Monday, April 7, 2008

Demokrasi

Paradoks Demokrasi
(Tolak Pemkot dari Sisi Tilik John Locke)
Oleh Isidorus Lilijawa
Rencana Pemerintah Daerah Kabupaten Ende untuk membentuk Pemerintahan Kota (Pemkot) menuai aksi penolakan dari warga masyarakat setempat. Kelompok Masyarakat Ndori Peduli Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Ende dan Aliansi Masyarakat Peduli Ende Sare Lio Pawe, yang berjumlah sekitar 400 orang menggelar aksi penolakan rencana Pemkot, Sabtu (20/10). Menurut kelompok ini, rencana Pemkot sarat dengan manipulasi dan menempuh prosedur yang tidak benar (Flores Pos, 22/10). Dua minggu sebelumnya, Forkom P2HP (Perjuangan dan Pemerhati Hak-hak Perempuan) dan masyarakat Woloare menggelar aksi serupa. Mereka mempertanyakan keberpihakan pemerintah dan menegaskan bahwa pembentukan Pemkot bukanlah agenda yang mendesak (FP,9/10).
Tak hanya itu. Aksi yang lebih besar terjadi lagi, Selasa (23/10). Ribuan warga berdemonstrasi di kantor Bupati Ende dan menuntut Bupati mempertanggungjawabkan pernyataannya yang menuding sejumlah tokoh agama berada di belakang aksi tolak rencana Pemkot (PK,24/10). Gelombang aksi penolakan dan argumentasi pemerintah perlu dicermati lebih jauh untuk mempertimbangkan sejauh mana demokrasi itu dihidupi dan menjadi bagian dari sikap hidup pemerintah dan masyarakat. Untuk itu, konsepsi John Locke dapat menjadi sisi tilik atas persoalan di atas.

Konsepsi John Locke
John Locke merupakan salah seorang tokoh perintis Zaman Pencerahan (Enlightenment). Locke lahir di Wrington, dekat Bristol, England, tahun 1632. Ia menyelesaikan pendidikan klasik dengan disiplin ketat di Westminster School dari tahun 1646 – 1652. Selanjutnya melanjutkan ke Oxford. Ia menyelesaikan B.A tahun 1656, dan M.A pada tahun 1658. Di Oxford ia juga belajar ilmu kimia dan fisika, bahkan ilmu kedokteran. Ijazah dan izin praktik baru diperoleh pada tahun 1674. Ia menduduki beberapa jabatan penting pada masa pemerintahan Pangeran William dari Oranje. Meninggal tahun 1704. Tulisan Locke yang terpenting adalah Essay Concerning Human Understanding, yang terbit tahun 1690. Ia juga menerbitkan karya dalam bidang politik, Two Treatises on Civil Governments. Selain itu ada juga beberapa publikasi lainnya.
Konsepsi Locke menjadi kiblat bagi demokrasi kerakyatan. Ia berpendapat bahwa terbentuknya dunia politik atau negara didahului oleh keberadaan individu-individu yang memiliki hak-hak kodrati. Baginya, pembentukan negara tidak berarti pengalihan semua hak warga negara kepada negara. Hak membuat undang-undang, yakni hak legislatif dan eksekutif serta pelaksanaannya diserahkan kepada negara, tetapi seluruh proses harus didasarkan pada syarat yang harus dipenuhi negara yakni: kelangsungan hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Kekuasaan tertinggi yaitu kedaulatan tetap menjadi milik rakyat (Locke: 2002, 11).
Menurut Locke, ada empat kewajiban pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintahan demi kepentingan masyarakat. Pertama, kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarangan. Kedua, kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan. Ketiga, pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang lain tanpa persetujuan; hal ini berlaku pula bagi pajak. Keempat, kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi wakil rakyat.
Locke membedakan secara jelas apa yang disebut ”masyarakat alamiah” (civil society) dan ”masyarakat politik” (civil government) atau negara. Pembedaan ini menjadi dasar demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dengan demikian, ada pembatasan kewenangan negara. Tindakan politik bersifat instrumental, dalam arti menjamin terciptanya kondisi bagi kebebasan sehingga tujuan individu dapat terwujud dalam civil society. Oleh karena itu, pembentukan pemerintah diadakan untuk menjamin hak dan kebebasan warga negara. Warga negara itu sendirilah yang paling berkompeten dalam menentukan apa yang merupakan kepentingannya. Dengan itu, negara harus dibatasi ruang lingkupnya sehingga dapat menjamin semaksimal mungkin kebebasan warga negara.

Konteks Penolakan
Aksi penolakan massa terhadap rencana pembentukan Pemkot di Ende merupakan jawaban terhadap keputusan sepihak yang diambil pemerintah. Hendrikus Seni, Asisten I Pemda Ende yang mewakili pemerintah, mengatakan revisi Peraturan Pemerintah No.129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Pengembangan Daerah menjadi hal yang menakutkan Pemda Ende. Karena revisi itu nantinya bisa saja memberatkan pemerintah setempat dalam memenuhi kriteria-kriteria baru seperti jumlah penduduk dan luas wilayah (FP,26/9). Atas dasar itu, maka tim pengkaji yang disebut P3Pro dibentuk dan mulai bekerja. Dari 7 tahap yang harus dipenuhi, 2 di antaranya sudah selesai diproses yakni tahap penjaringan aspirasi dan tahap kajian akademis.
Yang menarik adalah langkah yang ditempuh pemerintah di atas ternyata mengangkangi keseluruhan proses demokrasi. Dalam penjaringan aspirasi misalnya, suara dan tanda tangan rakyat dimanipulasi sekian sehingga redaksinya menjadi suara yang mendukung rencana Pemkot. Padahal rakyat membubuhkan tanda tangan untuk konteks yang lain, bukan konteks mendukung Pemkot. Lalu kepada masyarakat tidak pernah dibuat sosialisasi, malah sosialisasi itu hanya untuk kalangan atas (FP,9/10). Bagaimana rakyat bisa mempertimbangkan bentuk dukungannya kalau mereka tidak pernah tahu rencana pembentukan Pemkot itu seperti apa. Jika sasaran Pemkot itu adalah untuk kepentingan rakyat (bahasa basi pemerintah), mengapa rakyat tidak dilibatkan dalam proses ini sejak awal dan mengapa rencana ini tidak dibuka seluas-luasnya bagi keterlibatan rakyat?
Tak hanya itu. Rencana Pemkot ini ternyata tidak melibatkan kalangan wakil rakyat, yang seharusnya mengetahui dan memberi rekomendasi atas rencana dimaksud. Ini berarti, eksekutif telah menyerobot ke wilayah kuasa legislatif dan mengabaikan peran legislatif, salah satu pilar demokrasi. Komisi A selaku pihak yang membidangi hukum dan pemerintahan tidak tahu-menahu tentang rencana pemerintah. Padahal dalam konteks UU No.32 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah eksekutif dan DPRD. Bukan hanya eksekutif. Mengapa DPRD tak dilibatkan? Jadi jelas bahwa dalam rencana Pemkot ini, rakyat dan wakil rakyat dilecehkan perannya. Ujung-ujungnya ketika ada aksi protes, kambing hitamlah yang dicari (pihak lain dituding) atas berbagai aksi penolakan. Kesadaran kodrati sebagai manusia lemah yang muncul kemudian tidak dengan sendirinya menghapus dosa pengangkangan kedaulatan rakyat itu. Pemerintah sedang menghidupi sebuah paradoks demokrasi.

Paradoks Kedaulatan Rakyat
Dalam praksis kehidupan berdemokrasi di Indonesia, telah terjadi apa yang disebut paradoks kedaulatan rakyat, yakni sebuah proses politik di mana prinsip kedaulatan rakyat mengalami pembalikkan dalam praktiknya (Dadang. J: 1998,21). Secara khusus dalam tulisan ini, paradoks itu sedang dilakonkan Pemerintah Daerah Ende.
Pertama, dalam teori Locke tentang demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan kehadiran negara (baca: pemerintah) adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Tetapi kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang ditentukan sendiri oleh rakyat selaku pihak yang berkompeten atas kepentingannya. Rakyat dalam mekanisme demokrasi menyalurkan kepentingannya melalui wakil-wakilnya di legislatif. Namun, sikap pemerintah yang mengabaikan legislatif dan memanipulasi suara rakyat, menciptakan konflik antar kelompok massa adalah bukti bahwa pemerintah belum paham betul apa itu demokrasi kerakyatan. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya sedang mempertontonkan paradoks penghayatan demokrasi. Dalam sorotan empat kewajiban pemerintah terhadap rakyat sebagaimana dikemukakan Locke, Pemda Ende telah melanggar 2 kewajiban pemerintah yakni kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan dan kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada pihak lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi wakil rakyat.
Kedua, pemerintah yang dipilih melalui mekanisme demokratis justru jatuh dalam sikap dan pelayanan yang tidak demokratis (paradoks demokrasi). Pemerintah masih menghayati demokrasi dalam arti Staatsform, demokrasi dalam forma suatu negara, demokrasi dalam undang-undang, demokrasi dalam peraturan. Bukan sebaliknya demokrasi dihayati sebagai Saatsinhalt, penghayatan makna dan isi demokrasi atau tepatnya eine Lebenshaltung zu jeder Stunde, demokrasi dihayati sebagai sikap hidup pada setiap saat (Shindunata: 2000, 10). Bukti paradoks ini, pemerintah lebih takut pada revisi peraturan pemerintah dan bukan tunduk pada kepentingan rakyat. Rakyat belum butuh Pemkot dibentuk di Ende. Mereka butuh perbaikan sarana dan prasarana yang menopang hidup mereka seperti jalan raya, air minum, listrik, gedung sekolah, sarana kesehatan.
Ketiga, arus penguatan otoritas elit dan birokrasi, yang terutama diperlihatkan oleh ekstensifikasi tapal batas kekuasaan kalangan elit politik. Dalam konteks rencana Pemkot misalnya terlihat jelas bahwa rakyat hanyalah objek yang menjadi basis penjaringan aspirasi. Elit birokrasi bergerak sendiri. Pendekatan top-down dipraktikkan. Pendekatan dengan pola otoritas ini mematikan gerakan civil society yang seharusnya lebih diaktifkan dalam mekanisme demokrasi yang jujur karena merekalah pemegang kedaulatan itu. Penguatan otoritas itu nampak dalam mekanisme defensif atau pola anti kritik yang dilakukan pemerintah. Merasa sebagai yang punya otoritas, pemerintah alergi terhadap kritikan. Aksi penolakan massa lahir dari kesadaran mereka sendiri. Pemerintah harus berkaca, mengapa ada aksi semacam itu. Berkaca artinya mengevaluasi, mendengar masukan, menerima kritikan, mencari solusi berkaitan dengan rencana Pemkot itu. Upaya mengkambinghitamkan pihak lain, menuding sekelompok tokoh agama adalah tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres di tubuh pemerintahan. Memberi kritikan adalah hak dasar rakyat untuk tahu (right to know) yang jadi cermin demokratisasi. Sayang kan, jika buruk rupa cermin dibelah.
Keempat, arus penyempitan ruang partisipasi masyarakat. Banyak kasus di banyak kabupaten terjadi karena pemerintah lupa melakukan sosialisasi terkait suatu proyek atau program kepada masyarakat. Misalnya, kasus tambang di Lembata, kasus tambang Nggolonio di Nagekeo (dulu Ngada), rencana pendirian Korem di Kuru – Ende. Tanpa membuat sosialisasi tentang program pembangunan kepada rakyat mengakibatkan raung partisipasi rakyat menyempit. Sering ada argumentasi rakyat tunggu terima hasil. Prosesnya pemerintah yang atur. Ini justru keliru. Sebagaimana kata Locke, rakyatlah yang menentukan apa kepentingannya, maka rakyat harus diberi ruang gerak yang luas untuk terlibat dalam proses mewujudkan kepentingannya. Sering terjadi setelah proses mulai baru ada sosialisasi. Maka lahirlah penolakan rakyat karena apa yang dibuat itu tidak sesuai harapan dan kepentingan mereka.
Dalam konsepsinya tentang ”masyarakat alamiah” (civil society) dan ”masyarakat politik” (civil government) atau negara, Locke sudah mengingatkan bahwa tindakan politik bersifat instrumental, dalam arti menjamin terciptanya kondisi bagi kebebasan sehingga tujuan individu dapat terwujud dalam civil society. Oleh karena itu, pembentukan pemerintah diadakan untuk menjamin hak dan kebebasan warga negara. Warga negara itu sendirilah yang paling berkompeten dalam menentukan apa yang merupakan kepentingannya. Dengan itu, negara harus dibatasi ruang lingkupnya sehingga dapat menjamin semaksimal mungkin kebebasan warga negara. Pemerintah adalah sarana politik yang bertujuan menggolkan kepentingan rakyat. Karena itu, ruang partispasi rakyat harus dibuka selebar mungkin.
Terkait aksi penolakan rencana Pemkot di Ende, hemat saya selagi pemerintah belum mengakui paradoks penghayatan demokrasinya dan belum mau bermetanioa dari cara-cara tak halal (baca: tak demokratis) dalam menggolkan rencana itu, jangan harapkan rencana Pemkot terwujud. Dalam konteks pendidikan politik, kasus di atas adalah pendidikan politik terburuk yang dipertontonkan kepada rakyat. John Locke dalam konsepsinya secara jelas mengarusutamakan demokrasi kerakyatan, suatu pelajaran yang perlu diambil saripatinya oleh Pemda Ende dan Pemda lainnya di NTT bagi upaya mengamalkan demokrasi sebagai sikap hidup pada setiap saat.

No comments: