Moke

Oleh Isidorus Lilijawa
Kontributor


Seksi publikasi Panitia Deklarasi Hari Bapak Nasional (DHBN) Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret sempat merekam curahan hati ibu-ibu rumah tangga di Maumere saat deklarasi HBN, 12 November 2006.
“DHBN yang diselenggarakan ini merupakan suatu awal yang baik bagi semua bapak di Indonesia, khususnya di Maumere ini untuk lebih mencintai keluarga daripada botol moke,” demikian kata Mama Ety di Kota Uneng – Maumere. Mama Ety berpesan agar dengan Hari Bapak ini, para bapak semakin menyadari peran mereka dalam keluarga.
Senada dengan itu, Mama Martha yang tinggal di Jalan Brai – Maumere berpesan agar dengan adanya DHBN, para bapak semakin mencintai keluarganya dan bukan mencintai botol moke lagi. “DHBN merupakan peristiwa sejarah yang terjadi di Maumere. Kiranya tidak sampai di sini saja, tetapi berlangsung terus sampai selama-lamanya.”
Mama In di Kloang Rotat – Sikka berharap dengan DHBN para bapak semakin memahami peran mereka dalam keluarga; bagi para ibu, semoga semakin mencintai suaminya; dan bagi anak-anak agar semakin mencintai dan menghormati mereka.
“Semua kegiatan ini sangat bagus dan membuat saya teringat akan suami saya yang telah pergi meninggalkan saya. Saya berpesan semoga para bapak semakin mencintai isteri dan anak-anak mereka,” kata Mbak Yanti di Kabor Maumere.
“Dengan adanya HBN ini, para bapak harus sadar akan status mereka sebagai bapak yang selalu mempunyai waktu untuk ada bersama, dapat memberi rasa aman bagi anggota keluarga, punya hati nurani, bertanggung jawab, dapat berdialog, tidak otoriter. Selain itu, saya juga punya satu pesan berupa pertanyaan ini: kapan Hari Keluarga akan dibentuk?” Begitulah ungkapan Ibu Maria Imaculata Toya di Misir – Maumere.
Mama-mama telah memberi kesaksian, harapan dan pesan berkaitan dengan DHBN. Mereka yang rutin bergulat dengan dapur, yang akrab dengan garam dan lombok, mempunyai kesaksian yang sangat positif berkaitan dengan DHBN. Mereka selalu berharap agar bapak, suami-suami mereka lebih mencintai keluarga daripada botol moke, agar jadi bapak yang bertanggung jawab terhadap keluarga, bukan habis manis sepah dibuang.
Jangan cuma ingat botol moke. Bagi kebanyakan bapak di Maumere, botol moke adalah sahabat akrab selain tembakau dan dadu regang. Begitu akrabnya mereka dengan botol moke ini, mereka kerap menomorduakan urusan anak-anak dan isteri di rumah. ‘Air kata-kata’ alias moke itu sanggup mendongkrak heroisme bapakisme dan sanggup membuatnya pintar dan bodoh seketika. Yang disayangkan adalah, ketika mabuk mereka pulang rumah dan mengkebunbinatangkan semua penghuni rumah apabila ada sedikit kesalahan saja. Caci maki, dampratan hingga tamparan kerap diterima anak dan isteri.
Mama Martha dan Mama Ety benar. Para bapak kadang lebih mencintai botol moke daripada keluarga. Kapan mereka bisa mengambil jarak dari botol moke? Membiarkan mereka bertobat karena mabuk saja tidak cukup. Setelah mabuk mereka akan mabuk lagi. Karena kemabukan adalah kenikmatan ego yang tiada taranya. Kedua mama di atas mewakili begitu banyak mama di Kabupaten Sikka. Punya harapan yang sama agar bapak-bapak lebih utamakan keluarga bukan botol moke.
Sejauh mana DHBN bisa menjauhkan para bapak dari botol moke atau setidak-tidaknya membuat mereka alergi terhadap botol moke? Ini bukan saja tugas isteri, tetapi tugas kita semua yang berharap pada tumbuhnya keluarga yang harmonis, keluarga yang dibangun di atas wadas saling mencintai dan pengertian antara suami, isteri dan anak-anak.


Suara mama-mama di atas merupakan gugatan yang terlantun halus. Kapan bapak-bapak berubah dari pola hidup yang kurang berkenan pada keluarga? Walau mereka kerap dianggap sebagai ‘orang yang tidak tahu apa-apa’ karena hanya berurusan dengan ‘garam dan lombok’, namun kepiawaian mama-mama sederhana mengolah garam dan lombok sanggup membentuk citarasa masakan lezat yang bisa merekateratkan seisi keluarga.
Dalam hidup berumah tangga, kadang suami merasa lebih punya andil dalam kehidupan keluarga. Karena mereka bekerja, maka mereka merasa bisa mendikte isteri. Ibu Krita, dosen Unipa Maumere melihat hal ini sebagai ketidakadilan. Walau di rumah, bukan berarti ibu atau mama itu tidak bekerja. Justru ibu bekerja lebih berat di rumah. Semua urusan tetek bengek ditanganinya.
Ada seorang suami yang merasa bahwa pekerjaannya di kantor lebih berat ketimbang sang isteri yang enak-enak saja di rumah. Ia menggerutu dan berdoa kepada Tuhan agar ditukar saja peran mereka. Ia pun menjadi isteri. Pada hari pertama, sebelum suami dan anak-anaknya bangun, ia sudah bangun lebih dahulu; merebus air, memasak makan buat suami dan anak-anak. Setelah itu, ia mencuci piring kotor yang dipakai semalam lalu menyapu halaman. Saat suami bangun ia menghidangkan segelas kopi dan makanan di atas meja. Lalu ia membangunkan anaknya yang masih SD kelas 1 dan memandikannya.
Selepas suami ke kantor, ia mengantar anaknya ke SD. Dari situ ia bergegas ke pasar membeli sayur dan ikan untuk makan siang. Sampai di rumah pakaian kotor di bak sudah menanti. Ia mencucinya sambil memasak. Ia ingat bahwa hari itu batas terakhir pembayaran rekening listrik dan telepon. Ia pun bergegas ke bank terdekat. Menjelang siang, ia menjemput anaknya di sekolah. Ia pun menyiapkan makan siang untuk suami dan anaknya. Suaminya pulang kantor, makan dan beristirahat. Ia masih melanjutkan kerja. Setelah makan, ia harus mencuci piring. Pakaian seragam suami dan anaknya belum disetrika untuk dipakai besok. Ia pun setrika. Menjelang sore, ia mesti memandikan anaknya. Setelah itu harus siapkan lagi makan malam. Setelah makan, ia masih harus mengajari anaknya berhitung dan membaca huruf. Ia amat mengantuk. Selama seharian kerja melulu tak pernah istirahat. Setelah membereskan isi rumah ia pun terrtidur dengan pulasnya. Keesokan harinya, ritme yang sama ia lakoni.
Ia merasa tak tahan lagi berperan sebagai isteri. Suaminya kok santai-santai saja. Paling-paling pergi kantor, lalu pulang dan istirahat. Ia tak sanggup menjadi isteri lagi. Ia pun berdoa kepada Tuhan: “Tuhan, ampuni saya. Saya ingin menjadi suami lagi. Saya tidak tahan menjadi seorang isteri.” Kata Tuhan: “Oh tidak apa-apa. Anda harus tunggu sembilan bulan lagi. Karena sekarang anda sedang hamil.”
Kisah jenaka di atas mau mengatakan bahwa peran seorang isteri terlampau berat. Kasihan jika bapak atau suami dan anak-anak tidak pernah mengerti penderitaan seorang ibu. Bahkan tega-teganya, sang suami masih memperlakukan isteri secara kasar dan tidak manusiawi. HBN adalah kesempatan bagi bapak-bapak untuk berusaha masuk dalam keseharian seorang ibu. HBN bukan afirmasi bapakisme tetapi momen tampan bagi para bapak untuk merefleksikan perannya di tengah keluarga, bangsa dan negara ini.
Yah, semoga dengan peringatan HBN yang dirayakan setiap tahun, para bapak semakin sadar bahwa para ibu bekerja begitu berat di rumah. HBN adalah lecutan bagi para bapak agar semakin mencintai keluarga dan bukan mencintai botol moke lagi.







No comments: