Friday, February 29, 2008

Menyanggah H Netti

Seputar Jurnalisme Sastrawi
(Ruang Diskusi untuk AGH Netti)
Oleh Isidorus Lilijawa


“Akhirnya, kepada pembaca kami persembahkan buku ini. Segala kritik, koreksi dan saran akan kami terima dengan tangan terbuka. Selamat membaca!”
Itulah kalimat terakhir catatan editor pada buku 15 Tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, yang menandai ulang tahun ke-15 Pos Kupang dan diluncurkan serta dibedah 1 Desember 2007 lalu. Para editor, Tony Kleden, Maria Matildis Banda dan Dion DB Putra merasa yakin bahwa buku yang mereka edit itu belumlah sempurna dan paripurna. Karena itulah, para pembaca yang menjadi tujuan penulisan buku itu mempunyai tugas mengkritisi, mengoreksi, meralat, merevisi, merepurifikasi, memverifikasi bentuk, sistematika, substansi, gaya bahasa dan penggunaan terminus yang dipakai oleh para penulis dalam buku itu.
Syukurlah, bahwa walau sempat benar-benar dikungkung oleh penasaran yang mendera sejak tanggal 3 sampai tanggal 18 Desember, AG Hadzarmawit Netti (selanjutnya disapa HN), memburu buku itu ke Toko Buku Gramedia, menemukannya dan memuaskan dahaga penasarannya secara tuntas pada tanggal 20 Desember malam (bdk. Opini PK 16/1). Bukan cuma itu. Setelah tuntas menyalurkan penasaran, HN pun mengirimkan tulisan tentang “Marginalia atas opini Maria Matildis Banda – Seputar ‘imajinasi, fantasi, dan khayalan”, yang dimuat di kolom opini Pos Kupang edisi 16 Januari.
Luar biasa. Ini sungguh merupakan sikap seorang pembaca yang bertanggung jawab dan mencintai Pos Kupang. HN merasa bertanggung jawab untuk mengkritisi dan mengoreksi apa yang tertulis dalam buku 15 tahun Pos Kupang itu agar tidak terjebak dalam kebiasaan pembaca yang ‘taken for granted’ (yang menerima begitu saja informasi dan tulisan yang disajikan tanpa mempersoalkan kebenarannya), tetapi sekaligus membuktikan bahwa kebenaran tidak selalu tunggal dan dimonopoli oleh pihak tertentu, dalam hal ini para penulis buku itu. Bahkan HN menunjukkan hal positif bahwa pertemanan tidak mesti mengorbankan sikap kritis. HN pernah menjadi seorang pembicara dalam acara bedah Novel Surat-Surat Dari Dili karya Maria Matildis Banda (selanjutnya disapa MB) pada 1 Desember 2005 lalu. Pos Kupang dan tentu saja para pembaca setia Pos Kupang di mana saja patut mengapresiasi dan menaruh respek pada seorang HN atas sikap kritisnya itu.
Tidak mengurangi rasa hormat saya pada HN, ada beberapa hal dari opini HN yang perlu disoroti agar kebenaran yang lain tidak turut termarginalisasi. Pada buku 15 tahun Pos Kupang halaman 167-181, MB menulis artikel dengan judul “Imajinasi dan Hasrat Seorang Jurnalis – Catatan tentang Jurnalisme Sastra”. MB mulai dengan “Catatan Kenangan” yang ditulis Arief Budiman sebagai salah satu pengantar pada buku Catatan Seorang Demonstran, karya Soe Hok Gie. Selanjutnya, diulas relasi feature dan jurnalisme sastra, aspek imajinasi dalam jurnalisme sastra; imajinasi, hasrat, dan jurnalisme sastra. Hemat saya, substansi dan orientasi penulisan MB adalah untuk para jurnalis, bukan sastrawan. Mungkin saja HN terjebak dengan penggunaan kata ‘sastra’ pada jurnalisme sastra. Padahal jurnalisme sastra jelas berbeda dari sastra. Sayang jika HN mengeliminir aspek imajinasi dari jurnalisme sastra karena itu bukan sastra. Mungkin baik jika HN membaca lagi artikel Silvester Ule berjudul “Perlukah ‘ternyuh’itu?” (PK, 19/1) pada poin ketiga.
Karena substansi penulisan MB adalah untuk para jurnalis, maka MB sangat yakin bahwa imajinasi adalah aspek yang sangat penting dalam jurnalisme sastra. Penulis yang kehilangan imajinasi adalah penulis ‘paceklik’ yang menjadi kering kerontang dan layu sebelum berkembang. Hal ini saya alami sebagai seorang wartawan Flores Pos/Dian (2006-2007). Imajinasi itulah yang membuat tulisan menjadi hidup, bergairah, bergelombang, bergetar apalagi saat menulis feature. Selama kurang lebih setahun menulis feature di Flores Pos, saya tidak dapat lagi menyangkal bahwa imaginasi itu sangat penting dalam jurnalisme sastra. Saya tidak mempersoalkan kerancuan kata-kata ini: imajinasi, fantasi, khayalan, yang sudah diulas secara begitu panjang lebar oleh HN atas artikel MB. Sekali lagi tentang itu, mari kita baca lagi artikel Silvester Ule “Perlukah ‘trenyuh’ itu (PK, 19/1). Saya masih yakin bahwa imajinasi adalah energy drink dan supplement food bagi seorang jurnalis, sebagaimana keyakinan MB. Bukan fantasi.
Artikel MB, menurut saya sangat berguna bagi bagi para jurnalis untuk bagaimana mengaktifkan tombol imajinasi saat menjalankan tugas jurnalistik. Uraiannya lugas dan terarah. Sayang, hal itu tidak dicermati oleh HN, yang justru tidak melihatnya secara holistik. Berbahaya sekali, jika kita hanya fokus pada satu penggalan dan mengkritisi habis-habisan penggalan itu dengan upaya menghilangkan benang merah yang merangkai satu bagian dengan bagian yang lain. Apalagi jika sampai "memarginalkan" orang lain. HN benar karena sikap kritisnya, tetapi sayang kekritisan itu dibangun di atas pola pikir yang fragmentaris, melihat penggalan-penggalan kecil secara terpisah. Itu baik, tetapi harus melihat juga benang merah dari penggalan demi penggalan yang membentuk keutuhan tulisan.
Berpikir fragmentaris kadang kala melahirkan pemonopolian kebenaran seperti HN yang dalam artikelnya merasa benar dengan argumentasinya, lantas mengeksekusi MB sebagai pihak yang salah karena itu perlu dimarginalkan. Saya memang tidak trenyuh, tetapi saya gelisah jika ada pihak yang menjadikan media sebagai ruang penghakiman atas pribadi lain, ruang marginalia, ruang pembunuhan karakter, hingga monopoli kebenaran (dengan argumentasi dan tumpukan referensi-referensi pendukung) sampai-sampai tidak sanggup lagi membedakan argumentatum ad hominem (argumentasi yang menyerang pribadi seseorang) dan argumentatum ad rem (argumentas berdasarkan fakta).

New Journalism
“Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah Time, Newsweek, dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, The Washington Post, kita juga punya harian sejenis. Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?” Demikian pertanyaan Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi, terbitan Yayasan Pantau (2005), yang disuntingnya bersama Budi Setiyono.
Andreas Harsono dan Budi Setiyono adalah dua punggawa Majalah Pantau Jakarta, yang selama beberapa tahun terakhir bekerja sama dengan harian Flores Pos dalam mewujudkan impian jurnalisme sastrawi, jurnalisme bermartabat dan jurnalisme damai. Selama setahun Andreas membimbing awak Flores Pos untuk menulis feature (kekhasan Pantau adalah penulisan feature yang mendalam dan berbobot) di Flores Pos. Hal yang selalu ditekankan adalah pentingnya mengaktifkan imajinasi.
Dalam buku Jurnalisme Sastrawi (dirumuskan bahwa jurnalisme sastrawi adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan dan novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism” (jurnalisme baru). Pada 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul The New Journalism. Mereka jadi editor. Menurut mereka genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.
Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan narasumber. Risetnya tidak main-main.Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal. Genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam dari apa yang disebut sebagai in- depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tetapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh-tidak dipecah ke dalam berbagai laporan. Jurnalisme sastra adalah satu langkah lebih maju dari penulisan feature. Saya mengalami bagaimana feature saya tentang Taman Bacaan di Ende diberi catatan untuk riset lagi oleh Budi Setiyono karena kurang detail atau feature tentang Tukang Gamping mendapat catatan Andreas karena kurang menonjolnya unsur konflik. Padahal konflik adalah unsur yang menjadikan tulisan lebih hidup dan bergairah. Melalui latihan penulisan feature inilah para jurnalis sedang diarahkan untuk menggeluti jurnalisme sastrawi secara perlahan-lahan namun terarah.
Roy Pater Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa) dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark, who berubah menjadi karakter, what berubah menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi.
Selanjutnya, Robert Vare, yang pernah bekerja pada majalah The New Yorker dan The Rolling Stones mengemukakan tujuh (7) pertimbangan jika kita hendak menulis narasi: pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau memakai kata dasar “sastra” ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Maka apa yang disebut sebagai jurnalisme sastrawi juga mendasarkan diri pada verifikasi. Kedua, konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Konflik bisa pertikaian dengan orang lain, pertentangan dengan hati nurani atau nilai-nilai di masyarakat. Ketiga, karakter. Narasi butuh karakter untuk mengikat cerita. Keempat, akses. Kita mesti mempunyai akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, koresponden, foto. Kelima, emosi. Ia bisa berupa cinta. Bisa pengkhianatan. Kesetiaan, dll. Emosi menjadikan cerita itu hidup. Keenam, perjalanan waktu, dan ketujuh, unsur kebaruan.
Dari penjelasan mengenai jurnalisme sastrawi di atas, hemat saya apa yang ditulis oleh MB dalam artikelnya yang dipersoalkan HN merupakan penjelasan yang akurat mengenai jurnalisme sastra. MB berdasarkan kisah Soe Hok Gie dalam “Catatan Kenangan” yang ditulis Arief Budiman berusaha menjelaskan bagian demi bagian yang memudahkan para jurnalis mencerna model penulisan jurnalisme sastrawi. Dengan mengemukakan alur, karakter, dan latar, MB sedang mewartakan bahwa menulis jurnalisme sastrawi sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam narasi, yang semuanya sangat dimungkinkan oleh imajinasi seorang jurnalis.
MB dengan kualifikasinya sebagai seorang dosen sastra, redaktur khusus Pos Kupang dan salah seorang editor buku 15 tahun Pos Kupang tentu tidak sedang mencederai dirinya sendiri sebagaimana dikatakan HN dalam catatan akhir opininya. Dalam kaca mata saya sebagai jurnalis, artikel itu merupakan karya MB yang berbobot, yang bisa menjadi alternatif penyembuhan berbagai ‘cedera jurnalistik’ yang dialami para jurnalis saat ini. Artikel itu hemat saya adalah sebuah arus balik melawan kecenderungan jurnalis yang kadang betah menulis berita hanya dengan pola straight news atau berita lempang. Padahal dalam zaman di mana media elektronik menguasai masyarakat, kita tidak lagi mendapat breaking news dari surat kabar. Surat kabar tak bisa bersaing cepat dengan media elektronik. Namun media elektronik sulit bersaing kedalaman dengan surat kabar. Jurnalisme sastrawi yang dalam varian penamaannya bisa disebut narrative reporting, passionate journalism, explorative journalism, menjawabi kebutuhan pembaca dengan melibatkan emosi mereka dan melihat realitas konkrit melalui pergumulan imajinasi jurnalis yang objektif dan rasional.
Tugas utama seorang jurnalis adalah melaporkan (to report a reporter) suatu kejadian atau peristiwa bagi pembaca medianya dalam sebuah bentuk berita. Hal itu dilakukannya setiap hari sampai-sampai semuanya berjalan secara mekanik dan otomatis. Kondisi seperti ini bisa membuat jurnalis jenuh dan pembaca pun jenuh karena berhadapan dengan pola penulisan berita yang itu-itu saja. Jurnalis tidak boleh merasa puas karena bisa menjejali pembaca dengan straight news berpola 5W 1H. Jurnalis harus bisa menyuguhkan kepada pembaca tulisan yang memenuhi hasrat manusia secara utuh, yaitu hasrat ingin tahu (faktor kognitif) dan hasrat akan keindahan (faktor estetis).
Dalam jurnalisme sastra, hasrat pembaca bisa terpenuhi melalui pengisahan berita yang imajinatif namun objektif, naratif dengan alur, karakter, konflik, latar, namun tetap rasional (non fiksi), menyentuh emosi namun tetap menegakkan verifikasi. Inilah aliran jurnalisme yang tidak harus menjadi baru lagi bagi para jurnalis. Menulis feature adalah awal yang baik untuk bisa menulis jurnalisme sastra. Syukurlah bahwa para jurnalis kita saat ini sudah mulai peduli dengan model penulisan yang seperti ini. Pada aras inilah, kehadiran artikel MB sangat penting untuk sekali lagi mengingatkan para jurnalis (bukan hanya jurnalis Pos Kupang) bahwa dengan kekuatan imajinasi, seorang jurnalis akan mengakhiri perjalanan jurnalistiknya secara mengesankan dan tidak menjadi jurnalis yang ‘paceklik’, yang menjadi kering kerontang, yang layu sebelum berkembang.
Terima kasih buat HN yang telah menjadi inspirasi untuk diskusi ini. Terima kasih juga buat Silvester Ule yang telah mencerahkan HN dan juga pembaca setia Pos Kupang. Ke’trenyuh’an HN adalah pembelajaran yang positif bagi para pembaca agar tidak bersikap “taken for granted” atas berbagai informasi, dan argumentasi yang disampaikan lisan maupun tulisan. Namun, upaya HN mempersoalkan artikel MB yang berujung pada marginalia pribadi MB melalui argumentum ad hominem adalah hal yang tidak perlu diulangi lagi oleh siapa pun yang berusaha mencari kebenaran dan menawarkan kebenaran melalui media massa. Dan dengan itu saya yakin bahwa buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur tidak mengalami cedera serius karena berbagai gelombang ‘trenyuh’. Toh buku itu memang belum sempurna dan paripurna. Namun daripadanya kita bisa belajar banyak hal, khususnya bagi para jurnalis agar senantiasa mengaktifkan imajinasi dan mulailah mencintai jurnalisme sastra sebagai cara mewartakan kebenaran dengan sentuhan-sentuhan cita rasa manusiawi.


Isidorus Lilijawa, warga Oebufu. Anggota Forum Akademia NTT. Pernah menjadi staf media center Unwira Kupang (2005/2006) dan wartawan/redaktur Dian/Flores Pos (2006/2007). Menulis buku “Mengapa Takut Berpolitik?” (Pustaka Nusatama: 2007).

Thursday, February 28, 2008

Pers yang Sial

Pers, kebebasan dan kekerasan

(Mengkritisi kekerasan terhadap awak pers)

Oleh Isidorus Lilijawa

Reporters Without Borders (RWB), sebuah lembaga pemantau media internasional baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-100 dari 167 negara dalam hal kebebesan pers. Hasil survey itu menyimpulkan bahwa “freedom of the press” di negara-negara Asia Timur umumnya lebih baik ketimbang di kawasan Asia Tenggara. Kebebasan pers di Asia Timur berada di urutan 30-40 kecuali RRC.

Dalam indeks yang hanya memasukkan unsur minimnya kekerasan ataupun ancaman bagi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, posisi negara-negara Asia Tenggara justru lebih buruk dari negara-negara Asia Timur. Kamboja (85), Indonesia (100), Brunei (118), Malaysia (124), Filipina (128), Thailand (138), Laos (161), Myanmar (164). Walau dalam urutan di atas, posisi Indonesia lebih baik daripada negara-negara Asia Tenggara lainnya, namun Indonesia justru lebih buruk jika dibandingkan dengan negara Timor Leste yang berada di posisi 92 (Pos Kupang, 18/2/2008). Berada pada urutan 100 bukan merupakan sebuah kebanggan bagi dunia pers di negeri ini. Itu artinya, masih cukup tinggi unsur kekerasan dan ancaman bagi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Dan dalam konteks mikro di NTT misalnya, posisi 100 itu justru berbanding lurus dengan perlakuan kasar atau kekerasan yang dialami para awak pers.

Dalam seminggu (12-18/2/2008), media massa lokal menyajikan fakta kekerasan yang dialami awak pers di NTT. Tanggal 12/2/2008, Yoppi Latty, wartawan Timex, ditelepon oleh bagian Humas Kajati NTT untuk menghubungi wartawan lain agar datang ke kantor Kejati NTT karena ada yang mau disampaikan. Namun dalam pertemuan dengan Hady Purwoto yang adalah Aspidum Kejati NTT, Yoppi justru dimarah-marah dan Purwoto malah mengangkat dagu Yoppi (Timex, 15/2/2008).

Beberapa hari kemudian, kekerasan terhadap wartawan terjadi lagi. Hendrik R Beni, wartawan Expo NTT yang bertugas di Ende mengadukan Sekretaris Daerah (Sekda) Ende, Iskandar M Mberu kepada kepolisian resort Ende karena perbuatan yang tak menyenangkan yang dilakukan terhadap Beny di Bandara Haji H Aroeboesman Ende. “Sudah lama saya cari Anda dan sekarang kita bertemu. Anda jago membuat berita selama ini dan menulis tentang saya. Sekarang ini kita ke depan untuk membuat perhitungan (adu fisik),” demikian kata-kata Sekda Mberu. Bahkan Sekda Mberu menunjukkan kepalan tangan dan mengejar korban sambil berteriak maling, maling (Pos Kupang, 16/2/2008).

Kekerasan fisik terhadap wartawan dialami oleh Obby Lewanmeru, wartawan Pos Kupang yang bertugas di Kabupaten Manggarai Barat. Obby dianiaya oleh empat preman di depan Kantor Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) di Labuan Bajo, Minggu (17/2/2008). Akibatnya Obby mengalami luka robek pada bibir. Sebelum memukul, para preman itu hanya mengatakan tak senang dengan pemberitaan soal bank NTT Cabang Labuan Bajo, yang menurut Obby tak pernah ditulisnya (Pos Kupang, 18/2/2008).

Situasi kelabu

Tiga kasus yang terungkap di atas mengindikasikan bahwa para awak pers dalam iklim kebebasan dan reformasi sekarang ini masih rentan terhadap kekerasan. Sebelum era reformasi lahir, kehidupan pers sangat dikebiri dan ruang geraknya dipantau penguasa. Pers berada dalam masa-masa kelabu untuk mengekspresikan peran dan tugasnya di tengah masyarakat. Pers dikontrol oleh penguasa dan dimanfaatkan sebagai corong kepentingan penguasa.

Dalam situasi seperti ini, pemberitaan pers adalah pesanan penguasa atau pemberitaan yang menyenangkan penguasa. Pembredelan, pencabutan SIUP adalah senjata yang menumpulkan fungsi kritik dan kontrol sosial pers. Sejarah pers di Indonesia lebih banyak menunjukkan wajah yang retak dan terpecah. Wajah pers tak pernah semulus wajah para artis yang diberitakan, digosipkan dan didekati para wartawan dengan begitu mudahnya. Wajah pers di Indonesia buram oleh berbagai kooptasi, intervensi, terror bahkan pembunuhan wartawan. Nadi hidup pers diputuskan oleh “allah” yang adalah instruksi pembredelan.

Tak mengherankan jika kelahiran momen reformasi yang mengusung brand kebebasan disambut gembira oleh seluruh warga negeri ini, termasuk para awak pers dan industri media massa. Sebuah era baru kehidupan pers yang independen, merdeka dan bebas. Pers pun tumbuh dengan suburnya. Kebebasan pers yang seluas-seluasnya itupun kerap menjebak pers dalam persoalan pelanggaran kode etik jurnalistik karena kebebasan sering disalahartikan sebagai kebebasan untuk menulis apa saja tanpa panduan kode etik dan prinsip-prinsip jurnalisme yang benar. Dan sayangnya, aksi-aksi kekerasan terhadap pers tidak dengan sendirinya berakhir setelah rezim orde baru itu tumbang.

Tiga kasus kekerasan yang dialami para awak pers di atas sepertinya melemparkan kita kembali ke masa-masa kelabu pers di era orde baru. Itu berarti, hingga saat ini masih ada sikap dan mentalitas publik yang belum beranjak dari cara-cara kekerasan, intimidasi, ancaman saat berhadapan dengan pemberitaan pers yang bersinggungan dengan kepentingan bersama. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa pola-pola pendekatan orde baru yang selalu dicaci maki karena tak menampakan jiwa demokratis dan mengekang kebebasan masih menjadi bagian dari pola laku dan pola sikap masyarakat kita.

Secara tak sengaja, tiga pelaku kekerasan di atas dapat dikelompokkan dalam tiga struktur peran dalam masyarakat. Hadi Purwoto selaku Aspidum Kejati NTT adalah aparat penegak hukum. Sekda Iskandar Mberu adalah aparat pemerintahan. Dan keempat preman di Labuan Bajo adalah warga masyarakat biasa. Aksi kekerasan yang mereka lakukan terhadap awak pers menggambarkan beberapa hal: Pertama, bahwa kekerasan terhadap pers bukan saja hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mengerti hukum, yang tidak berpendidikan, tetapi juga oleh orang-orang yang melek hukum dan yang patut menjadi anutan masyarakat. Kedua, pers hadir sebagai mitra pemerintah dalam mewujudkan clean government dan good government melalui fungsi kritiknya. Pers menjadi wahana penyampaian aspirasi rakyat yang sangat membantu pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Sayang jika aparat pemerintah merasa alergi pada pers. Jika itu terjadi maka tentu ada sesuatu di balik itu. Ketiga, masyarakat biasa yang mana kepentingannya selalu dibela pers kadang berperilaku kasar terhadap pers itu sendiri. Pada situasi tertentu, masyarakat sering dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kuasa dan modal atau aktor intelektual untuk mengamankan kepentingannya yang disengat pers karena keterlibatan mereka dalam kasus-kasus tertentu yang merugikan bonum commune.

Atas ketiga kasus kekerasan terhadap awak pers di atas, masing-masing institusi pers telah menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan dengan mempolisikan para pelaku kekerasan. Namun, upaya kita sebenarnya tidak sebatas itu. Mengungkap motif kekerasan, menyeret pelaku kekerasan ke meja hukum adalah hal yang terus kita perjuangkan. Selain itu, upaya mencegah dan menyembuhkan mentalitas preman yang meruak dalam ranah publik, yang terwakili oleh para pelaku kekerasan di atas adalah satu hal yang harus kita lakukan saat ini. Jalur hukum tetap ditempuh, tetapi proses penyadaran berkaitan dengan eksistensi dan urgensitas pers demi demokratisasi masyarakat harus terus kita galakkan. Karena pers tidak boleh mati hanya karena intimidasi dan kekerasan terhadapnya. Pers harus tetap hidup dan ‘mencerahkan’ pelaku-pelaku kekerasan itu.

Proses pembelajaran

Kasus kekerasan terhadap awak pers walau menyakitkan, namun tidak mesti menghilangkan aspek pembelajaran yang lahir daripadanya. Kasus-kasus kekerasan di atas cenderung berkaitan dengan ‘kenyamanan pribadi’ yang diganggu. Padahal pers tidak menukik ke hal-hal pribadi, melainkan bermain di ruang publik atas dasar fakta dan data yang diverifikasi. Kenyamanan pribadi terganggu ketika ruang bonum commune dikontaminasi oleh pemenuhan hasrat pribadi yang egois. Artinya, hanya orang-orang yang memanipulasi kepentingan umum dengan kepentingan pribadinya yang merasa tidak nyaman terhadap pers.

Tiga kasus di atas memberikan pembelajaran khusus kepada para awak pers. Bukan untuk menjadi takut dan kecut dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tetapi agar melaksanakan tugas itu berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik. Jika awak pers telah melaksanakan tugasnya sesuai kaidah jurnalistik dan prinsip-prinsip jurnalisme, maka kekerasan yang dilakukan terhadapnya adalah sesuatu yang sangat tidak mendasar. Dan hemat saya, hal itu mencerminkan rendahnya kualitas intelektual dan moral pribadi pelaku kekerasan bersangkutan. Tindakan kekerasan terhadap pers dalam arti yang lebih dalam adalah sebuah proses pemberangusan benih-benih demokrasi yang telah ditumbuhkembangkan dengan susah payah di negeri ini.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism yang diterjemahkan oleh Yusi A Parcanon menjadi Sembilan Elemen Jurnalisme (Yayasan Pantau: 2006) mengemukakan sembilan prinsip jurnalisme yang menjadi pedoman penting bagi setiap wartawan. Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah mengabdi kebenaran. Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Ketiga, inti jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi. Keempat, para wartawan harus bebas dari sumber yang mereka liput. Kelima, wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas dari pengaruh kekuasaan. Keenam, jurnalisme harus menyiapkan forum untuk kritik dan komentar publik. Ketujuh, jurnalisme harus menjadikan hal yang penting menarik dan relevan. Kedelapan, wartawan harus menjaga agar beritanya proporsional dan komprehensif. Kesembilan, wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya.

Kesembilan prinsip di atas merupakan panduan dan kompas bagi kerja seorang jurnalis. Itu berarti, sangat disayangkan jika pemberitaan pers mengabaikan salah satu unsur itu yang selanjutnya dapat menimbulkan kekerasan walau ada mekanisme tersendiri dalam dunia pers, yang hingga saat ini belum cukup diketahui oleh masyarakat, aparat penegak hukum dan aparat pemerintah yakni undang-undang pers. Sebagai bagian dari proses pembelajaran, maka apa yang dikemukakan oleh Damyan Godho, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT, yang juga Pemimpin Umum SKH Pos Kupang patut dimaknai oleh segenap insan pers. Ia berpesan kepada para wartawan agar tidak usah takut dan gentar melawan praktik-praktik preman, intrik, teror, dan intimidasi. “Di tengah penegakan hukum yang belum maksimal, praktik-praktik KKN yang menggurita, cara-cara preman bisa saja terjadi. Mereka yang terkena pemberitaan bukan tidak mungkin bereaksi. Mereka menggeliat dengan berbagai cara termasuk gaya preman yang direkayasa sedemikian rupa dalam menghadapi kontrol pers terhadap perbuatan yang merugikan rakyat dan negara” (Pos Kupang, 18/2/2008). Tentu saja, awak pers harus tetap lantang bersuara di padang gurun nurani para penguasa, pejabat, pemodal, rakyat yang KKN, seperti Yohanes Pemandi yang selalu menggelisahkan raja Herodes di singgasana kemapanannya.

Pembelajaran lain yang perlu dimaknai oleh aparat pemerintahan, aparat penegak hukum dan masyarakat umum lainnya adalah mengenai Undang-Undang Pers. Perundang-undangan ini bukan hanya milik dan wajib diketahui oleh para jurnalis dan pegiat pers, tetapi harus menjadi pengetahuan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini yang hemat saya masih belum terjadi di bumi NTT ini. Jangan membayangkan para preman di Labuan Bajo mengerti hal ini. Seorang Aspidum seperi Purwoto dan aparat pemerintahan semacam Sekda Iskandar Mberu pun tidak paham mekanisme pers semacam itu. Karena ketidakpahaman itulah lahirlah kekerasan terhadap pers. Padahal dalam undang-undang pers, telah disebutkan secara jelas mekanisme apa yang harus ditempuh bila pemberitaan pers merugikan atau merusak nama baik seseorang.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 item ke-11, 12, 13 secara jelas telah menulis tentang hak jawab, hak koreksi dan kewajiban koreksi. Hak jawab adalah hak seorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Kewajiban koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers bersangkutan.

Prosedur-prosedur di atas adalah cara yang ditempuh apabila terjadi kekeliruan dalam pemberitaan. Bukannya membuat perhitungan untuk ada fisik (otot). Secara psikologis, orang yang selalu marah adalah orang yang menyembunyikan kelemahan dirinya. Dan orang yang mengandalkan otot adalah mereka yang kurang memfungsikan otak atau dengan kata lain ‘otak kosong’. Berbagai kasus kekerasan terhadap awak pers bermula ketika orang tidak memahami mekanisme yang berlaku dalam dunia pers atau undang-undang pers. Ini adalah tugas pegiat pers untuk terus mensosialisasikan undang-undang ini kepada segenap masyarakat, aparat penegak hukum, aparat pemerintah, dan wakil rakyat. Harapan kita tentunya dengan pemahaman yang benar tentang pers, berbagai kekerasan terhadap awak pers dapat diminimalisir.

Pers memainkan peran yang sangat signifikan dalam perkembangan peradaban kita saat ini. Dengan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Dalam perkembangannya, pers juga mengemban fungsi-fungsi ini: (1) menegakkan nilai-nilai demokrasi, (2) mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, (3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, (4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran-saran yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (5) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dengan fungsi seperti ini, para awak pers menyuarakan warta profetis demi kebaikan masyarakat. Suara profetis ini sangat perlu dalam konteks hidup kita di mana sering terjadi manipulasi kebenaran dan keadilan, perendahan hak asasi manusia, penggiringan opini publik pada kepentingan pihak tertentu dan pembodohan-pembodohan ala penguasa/pemodal dan aktor intelektual yang terus-menerus menimpa masyarakat kecil. Pers ada untuk melayani kepentingan publik, menciptakan kesejahteraan rakyat. Itu berarti, kekerasan terhadap pers adalah kekerasan terhadap publik itu sendiri.

Sampai pada saat ini kita masih butuh pers dan kita akan selalu membutuhkannya. Pers adalah mitra masyarakat, rekan pemerintah, kawan penegak hukum. Pers dalam teori pers libertarian adalah the fourth estate (pilar kekuasaan keempat). Walau pers adalah mitra, ia tetap berperan sebagai watchdog (anjing pemantau) bagi kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Pers juga mengawasi roda kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pers adalah ‘perpanjangan tangan rakyat’. Karena itulah, kemerdekaan pers adalah conditio sine qua non bagi terungkapnya aspirasi rakyat dan terciptanya demokratisasi di daerah ini. Hanya orang yang terlibat dalam hal-hal yang merugikan rakyat dan negaralah yang alergi terhadap pers. Sekali lagi awak pers tidak boleh takut dan kecut. Bersuaralah lantang di padang gurun NTT ini. Pers, jayalah selalu.

Isidorus Lilijawa, Alumnus STFK Ledalero. Mantan wartawan/redaktur Harian Umum Flores Pos (2006/2007). Anggota Forum Akademia NTT. Menulis buku “Mengapa Takut Berpolitik?” (Pustaka Nusatama: 2007). Koodinator Program ACILS-LPA NTT 2008 untuk Trafiking.

Manajemen Pemberdayaan Masyarakat

Manajemen Pemberdayaan Masyarakat

Oleh Isidorus Lilijawa

Tak dapat kita mungkiri lagi bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan issu aktual saat ini. Untuk proses pemberdayaan ini, ada begitu banyak lembaga swadaya masyarakat lokal maupun internasional yang terjun ke tengah-tengah masyarakat mengibarkan panji pemberdayaan ini. Tak hanya itu, pemerintah selaku pihak yang diserahi tanggung jawab untuk mengusahakan dan merealisasikan kemaslahatan hidup orang banyak menelorkan program-program pemberdayaan masyarakat melalui instansi-instansi terkait. Untuk tugas pemberdayaan itulah, para fasilitator pemberdayaan masyarakat dari berbagai lembaga di atas telah dan sedang melakoni tugas fasilitasi di tengah masyarakat desa.

Dalam proses pemberdayaan ini, tiga hal yang penting untuk dikaji adalah masyarakat, fasilitator dan proses fasilitasi. Masyarakat adalah universitas sejati. Di sana ada begitu banyak kekayaan intelektual, bergelimang kearifan lokal dan gudang pengetahuan yang tak terbatas. Jika kita ingin mendapatkan keterampilan dan pengetahuan yang lengkap dan sempurna, bergurulah pada masyarakat. Sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan formal adalah miniatur dari sebagian aspek kehidupan masyarakat. Kita belum cukup memahami masyarakat hanya dengan menghabiskan waktu di sekolah atau panti pendidikan. Pemahaman kita mengenai masyarakat bisa menjadi lengkap jika dan hanya jika kita hidup di tengah masyarakat dan berguru daripadanya. Demikian pun seorang fasilitator hanya dapat memahami masyarakat bila ia datang dan belajar dari masyarakat itu sendiri.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah untuk apa fasilitator atau apa peran fasilitator jika masyarakat dapat melakukan sendiri apa yang mau dilakukannya? Pertanyaan ini penting untuk menguji sejauh manakah masyarakat betul-betul membutuhkan kehadiran seorang fasilitator dan apa yang harus dibuat fasilitator berhadapan dengan kebutuhan dan problematika masyarakat. Dengan caranya sendiri masyarakat sebenarnya memiliki kemampuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan dapat menciptakan kehidupannya secara lebih baik. Masyarakat selama ini mampu melakukan apa yang dikenal dengan lima (5) tahap pemberdayaan yakni partnership building (membangun kemitraan) ke dalam dan keluar, issue analysis (analisis masalah), action plan (menyusun rencana), implementation and monitoring (pelaksanaan dan monitoring) dan evaluation and feedback (evaluasi dan mendengar umpan balik) dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Pendek kata, sebenarnya masyarakat dapat melakukan sendiri apa yang menjadi tuntutan hidupnya.

Jika kita berada dekat dengan masyarakat, kita dapat mengamati banyak kasus dalam kehidupan mereka yang mampu dipecahkan sendiri atas inisiatif yang datang dari mereka sendiri. Dengan potensi yang mereka miliki, khazanah kultur dan kearifan lokal yang mereka hidupi, persoalan-persoalan itu sanggup mereka atasi secara bijak. Ini berarti dari dalam dirinya sendiri masyarakat sebenarnya mempunyai daya hidup (elan vital) yang memampukan mereka bertahan dan terus berkembang. Dengan demikian, kehadiran fasilitator sebagai “outsiders” bukanlah obat mujarab bagi persoalan masyarakat. Fasilitator hanyalah setitik dari kekayaan masyarakat yang berusaha mendampingi masyarakat sejauh dapat. Prinsipnya, fasilitator tidak membawa sesuatu yang baru dan asing dari luar komunitas masyarakat setempat, tetapi mulai dengan apa yang masyarakat miliki.

Lantas, atas dasar apa fasilitator sebagai ”pihak luar” terlibat dalam persoalan masyarakat? Apakah karena mereka diminta oleh donor untuk melakukan tugas pemberdayaan? Atau, karena fasilitator lebih berilmu dan mengetahui banyak hal? Atau, apakah karena fasilitator memiliki issue yang sama (common issues) untuk dipecahkan secara bersama-sama? Pertanyaan-pertanyaan di atas mau menegaskan bahwa fasilitator (pihak luar) harus sangat berhati-hati ketika akan melibatkan diri dalam suatu komunitas masyarakat. Sering kali fasilitator terjun ke masyarakat tanpa bekal pengetahuan yang cukup mengenai masyarakat dan problematikanya. Sebagaimana seorang dokter yang sebelum melakukan operasi pasiennya perlu mempelajari genealogi pasien, riwayat penyakit, peralatan yang perlu, fasilitator pun harus mempunyai pemahaman yang benar mengenai masyarakat dan mengapa masyarakat membutuhkan “pemberdayaan”.

Itu artinya, seorang fasilitator yang sedang bekerja mendampingi masyarakat harus bisa “berpikir” dan “berasa” secara sehat tentang masyarakat. Proses berpikir dan berasa inilah yang kemudian mendasari bagaimana fasilitator mendampingi masyarakat. Alur berpikir yang benar akan menimbulkan fasilitasi yang benar. Sebaliknya, bila alur berpikir salah, fasilitasi yang diciptakan juga akan keliru. Sensivitas rasa yang kurang diperhatikan dalam proses fasilitasi menjadikan masyarakat sebagai tong sampah yang bisa menampung segala hal yang dibuat dan dikatakan fasilitator. Padahal, masyarakat mempunyai sensus kolektif yang perlu dihargai karena menjadi patokan kebenaran bagi mereka.

Jadi, dapat dikatakan bahwa aktivitas berpikir dan berasa seorang fasilitator akan sangat menentukan dalam proses dan tahapan suatu program pemberdayaan masyarakat. Namun, alur atau proses berpikir fasilitator ini kadang susah dipahami secara mendalam, baik itu oleh fasilitator sendiri maupun pihak manajemen sebagai supervisor dari fasilitator bersangkutan. Dan juga jarang sekali alur berpikir fasilitator didalami selama proses pengembangan kapasitas baik melalui pelatihan-pelatihan maupun praktik dalam sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Konsep pemberdayaan

Pada prinsipnya, pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat didampingi oleh fasilitator untuk memecahkan masalahnya sendiri dengan mengakses dan menggunakan sumber daya setempat. Dengan demikian, pemecahan masalah, pengembangan berkelanjutan dan ketergantungan masyarakat pada pihak-pihak dan bantuan dari luar dapat dikurangi. Seringkali masyarakat mendapat bantuan dari pihak luar, Namun sering pula bantuan itu tidak berlanjut sehingga setelah program selesai bantuan tersebut tidak bermanfaat lagi bagi masyarakat. Untuk jangka pendek masalah dapat dipecahkan, tetapi untuk jangka panjang tentu tidak ada perbaikan. Sekali lagi, fasilitator dan lembaga pemberdayaan harus mempunyai pemahaman yang benar mengenai apa dan siapa masyarakat itu sebelum terjun ke tengah-tengah mereka.

Tujuan pendampingan adalah pemberdayaan. Pemberdayaan berarti mengembangkan kekuatan atau kemampuan (daya) potensi, sumber daya masyarakat agar mampu memecahkan persoalannya sendiri. Ilustrasi cara berpikir dokter di atas, untuk konteks pemberdayaan sedikit berbeda. Dokter menyembuhkan pasien, dan apabila pasien mengalami sakit lagi, tentu ia akan ke dokter. Tetapi dalam konsep pemberdayaan, jika penyakit yang telah disembuhkan pada suatu saat kambuh lagi, maka pasien yang sama tidak segera ke dokter tetapi berusaha mengobati sendiri dengan cara dan potensi yang dimiliki. Inilah esensi proses fasilitasi.

Seorang fasilitator mesti bisa membedakan pemberdayaan masyarakat dengan pembinaan. Pembinaan adalah intervensi dari pihak luar, di mana orang luar yang mengambil inisiatif, memutuskan dan melakukan sesuai pikirannya sendiri. Masyarakat 'diikutkan' sebagai obyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai 'pembina'. Sedangkan pemberdayaan adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat, di mana masyarakat didampingi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif sendiri agar mereka lebih mandiri dalam pengembangan dan peningkatan taraf hidupnya. Dalam proses pemberdayaan, masyarakat adalah subyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai fasilitator.

Proses pemberdayaan masyarakat cenderung diwarnai oleh pola pikir yang sesat semacam ini. Kita tidak mempunyai modal → minta bantuan modal; kita tidak mempunyai SDM berpendidikan tinggi → minta beasiswa dan pelatihan; kita tidak memiliki teknologi, alat dan mesin → minta bantuan teknologi, alat dan mesin; kita juga tidak ada akses pasar → minta informasi pasar. Pendek kata, tidak ada di sini → minta dari luar. Pola pikir semacam ini bisa saja bersarang dalam benak masyarakat maupun fasilitator. Sangat disayangkan jika para fasilitator yang mempunyai tugas pendampingan masyarakat masih sangat kuat dipengaruhi oleh konsep keliru seperti itu.

Kita, masyarakat maupun fasilitator cenderung mencari apa yang kita tidak punya tanpa melihat apa yang kita punya, atau kita selalu menganggap bahwa orang luar mempunyai hal-hal yang lebih bagus daripada yang kita miliki. Kita selalu menjelekkan diri sendiri sambil membandingkannya dengan orang luar atau kita selalu lebih percaya hal-hal yang ada di luar daripada yang ada di dalam. Padahal, prinsip pemberdayaan adalah jangan melihat ke luar, tetapi tengoklah ke dalam, galilah potensi yang ada di masyarakat, yang lainnya akan ditambahkan dari luar sejauh perlu. Dan yang utama adalah mulailah dengan apa yang ada pada masyarakat (potensi, peluang, kekuatan, tradisi, budaya, kearifan lokal, dll). Kita patut menyadari bahwa masyarakat kita memiliki kekuatan atau kemampuan (daya) potensi, sumber daya masyarakat untuk dapat bertahan, berkembang bahkan mampu memecahkan persoalannya sendiri.

Keberlanjutan pemberdayaan

Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa setelah sekian lama kelompok-kelompok masyarakat mendapat ”pendampingan” oleh fasilitator, mereka akan merasa terus bergantung/tersubordinasi pada fasilitator atau lembaga-lembaga yang mendampingi mereka (pihak luar) walaupun proses pendampingan itu telah berakhir. Jarang sekali masyarakat setempat sampai pada tahap benar-benar mengambil alih, mengelola dan mengendalikannnya sendiri.

Padahal pemberdayaan masyarakat berarti membangun dan mengembangkan mekanisme yang menjadikan masyarakat pada akhirnya berperan sebagai pelaku utama semua kegiatan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dan tindak lanjut. Bahkan sejak awal sebenarnya mekanisme itu mestinya dibentuk oleh masyarakat sendiri. Itulah esensi dari keberlanjutan. Bila kita sederhanakan pemahaman di atas, kita bisa mendefenisikan ”keberlanjutan hidup” sebagai kemampuan masyarakat untuk mengamankan dan mengelola sumber daya yang memadai sehingga memungkinkannya memenuhi misinya secara efektif dan konsisten sepanjang waktu tanpa ketergantungan yang berlebihan pada orang luar.

Pemberdayaan masyarakat tidaklah sekedar hanya membentuk dan membangun struktur kelembagaan dan mekanisme kerja masyarakat tetapi sekaligus juga berarti membangun nilai-nilai, memberi makna baru pada struktur-struktur tradisional tersebut. Inilah salah satu tantangan para fasilitator dalam program pemberdayaan masyarakat.

Karena itu, dalam hal pendampingan kelompok sasaran maupun anggota, fasilitator perlu memikirkan strategi duplikasi jaringan dan pengembangan hubungan dengan lembaga lain, sebagai suatu strategi pengembangan jaringan. Duplikasi jaringan penting untuk diperhatikan karena dalam kondisi yang semakin berkembang (baik manfaat maupun anggota), kebutuhan akan sebuah wadah yang bisa melayani kelompok sasaran yang ada untuk meluaskan jaringan semakin tinggi. Dengan terbentuknya jaringan ini, maka tekanan pendampingan fasilitator tidak lagi lebih banyak pada tingkat kelompok sasaran, tetapi pada tingkat atas, tergantung perkembangan kelembagaannya dan sebaliknya pembinaan lembaga akan dilakukan oleh jaringan yang ada di atasnya.

Pengembangan hubungan dengan lembaga lain menjadi penting jika kelompok sasaran maupun jaringan membutuhkan hubungan dengan pihak luar, termasuk dengan jaringan kelompok masyarakat di wilayah lain. Di sini peran fasilitator bersama dengan kader dari wadah yang dibentuk akan memfasilitasi kebutuhan tersebut, mulai dari memperkenalkan, mengasistensi proses hubungan dan mendampingi kelompok sasaran dalam proses kerja sama. Wadah ini juga dapat berperan sebagai chaneling. Dengan cara ini, kelompok sasaran maupun jaringannya secara perlahan sudah mampu berhubungan sendiri dengan pihak-pihak lain, meskipun tanpa fasilitator sebagai pendamping.

Dalam program keberlanjutan pemberdayaan masyarakat, pengembangan fasilitator ”lapis kedua” adalah hal yang penting untuk ditindaklanjuti. Jika selama program pemberdayaan itu berlangsung, para fasilitator datang dari luar desa atau komunitas masyarakat setempat, maka setelah program pemberdayaan selesai harus ada fasilitator lokal yang menindaklanjuti apa yang sudah dibuat. Fasilitator ”lapis kedua” adalah para fasilitator lokal yang sudah dipersiapkan untuk melakukan peran atau fungsi-fungsi pemberdayaan setelah para fasilitator ”lapis pertama” (fasilitator dari luar) menyelesaikan tugas pedampingannya di desa bersangkutan. Walau program keberlanjutan pemberdayaan masyarakat menempati posisi buntut setelah tahap-tahap pemberdayaan masyarakat lainnya, namun hal itu mesti sudah harus dipikirkan dan direncanakan sejak awal sebuah program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan.

Hal ini penting dilakukan karena selama proses pemberdayaan itu berjalan, mesti sudah ada orang-orang lokal (fasilitator lapis kedua) yang didampingi dan dilatih secara khusus untuk menangani bagian-bagian tertentu dari proses pemberdayaan itu. Pelibatan mereka secara langsung maupun tidak langsung juga merupakan proses pembelajaran untuk mulai berkenalan dan mendalami apa itu pemberdayaan masyarakat dalam konteks fasilitator lokal.

Joe Han Tan dan Roem Topatimasang dalam buku Mengorganisir Rakyat (hal.106) melukiskan strategi dan cara yang ditempuh oleh Jaringan Baileo Maluku dalam mengembangkan fasilitator lapis kedua ini. ”Dalam berbagai pertemuan antar organisasi non pemerintah di Indonesia, utusan dari Jaringan Baileo Maluku hampir selalu muncul dengan wajah-wajah segar, para fasilitator baru dari generasi yang kesekian. Mereka seluruhnya adalah orang-orang lokal, warga masyarakat adat dari berbagai tempat di Maluku, bahkan banyak yang sehari-harinya adalah para nelayan atau petani dengan tingkat pendidikan formal rata-rata SMP saja. Meskipun demikian, perspektif dan kemampuan teknis mereka setara dengan generasi-generasi sebelumnya. Sementara itu, utusan-utusan dari organisasi lainnya banyak yang masih dari generasi pertama, orang-orangnya tetap itu ke itu saja, para aktivis yang bahkan menjabat sebagai pemimpin, ketua atau direktur ’seumur hidup’ dari organisasi mereka.”

Ketika sebuah program pemberdayaan masyarakat digagas, adalah lebih baik jika pada saat yang sama gagasan keberlanjutan pemberdayaan masyarakat diperhatikan. Pengalaman di daerah-daerah kita menunjukkan bahwa kerja LSM lokal maupun nasional/internasional serasa mubazir karena tidak ada tindak lanjut setelah program pemberdayaan itu selesai. LSM atau fasilitator mungkin saja lupa hal ini karena sibuk dengan sosialisasi dan membangun sana sini atau memberi ini itu. Masyarakat juga bisa lupa jika selalu dimanjakan dengan pemberian ini itu. Walau keberlanjutan berada pada tahap terakhir sebuah proses pemberdayaan, namun mengabaikannya sama halnya kita membangun rumah di atas pasir. Penyiapan fasilitator lapis kedua sangat dimungkinkan oleh pendekatan kerja seorang fasilitator. Pendekatan kerja seorang fasilitator bukan top-down dan juga bukan bottom-up. Pendekatan kerja seorang fasilitator adalah midle-up down. Artinya, peran seorang fasilitator adalah menjembatani konteks mikro ke dalam konteks makro, dan sebaliknya menerjemahkan konteks makro ke dalam konteks mikro. Pada titik ini, relasi kerja yang dibangun seorang fasilitator adalah pola partisipatif. Dalam pola ini, fasilitator lokal dapat dilahirkan. Masyarakat bukanlah penerima manfaat (beneficiaries), dan fasilitator bukanlah pemberi manfaat (benefactor), tetapi mitra masyarakat. Kiranya, proses pemberdayaan masyarakat kita ke depan selalu diwarnai oleh relasi mitra yang dialogal ini.

Isidorus Lilijawa, staf Institute of Cross Timor Economic and Social Development (INCREASE) Kupang, alumnus STFK Ledalero.