Monday, April 7, 2008

Mahasiswa sebagai "Ecophilus"

Oleh Isidorus Lilijawa


“Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita?” demikian pertanyaan Einstein kepada para mahasiswa California Institute of Technology. Makna dari pertanyaan yang sama sebenarnya disodorkan kepada kita para mahasiswa dewasa ini dengan formulasi yang agak lain, manakah kontribusi mahasiswa bagi perkembangan peradaban manusia saat ini? Mahasiswa dalam dirinya menyemat mahkota “centers of exellence” (pusat-pusat keunggulan). Mahasiswa telah dengan sendirinya dibedakan oleh orang kebanyakan justru karena spesifikasi dan fungsionalisasi pada ilmu pengetahuan, pengutamaan intelektualitas dalam suatu komunitas akademis.
Citra mahasiswa sebagai pusat keunggulan tercermin dalam profesionalismenya. Profesionalisme mahasiswa dalam tataran era modern dan post-modern sangat ditunjang oleh beberapa hal.
Pertama, kemelekan teknologi (technology-literacy). Patut disadari bahwa kita sekarang sedang hidup dalam kebudayaan industri yang dicirikan oleh kehadiran manusia-manusia industri berorientasi teknologi (technology – oriented). Kita mahasiswa adalah anak desa buana (global village) yang berada dalam dua tensi yakni mempertahankan kemapanan budaya lokal dan kecenderungan bertransformasi ke budaya industri. Supaya tidak ‘gagap teknologi’, maka kita perlu mengembangkan seluruh kemampuan dan talenta untuk menguasai teknologi. Teknologi perlu dikuasi sebelum kita dikuasi dan dikerangkeng oleh teknologi itu sendiri. Artinya bahwa kita perlu hidup selaras zaman sesuai tuntutannya.
Kedua, integritas pribadi. Hal ini bertalian erat dengan struktur seluruh kepribadiannya. Integritas pribadi adalah sifat dasar yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa sebagai manusia yang utuh. Hal ini berarti bahwa dalam bersikap dan bertindak, dalam menganalisis dan memutuskan, dalam berpikir dan beraksi mesti ada konsistensi yang sama dalam berbagai dimensi kehidupan, bukan pengkotak-kotakan dan perpecahan pribadi atau tendensi mengadopsi kepribadian bunglon.
Ketiga, integritas intelektual. Ciri yang menjadi integritas intelektual adalah bersikap, berpikir dan bertindak akademis. Kita harus menyadari diri sebagai komunitas intelektual, kaum akademisi yang mesti juga berani membuka katup-katup daya kritis untuk mengkritik, mengutamakan diskursus analisis serta respon intelektual terhadap setiap persoalan di masyarakat. Ciri lainnya adalah berpihak dan terlibat pada kebenaran, merasa muak dan jijik pada ketidakjujuran serta kesombongan intelektual, terbuka pada kritikan, senang berdiskusi.
Keempat, integritas moral. Ciri-ciri yang menandai hal ini adalah bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan bahkan kesalahan yang dibuat, tidak lari dari kenyataan, meninggalkan gaya hidup “easy-going” (mental enak), memiliki pendirian moral, mencintai kualitas hidup moral, berprinsip non multa sed multum (bukan kuantitas tetapi kualitas yang utama).
Kelima, integritas religius. Kepercayaan religius menjadi basis dalam mengeksplorasi dan mencari suatu nilai. Integritas itu menuntut kerendahan hati rohani dan juga kerendahan hati intelektual, rela memberikan kebebasan bagi kebebasan yang lain tanpa perhitungan cost and benefit, dan mampu menghidupi semua kriteria ini secara sinergis.
Dalam dialektika pergeseran dan pergesekan zaman dengan statusnya yang berciri elitis-intelektualitas itu, citra mahasiswa zaman ini sering dipertanyakan bahkan dipertaruhkan. Keengganan mereka keluar dari ghetto kerangkeng intelektual dalam sebuah komunitas akademis untuk beralih ke tapal batas situasi masyarakat adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap posisi dirinya sebagai kaum cendikiawan. Belum lagi pembiasan peran intelektual hanya kepada kepentingan golongan tertentu, menyokong kekuasaan tertentu dengan orientasi kepada kepentingan individu.
Julien Benda, seorang filsuf dan pengarang Perancis, dalam karyanya yang tersohor La Trabison des Cleres – Pengkhianatan Kaum Intelektual (1992) menyatakan bahwa dasar segala ilmu adalah kemanusiaan, namun kaum terpelajar di segala negeri telah menyesuaikan diri kepada berbagai macam aliran egois dan berorientasi sebelah di dalam masyarakat. Benda menyatakan keyakinannya bahwa kaum terpelajar tidak saja dikalahkan, tetapi telah dipengaruh secara mendalam. Ia menegaskan tesisnya bahwa orang yang terpelajar disewa oleh yang berkuasa di dunia mengkhianati fungsinya. Apa maksudnya? Inti tuduhan Benda sebenarnya sebuah klaim bahwa kaum terpelajar tidak memberikan petunjuk dan memberi pencerahan kepada perkembangan hidup suatu masyarakat, malahan menyerahkan diri kepada golongan kaum berkuasa yang memperjuangkan diri mereka masing-masing. Tuduhan Benda setidaknya membersitkan sebuah kekuatiran bahwa citra mahasiswa sebagai kaum terpelajar kini telah ternoda karena teralienasi dari eksistensinya sebagai agen-agen pembaharu dan pejuang moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Setelah meneropong dalektika citra mahasiswa di atas, sebuah pertanyaan muncul: apa maksud mahasiswa sebagai ecophilus? Ecophilus berasal dari bahasa Yunani. Eco dari kata oikos yang berarti alam, dunia, tempat tinggal, rumah tangga. Dalam konteks ini yang difokuskan adalah oikos sebagai lingkungan alam. Sedangkan philus-philos berarti teman, sahabat dan kata kerjanya philein berarti mencintai. Dengan demikian, mahasiswa sebagai ecophilus berarti mahasiswa sebagai sahabat alam, mitra lingkungan, yang mencintai lingkungan alam. Citra terhormat ini sudah tersemat dalam diri mahasiswa yang nyata oleh berbagai kepedulian dan keberpihakannya pada keamanan, kesehatan dan kelestarian sahabatnya alam.
Di setiap perguruan tinggi, di mana ada organisasi mahasiswa selalu ada kegiatan-kegiatan yang berpihak pada alam. Entah itu melalui pendidikan dan penyadaran praktis kepada masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam, atau melalui aksi terjun langsung dalam kegiatan reboisasi, kerja bakti membersihkan lingkungan misalnya. Visi dan misinya jelas provita, pro-aktif untuk kehidupan. Selain yang terorganisir dalam paguyuban perguruan tinggi, ada kelompok-kelompok mahasiswa tertentu yang terbentuk sebagai kelompok minat justru karena minatnya pada alam. Selain dalam forma kelompok atau organisasi, ada juga mahasiswa yang menunjukkan kepeduliannya pada lingkungan melalui pembentukan opini publik menggunakan jasa media massa. Berbagai tulisan yang diekspos dalam bentuk opini misalnya merupakan suatu bentuk penyadaran kepada masyarakat sebagai publik pembacanya untuk peduli pada alam. Penekanan pada aspek publikasi ini tidak memperkecil kemungkinan mereka untuk turut secara langsung berpartisipasi dalam mencintai alam dan memperlakukannya sebagai sahabat.
Membentuk sebuah kelompok minat penduli lingkungan yang bervisi-misi menciptakan lingkungan yang aman dari berbagai polusi, memberikan pembinaan dan penyadaran praktis kepada masyarakat adalah sebuah rahmat di tengah duka cita dan bopengnya wajah sahabat kita alam ini. Komitmen untuk peduli pada lingkungan alam merupakan awal dari terbitnya mentari kesadaran ekologis yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan terus-menerus. Kita tahu bahwa lingkungan hidup saat ini sedang berada di ambang kehancuran. Pencemaran lingkungan baik oleh asap kendaraan bermotor maupun oleh limbah industri terus terjadi. Banyak pepohonan ditebang hanya untuk membuka lahan baru. Kebakaran hutan sering terjadi. Banjir dan erosi tak terhindari karena terjadi penggundulan hutan besar-besaran. Apa yang bisa mahasiswa buat untuk menyelamatkan lingkungan hidup ini?
Di berbagai perguruan tinggi ada wadah mahasiswa yang peduli pada lingkungan alam. Kelompok-kelompok ini hemat saya lahir sebagai bentuk solidaritas atas realitas alam yang sedang sakit baik sebagai akibat dari bencana alam maupun akibat tingkah laku manusia. Ideal yang hendak dicapai kelompok ini adalah menciptakan sebuah lingkungan hidup yang harmonis serta mengembalikan keseimbangan ekologis. Kelompok-kelompok pencinta alam ini mengemban misi mengadakan konservasi alam, mengasrikan lingkungan hidup, membantu proses pencerahan terhadap masyarakat tentang pentingnya keseimbangan ekologis (dengan membuat pamflet-pamflet atau opini tentang lingkungan hidup yang bisa diekspose melalui koran lokal atau radio), dan mendukung setiap program lembaga-lembaga yang berwawasan lingkungan dan mengkritisi hal-hal yang bertentaangan dengannya.
Kelompok mahasiswa pencinta lingkungan adalah kiprah mahasiswa berpassing-over dari menara gading ilmu pengetahuan yang teoritis, abstrak dan rumit ke medan praksis hidup yang penuh dengan aneka persoalan. Penguasaan teori-teori tentang alam dan lingkungan tidak cukup menjadi dasar pengetahuan dan kecintaan kita pada alam. Untuk mencintai alam dan menjadikannya sahabat hanya bisa kita lakukan dengan berbuat dan mengaktualisasikannya dalam praksis nyata. Komitmen mahasiswa untuk menjadi sahabat alam tidak dapat terlaksana jika dan hanya jika kita tidak menunjukkan persahabat itu dalam tindakan nyata, dan membumikan sikap ekologis kita. Kepedulian ini merupakan bukti keterlibatan kita pada alam. Sebagai manusia sulit bagi kita memisahkan diri dari alam. Alam adalah habitat hidup kita. Bahkan secara lebih mendalam, dalam tataran teologis alam di lihat sebagai Gloriam Theatrum Dei (pentas kemuliaan Allah). Alam dengannya merupakan manifestasi diri Allah. Melalui keindahan dan keutuhan alam, dalam kicauan burung-burung, gemerisik dedaunan, kita dapat menemukan dan berkomunikasi dengan Allah.
Dengan hal itu menjadi jelas bahwa citra mahasiswa sebagai Ecophilus adalah sebuah citra terhormat sebagai hasil sintesis berbagai keutamaan: integritas pribadi, integritas intelektual, integritas moral, dan integritas spiritual. Itu berarti bahwa kepeduliaan kita pada alam bukan saja ditunjukkan melalui praksis berorientasi ekologis tetapi sebagai mahasiswa kita juga memiliki fungsi kritik atas setiap kebijakan penguasa yang tidak mencerminkan keseimbangan ekologis. Daya nalar dan daya kritis kita justru ditantang untuk mengkritisi setiap persoalan dan mencari solusi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki. Ketika kita diam terhadap kebijakan penguasa yang mengorbankan keadilan ekologis, maka saya pikir pada titik inilah kita sebenarnya telah menjadi pengkhianat atas mahkota ilmu pengatahuan dan terlebih atas prediksi diri sebagai ‘pusat keunggulan’ di tengah masyarakat.
Sapaan Einstein pada awal tulisan ini bisa kita temukan jawabannya melalui upaya pemaknaan ilmu pengetahuan secara tepat guna dan tepat sasar dalam konteks hidup kita setiap hari. Kita mahasiswa sebagai kaum intelektual, cendekiawan sangat berarti dan menjadi berarti bukan karena kemapanan kita dalam ghetto komunitas akademis tetapi justru dalam sebuah transformasi ke tapal batas kehidupan masyarakat, ke medan bakti dengan tetap mencitai sahabat kita alam. Mudah-mudahan dengan ilmu yang sangat indah yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, kita bisa membawa dan menciptakan kebahagiaan yang besar bagi sahabat, rekan, dan mitra hidup kita alam.

Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero - Maumere

No comments: