Monday, April 7, 2008

Natal dan Afirmasi Peran Ibu

Oleh Isidorus Lilijawa


Di negeri ini kita mengenal cukup banyak hari yang diperingati secara nasional. Ada peringatan hari pahlawan, hari ibu, hari anak, hari lingkungan hidup, hari sumpah pemuda, hari proklamasi, hari perempuan, hari buruh, dan hari peringatan lainnya. Apa yang kita buat pada hari-hari peringatan semacam itu? Tentu sesuai dengan jenisnya, pelaku peringatan adalah mereka yang menjadi bagian dari hari peringatan bersangkutan. Yang merayakan hari buruh adalah para buruh. Hari perempuan diisi dengan berbagai kegiatan oleh kaum perempuan. Demikian pun hari anak.
Sebagai peringatan yang rutin tahunan, boleh jadi konsep kita tentang hari-hari peringatan itu telah membaku. Ada apel bendera, buat perlombaan memasak, lari karung, sepak bola, menulis. Bisa juga demonstrasi menuntut ini dan itu. Ada pula seminar, diskusi, pengobatan gratis. Hal-hal ini memang baik. Namun, merayakan hari-hari peringatan sebatas yang artifisial, seremonial, rutinitas, kontinuitas belum sepenuhnya tercakup dalam konsep memberi arti dan bobot pada hari peringatan semacam itu. Hari-hari peringatan itu mesti dimaknai lebih dalam, digali lebih jauh dan diartikan lebih luas. Kita mesti sampai pada fokus menemukan spirit, roh, yang transendens, religiositas dari hari-hari peringatan nasional di negeri ini.
Setiap tiga hari sebelum natal, tepatnya tanggal 22 Desember seluruh warga negara bangsa ini memperingati Hari Ibu. Ibu adalah kata yang penuh harap dalam cinta, hangat serta sayang yang mengalir dari relung-relung hati manusia. Ibu adalah segala-galanya. Penghibur di kala duka, harapan di waktu derita dan sumber kekuatan di dalam kelemahan. Manusia siapa yang tidak pernah berlindung dalam perutnya dan melihat dunia ini tanpa melalui rahimnya?
Untuk melukiskan citra agung seorang ibu, Christanand dalam bukunya Membangun Jati Diri Wanita mengutip tulisan Yosef Mindszenty menulis, “Orang yang paling penting di dunia ini adalah seorang ibu. Ia memang tidak memperoleh kehormatan telah membangun Katedral Notre Dame. Tidak perlu. Ia telah membangun sesuatu yang lebih hebat dari Katedral manapun, sebuah rumah bagi jiwa yang kekal. Bahkan malaikat pun tidak dianugerahi berkat macam itu. Mereka tidak dapat mengambil bagian dalam satu karya ajaib Tuhan menciptakan orang – orang kudus baru bagi surga. Hanya ibu yang dapat…”
Walau kenyataan ini adalah suatu kebahagiaan yang tak terkira, namun momen itu seringkali tidak disadari dan akhirnya mengalir begitu saja tanpa pemaknaan. Kita pun cenderung melihat dua momen ini secara terpisah. Momen Hari Ibu dilalui atau kalau dirayakan ternyata tidak lebih dari sebuah seremoni rutin tahunan belaka yang kian luntur maknanya. Setidak-tidaknya supaya diketahui bahwa bagi bangsa Indonesia kaum ibu perlu dihargai dengan sebuah hari khusus dan istimewa. Tidak lebih dari itu.
Momen natal pun selalu dilihat sebagai hari kelahiran Sang Emanuel, Allah beserta kita. Natal dimaknai sebagai peristiwa iman, inkarnasi Sang Sabda menjadi manusia. Tanpa ada usaha melampaui diri melihat ada apa sebelum kelahiran. Bagi saya, keduanya bisa dipertautkan dengan sebuah benang merah, ‘melihat peran ibu’. Tulisan ini adalah sebuah sintese pemaknaan hari ibu dalam nuansa hari natal bagi kaum ibu khususnya dan bagi kita semua yang beribu dan menjadi anak dari seorang ibu.
Sebagai pengantar seseorang masuk dalam kehidupan, pantaslah ibu dihormati dan dihargai di mana-mana dan dalam segala zaman. Peranan wanita yang melahirkan dan sekaligus membesarkan itu mendapat nilai yang tinggi dan tertanam dalam hati banyak orang. Dalam sejarah dapat kita temukan penghargaan itu yang dengan jelas sekali mengakui peran kebundaan. Bangsa Yunani yang terkenal dengan ‘high culture’ –nya menempatkan tokoh ibu sebagai dewi yang agung. Dewi agung dari masyarakat purba tersebut memangku raja ilahi yang memerintah dari pangkuannya. Kebudayaan ini menampakkan pemikiran bahwa kaum pria memandang diri mereka sebagai anak terkasih dari ibu agung. Tokoh ibu agung dipakai sebagai pelindung dalam menguasai seluruh alam.
Lalu kalau hendak melihat bagaimana bangsa kita sendiri menilai peranan ibu, kita tinggal saja melihat dan membuka lembaran-lembaran legenda yang tak lekang dimakan sejarah. Kita mengenal legenda Malin Kundang dan Sampuraga dari Sumatera Barat, kisah Dalana dari tanah Toraja atau berbagai legenda tentang figur ibu dari daerah kita. Cerita-cerita di atas menggambarkan pengorbanan seorang ibu yang begitu besar, suatu ajakan untuk selalu menyadari kehadiran dan peran ibu, serentak berarti penghargaan bagi seorang ibu dalam situasi manapun. Begitu besar peran ibu sehingga dengan tidak hiperbolis dikatakan “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”. Dan mengabaikan penghargaan terhadapnya berarti menjauhkan surga.
Bila bangsa-bangsa dengan pantas memberi kedudukan yang begitu penting kepada ibu, maka tentulah hal itu bukan tanpa alasan yang jelas. Dalam suatu keluarga ibu berada pada posisi sentral. Bahkan dikatakan bahwa ibu adalah poros keluarga, penentu hampir semua proses dalam keluarga. Itulah peran tradisional seorang ibu. Ayah atau suami adalah kepala keluarga, tetapi lebih banyak terbatas pada tugas mencari nafkah dan kemasyarakatan. Sedangkan tugas-tugas lain yang menjamin berlangsungnya sebuah keluarga secara batiniah dipegang ibu. Khususnya untuk mendidik dan mengembangkan pribadi generasi penerus keluarga yang bersangkutan, tidaklah berlebihan kalau dikatakan didominasi oleh ibu.
Cinta kasih seorang ibu tidak bisa ditakar dan ditukar. Pemikiran ini sebenarnya berangkat dari perkembangan zaman yang semakin cepat. Yang dicari dan diutamakan sekarang adalah manusia yang berkualitas, yang mampu menghadapi tantangan zaman. Manusia-manusia unggul ini hanya dapat lahir dari keluarga-keluarga yang baik dalam hal menerapkan pola pendidikan anak. Pola ini harus mampu melahirkan generasi baru yang kreatif, inovatif, adaptif, berwawasan luas serta memiliki future-oriented. Pada titik inilah terlihat peranan tradisional seorang ibu yang mutlak perlu, pun di zaman mutakhir saat ini.
Seorang penulis wanita terkenal, Mary Corraly pernah menulis, “seorang ibu (isteri) adalah tiang negara, kalau ibu (isteri) baik negara pun baik. Tetapi kalau ia rusak, rusak pula negara.” Sadar sedalam-dalamnya akan hal ini, ia pun menegaskan, “Bilamana ibu-ibu sudah hilang kepercayaan dan keyakinannya, maka dunia ini seakan-akan kiamat. Ibu-ibu yang dapat berdoa, ibu-ibu yang dapat memberikan inspirasi dan petunjuk kepada anak-anaknya guna mencapai cita-cita yang suci dan murni: ibu-ibu yang demikian bagai fundamen yang kuat dan merupakan benteng pertahanan yang akan melindungi bangsa. Akan tetapi apabila ibu-ibu itu lalai berbakti dan bilamana ia lupa mengajar dan membimbing anak-anaknya, bagaimana ia bersikap serta melipatrapatkan jari-jari tangannya untuk berdoa dan bersembahyang, maka kita akan menjumpai suatu masa di mana semangat kaum lelaki akan merosot dan menjadi beku dan kehancuran mengancam manusia.”
Peranan dan kedudukan seorang ibu sungguh nampak juga dalam celah-celah perhatian natal. Natal berasal dari kata Latin ‘Natus’ yang berarti lahir, diciptakan sesuai untuk. Kemudian baru mengalami perluasan arti sebagai peristiwa peringatan kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Lebih dari itu, Natal merupakan saat permenungan atau pembaharuan yang tepat dari iman kita mengenai eksistensi Sang Penebus dalam hati kita. Pusatnya memang pada diri yang dilahirkan itu. Tetapi pembicaraan tentang kelahiran, tidak bisa dilepaskan dari serangkaian proses yang ada di sekitar kelahiran itu. Peristiwa lahirnya Yesus bukan suatu mujizat. Walapun Allah yang “Maha” itu bisa berbuat apa saja, karya-Nya tetap dimulai dan dilaksanakan dalam konteks manusiawi. Meskipun Kristus merupakan pewahyuan diri-Nya sendiri, namun semua dinyatakan dengan cara biasa.
Adakah seseorang hanya memulai kehidupannya dari saat kelahirannya saja tanpa ada orang lain yang mengandungnya? Sebelum dilahirkan orang telah bersemayam dalam rahim ibunya selama berbulan-bulan. Makanan bagi pertumbuhannya semua diperoleh dari ibunya sampai tiba saatnya ia diperlihatkan kepada dunia terbuka. Kita dihadirkan ke alam terbuka dalam proses yang penuh suka duka. Kita ada karena buah kasih sayang yang penuh pengorbanan tanpa pamrih. Semuanya itu bersumber dalam dan dilaksanakan oleh seorang ibu. Cinta murni, ketulusan selalu ditampilkan dalam tutur kata ibu. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu” (Luk 1:38). “Dibaringkannya di dalam palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2 : 27). Ibu Maria menyatakan imannya dengan kepenuhan arti cinta yang tulus, dengan menampilkan kesahajaan, kesederhanaan dengan menerima puteranya lahir di kandang domba.
Sungguh, ibu adalah pemegang peranan utama kelahiran kita. Ia melahirkan, tetapi sebelumnya ia mengandung, dan sesudahnya ia mengasuh, mendidik kemudian mempersembahkan kita. Dari tangannyalah kita memperoleh arahan pribadi untuk diserahkan bagi dunia, dan lebih lagi bagi Allah dalam kerajaan-Nya. Peranan dan kedudukan ibu menyentuh seluruh dimensi hidup kita. Peranannya melingkupi dan berlanjut terus dalam seluruh periode kehidupan kita di dunia. Dan seperti Ibu Maria melahirkan Yesus, natal juga mengingatkan kita kepada ibu yang telah melahirkan kita. Dalam lingkup luas, peranan dan kedudukan ibu di dalam diri kita masing-masing dikukuhkan oleh natal. Kita yang pernah menjadi anak tentu telah merasakan dan mengalami sentuhan keibuan. Bahkan barangkali banyak yang akan berkata bahwa karena sentuhan itu saya bisa berada sebagai diri saya saat ini. Keibuan Maria yang oleh “Sang Emanuel” menjadi milik kita, yang ada dan akan tetap dirasakan, juga punya peranan bagi konkretisasi penghargaan pada ibu sendiri.


Isidorus Lilijawa, adalah Alumnus STFK Ledalero – Maumere tahun 2005. Lahir di Riung, 4 April 1979. Pernah menjadi staf Media Center Unwira Kupang (2005/2006) dan wartawan/editor Dian/Flores Pos (2006/2007). Menulis opini untuk Pos Kupang, Timex, Flores Pos, Dian dan Expo NTT. Menerbitkan buku Mengapa Takut Berpolitik? (Yayasan Pustaka Nusatama Yogyakarta, Agustus 2007).

No comments: