Monday, April 7, 2008

Unwira Going Global

(Catatan untuk Tahun Perak Unwira)
Oleh Isidorus Lilijawa

Universitas Katolik Widya Mandira Kupang (Unwira) merayakan usia 25 tahun pada tanggal 24 September 2007 yang lalu. Dan hingga saat ini, Unwira masih berada dalam tahun peraknya. 25 tahun merupakan usia yang terbilang matang bagi sebuah lembaga pendidikan tinggi di provinsi NTT ini. Momen perak ini diwarnai dengan acara wisuda 415 ahli madya/sarjana angkatan XXXV dan pascasarjana angkatan VII. Dalam usia perak ini, Unwira telah menghasilkan para sarjana, orang-orang ’melek ilmu, iman dan akhlak’ sebanyak 8.256 orang. Yang menarik adalah dalam wisuda saat itu, para wisudawan menerima ijazah dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sebuah bentuk keterlibatan Unwira dalam era globalisasi, wujud nyata Unwira going global (PK, 30/9/2007).
Merayakan pesta perak untuk sebuah lembaga pendidikan tinggi Unwira hemat saya merupakan momen untuk merayakan filsafat menoleh dan menatap. Sebagai momen menoleh, usia perak adalah kesempatan untuk meninjau kembali perjalanan lembaga pendidikan ini, sepak terjang, gagal - sukses, suka - duka, optimisme – pesimisme, aplaus – air mata, kebersamaan – keterceraiberaian selama 25 tahun pertama. Menoleh adalah aksi mengevaluasi kinerja, mengkonfrontasikan misi dengan kenyataan yang telah terjadi. Dengan menoleh ke belakang, Unwira dalam kekininan bisa mengetahui disposisinya dalam geliat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, juga dalam upaya mengamalkan tridarma perguruan tinggi; pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Momen menoleh ini penting karena hanya dengan itu sebuah lembaga bisa mengetahui apa yang akan dilakukannya ke depan.
Selain filsafat menoleh, merayakan pesta perak juga menjadi saat untuk menatap lebih jauh ke depan. Menatap adalah mengangkat mata untuk menjangkau visi yang telah digariskan. Seperti Nabi Musa yang dari gunung Horeb menatap tanah Kanaan di kejauhan, negeri yang penuh susu dan madunya. Menatap dalam arti ini bukan hanya dengan mata fisik, melainkan juga dengan mata hati dan mata iman. Memperkecil jarak antara visi dan praksis yang hendak dibuat adalah bagian dari menatap. Unwira perlu mengangkat mata dan menatap ke depan. Jika 25 tahun pertama adalah teks yang terbuka untuk sebuah proses pembelajaran, maka 25 tahun kedua adalah teks-teks yang harus dibuka, diberi isi dan bobot sesuai karakter dan visi misi Unwira dalam percaturan pendidikan tinggi di era global ini. Aksi menatap di sini bukan obyektivasi (memandang yang lain semata sebagai obyek) dalam teori tatapan mata Jean Paul Sartre, melainkan aksi pemberdayaan internal dan eksternal. Karena itu, saya salut Unwira telah memulai aksi menatap ini dengan menggemakan Unwira going global, Unwira menuju dunia global. Sebuah terobosan bagus, bukan sekadar dengan memberikan ijazah dalam dua bahasa, tetapi menandai sebuah momen keterbukaan terhadap pengaruh global, keberanian untuk bersaing dengan kecepatan globalisasi saat ini, juga kerendahan hati untuk belajar ‘melek zaman’ dari yang global.
Dalam bingkai filsafat menoleh dan menatap ini, Unwira telah meretas sebuah lintasan waktu yang tidak sekadar khronos, lintasan waktu yang biasa dalam pergantian hari, minggu, bulan dan tahun. Juga peredaran waktu dalam pergantian pimpinan perguruan tinggi, para dosen, keluar masuknya para mahasiswa. Lebih dari itu, menyimak filsafat menoleh dan menatap untuk Unwira adalah menyimak peralihan waktu yang bermakna kairos, waktu yang menyelamatkan, waktu yang di dalamnya terjadi proses-proses penyelamatan. Dalam konsep waktu semacam inilah, Unwira hadir sebagai lembaga pendidikan yang berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin generasi muda lintas agama, lintas kultur melalui fungsi pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat agar output lembaga pendidikan itu menjadi sosok melek iman, melek ilmu, melek akhlak dan melek zaman.
Merayakan pesta perak Unwira dengan demikian tidak saja merayakan peristiwa yang historis. Ada sesuatu yang lain, yang transhistoris, yang melampaui deretan angka-angka waktu. Inilah yang kita kenal dengan merayakan nilai-nilai khas Unwira sesuai visi dan misinya. Pesta perak adalah saat revitalisasi nilai-nilai itu. Melalui momen ini persaudaraan warga kampus dirajut kian erat, keterbukaan antara pimpinan dan karyawan dikuak lebar-lebar, spirit ilmiah di kampus dibangkitkan, gairah hidup rohani warga kampus dilecut, persaingan global dikejar lebih cepat, manajemen kampus dibenah, pola pendekatan humanistik dibangun. Dengan revitalisasi beberapa nilai ini, merayakan perak Unwira tidak lain daripada merayakan spirit nilai-nilai itu, bukan saja historis tetapi yang transhistoris.
Unwira telah membuka tabir 25 tahun kedua dengan hal yang luar biasa, Unwira going global. Tentu ini bukan konsep semata. Kata-kata itu serentak juga adalah praksis. Setelah berkaca pada cermin 25 tahun pertama dan membaca teks masa kini, Unwira going global merupakan desain untuk kontekstualiasi penghayatan tridarma perguruan tinggi di masa mendatang. Sebagaimana kata T S Eliot, “Masa depan peradaban manusia sangat tergantung pada masa lampau dan masa kini. Rencana masa depan memerlukan analisis menyangkut pengalaman masa lampau dan pelajaran dari masa kini.” Unwira going global tentu bukan tanpa alasan dan tanpa makna. Segenap civitas akademika Unwira telah memulainya untuk menggelutinya dan meraih apa yang diharapkan darinya. Berkaitan dengan itu, ada beberapa catatan yang kiranya bermanfaat untuk mengawal kesadaran menuju Unwira going global.
Pertama, dengan menyumbang 8.256 orang sarjana yang ‘melek iman, ilmu, akhlak’, Unwira telah memberi andil yang sangat besar bagi manajemen sumber daya manusia di NTT. Banyak output Unwira bekerja di kantor-kantor pemerintahan, menjadi pejabat pemerintah, legislatif, yudikatif. Selain itu, banyak yang berkarya di bidang wirausaha, LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya. Kehadiran mereka dalam medan pengabdian itu tidak lain adalah dian yang menerangi masyarakat. Dengan kualitas iman, ilmu dan akhlak yang teruji mereka tampil sebagai pribadi-pribadi widya mandira, pribadi-pribadi yang mandiri dalam ilmu dan karena itu sanggup mandiri dalam hidupnya. Banyak out put Unwira telah menjadi ‘orang’.
Dengan menyumbang ribuan output ini, di sisi lain kita bisa bertanya: berapa banyak yang Unwira sumbang untuk ruang-ruang pengangguran di NTT? Fakta global, angka pengangguran di NTT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah angkatan kerja yang surplus dibanding ketersedian lapangan kerja mengakibatkan banyak sarjana yang menganggur. Riilnya, pertanyaan itu begini: berapa banyak output Unwira yang menganggur? Memang perlu kerendahan hati untuk mengakui hal ini. Kalau memang ada, lantas apa sebabnya? Pendidikan yang berorientasi ijazah masih menjadi model pendidikan kita saat ini. Konsep linking antara kampus dengan masyarakat belum berjalan baik. Ada output yang merasa tidak tahu harus berbuat apa setelah berada di tengah masyarakat. Pola pengajaran yang bookish menyebabkan peserta didik teralienasi dari lingkungan hidupnya. Kita sering terlalu berbangga ria dengan ijazah. Tetapi kita kurang ’tamak’ akan hal baru. Kita membutuhkan output pendidikan yang berjiwa wiraswasta dan wirausaha, bukannya output yang hanya berharap jatah PNS (pegawai negeri sipil).
Untuk Unwira, dalam geliat Unwira going global, upaya menciptakan output yang berjiwa wirausaha adalah hal yang sangat perlu. Dengan itu, lembaga ini tidak menjadi penyumbang penganggur dalam usia 25 tahun kedua. Walau hal ini juga kembali ke output yang bersangkutan untuk bekerja atau tidak, tetapi sebagai rumah pendidikan, Unwira perlu menyiapkan prasarana dan sarana, iklim dan suasana yang menumbuhkan jiwa wirausaha itu. Metode pengajaran, gairah penelitian dan frekuensi pengabdian pada masyarakat perlu dibenah. Memasuki abad global yang penuh persaingan tanpa jiwa wirausaha adalah hal yang menyulitkan.
Kedua, sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi Katolik yang dikelola oleh Serikat Sabda Allah (SVD), Unwira dalam Unwira going global merupakan sebuah upaya untuk menghayati dialog profetis (matra khas SVD), suatu dialog dengan para mitra dialog seperti kaum miskin dan terpinggirkan, orang yang tidak memiliki komunitas iman dan para pencari iman, orang-orang dari budaya yang berbeda dan agama-agama yang berbeda. Tipikal global yang berciri pluralistis, dalam rupa miniatur nyata di Unwira. Sebuah lembaga pendidikan yang lintas agama, lintas budaya, yang membuat Unwira menjadi kaya makna. Dalam upaya Unwira going global, Unwira perlu menghidupi spiritualitas ”passing over”(beralih), istilah yang pertama kali digunakan oleh John S Dune. Unwira bukanlah menara gading ilmu pengetahuan. Dengan ”beralih”, realitas sosial bisa ditransfer menjadi materi pembelajaran di Unwira. Dengan itu, para output tidak menjadi terasing dari realitas sosial. Satu hal yang dikritik oleh Julien Benda dalam bukunya Pengkhianatan Kaum Cendikiawan.
Menuju dunia global tidak selalu berarti menuju sebuah dunia persaingan dengan bangsa-bangsa lain, dengan perkembangan iptek dan pengaruh globalisasi dari luar (dunia barat) yang meluncur cepat dewasa ini. Globalisasi dalam dirinya adalah keterbukaan. Dengan demikian, menuju dunia global adalah aksi menuju suatu keterbukaan terhadap realitas lain. Dalam realitas NTT misalnya, Unwira perlu lebih terbuka terhadap kemiskinan dan kemelaratan masyarakat NTT, terbuka sekaligus kritis terhadap manajemen pemerintahan yang sarat KKN, peduli terhadap religiositas alam yang ternoda oleh tangah-tangan setan masyarakat. Dalam konteks ini, fungsi kaum intelektual adalah menggali ambiguitas-ambiguitas serta membawanya ke tempat terang. Tugas pertama intelektual adalah mengkritisi teman perjalannya sendiri (berpikir berarti memainkan suara kesadaran). Tujuan kehadiran intelektual adalah menggapai kebaikan maksimum untuk segalanya (Umberto Eco dalam Lima Serpihan Moral: 2002).
Untuk itu, sebagaimana kata Raimond Panikar dengan istilahnya ”going in” (masuk ke dalam) atau ”inkarnasi diri ke dalam sebuah dunia lain”, Unwira dalam Unwira going global, adalah Unwira yang mau masuk ke dalam konteks masyarakat dunia global dan masyarakat lokal NTT. Keglobalan kita tidak harus mengorbankan kelokalan. Yang bisa kita buat adalah berpikir global bertindak lokal. Lokalitas NTT dengan segala kompleksitasnya adalah medan bakti yang membuktikan sejauh mana kita mengambil bagian dalam yang global itu. Dalam konteks ini, menuju dunia global, Unwira perlu menghayati konsep Claude Marie Barbour – pendiri Shalom Ministries, sebuah misi yang berpusat di Chicago – yang berbicara mengenai ”menyeberangi batas-batas untuk bisa mencapai orang-orang lain”. Batas –batas yang diseberangi tidak saja batas geografis dan kultural, tetapi juga psikologis dan spiritual. Unwira harus ”menyeberangi” pertama-tama ke dalam diri sendiri agar teguh berakar dalam identitas diri dan memperoleh suatu kebebasan batin. Dengan berakar dan berbatin bebas, Unwira dapat ”menyeberang” kepada orang-orang lain dan belajar dari mereka bagaimana ”membaca” kenyataan mereka. Unwira going global adalah keberanian untuk membaca kekelaman, kelemahan, kekurangan selama periode 25 tahun pertama dan keberanian untuk menyeberangi batas-batas itu menuju sebuah proses pembaharuan dan pembenahan dalam manajemen, kepemimpinan, dan tridarma perguruan tinggi.
Ketiga, usia perak Unwira diwarnai dengan geliat prestasi anak-anak Unwira dalam ajang PISMA (pekan ilmiah dan seni mahasiswa) beberapa saat lalu. Unwira keluar sebagai juara umum dengan merebut tempat pertama untuk lomba debat bahasa Inggris, debat bahasa Indonesia dan karya tulis ilmiah. Ini merupakan prestasi yang patut dibanggakan. Dan hemat saya, dalam geliat Unwira going global, prestasi semacam itu mesti terus dipertahankan dan ditingkatkan, juga dalam bidang-bidang yang lainnya. Sebagai sebuah kampus, iklim ilmiah perlu dihidupkan terus. Tak perlu bermimpi muluk-muluk tentang persaingan globalisasi jika di kampus iklim ilmiah tak terasa dan terbangun. Pada aras ini, ritme pembelajaran dan penelitian yang mengaktifkan para mahasiswa perlu ditingkatkan. Selain itu, penguasaan teknologi informasi mutlak perlu untuk mengakses penemuan-penemuan baru dan hal-hal baru yang mendukung proses pembelajaran di kampus.
Keempat, Unwira going global adalah adalah upaya untuk mengeliminir fenomen reifikasi sebagaimana nyata dalam konsepsi Marx, yakni menumpulnya kesadaran kritis. Kesadaran kritis itu mudah ditumpulkan oleh ‘mamon’, jabatan dan materi. Beberapa fenomen yang nampak, pertama, ekspresi ketidakberdayaan yang menggejala manakala menghadapi KKN-nya birokrasi: kaum intelektual lebih memilih apa boleh buat, ya ikut saja begitu! Kedua, reifikasi menyeruak dalam model pendidikan sistem rekayasa sosial politis yang tidak toleran atau yang membungkam secara halus atau kasar artikulasi-artikulasi kesadaran kritis dalam berbeda pendapat.
Menyimak fakta ini, pemikir Gyorgy Lucaks, menawarkan resep penghancur reifikasi melalui proses-proses ‘sekolah’ yang membangkitkan kesadaran kritis. Dalam irama yang sama, Paulo Freire mengedepankan konsep ‘konsientisasi’ atau proses penyadaran untuk berani berbicara menentang kebobrokan dan berani menyuarakan suara nurani. Unwira perlu mengambil peran ini, mengeliminir proses pembungkaman kesadaran kritis melalui edukasi dan berbagai proses pemberdayaan melalui aktualisasi Tridarma pergaulan tinggi. Unwira going global adalah keterbukaan terhadap inovasi, kreativitas, kuriositas yang menjadi penangkal reifikasi. Kiranya dengan Unwira going global, panti pendidikan Unwira semakin maju dan berkembang.



Anggota Forum Akademia NTT,
Staf Media Center Unwira Kupang (2005-2006).



























































1 comment:

monsy, sy said...

ketika zaman pencerahan mrasuk setiap jiwa-jiwa yang terbuka kepada situasi zaman, kebebasan kretifpun terasa bertumbuh subur... dan kamu mau jadi wakil rakyat?? jadilah yang terbaik dan jangan menyalahgunakan hatimu