Monday, April 7, 2008

Manajemen Waktu

Mengkritisi 5 hari kerja)
Oleh Isidorus Lilijawa


Sejak tanggal 1 Pebruari 2008 lalu, Pemerintah Provinsi NTT telah mulai memberlakukan lima hari kerja. Itu berarti hingga saat ini, pemberlakuan lima hari kerja telah berjalan kurang lebih satu setengan bulan. Pertanyaan untuk kita, apakah ada yang beda dari bekerja selama 5 hari dalam seminggu dengan sebelumnya 6 hari kerja? Jika ada bedanya, maka pertanyaan berikut, apakah 5 hari kerja itu membuat kita dapat mengatur dan mengendalikan waktu atau kita tetap merasa kesulitan waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas di tempat kerja?
Pemberlakuan 5 hari kerja dalam seminggu bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi. Ada alasan yang mencukupi (sufficio rationis) yang melatarinya seperti hari kerja berkurang, jumlah jam kerja efektif tetap sama dengan jam kerja 6 hari yaitu 37,5 jam seminggu; Senin – Kamis kerja dimulai jam 07.30 – berakhir pukul 16.00. Hari Jumat, mulai jam 07.30 dan berakhir pada jam 16.30. Selain itu, dipandang lebih efektif untuk memfungsikan kinerja pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu, ada sisi keuntungan lain yakni penghematan penggunaan listrik, telepon dan air. PNS juga ada waktu luang bersama keluarga. Pelayanan kepada masyarakat akan berjalan lebih baik dan efisien.
Dan secara de jure ada dasar hukumnya yakni Kepres RI Nomor 68 Tahun 1995 tentang hari kerja di lingkungan lembaga pemerintahan. Keputusan MenPAN RI Nomor 08 Tahun 1996 Pedoman Pelaksanaan Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah. Surat Edaran Gubernur NTT Nomor BO.065/01/I/2008 tanggal 25 Januari 2008 tentang Pelaksanaan Lima Hari Kerja dalam Seminggu dan surat Gubernur NTT Nomor Bo.065/02/I/2008 tanggal 25 Januari 2008 tentang Penerapan Pelaksanaan Lima Hari Kerja di lingkungan pemerintah Provinsi NTT. Itu berarti, pemberlakuan 5 hari kerja adalah hasil dari sebuah proses panjang diskursus dan penelitian.
Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, apakah ada sesuatu yang berbeda dengan pemberlakuan 5 hari kerja itu? Bagi kalangan PNS, bisa saja 5 hari kerja dalam seminggu merupakan sebuah peluang yang sangat baik. Selain karena beberapa alasan di atas, mereka akan mempunyai waktu lebih banyak bersama keluarga dan mengurus pekerjaan sampingan lainnya. Namun, bagaimana dengan rakyat yang adalah tujuan pelayanan para PNS itu? Apakah 5 hari kerja dalam seminggu memberikan peluang yang sama baik kepada mereka dalam pemenuhan urusan-urusan yang bersinggungan langsung dengan pemerintah, instansi dan unit-unit pelayanan publik setempat?

Efektivitas dan efisiensi
Berbicara tentang 5 hari kerja, hemat saya bukan yang terutama bicara tentang peraturan yang melegalkannya. Diskurus tentang 5 hari kerja harus menyentuh substansinya. Dan substansi 5 hari kerja adalah efektivitas dan efisiensi dalam melayani rakyat. Itu berarti, dalam cakupan 5 hari kerja dengan rentang waktu 8 jam kerja sehari, rakyat bisa merasakan pelayanan yang maksimal dari pejabat publik dan para PNS dalam berbagai instansi. Terkait dengan efektivitas dan efesiensi penggunaan waktu, kita serentak masuk dalam persoalan manajemen waktu. Dan hemat saya, manajemen waktu mempunyai relasi yang erat dengan pola hidup, perilaku, kesadaran pribadi dan bukan melulu kerangka aturan serta perundang-undangan.
Pemberlakuan 5 hari kerja adalah sebuah peluang baru bagaimana para PNS sanggup memanajemen waktu. Itu berarti, dalam rentang waktu kerja yang kian singkat dalam seminggu dan jam kerja yang kian panjang dalam sehari, para PNS harus pandai-pandai mengatur waktu, menggunakan waktu dan mentransformasi waktu sebagai daya mesianis, daya yang menyelamatkan. Apakah dengan 5 hari kerja seminggu, kebutuhan rakyat dapat terpenuhi dengan baik? Apakah ruang dan waktu yang disediakan bagi rakyat semakin besar (karena 8 jam kerja sehari) atau kian sempit karena 5 hari seminggu?
Setelah pemberlakuan 5 hari kerja, memang ada yang berubah dalam rutinitas perkantoran setiap hari. Masuk pukul 7.00 dan pulang pukul 16.00 adalah hal yang tidak biasa sebelumnya kecuali mereka yang bekerja lembur. Pertanyaannya, apakah benar para PNS kita masuk pada waktunya dan pulang juga pada waktunya? Dari pantauan penulis di beberapa kantor, masuk dan pulang pada waktunya adalah hal yang kurang diperhatikan. Malah lebih miris lagi, sudah datang terlambat, pulang juga lebih dahulu. Belum lagi kegiatan-kegiatan ekstra lainnya di kantor-kantor seperti obrolan pagi setelah tiba di tempat kerja, waktu istirahat makan yang ditarik-tarik (istirahat lebih awal dan pulang lebih kemudian), urusan menjemput anak di sekolah, dan sebagainya. Ini berarti, alasan bahwa hari Sabtu dikhususkan untuk keluarga belum tepat karena masih ada PNS yang membuang waktu kerjanya untuk urusan keluarga atau urusan-urusan lain yang dicari-cari.
Satu hal yang menjadi kebiasaan selama ini adalah batas toleransi yang berlebih terhadap pimpinan dalam menggunakan waktu. Ada pandangan bagi segelintir orang dan para pemimpin bahwa yang namanya pemimpin boleh terlambat dan staf mesti dapat memahami alasan apapun yang dikemukakan atasannya. Di satu pihak, bagi seorang atasan, staf atau bawahannya tidak boleh terlambat. Ini anggapan yang keliru. Di dunia barat, setiap orang entah pimpinan dan bawahan sangat disiplin dengan waktu. Malah, seorang pimpinan adalah dia yang harus menjadi anutan, teladan dalam memperlakukan waktu. Ini beda dengan kita di Indonesia, juga di NTT. Pimpinan sering terlambat masuk kerja malah dianggap wajar karena memang ia pimpinan. Lucu kan?

Daya mesianis
Secara filosofis, manajemen waktu terkonsep dalam dua perspektif ini. Pertama, waktu dalam pengertian kronos. Dalam perspektif ini waktu adalah peralihan hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun. waktu dalam perspektif ini adalah waktu fisik yang terus bergulir, yang kita alami dan rasakan setiap saat. Kedua, waktu dalam perspektif khairos. Ini berarti waktu dilihat sebagai peluang yang membawa keselamatan, saat yang menyelamatkan. Waktu dalam perspektif ini adalah waktu yang berdaya mesianis, waktu yang berdaya transformis.
Lima hari kerja bisa dilihat dalam dua perspektif waktu ini. Dalam perspektif kronos, para PNS menghabiskan waktu 5 hari di kantor, datang pukul 07.00 dan pulang pukul 13.00, hari demi hari, minggu demi minggu berulang terus seperti itu. Waktu datang dan pergi tak berbekas (berbekas hanya bagi yang menyadarinya). Menjalani perputaran waktu hanya dalam perspektif ini bisa saja membuat hidup menjadi tak terlalu bermakna. Orang-orang bergumul dan bertekuk pada waktu hanya karena hukum dan peraturan.
Lebih dalam dari itu, 5 hari kerja harus diselami sebagai saat khronos, saat yang menyelamatkan. Dengan jumlah hari kerja yang berkurang dalam seminggu dan kian banyak dalam sehari, waktu mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kemaslahatan hidup banyak orang. Karena kehadiran para PNS adalah untuk dan demi melayani kepentingan rakyat, maka waktu itu mesti ditransformasi sebagai kesempatan terbaik untuk melayani kepentingan rakyat, mengusahakan bonum commune. Dengan jam kerja yang bertambah dalam sehari, maka alangkah baiknya jika jerih lelah rakyat yang datang dari desa untuk sebuah urusan di kantor jangan diabaikan hanya karena tidak ada waktu dari para PNS atau intansi pemerintahan tertentu. Padahal, waktu untuk melayani rakyat sampai pukul 16.00. Sayang jika jam 14.00 atau 15.00 kantor sudah ditutup dan para pegawainya sudah bubar dari kantor.
Pemberlakuan 5 hari kerja tidak lain adalah sebuah upaya untuk lebih menghargai waktu. Hal yang biasa dalam rutinitas kita adalah tidak disiplin waktu dan membuang-buang waktu. Padahal waktu yang sama tidak akan berbalik lagi. Patut disayangkan jika karena mentalitas PNS kita yang belum sepenuhnya sadar waktu, pola hidup yang suka molor menyebabkan pelayanan kita terhadap masyarakat terabaikan. Seperangkat aturan berkaitan dengan pemberlakuan 5 hari kerja mesti juga disertai perubahan sikap dan pola hidup untuk semakin menghargai waktu dan mengisi waktu dengan daya yang menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Tanpa transformasi sikap dan kebiasaan terhadap waktu, maka 5 hari kerja hanyalah sebuah peluang untuk semakin mempersempit ruang pelayanan terhadap rakyat.
Prof Vincent Gaspers dalam refleksinya di milis Forum Akademia NTT pernah menulis tentang manajemen waktu. “Nikmat terbesar dan sumber daya yang paling adil yang diberikan oleh Tuhan kepada kita adalah waktu (baca: kehidupan). Anda memiliki waktu24 jam per hari, saya juga memiliki waktu 24 jam per hari. Tidak adaorang yang miskin waktu dan kaya waktu. Semua orang memiliki waktuyang sama, 24 jam per hari. Jadi kalau ada orang membanggakan diribahwa dia sibuk, tidak ada waktu, dan lain-lain, maka saya hanya tertawa dalamhati: kasihan orang ini "tidak pandai" mengatur waktu.”
Waktu adalah sumber daya yang tidak bisa disimpan, harus segeradikonversikan kepada hal-hal produktif. Jika kita tidak menggunakanwaktu kita pada hari ini, bukan berarti besok waktu kita menjadi 48jam atau jika kita telah menggunakan waktu kita untuk hal-halproduktif pada hari ini, maka besok waktu kita akan berkurang dari 24jam. Apakah kita mau menggunakan atau tidak mau menggunakan waktukita untuk hal-hal produktif, waktu kita tetap sama 24 jam per hari.
Sudah saatnya kita mentransformasi waktu menjadi kesempatan yang menyelamatkan, waktu yang berdaya mesianis untuk melayani orang-orang yang dipercayakan dalam pelayanan kita. Pemberlakuan 5 hari kerja adalah tolak ukur apakah kita semakin menghargai waktu atau justru membuang-buangnya. Tidak perlu setahun kita butuhkan untuk uji coba 5 hari kerja. Tanpa ada pembaharuan konsep tentang waktu dan transformasi sikap dan pola laku terhadap waktu, 5 tahun pun uji coba itu tak ada manfaatnya. Selamat menyelami waktu.

Warga Oebufu, Koordinator Program ACILS-LPA NTT.
Sarjana Filsafat dari STFK Ledalero (2004).

No comments: