Thursday, November 6, 2008

Praktik Cerdas Pencatatan Kelahiran (1)

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil


Deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 menyatakan: “Setiap manusia mempunyai hak untuk diakui sebagai manusia di manapun di depan hukum.” Secara lebih tegas Konvensi Hak Anak pada tahun 1989 pasal 7 menyatakan: “Anak akan dicatat segera setelah kelahirannya (oleh negara) dan sejak dilahirkan ia berhak untuk memperoleh nama dan kewarganegaraan dan sejauh dimungkinkan untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya.” Dengan demikian, pencatatan kelahiran merupakan pengakuan negara atas eksistensi dan hak sipil seorang anak yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, asal-usul keluarga dan kewarganegaraannya.
Pencatatan kelahiran merupakan awal personalitas hukum dan status keperdataan seseorang secara universal. Pencatatan Kelahiran juga merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi identitas pribadi yang sah serta hak-hak lainnya. Bagi anak, dokumen kelahiran membantu dirinya terhindar dari manipulasi identitas seperti dalam kasus penculikan dan perdagangan manusia, juga berguna untuk mendapatkan akses pendidikan (sekolah) dan pelayanan sosial lainnya. Pencatatan kelahiran juga sangat berguna bagi pemerintah. Melalui pencatatan kelahiran pemerintah bisa: 1) Mempunyai data demografi akurat untuk perencanaan pembangunan; 2) Melaksanakan tertib administrasi kependudukan; 3) Mengalokasikan dana dan SDM lebih akurat dan tepat; 4) Membangun good governance.
Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan tegas dalam pasal 28 menyebutkan: “Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah, agar setiap keluarga yang memerlukannya mudah mengurus pembuatan akta, pemerintah harus memberikan pelayanan sampai ke tingkat desa.”
Walaupun pencatatan kelahiran dan pengurusan akta kelahiran penting untuk dilakukan namun sebagian besar masyarakat NTT memandang akta kelahiran bukan merupakan kewajiban dasar yang harus diberikan kepada anak yang lahir dari perkawinan mereka. Sikap dan pandangan ini karena mereka belum mengetahui dan juga belum menyadari hak pertama anak setelah anak itu hadir ke dunia. Di lain pihak, kita juga perlu mengakui ada sebagian keluarga yang telah sadar untuk segera menguruskan akta kelahiran bagi anaknya segera setelah lahir. Namun itu pun masih sebatas untuk kepentingan tertentu misalnya mendapatkan tunjangan biaya hidup anak yang dimasukkan dalam daftar gaji seperti banyak dilakukan oleh para PNS, anggota TNI dan POLRI.
Sikka merupakan satu-satunya Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah menghidupi amanat deklarasi universal HAM dan Konvensi Hak Anak di atas. Konteks NTT sendiri memperlihatkan bahwa dari seluruh jumlah penduduk NTT yang tercatat hanya 14,60% yang memiliki akta kelahiran dan sisanya 85,41% penduduk tidak tercatat dan tidak memiliki akta kelahiran. Ini adalah fakta yang menunjukkan bahwa secara hukum 85,41% penduduk NTT dapat dikategorikan sebagai warga yang tidak jelas status kewargenegaraannya (stateless) dan tidak diakui status keperdataannya secara universal.

Belajar dari Sikka
Sikka, salah satu kabupaten di Flores, NTT memiliki luas wilayah 1.731,91 km2. Kabupaten Sikka merupakan daerah kepulauan dengan jumlah 18 pulau besar dan kecil yang berada di bagian utara Laut Flores, 9 pulau di antaranya dihuni. Topografi wilayah Kabupaten Sikka adalah dataran rendah sepanjang pesisir di belahan utara yang berhadapan dengan Laut Flores. Berbeda dengan wilayah utara, sebagian besar pesisir pantai selatan adalah pantai terjal yang selalu diterpa ganasnya deburan ombak laut selatan. Menatap wilayah Kabupaten Sikka dari Maumere, ibu kota kabupaten, di kejauhan punggung bukit dan pegunungan terlihat ibarat pagar alam yang mengelilingi dataran rendah tersebut. Dan di bagian utara, di Laut Flores, pulau-pulau besar dan kecil yang dihuni dan tanpa penghuni menyebar menjadikan wilayah ini kabupaten kepulauan yang eksotis.
Dalam rentang waktu 2003-2007 sudah ada 11 Kabupaten di NTT yang mengeluarkan Perda pembebasan biaya akta kelahiran. Namun, dari jumlah ini hanya Kabupaten Sikka yang mencatatkan hasil yang luar biasa dalam pencatatan kelahiran anak dari 22,22 % pada tahun 2005 menjadi 72,7 % pada tahun 2006. Apa yang menyebabkan Kabupaten Sikka menjadi sangat menonjol dalam pencatatan kelahiran anak di NTT bahkan di Indonesia? Yang menarik dari Sikka adalah adanya produk hukum yang memihak pemenuhan hak pertama anak dan prosedur-prosdur yang memudahkan pencatatan kelahiran. Ini memang membutuhkan kerja sama berbagai pihak baik pemerintah daerah, masyarakat maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Atas prestasi yang gemilang ini, Kabupaten Sikka saat ini sudah menjadi pilot project pencatatan kelahiran di Indonesia. Sudah banyak daerah yang datang berguru di Sikka dan belajar dari kampung-kampung di kabupaten ini tentang bagaimana sistem dan prosedur pencatatan kelahiran yang baik.
Sejak tahun 1998/1999–2003 pemerintah Kabupaten Sikka melaksanakan sistem pencatatan kelahiran dan penerbitan akta kelahiran melalui dua mekanisme yaitu: pertama, mekanisme reguler/pelayanan tetap dan kedua, mekanisme non reguler. Dalam mekanisme reguler pelayanan pencatatan kelahiran dan penerbitan akta kelahiran terpusat di kantor catatan sipil. Masyarakat dipandang sebagai obyek yang ingin mendapatkan pelayanan. Berdasarkan inisiatif sendiri mereka mendatangi kantor catatan sipil demi kepentingan memperoleh akta kelahiran anaknya.
Sedangkan dalam mekanisme non reguler, kantor catatan sipil mengembangkan sistem pelayanan untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas. Sistem jemput bola atau pelayanan simpatik dilakukan oleh petugas dari kantor ini. Mereka mendatangi desa/kelurahan dan mengunjungi sekolah-sekolah. Kunjungan itu selalu disertai dengan kegiatan sosialisasi dan pendataan. Berdasarkan data yang telah dihimpun selama kunjungan itu, dibuatlah pelayanan penerbitan akta kelahiran di kantor catatan sipil sesuai dengan pengajuan permohonan dari masyarakat.
Untuk mengajukan permohonan pelayanan penerbitan akta kelahiran ada persayaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon yaitu: 1) Mengisi formulir permohonan; 2) Fotocopy SKL dari bidan/dokter/rumah sakit; 3) SKL dari Kepala desa/lurah; 4) Fotocopy KTP orang tua dan 2 orang saksi; 5) Fotocopy kartu keluarga orang tua; 6) Fotocopy akta perkawinan/buku nikah (bagi yang sudah kawin sah)
Selain persyaratan yang harus dipenuhi di atas, masyarakat juga dikenai pungutan biaya berdasarkan Perda Kabupaten Sikka Nomor 8 Tahun 2000. Biaya yang dipungut untuk pengurusan akta kelahiran adalah Rp 10.000 untuk anak pertama dan kedua serta Rp 15.000 untuk anak ketiga dan seterusnya. Biaya ini adalah ongkos yang harus dikeluarkan oleh masyarakat di kantor catatan sipil, sementara itu masih ada biaya lain yang harus dikeluarkan misalnya untuk mendapatkan SKL dari bidan/dokter/ rumah sakit serta SKL dari desa/lurah.

Hambatan
Dari dua strategi pelayanan itu pada periode 1998/1999–2003 kantor catatan sipil Kabupaten Sikka berhasil menerbitkan 28.079 akta kelahiran. Dari total jumlah salinan akta kelahiran yang diterbitkan itu ada 1.440 pelayanan pencatatan kelahiran dan penerbitan salinan akta kelahiran untuk kelahiran baru. Prestasi ini cukup baik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada tahun 2000-2003 kantor catatan sipil Kabupaten Sikka menerbitkan 1.248 akta kelahiran dari jumlah kelahiran yang tidak diketahui secara tepat. Pada tahun 2004 hanya ada 194 akta kelahiran yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil. Apakah jumlah kelahiran di Kabupaten Sikka dalam setahun memang serendah itu sehingga tidak banyak akta kelahiran yang diterbitkan? Tentu tidak. Lalu mengapa ada banyak kelahiran yang tidak dicatat sehingga tidak diterbitkan akta kelahirannya?
Ada berbagai penyebab dan hambatan yang dapat dikategorikan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal masyarakat. Untuk faktor internal: pertama, pola pikir masyarakat yang masih menganggap akta kelahiran itu tidak penting karena tidak terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Pola pikir ini kemudian menyebabkan masyarakat bersikap apatis untuk mengurus akta kelahiran. Kedua, banyak anggota masyarakat yang merasa malu atau menilai sebagai aib keluarga jika mencatatkan kelahiran dan mendapatkan akta kelahiran untuk anak yang lahir di luar ikatan perkawinan sah (menurut agama) seperti dalam kasus anak yang lahir dari seorang ibu di mana tidak ada suami/laki-laki yang bertanggung jawab sebagai ayah dari anak tersebut.
Sedangkan faktor eksternal adalah: pertama, kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang manfaat akta kelahiran: akta kelahiran belum dimanfaatkan secara maksimal. Selama ini akta kelahiran hanya diperlukan untuk kepentingan yang sangat terbatas seperti untuk mendapatkan paspor (persyaratan pergi ke luar negeri), bekerja/melamar sebagai PNS, TNI, POLRI atau melanjutkan sekolah (opsional) dan menikah. Kedua, mekanisme penyelengaraan: kebijakan dari pemerintah yang belum berpihak ke masyarakat. Prosedur yang rumit dan biaya pengurusan akta kelahiran mahal serta banyak persyaratan administrasi yang sulit dipenuhi keluarga. Ketiga, kapasitas pelayanan yang kurang memadai: keterbatasan jumlah dan kemampuan petugas, kekurangtersediaan formulir. Keempat, hambatan fisik/geografis: pelayanan pencatatan kelahiran hanya dapat dilakukan di kantor catatan sipil yang berada di ibukota kabupaten (sentralistik) sehingga jauh dari jangkauan masyarakat yang sebagian besar tinggal di desa. Kelima, beberapa pihak seperti sekolah masih bisa menerima SKL (Surat Kenal Lahir) dari desa/kelurahan atau Surat Baptis untuk yang beragama Kristen sebagai pengganti akta kelahiran.

Penulis Buku Akta Kelahiran Hak Pertamaku (2008)

Praktik Cerdas Pencatatan Kelahiran (2)
(Berguru pada Kabupaten Sikka)
Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil



Praktik Cerdas
Tidak bisa dimungkiri bahwa di balik penyusunan rancangan Perda tentang pembebasan biaya pengurusan akta kelahiran ada argumentasi pro dan kontra di kalangan DPRD Kabupaten Sikka yang terlibat dalam penyusunan rancangan itu. Posisi dilematis dihadapi oleh kelompok yang mendukung pembebasan biaya untuk pengurusan akta kelahiran karena pihak yang menolak rancangan Perda ini mengangkat issu berkurangnya PAD jika rancangan Perda ini pada akhirnya dijadikan Perda. Namun dalam diskusi yang lebih intensif akhirnya semua anggota DPRD yang terlibat dalam pembahasan rancangan Perda ini sepakat bahwa demi pelayanan publik dan pemenuhan hak dasariah anak, Perda tentang pembebasan biaya pengurusaan akta kelahiran ditetapkan. Bahkan lebih jauh lagi Perda itu menyatakan bahwa pembebasan biaya akta kelahiran tidak hanya untuk anak berusia 0 - 60 hari tetapi sampai dengan seseorang berusia 18 tahun.
Lalu bagaimana dengan hilangnya satu pos pemasukan untuk PAD? Ada kesadaran yang muncul di kalangan wakil rakyat itu bahwa masih banyak sumber PAD Kabupaten Sikka yang belum digarap secara optimal dan itu menjadi tugas bersama lembaga eksekutif dan legislatif Kabupaten Sikka untuk memikirkan dan mengambil kebijakan yang berpihak kepada kesejahteraan seluruh masyarakat Kabupaten Sikka. Lebih jauh lagi untuk dapat melaksanakan Perda terkait pencatatan kelahiran, pihak legislatif mendorong bahkan memberi penekanan kepada pemerintah untuk membangun sebuah sistem agar masyarakat mempunyai kemauan dari dalam diri sendiri untuk mengurus secara sadar segala hal yang menyangkut hak dan kewajibannya. Bukan hanya menanti inisiatif pemerintah saja.
Selain itu, dengan adanya cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhi orang tua untuk mencatatkan kelahiran anaknya, tentu bisa melemahkan semangat orang tua dalam mengurus kelahiran anaknya. Satu persyaratan tak dipenuhi berarti harapan untuk mendapatkan akta bakal tak tergapai. Belum lagi, ada kendala teknis dan geografis yang selalu saja menghadang. Misalnya, orang dari kampung harus ke kota hanya untuk fotocopy KTP dan kartu keluarga. Mereka harus mengeluarkan ongkos transportasi, makan dan penginapan di ibu kota kabupaten atau kecamatan. Ini sangat memberatkan. Seorang warga dari Pulau Besar - Maumere misalnya harus mengeluarkan uang Rp. 250 ribu untuk biaya pulang pergi dan ongkos makan untuk sekali mengurus akta kelahiran. Bukankah hal ini terlalu memberatkan bagi masyarakat di pedesaan?
Untuk memotong prosedur pengurusan akta yang terlalu panjang dan memberatkan itu, Bupati Sikka mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 93 Tahun 2004 tentang Penyederhanaan Prosedur Pelayanan Akta Kelahiran bagi Anak yang Baru Lahir. Pada prosedur model ini, pemohon hanya menyediakan beberapa persyaratan seperti: 1) Fotocopy KTP orang tua dan kepala keluarga; 2) Fotocopy akta perkawinan/buku nikah (bagi yang sudah kawin sah); 3) Saksi 2 orang (bidan pencatat termasuk saksi pertama). Pada prosedur penyederhanaan ini, birokrasi yang ditempuh semakin ringkas: (1) penyerahan form yang telah diisi oleh bidan ke Puskesmas (pada akhir bulan saat pertemuan rutin di puskesmas), (2) penjemputan form (pada butir 1) oleh petugas lapangan pada setiap minggu pertama bulan bersangkutan, (3) pengambilan kutipan akta kelahiran oleh petugas lapangan bersamaan dengan jadwal penjemputan form dan diserahkan ke Puskesmas, (4) Petugas Puskesmas menyerahkan kutipan kepada bidan desa dan bidan selanjutnya menyerahkan kepada orang tua anak. Prosedur ini ditempuh jika kelahiran ditangani oleh bidan desa.
Namun, jika anak yang lahir itu ditolong oleh bidan di rumah sakit dan bidan praktik, maka prosedurnya menjadi lebih ringkas lagi. Di rumah sakit identitas anak dicatat lalu bidan menyerahkan catatan kelahiran tersebut ke petugas catatan sipil tanpa melalui Puskemas lagi. Dari dinas catatan sipil kutipan akta kelahiran diserahkan kepada bidan rumah sakit dan selanjutnya diberikan kepada orang tua anak. Begitu pula prosedur di bidan praktik. Setelah mencatat identitas anak, bidan praktik langsung mengantar catatan kelahiran itu ke BKCSKB dan setelah selesai diproses, kutipan akta diambil dan diserahkan ke orang tua anak bersangkutan. Dengan prosedur yang ringkas ini, semakin cepat kutipan akta kelahiran diterima oleh orang tua. Selain itu, orang tua betul-betul dimudahkan. Mereka tidak membayar biaya kutipan akta bahkan mereka tinggal saja menunggu di rumah kapan bidan datang menyerahkan kutipan akta yang sudah jadi.
Selain prosedur yang disederhanakan, ada beberapa inisiatif yang dibuat oleh petugas yang memudahkan orang tua mencatatkan kelahiran anaknya. Kemudahan-kemudahan itu seperti: yang menjadi saksi 2 orang tetapi bidan yang mencatat kelahiran dengan sendirinya menjadi saksi pertama. Selain itu, orang tua tidak perlu mengeluarkan banyak ongkos untuk urusan fotocopy di kota. Cukup saja dengan mencatatkan nomor KTP atau nomor akta perkawinan/buku nikah, orang tua dapat langsung mencatatkan kelahiran anaknya. Inisiatif dan kemudahan inilah yang mendorong meningkatnya jumlah anak yang tercatat kelahirannya, khususnya usia 0-60 hari.

Proaktif
Di balik keberhasilan Kabupaten Sikka dalam hal pencatatan kelahiran, regulasi bukanlah salah satu-satunya faktor penentu. Kebijakan yang ada dalam peraturan daerah hanyalah perangkat keras (hardware) yang perlu diberi roh dan spirit oleh manusia-manusia Sikka yang boleh disebut sebagai perangkat lunaknya (software). Perangkat aturan yang ada hanyalah pedoman dan kompas bagaimana seharusnya pencatatan kelahiran itu dibuat. Tetapi, faktor utama tetap kembali kepada pelaku utama yakni masyarakat sendiri. Dari studi lapangan di Kabupaten Sikka terkait pencatatan kelahiran, ditemukan beberapa hal yang menunjukkan bahwa ada sesuatu di luar regulasi yang sangat mendorong keberhasilan pencatatan kelahiran:
Pertama, semangat pengabdian. Hal ini nampak sekali dalam diri para petugas pencatatan sipil yang proaktif dan bekerja melewati jam kerja yang normal. Kalau mau ikut aturan, maka hanya ada beberapa jam kerja selama di kantor. Tetapi, karena semangat mengabdi yang begitu besar, maka berkas-berkas pekerjaan itu mereka bawa ke rumah. Walaupun di rumah ada begitu banyak urusan keluarga, namun dengan pengertian baik dari isteri dan anak, mereka bisa mengerjakan pekerjaan kantor. Bahkan ada yang membayar orang tertentu untuk membantu pekerjaan pencatatan di kantor.
Kedua, ada inisiatif dan sikap proaktif. Para bidan desa misalnya banyak yang berinisiatif dan proaktif untuk mendorong meningkatnya pencatatan kelahiran. Mereka biasa membuat kunjungan rumah, kontak personal dengan ibu-ibu hamil, menempelkan nomor HP pada dinding polindes, membuat buku register kelahiran dan pengambilan kutipan akta. Para petugas lapangan yang bertugas untuk menjemput catatan kelahiran juga rela membantu pencatatan di Puskesmas jika bidan setempat berhalangan. Inisiatif inilah yang menjadi kunci sukses pencatatan kelahiran. Sikap pro aktif juga tampak dalam diri orang tua. Setelah mencatatkan anaknya, mereka juga pro aktif bertanya pada bidan sejauh mana akta kelahiran sudah diproses. Bahkan ada yang minta untuk langsung mengeceknya di kantor catatan sipil. Jadi orang tua tidak tinggal diam dan menunggu bidan mengantar kutipan akta ke rumah.
Ketiga, pendekatan dari hati ke hati. Dalam konteks masyarakat yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh adat-istiadat dan budaya, pendekatan dari hati ke hati mutlak perlu. Jika memaksakan peraturan secara rigid, maka bisa saja menimbulkan reaksi kontra dari masyarakat. Karena itu, sosialisasi yang dibuat mesti perlahan-lahan sambil memperhatikan konteks budaya setempat. Salah satu contoh yang sudah dibuat di Sikka adalah bagaimana pendekatan yang dibangun antara bidan dan dukun. Keduanya adalah mitra. Bidan membangun dialog dari hati ke hati untuk menyampaikan kepada dukun bahwa kelahiran harus ditolong oleh tenaga kesehatan. Di Sikka terlihat bahwa dukun bersalin sudah memahami tugas bidan, malah keduanya bekerja sama dengan baik. Dukun melaporkan ibu yang hendak bersalin ke bidan dan bersama-sama bidan menolong persalinan.
Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Sikka sebenarnya tidak sedang bermimpi mencatat kelahiran semua anak di Kabupaten Sikka pada tahun 2011, sebagaimana program nasional semua anak Indonesia tercatat kelahirannya tahun 2011. Mereka sudah memulainya dan sedang berbenah untuk menjadikan mimpi di tahun 2011 itu menjadi kenyataan. Berbekal praktik cerdas (smart practices) itulah Kabupaten Sikka bisa menorehkan sejarah baru di jagad Indonesia dengan mencatatkan secara signifikan kelahiran 1.580 anak atau 22,22 % dari jumlah 6.171 kelahiran hidup menjadi 3.964 anak atau 72,7 % dari 5.459 kelahiran hidup pada tahun 2006. Sudah saatnya kabupaten/kota lain di NTT dan luar NTT berguru dari Sikka.

Penulis Buku Akta Kelahiran Hak Pertamaku (2008)

Uji Publik

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil

Komisi Pemilihan Umum Provinsi maupun Kabupaten/Kota di NTT telah mengumumkan Daftar Caleg Sementara (DCS) dari setiap partai politik untuk berlaga dalam pemilihan umum 2009 nanti. DCS ini diumumkan kepada publik untuk dinilai dan dikritisi. Ini tentu sesuai dengan amanat Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pedoman Teknis Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009.
Pasal 40 Peraturan KPU Nomor 18 tahun 2008 menegaskan bahwa: (1) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan daftar calon sementara anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sekurang-kurangnya pada 1 media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya selama 5 hari setelah ditetapkannya daftar calon sementara oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat. (2) Masukan dan tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota paling lama 10 hari sejak daftar calon sementara anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diumumkan.
Amanat Pasal 40 di atas memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menilai, memberi tanggapan, mengkritik, mengklarifikasi, mempertanyakan, menyangkal dan melaporkan kepada KPU setiap caleg sementara yang ‘bermasalah’. Konteks permasalahan yang dimaksudkan di sini adalah yang bermasalah dengan hukum (pernah menjadi narapidana) serta bermasalah dengan etika dan moral. Namun, pengaduan dan tanggapan masyarakat mesti disertai dengan bukti-bukti yang kuat dan kalau bisa menyertakan para saksi. Sehingga yang namanya surat kaleng, SMS liar maupun mulutgram tidak dapat dipertanggungjawabkan jika tanpa bukti valid.

Keterlibatan Masyarakat
Masa-masa sejak pengumuman DCS hingga penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) adalah salah satu kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan umum 2009. Masa uji publik ini menegaskan bahwa politik tidak dapat dikurung dalam ruang privat dan ghetto partai politik. Politik itu riil dan membumi dalam ruang publik. Tujuannya demi bonum commune (kebaikan bersama). Karena itu, masyarakat mesti dilibatkan dalam setiap proses politik. Pada titik lain, uji publik menelanjangi kesalahan penafsiran dan perlakuan politik sebagai bonum individuum (kebaikan individu) semata yang selama ini dipraktikkan oleh kalangan tertentu.
Para caleg yang ada dalam DCS adalah bagian dari masyarakat. Mereka bukan siluman. Mereka adalah bagian dari kita: keluarga, rekan, suami, isteri, kakak, adik, yang kita jumpai setiap hari, yang kita dengar namanya dan amati rupa dan sikapnya di masyarakat. Karena itu sudah jelas bahwa masyarakat memiliki catatan tersendiri atas figur-figur itu. Catatan positif maupun kelam itu sebenarnya ada di file masyarakat. Inilah saatnya untuk membuka file memori itu dan memberikan penilaian serta tanggapan secara kritis.
Nama-nama caleg dalam DCS merupakan hasil dari serangkaian proses yang sudah dilakukan oleh partai politik dan KPU. Tahap pertama partai politik melakukan penjaringan terhadap para bakal caleg. Yang dijaring adalah mereka yang dirasa mampu dan berkualitas untuk duduk sebagai wakil rakyat kelak, entah berasal dari kader partai maupun tokoh masyarakat. Partai politik telah menyeleksi para bacaleg itu dengan kriteria-kriteria internal partai. Setelah itu, giliran KPU melakukan verifikasi terhadap para bacaleg yang diajukan partai politik. Pada saat verifikasi ini yang menjadi fokus adalah kelengkapan administrasi setiap bacaleg. Nah, pada tahap sekarang ini masyarakat berperan dalam uji publik atas para caleg sementara. Tidak saja dalam hal administrasi (seperti ijazah palsu) tetapi lebih substansial ke wilayah etika dan moral. Pertanyaan mendasar adalah: Apakah para caleg sementara ini bermoral dan etis untuk menjadi wakil rakyat kelak?
Uji publik adalah tanggung jawab publik untuk menguji dan menilai sejauhmana para caleg sementara ini layak atau tidak layak ditetapkan sebagai DCT. Uji publik adalah bentuk partisipasi masyarakat atas proses politik bernama pemilihan umum. Kata partisipasi berasal dari bahasa Latin, pars yang berarti bagian dan capere yang berarti mengambil. Kedua kata ini kemudian membentuk kata particeps yang berarti mengambil bagian atau peran serta atau terlibat. Dalam pengertian sehari-hari, partisipasi berarti ikut mengambil bagian dalam suatu hal. Masyarakat sudah memberi bagian terhadap politik dengan mengutus para caleg sementara ini. Sekarang saatnya masyarakat mengambil bagian dalam menilai para caleg sementara itu. Karena partisipasi itu tidak hanya mengambil bagian dalam suatu hal tetapi juga pengorbanan untuk memberi bagian bagi suatu hal.
Berkaitan dengan partisipasi politik ini, Herbert Mc Closky mengatakan: "The term "political participation" will refer to those voluntary activites by which members of a society share in selection of rulers and directly or indirectly in the formation of public policy." (Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum). Uji publik ini juga merupakan satu kesempatan strategis bagi masyarakat untuk turut menentukan orang-orang yang tepat dan layak menduduki jabatan wakil rakyat dan mengemban amanat kepercayaan rakyat.

Etika Politik
Uji publik yang seluas-luasnya dibuka aksesnya kepada masyarakat adalah sebuah proses pembersihan politik dari kekotoran dan keternodaan aktor-aktornya. Dalam DCS terlihat ada begitu banyak wajah baru yang enerjik dan kritis. Namun, masih ada wajah-wajah lama yang sudah berjasa bagi rakyat selama 5 tahun belakangan ini maupun wajah-wajah lama yang selama 5 tahun hanya menjadi tukang tidur di gedung dewan maupun anggota dewan bermerek kontraktor proyek.
Di Kota Kupang misalnya, untuk merebut 30 kursi DPRD jumlah caleg dalam DCS adalah 812 orang. Sungguh fantastis. Masyarakat harus pandai-pandai untuk pada saatnya dalam pemilu 2009 memilih hanya 30 orang yang layak membawa amanat rakyat. Dengan jumlah 38 partai dan 812 caleg sementara, rakyat tentu bekerja ekstra untuk menentukan pilihan yang bijak dan arif jika tidak ingin terjatuh dalam sebuah lorong ‘kebingungan’ panjang. Siapa yang layak dan tidak layak sangat dimungkinkan oleh apakah orang-orang tersebut memiliki etika politik atau malah berpolitik tanpa etika dan malah beretika tanpa politik.
Secara lebih tajam, kita dapat katakan bahwa berpolitik secara etis berarti berlaku tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. Artinya, politik dan etika mestinya berjalan beriringan, saling mengontrol dan mengawasi. Namun, dalam praksisnya, tak jarang terjadi polarisasi yang cukup besar antara politik di satu pihak dan etika di pihak lain. Seringkali para politisi (pejabat negara) berpolitik tanpa etika dan acapkali mereka pun beretika tetapi tak punya taring politis.
Seperti pernah saya singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya di media ini, untuk menilai siapakah yang layak menjadi wakil rakyat atau tidak, rakyat perlu mencermatinya dari kacamata etika politik. Kinerja politisi saat ini banyak mengalami sorotan. Karena itu, orang berasumsi bahwa politik itu kotor. Padahal politisi kitalah yang penuh polusi. Isme-isme yang disebutkan di bawah ini merupakan sumber politik tanpa etika, yang kerap kali dilakonkan dalam pentas perpolitikan kita tak terkecuali di Kota Kupang ini. Ada materialisme praktis. Banyak politisi memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup. Namun, dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup, “etsi Deus non daretur” (seolah-olah Allah memang tidak ada). Ada juga pragmatisme: sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya (seperti saat kampanye, saat turba ke kampung-kampung). Namun, dalam kenyataan menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan sebelumnya.
Selain itu, banyak politisi dan calon politisi yang oportunis. Obral janji sebelum mendapat kursi. Tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa memedulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Ada pula yang menghidupi formalisme. Tampil memukau seperti tokoh panutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de facto ada atau tidak.
Masyarakat juga perlu menyadari bahwa seringkali para politisi itu mempraktikkan etika tanpa politik. Penghayatan nilai-nilai etis masih berorientasi pada kepentingan “sang aku”. Aku dan kepentinganku masih menjadi prioritas utama dalam segala proses pengambilan keputusan, dalam setiap kebijakan publik. Etika tanpa politik menyata dalam penghayatan nilai-nilai etis yang tidak berorientasi pada kepentingan umum, bonum commune, melainkan melulu individual. Acapkali para politisi kita kehilangan gairah politis, mengalami disorientasi prinsip-prinsip politik. Setelah memegang jabatan dan kuasa, naluri politik yang mengutamakan kepentingan orang-orang kecil, komitmen politik untuk mengangkat nasib para buruh, para pegawai rendahan, para petani kecil, justru menjadi tumpul. Mereka lebih betah mengurus “ rumah tangganya” sendiri. Toh, kuasa dan jabatan itu sudah ada dalam genggaman. Untuk apa peduli dengan orang lain.
Pada tataran ini, bukan esensi politik pro bono publico (untuk kepentingan umum) yang menjadi target dan prioritas pelayanan, melainkan menumbuhkembangkan benih-benih etika individualistis. Apa jadinya bila para politisi tidak peduli lagi pada kepentingan rakyat banyak? Fakta ini mesti menyadarkan kita bahwa kekayaan nilai-nilai etis, tradisi etis yang mengalir dalam diri, dan etika hidup bersama jangan dihayati secara sempit dalam ruang batin yang kekecilan, tetapi patut menjadi inspirasi bagi keterlibatan politis. Para politisi baru nanti yang diharapkan adalah mereka yang tidak saja tulus tetapi juga harus cerdik. Karena kalau tulus saja, maka boleh jadi kita akan menjadi kuda beban dan kuda tunggangan oleh kepentingan-kepentingan individu, kelompok dan golongan tertentu. Demikian pun cerdik saja belum cukup. Karena kecerdikan cenderung mengarahkan orang pada upaya manipulasi, pembohongan publik, pemutarbalikan fakta tentang kebenaran. Tetapi, ketulusan dan kecerdikan mesti selalu bersama, saling melengkapi dan mengandaikan agar mereka yang tulus tidak mudah dijadikan kuda tunggangan berbagai kepentingan pribadi/kelompok dan mereka yang cerdik tidak berubah menjadi penipu, koruptor dan perekayasa problem.
Untuk para rakyat, selamat menikmati masa-masa uji publik ini. Amatilah wajah-wajah para caleg sementara ini. Kenalilah mereka satu per satu. Cermati nama-nama mereka. Lalu, buka file memori yang selama ini tersimpan. Lakukan verifikasi ala rakyat dengan standar etika dan moral sambil terus bertanya: layakkah mereka menduduki kursi dewan yang terhormat? Ah, rakyat! Kalianlah sang pengadil yang diharapkan.

Caleg (DCS) No. 1 Partai Gerindra - Dapil 2 Kec. Oebobo

Fenomen Pekerja Anak di NTT

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil


“Anakmu bukan milikmu / mereka milik Sang Hidup / yang rindu pada dirinya sendiri. Lewat kita mereka ada / namun tidak dari kita. Mereka ada pada kita / tetapi bukan milik kita. Berikan mereka kasih sayang / tetapi jangan sodorkan bentuk pikiran kita.”
Sepenggal syair Khalil Gibran di atas secara sangat mendalam melukiskan eksistensi setiap anak dalam kehidupan ini. Dalam alur pemikiran filosofis, anak serentak dalam dirinya merupakan Gabe (anugerah) dan Aufgabe (tanggung jawab) bagi orang tua yang melahirkannya ke dunia. Sebagai anugerah, anak merupakan hadiah terindah yang Sang Pencipta berikan kepada orang tua yang mengikat dirinya dalam tali kasih perkawinan. Sedangkan, sebagai tanggung jawab, anak merupakan pemberian yang pada saatnya dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemilik Kehidupan ini.
Namun, keindahan makna puisi Gibran di atas tak selalu indah dalam realitas kehidupan anak-anak kita saat ini. Kondisi kita saat ini mempertontonkan dunia anak yang tidak ramah. Kita masih menemui anak-anak yang melakoni hidup sebagai pekerja anak, yakni anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan atau berbahaya bagi tumbuh kembang anak baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektualnya. Bahkan masih ada cukup banyak anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA) yaitu jenis pekerjaan yang dapat mengganggu perkembangan fisik, mental dan moral anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk itu seperti perbudakan, eksploitasi seksual, kegiatan ilegal, pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Ini tentu berbeda dari pemahaman anak yang bekerja, yakni anak yang melakukan pekerjaan dalam rangka membantu orang tua atau menjalankan usaha keluarga serta menjalankan tugas-tugas lainnya. Pada umumnya mereka masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan tidak tereksploitasi.

Konteks NTT
Berdasarkan hasil SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) 2005, penduduk NTT usia 10-15 tahun sekitar 481.500 jiwa atau 11,3% dari total penduduk NTT saat itu yang berjumlah 4.260.294 jiwa. Dari populasi usia tersebut 2,25% tidak/belum pernah sekolah; 88,15% sedang sekolah dan 9,60% tidak bersekolah lagi. Dari sekitar 11,85% anak usia 10-14 tahun yang tidak sedang sekolah 39,71% atau 23.105 anak harus bekerja sedangkan sebanyak 26,43% mencari pekerjaan. Fenomen pekerja anak di NTT berkaitan erat dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan bertanggung jawab selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja. Mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan waktu fenomen anak yang bekerja banyak berkaitan dengan alasan ekonomi keluarga (masalah kemiskinan) dan kesempatan memperoleh pendidikan serta faktor sosial dan lingkungan.
UU Ketenagakerjaan tidak membenarkan mempekerjakan anak di bawah umur 15 tahun. Namun Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 menunjukkan masih terdapat 23.105 anak NTT di bawah 15 tahun yang bekerja dengan presentase tertinggi di Kabupaten Sumba Barat (17,27%) dan terendah di Kota Kupang (0,42%). Keadaan pekerja anak secara tidak langsung menggambarkan tingkat pemerataan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pekerja anak, dapat diartikan kesejahteraan yang ada belum merata. Sebaliknya tingkat pekerja anak rendah yang rendah, menyiratkan kesejahteraan yang lebih merata. Bentuk-bentuk pekerjaan yang dilakoni adalah nelayan, pemulung, penjual kue, pembantu rumah tangga, pendorong gerobak, penjual minyak tanah, penjual sayur, penjual koran. Sangat disayangkan bahwa para pekerja anak ini terpaksa putus sekolah demi menopang kehidupan ekonomi keluarga.
Dari jumlah pekerja anak di NTT tahun 2005 yang sebanyak 23.105 orang, jumlah pekerja anak laki-laki 15.323 orang dan perempuan 7.782 orang. Ditinjau dari tingkat pendidikan, 18,91% pekerja anak tidak/belum pernah sekolah; 40,45% belum/tidak tamat SD; 39,29% tamat SD dan hanya 1,35% tamat SLTP/sederajat. Dari titik ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan erat dengan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, maka akan semakin baik kualitas sumber dayanya.
Menurut lapangan kerja utama, persentase tertinggi adalah pekerja anak di sektor pertanian (85,39%). Dapat dikatakan bahwa sektor ini merupakan ”penampung” sebagian besar pekerja anak yang pada umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai. Hal ini cukup beralasan karena memang sektor ini tidak terlalu menuntut pekerja dengan pendidikan yang tinggi sehingga memudahkan pekerja anak untuk bekerja di sektor ini. Selain pekerjaan utama, karakteristik lain yang bisa menggambarkan kondisi pekerja anak adalah status pekerjaan. Komposisi pekerja anak menurut status pekerjaan terkosentrasi pada status pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga (78,96%). Hal ini sesuai dengan kondisi usia dan kemampuan mereka yang terbatas.

Ironi Kemanusiaan
Adanya pekerja anak ini melahirkan suatu ironi kemanusiaan. Ketika di satu pihak dunia internasional dan pemerintah Indonesia gencar memerangi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk pada anak, di lain pihak banyak orang tua yang menyandarkan ’tiang’ ekonomi keluarga pada anak-anak mereka yang harus bekerja siang dan malam. Anak-anak masih dilihat sebagai aset ekonomi sehingga kehadiran mereka adalah modal untuk mendongkrak keterpurukan ekonomi keluarga.
Ada cukup banyak perangkat hukum yang dibuat untuk membebaskan anak-anak dari berbagai bentuk pekerjaan terburuk seperti ratifikasi konvensi ILO No. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja; ratifikasi konvensi ILO No. 182 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; UU No. 20 tahun 1999; UU No. 1 tahun 2000; UU No. 13 tahun 2000 tentang ketenagakerjaan; Kepmenaker No. 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak; Keppres No. 12 tahun 2001 tentang komite aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk pada anak. Namun, banyaknya perangkat hukum ini serasa tak bermakna saat berbenturan dengan ketidakpahaman orang tua terhadap hak setiap anak untuk bersekolah dan menikmati masa kanak-kanaknya. Banyak orang tua yang keliru melihat kehadiran anak-anak. Mereka bukan lagi anugerah terindah tetapi modal dan aset ekonomi keluarga semata.
Selain itu, masih minimnya perhatian pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota pada nasib pekerja anak menjadikan fenomen pekerja anak kian marak di NTT ini. Ketidakseriusan pemerintah dapat dilihat dari belum adanya peraturan daerah yang meminimalisir pekerja anak juga dari minimnya anggaran daerah untuk merehabilitasi para pekerja anak dan mengembalikan mereka ke bangku pendidikan. Akan jadi apakah generasi NTT 10-15 tahun ke depan jika saat ini sudah ribuan anak yang terjerat jebakan pekerja anak dan tidak bersekolah lagi?

Secercah Harapan
Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2008 menetapkan fokus membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, di mana salah satu programnya adalah pengurangan pekerja anak dalam mendukung Program Keluarga Harapan (PKH). Salah satu tujuan PKH adalah meningkatkan partisipasi anak ke sekolah dan mengurangi jumlah pekerja anak.
Pada tahun 2008 ini untuk pertama kalinya pemerintah melalui departemen tenaga kerja menelorkan program Penarikan Pekerja Anak untuk mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH). Program ini mempunyai sasaran pekerja anak/anak yang bekerja yang berstatus putus sekolah dari Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang ikut dalam Program Keluarga Harapan (PKH). Program PPA-PKH ini diarahkan pada upaya untuk mengeluarkan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk agar mereka dapat kembali ke dunia pendidikan melalui pendampingan selama sebulan di shelter.
Pendampingan pekerja anak oleh pendamping dilakukan sejak Pra Shelter melalui kunjungan rumah (home visit) dalam rangka validasi data BPS. Pada saat home visit, pendamping juga melakukan sosialisasi program PPA-PKH kepada anak dan orang tua anak serta memotivasi anak dan orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi anak agar keluarga RTSM tidak terjebak pada kemiskinan yang berkelanjutan. Pada tahap pelaksanaan, pendamping dan tutor akan mendampingi pekerja anak atau penerima manfaat selama satu bulan dalam rangka memberikan motivasi dan pembelajaran serta mengevaluasi minat dan kemampuan penerima manfaat untuk kembali ke dunia pendidikan. Setelah pendampingan di shelter selesai, pendamping masih melakukan pendampingan pasca shelter. Ini dimaksudkan untuk memonitor keberadaan dan kondisi pekerja anak penerima manfaat dalam upaya menjaga komitmen anak dan orang tua untuk tetap konsisten akan pentingnya pendidikan serta tetap berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan bagi anak.
Program PPA-PKH ini sedang diuji coba di 48 kabupaten dan 7 provinsi se-Indonesia. Dan untuk NTT ada 7 kabupaten/kota yang mendapat program ini: Kabupaten TTS, Alor, Sikka, Ende, Sumba Barat, Manggarai Barat dan Kota Kupang. Total penerima manfaat yang ditarik ke shelter adalah 660 orang. Mudah-mudahan program PPA-PKH ini melahirkan secercah harapan untuk mengurangi pekerja anak di NTT sekaligus mengembalikan semakin banyak pekerja anak ke bangku sekolah. Karena hanya dengan dan melalui pendidikan, belenggu kemiskinan yang melilit NTT ini bisa diretas dan generasi NTT mendatang adalah generasi yang cerdas (smart generation) bukan generasi yang hilang (lost generation).

Penulis adalah pendamping shelter PPA-PKH Kota Kupang.










NTT: Provinsi Gizi Buruk?

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil

Perayaan dirgahayu kemerdekaan RI baru saja kita lewati. Momen ini menjadi cukup spesial untuk Provinsi NTT karena pada tahun ini NTT genap berusia 50 tahun. Rentang waktu 63 tahun dan 50 tahun merupakan lintasan waktu khronos (perputaran waktu linear) yang bisa bernilai khairos (saat penyelamatan). Dalam rentang waktu itu, Provinsi NTT telah berupaya tampil ke pentas Indonesia dan dunia sebagai sebuah provinsi yang merdeka dari berbagai model penjajahan.
Namun, satu hal yang terus membayangi perjalanan panjang 50 tahun NTT adalah persoalan gizi buruk. Bangsa Indonesia boleh menyebut diri bangsa yang merdeka dan rakyat NTT merasa memiliki kemerdekaan yang sama, tetapi di satu titik rakyat NTT masih dan terus dijajah oleh sebuah persoalan bernama busung lapar dan gizi buruk. Bentuk penjajahan ini terus melindas NTT setiap tahun. Bahkan provinsi ini menjadi spesialis gizi buruk karena memang terjadi setiap tahun di hampir setiap kabupaten.

Persoalan klasik
Untuk sebagian kalangan, Provinsi NTT dan gizi buruk adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Artinya, bukan NTT kalau tak ada gizi buruk. Secara ironis, gizi buruk sudah membantu ‘memperkenalkan’ wajah NTT ke mana-mana. Sepertinya persoalan ini tak putus-putusnya, sementara pemerintah dan berbagai pihak menyatakan sudah melakukan tindakan preventif dan kuratif yang memadai. Lantas, letak kesalahannya di mana?
Jika kita melihat data-data yang saya beberkan di bawah ini, menjadi jelas bagi kita bahwa tingkat kerentanan anak-anak di NTT sangat tinggi terhadap gizi buruk itu. Profil Dinas Kesehatan Provinsi NTT tahun 2007 menyebutkan bahwa dari laporan hasil pengukuran status gizi diketahui bahwa persentase balita yang bergizi baik/normal sebesar (60,3%) pada tahun 2005, (62,5%) pada tahun 2006 dan (61,6%) pada tahun 2007, ini mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun dan balita yang bergizi lebih (0,7%) pada tahun 2005-2006 dan (0,6%) pada tahun 2007. Sedangkan persentase gizi buruk di Provinsi NTT pada tahun 2007 sebanyak (6,0%). Berdasarkan kabupaten/kota persentase tertinggi ada di Kabupaten Sumba Barat (12,20%), TTS (10,00%) dan TTU (9,90%), sedangkan yang terendah di Kabupaten Ngada (3,60%), Belu (3,80%) dan Lembata (5,40%). Sedangkan untuk gambaran risiko daerah rawan gizi di Provinsi NTT dari hasil Pengukuran Status Gizi (PSG) tahun 2007, dengan daerah rawan gizi resik, yaitu sebanyak 30 kecamatan, gambaran persentase risiko daerah rawan gizi tahun 2007 adalah risiko sangat tinggi 59,22%; risiko tinggi 26,61% dan risiko sedang 11,17%.
Data-data resmi lainnya dari laporan tahunan Dinas Kesehatan Provinsi NTT kepada Gubernur NTT terkait dengan kasus gizi buruk adalah sebagai berikut: Pada tahun 2006 di NTT terdapat 559 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis (marasmus-kwashiorkor). Ada 17.161 kasus gizi buruk tanpa kelainan klinis dan 89.251 kasus gizi kurang. Yang meninggal sebanyak 77 orang. Kasus gizi buruk dengan kelainan klinis pada urutan pertama adalah Kabupaten Sumba Barat 137 kasus, TTU 97 kasus dan Belu 90 kasus. Yang meninggal, terbanyak: 15 orang di Belu, 14 Sumba Timur, 12 TTU. Pada tahun 2007 di NTT terdapat 497.577 balita. Dari antaranya terdapat 12.340 balita gizi buruk tanpa kelainan klinis, 167 balita marasmus, dan 10 balita meninggal. Kasus marasmus terbanyak di Kabupaten TTU, Sumba Barat 27 dan Rote Ndao 13.
Untuk tahun 2008, sampai tanggal 24 Juni, dari total balita sebanyak 512.407 balita terdapat 12.680 balita gizi buruk tanpa kelainan klinis, 112 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis (98 balita marasmus, 12 balita kwashiorkor, 2 balita marasmus kwashiorkor), 72.085 kasus gizi kurang dan 24 balita meninggal. Kasus marasmus terbanyak di Kabupaten Sumba Barat Daya 34, Kabupaten TTU 17, Rote Ndao 15 dan Sumba Barat 13. Korban terbanyak meninggal Sumba Tengah 9, Kota Kupang 7, Rote Ndao 4. Bahkan dalam gegap gempita masyarakat dan pemerintah NTT menyongsong HUT RI ke-63, pada awal Agustus 2008 ada berita miris dari Kabupaten TTU. Empat bocah di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) menderita gizi buruk tingkat berat jenis marasmus (kekurangan asupan zat karbohidrat) dan kwashiorkor.
Mengapa ada begitu banyak penderita gizi buruk di NTT? Dr. S.M.J. Koamesah, MMR, MMP selaku Kasubdin PMK Dinkes Provinsi NTT mengatakan gizi buruk tidak selalu sama dengan penyakit. Kasus gizi buruk di NTT, 75% lebih banyak disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan pangan. Ada 3 hal berkaitan dengan pengaruh makanan pada gizi buruk, yakni: 1) jumlah makanan; 2) kualitas makanan; 3) jenis/variasi makanan. Anak-anak gizi buruk hanya 15% disebabkan oleh penyakit seperti TBC, cacingan. Ini yang menjadi intervensi dinas kesehatan. Sementara 75% lainnya disebabkan oleh pola makan. Ini sebenarnya yang menjadi perhatian mutli sektor. Namun, selama ini orang selalu melihat gizi buruk sebagai urusan dinas kesehatan.

Kedaulatan Pangan
Jika penyebab gizi buruk 75% terletak pada persoalan tidak terpenuhinya kebutuhan pangan dan hanya 15% karena penyakit, maka upaya mengatasi gizi buruk adalah upaya memenuhi kebutuhan pangan rakyat di NTT. Provinsi NTT hampir setiap tahun mengalami kekeringan panjang yang berbuntut pada rawan pangan. Sebanyak 89% penduduk NTT berprofesi sebagai petani, 79% di antaranya adalah petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama. Dengan demikian, kebanyakan rakyat NTT menggantungkan hidupnya pada kondisi alam dengan tanah dan iklim jadi faktor penentu.
Kedaulatan pangan dimaksudkan agar masyarakat memiliki kemandirian dalam memproduksi pangan dan sedapat mungkin tidak mengimpor dari luar. Diharapan bahwa mereka tidak mengalami kelaparan karena pangan selalu tersedia di lumbung-lumbung. Dalam kaitannya dengan gizi buruk, kedaulatan pangan berarti, 1) rakyat harus memiliki jumlah makanan yang cukup; 2) rakyat harus mengonsumsi cukup banyak makanan yang berkualitas; 3) rakyat perlu memiliki jenis dan variasi makanan yang cukup. Sayangnya, selama ini kita justru tidak memiliki kedaulatan pangan. Bahkan kedaulatan kita atas perut sendiri pun ditentukan oleh pihak lain. Kita terlanjur berada dalam lingkaran penjajahan gaya baru yang disebut berasnisasi. Rakyat diindoktrinasi dengan berbagai pola bahwa beras adalah makanan yang paling layak untuk dikonsumsi. Jika tidak mengkonsumsi beras, kita kehilangan gengsi dan harga diri. Beras menjadi makanan idola, sementara tidak semua orang di NTT memiliki sawah. Kehadiran politik berasnisasi tidak saja dalam pola konsumsi tetapi produksi, yang dengan sendirinya menggeser posisi jagung dan makanan alternatif lainnya.
Dengan politik berasnisasi, kita menjadi orang-orang yang tidak merdeka. Seorang pakar pertanian Indonesia pernah mengeluarkan sebuah pernyataan yang menarik : "Kalau isi perut kita saja masih ditentukan oleh orang luar, maka sebenarnya kita belum merdeka sama sekali". Kita tergantung pada impor beras dari negeri lain. Kita selalu berharap pada raskin (beras untuk rakyat miskin) yang didatangkan dari luar. Padahal kita mempunyai stok makanan yang sangat cukup untuk dikonsumsi. Masyarakat NTT mempunyai stok pangan lokal yang cukup untuk mengatasi wabah kelaparan. Ada banyak jenis umbi-umbian yang dibudidayakan di kampung-kampung kita. Ada juga hasil hutan berupa putak di Timor, ondo di Flores, iwi di Sumba. Dulu orang-orang tua mengonsumsi makanan ini dan mereka menjadi sehat dengan daya tahan tubuh yang kuat. Sudah saatnya mengantisipasi bencana busung lapar dan gizi buruk dengan pola diversivikasi pangan. Jangan hanya pikir beras. Mulailah untuk menanam umbi, jagung dan jenis makanan alternatif lainnya yang bisa dikonsumsi saat gagal panen padi atau bencana kelaparan menimpa.

Merdeka atas Anggaran
Hingga saat ini hemat saya sebagian besar rakyat NTT belum merasakan nikmatnya merdeka atas anggaran publik. Para penderita gizi buruk pun demikian. Untuk mengatasi persoalan gizi buruk, tidak saja melalui kedaulatan pangan, tetapi juga melalui keberpihakan anggaran. Ini memang jadi soal. Di mana-mana di NTT ini, pemerintah dan DPRD berkoar-koar tentang kepedulian pada korban gizi buruk. Tetapi, dalam merencanakan dan menetapkan anggaran untuk itu, sangat minimalis. Ini yang namanya omong kosong. Wacananya menarik dan menjanjikan tetapi komitmennya tidak jelas.
Kita amati beberapa contoh. Kabupaten TTU dengan tingkat risiko gizi buruk yang cukup tinggi di NTT hingga pekan kedua September 2007 menangani 1.466 kasus gizi buruk, di antaranya 35 penderita dengan kelainan klinis dan 7.267 balita yang berstatus gizi kurang. Pemerintah setempat hanya menyediakan anggaran Rp 198 juta dari APBD untuk menangani masalah ini. Alokasi yang sangat kecil mengingat anggaran untuk penanganan 35 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis saja membutuhkan biaya sebesar Rp 37,8 juta. Di mana setiap anak balita membutuhkan biaya sebesar Rp 12.000 per hari dengan masa intervensi selama 90 hari. Sementara untuk penanganan 1.466 kasus gizi buruk dibutuhkan dana sebesar Rp 1.583.280.000. artinya, masih dibutuhkan lagi dana sebesar Rp 1.394.280.000 untuk penanganan lanjutan. Nah, sangat tidak rasional jikalau pemerintah katakan anggaran terbatas sementara di sisi lain kebocoran anggaran oleh tikus-tikus kantor terus terjadi dan berbagai kegiatan yang menguras kas daerah dalam jumlah besar terus berjalan.
Untuk konteks NTT, berdasarkan analisis ABPD NTT tahun 2007 terlihat bahwa total anggaran untuk sektor kesehatan pada tahun 2007 sebesar Rp 22.945.559.800 atau 2,42% dari total APBD NTT tahun 2007 sebesar Rp 779.458.100.000. Dari dana untuk sektor kesehatan itu, belanja anggaran untuk anak secara umum sebesar Rp 5.189.073.200. Sedangkan belanja yang langsung ke anak sebesar Rp 3.128.889.100 (13,6% dari porsi anggaran sektor kesehatan atau 0,40% dari total APBD NTT). Dikonversikan ke anggaran untuk anak karena para penderita gizu buruk di NTT berusia balita dan anak-anak. Apakah dengan 0,40% anggaran dari APBD NTT kita sanggup menggempur penjajahan gizi buruk? Jelas tidak mungkin. Anggaran yang dibutuhkan untuk mengatasi gizi buruk setahun di NTT adalah 57 M. Tetapi APBD NTT hanya menyiapkan 2 M. Artinya hanya 3% dari total anggaran yang dibutuhkan. Terlalu sulit untuk mencegah terjadinya kasus gizi buruk dengan dana yang minim seperti itu.
Momen dirgahayu kemerdekaan RI ke-63 dan refleksi panjang atas usia 50 tahun Provinsi NTT menegaskan beberapa hal. Pertama, rakyat NTT belum sepenuhnya merasakan arti terdalam sebuah kemerdekaan. Masih ada banyak bentuk penjajahan yang dibiarkan terus menindas rakyat seperti gizi buruk, kemiskinan, kebodohan. Kedua, kedaulatan rakyat NTT atas perutnya sendiri masih tergantung pada kemurahan pihak lain. Rakyat kita sudah terpola untuk tergantung pada jatah beras miskin atau operasi pasar beras murah. Makanan alternatif lain seperti jagung dan umbi-umbian mulai ditinggalkan karena gengsi. Akibatnya setiap tahun kita mengalami petaka kelaparan karena stok beras berkurang dan harga beras melambung tinggi sementara di kebun sebelah rumah masih ada umbi dan di pondok masih ada jagung tapi malu untuk mengonsumsinya. Ketiga, rakyat NTT masih belum merdeka atas anggaran publik yang menjadi haknya. Anggaran publik kita belum responsif persoalan krusial kemanusiaan seperti gizi buruk, padahal ini terjadi rutin setiap tahun.
Dalam memerangi penjajahan gizi buruk, kita perlu memiliki filosofi bermain sepak bola. Sebuah tim akan unggul jika semua lini aktif, baik penyerang, gelandang maupun penjaga gawang. Ada penjagaan man to man terhadap pergerakan lawan. Jika Dinas Kesehatan adalah penjaga gawang tim pemberangusan gizi buruk NTT, maka sektor hilir seperti Dinas Pertanian, Peternakan, Perikanan, budget APBD harus berperan aktif untuk menahan pergerakan musuh bernama gizi buruk dan melakukan serangan sehingga membuahkan goal penyelamatan penderita gizi buruk. Namun, bagaimana mau tidak kebobolan (baca: gizi buruk meningkat) terus jika penyerang dan pemain bertahan (sektor hilir dan budget APBD) tidak giat menjaga daerah dan menciptakan gol. Akhirnya, pinalti terus dan kebobolan terus. Kalau seperti ini, maka kasus gizi buruk di NTT akan berlangsung selamanya.

Sekretaris DPC Gerindra Kota Kupang
Caleg No. 1 Partai Gerindra Dapil 2 - Oebobo Kota Kupang




Pemilu 2009: Pilih Partai atau Figur?

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil

Gaung Pemilihan Umum 2009 kian santer terdengar. Setelah babak penjaringan para calon legislatif usai dan KPU melakukan tugas verifikasi atas para bakal caleg tersebut, kini giliran partai politik melengkapi berkas-berkas yang masih kurang. Pada saat yang sama intensitas dan tensi kerja partai-partai politik pun meningkat. Pemilu 2009 adalah satu proses politik yang harus dilewati bangsa ini sebagai implementasi demokratisasi yang telah begitu lama diperjuangkan dengan keringat darah dan air mata oleh para pendiri bangsa ini.
Dalam menyambut Pemilu 2009 itu, ada banyak fenomen yang mengisi lembaran-lembaran politik di negeri ini dan juga di NTT. Banyaknya partai politik saat ini yang berjumlah 38 dengan ribuan caleg di satu sisi membingungkan masyarakat dan di sisi lain membuka ruang persaingan merebut simpati rakyat diantara para caleg. Di antara kebingungan rakyat dan persaingan para caleg merebut simpati rakyat, politik hadir sebagai sebuah seni yang mempertautkan rasa, panglima yang menundukkan nalar dan gelombang yang penuh dinamika.

Partai atau Figur?
Banyaknya partai politik saat ini membuat rakyat cenderung memilih figur ketimbang partai politik. Ini asumsi yang perlu diuji kebenarannya. Namun, preposisi di atas patut diselami kedalamannya. Hampir semua partai politik menjual program yang biasa-biasa saja dan sama saja. Tak ada bedanya. Walau memang ada satu dua partai politik yang memang tampil beda, tampil sebagai gerakan bersama untuk pembaharuan bangsa. Lantas, apa dampaknya bagi rakyat jika ’jualan’ partai politik semacam di atas adalah ’jualan’ yang terlalu murah, lips service, nonsens dan hampir seperti bualan semata?
Dengan pertimbangan seperti ini, memilih figur adalah kecenderungan rakyat saat ini. Partai boleh banyak, tetapi boleh jadi hanya ada satu dua figur yang berkenan di hati rakyat. Pada titik ini, ’jualan’ para figur caleg haruslah benar-benar ’jualan’ yang berkualitas, bukan ’asal jual’ atau ’asal dilego ke pasar politik’. Di sini peran partai politik sangat urgen, menjaring dan menjual calon-calonnya ke pasar politik agar mempunyai daya jual tinggi dan berkenan di hati rakyat.
Dari realitas ini, ada beberapa fenomen menarik yang patut dikaji oleh setiap insan politik. Pertama, di Indonesia belakangan ini tumbuh gejala partai semacam bursa jual beli. Mereka yang berani membayar mahal akan mendapat imbalan dukungan partai, tak peduli yang bayar itu ’orang luar’. Tak jadi soal kalau harus menyisihkan kader tulen partai yang sudah ’berdarah-darah’ mendaki karir politik dari bawah dan berjasa membesarkan partai. Ini sangat kentara kita amati saat proses penyerahan berkas ke KPU. Ada kader partai yang merasa tidak puas karena tidak diakomodir dalam ’nomor jadi’ sementara ’orang luar’ yang mempunyai ’duit’ mendapat ’nomor jadi’. Ujung-ujungnya pleno penentuan nomor urut pun berbuntut konflik dan perkelahian.
Partai dan pengurus partai barangkali menikmati ”keuntungan” dalam jangka pendek, tetapi basis partai akan rusak ditinggalkan konstituen yang kecewa. Sebagai wadah menyebarkan gagasan, partai akan melemah dan sebaliknya sang pemilik uang akan menguat. Dengan bantuan teknologi informasi dan media serta dana besar, sang kandidat lebih efektif mempengaruhi warga ketimbang partai politik. Lama-kelamaan, partai hanya diperlukan sekadar untuk memenuhi syarat formal pencalonan anggota legislatif. Barangkali gejala inilah yang disebut para ahli sebagai ”personalisasi politik”. Pencalonan pejabat publik yang tadinya merupakan ”wilayah kerja” partai, pelan tapi pasti digantikan kepentingan ”person” terutama yang berduit.
Fenomen lain yang tak kalah menarik adalah ”migrasinya” para ”politisi lama” ke partai-partai yang baru atau partai lain. Fenomen ini marak di NTT. Banyak politisi yang merasa ”tidak nyaman” lagi di partai lama yang telah membesarkannya dan ”menumpang” ke partai lain untuk Pemilu 2009. Ini sah-sah saja dilihat dari perpektif para politisi itu karena itu pilihan politiknya. Namun, dalam tataran etika politik migrasinya para politisi lama ini mengindikasikan bahwa partai politik masih sebatas sebagai ”terminal” untuk mendapat kekuasaan. Karena diperlakukan sebagai ”terminal”, maka sejauh partai memberikan rasa aman, maka para politisi itu akan betah. Tetapi jika rasa aman yang didamba tak kunjung tiba, maka pindah partai pun jadi solusi. Lalu, akan kemanakah suara-suara begitu banyak rakyat telah memilih para politisi itu ketika mereka masih mengenakan baju partai yang lama? Hemat saya, upaya para politisi ”pindah-pindah partai” adalah hal yang tidak mendidik bagi rakyat dan tentu saja menderai kepercayaan rakyat. Artinya apa? Para politisi mau selamat sendiri, sementara kepercayaan rakyat disepelekan hanya karena waktu 5 tahun segera usai. Selain tidak mendidik, upaya ”migrasi” partai oleh para politisi lama ini mengindikasikan bawah politik masih dilihat sebatas kepentingan pribadi aman atau tidak. Bukan lagi kepentingan rakyat selaku konstituen.

Alergi
Dalam wacana lepas yang saya bangun dengan kelompok-kelompok masyarakat mengeni Pemilu 2009, satu hal yang mereka katakan adalah mereka sudah alergi dengan DPRD. Bahkan ada niat untuk tidak memilih pada Pemilu 2009. Menurut mereka, anggota DPRD yang ada saat ini sudah melecehkan kepercayaan dan komitmen yang dibangun sebelumnya. Sebelum terpilih, mati-matian membela kepentingan rakyat. Tetapi setelah duduk di kursi legislatif, mereka justru sibuk urus kepentingan diri, bahkan sibuk urus proyek sehingga DPR saat ini banyak yang berprofesi ganda sebagai kontraktor juga.
Lontaran-lontaran skeptis masyarakat ini berbanding lurus dengan perilaku anggota dewan kita saat ini. Amati saja di televisi. Institusi DPR menjadi institusi yang paling bermasalah. Ada kasus suap, sogok-menyogok, korupsi, amoral, dan lainnya. Apa yang bisa diharapkan dari para wakil rakyat semacam itu? What sorts of person do we want and need to be a politicians? (Manusia macam apakah yang kita harapkan dan butuhkan sebagai politikus?). Yang kita butuhkan adalah figur wakil rakyat yang tahu diri, tahu tempat dan tahu tugas. Artinya, seorang wakil rakyat adalah dia yang berjuang demi kepentingan rakyat, mengutamakan kemaslahatan hidup rakyat banyak dan tidak berpikir serta berjuang untuk kepentingan diri. Wakil rakyat yang populis adalah impian rakyat yang memilihnya. Kondisi wakil rakyat kita saat ini memang sedang sakit. Bisa sakit ingatan, sakit jiwa maupun sakit-sakitan bila berhadapan dengan perjuangan merespons kebutuhan pokok rakyat. Apa yang kita buat?
Pertama, menggagas dan merealisasikan komite etika bagi politikus. Para politisi kita banyak yang sakit dan karena itu dibutuhkan dokter politik. Ada yang tuli, pekak, buta, rabun, pincang. Etika politik dapat menjadi dokter bagi para wakil rakyat itu. Etika politik juga dibutuhkan untuk melindungi hak-hak ‘pasien politik’ yang dalam keadaan tertentu tidak mustahil akan menjadi korban para politikus. Di Amerika Serikat umpamanya, kita mendengar adanya komite etika (Ethics Committee) di parlemen, sehingga jika salah satu anggotanya dinilai melanggar etika politik, maka ia disarankan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota parlemen. Wakil rakyat kita menderita penyakit lupa ingatan kronis. Obat untuk penyembuhannya ada di tengah-tengah masyarakat. Wakil rakyat yang mau sembuh dari penyakit ini mesti sering turun ke tengah masyarakat, berdialog dari hati ke hati, mendengarkan keluhan dan masukkan dari rakyat serta memperjuangkan aspirasi rakyat. Penyakit lupa ingatan (lupa janji-janji kampanye, lupa komitmen kerakyatan, lupa status) akan hilang bila memoria passionis, ingatan pada penderitaan orang-orang kecil, masyarakat periferi yang mengharapkan perbaikan nasibnya pada eksistensi wakil rakyat yang dipilihnya selalu terbangun dalam setiap rutinitas wakil rakyat.
Kedua, menciptakan clean governance. Wakil rakyat adalah rekan kerja pemerintah dan keduanya mempunyai tujuan akhir yakni mencipatakan kesejahteraan rakyat. Pasca reformasi, berbagai elemen masyarakat mendesak agar lembaga pemerintahan dibersihkan dari tikus-tikus kantor. Sudah menjadi fakta bahwa lembaga pemerintahan ternoda oleh praktik korupsi, kolusi, nepotisme, pengkhianatan janji-janji, pembohongan publik dan konspirasi politik. Karena itu, tugas wakil rakyat adalah mengawali kinerja pemerintah agar selalu bersih. Wakil rakyat berperan seperti ‘anjing penjaga’ yang selalu menggonggong setiap kebijakan pemerintah yang tidak populis. Tetapi, ideal seperti ini rupanya sulit diimplementasikan ketika institusi wakil rakyat sendiri dijadikan sarang penyamun. Maka langkah yang bisa dibuat adalah pembersihan institusi (clean institution). Pembersihan institusi wakil rakyat mesti mulai dari diri sendiri. Jangan hanya tahu mengkritik pemerintah, tetapi diri sendiri tak terurus. Fungsi kritik wakil rakyat tak bergema dan mengena karena mereka sering menikmati orgasme ‘perselingkuhan politik’ bersama aparat pemerintahan dan penegak hukum.
Ketiga, meningkatkan political will para politikus. Kemauan politik wakil rakyat kita sering mengalami fluktuasi, tergantung amplop. Pihak yang berani menyediaka jaminan materi akan diperjuangkan kepentingannya ketimbang pihak-pihak yang tak punya apa-apa (rakyat miskin dan menderita). Kemauan politik wakil rakyat mesti ditingkatkan dengan upaya mempelajari fungsi dan makna eksistensinya di tengah kehidupan rakyat. Persoalan penggelembungan dana misalnya terjadi karena lemahnya kemauan politik wakil rakyat terhadap kepentingan rakyat. Jika political will itu kuat, maka saya yakin wakil rakyat kita akan seperti Yohanes Pembaptis yang membawa orang menuju jalan keselamatan, berani mengeritik segala kebobrokan termasuk kebejatan Herodes, dan tidak berusaha mendapat keuntungan apa-apa dari tugas perutusannya. Dia tetaplah figur sederhana, tidak mengejar kemewahan seperti wakil rakyat saat ini.
Keempat, membumikan religious ethics. Wakil rakyat kita semuanya orang beriman, orang beragama. Bahkan kutipan-kutipan biblis sering terdengar dari ucapannya. Menjadi orang beriman, orang beragama tidak cukup dengan mengikuti berbagai ritus keagamaan atau menyebut-nyebut kutipan biblis. Yang perlu dibuat adalah bagaimana makna keimanan itu dipraktikan dalam pelaksanaan tugas setiap hari. Para wakil rakyat mengerti banyak tentang cinta kasih, pelayanan, pengorbanan, rendah hati yang adalah buah-buah iman. Namun, yang dipraktikan justru kebobrokan, ingat diri, angkuh. Masih pantaskah menyebut diri orang beragama?
Betul bahwa wakil rakyat kita tidak sempurna, sebagaimana kita manusia adalah makhluk tidak sempurna (errare humanum est). Tetapi, jangan memperbesar ketidaksempurnaan itu karena kelalaian pribadi, ketulian dan kebutaan membaca kebutuhan rakyat, dan tumpulnya tanggung jawab politik. Untuk para caleg yang baru, selamat berefleksi.
Sekretaris DPC Partai Gerindra Kota Kupang

Monday, June 2, 2008

Anggaran Pro Poor

(Mengkritisi manajemen anggaran di NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa


Stasiun TV RCTI dalam segmen Indonesia Bangkit yang dirangkai berita Seputar Indonesia, Senin (26/5) lalu menurunkan potret ironi NTT. Tayangan awal menyoroti tiga bocah di salah satu daerah di Kupang yang berebutan makan jagung bose sepiring. Pada sebuah fokus, tampak seorang bocah yang lebih kecil menangis karena tak kebagian rezeki itu. Sementara itu, tayangan selanjutnya menyoroti istana Gubernur NTT yang megah, mewah dan luas. Sebuah istana yang menghabiskan uang rakyat sebesar Rp.16 M. Pada sesi selanjutnya, dilaporkan bahwa APBD NTT tahun 2008 sebesar Rp.1,08 triliun. Sayang bahwa dari jumlah itu, porsi untuk rakyat hanya 39%. Ini belum lagi membukitnya kasus korupsi pejabat selama tahun 2007 yang mencapai 80 kasus, namun baru 3 pelaku yang dipenjarakana. Padahal negara (rakyat) mengalami kerugian sebesar Rp. 215 M. Luar biasa!
Gambaran awal ini hanya mau menegaskan bahwa manajemen anggaran publik ini NTT saat ini belum pro poor (belum berpihak pada orang miskin). Pertanyaan sederhana untuk kita refleksikan? Masih berbanggakah kita sebagai pejabat yang tinggal di rumah jabatan yang mewah sementara orang-orang miskin di sekitar kita untuk makan jagung bose saja masih susah? Apa artinya rumah jabatan gubernur, rumah jabatan walikota Kupang yang berkelas hotel bintang lima jika masyarakat tetap bertiarap dalam kemiskinan dan kemelaratan?

Prinsip Anggaran
Selama 5 hari (19-23 Mei 2008) bertempat di Hotel Orchid Kupang, para peserta dari 9 kabupaten/kota dan provinsi melakukan sebuah lokakarya dan pelatihan perencanaan dan penganggaran terpadu, yang difasilitasi oleh GTZ melalui program GLG (good local government). Syukurlah bahwa ada dua orang yang diundang menjadi observer dalam lokakarya ini, saya dari INCREASE dan rekan Vincent Bureni dari Bengkel APEK Kupang. Momen ini sangat bermanfaat karena selain memantau, kami juga terlibat bersama-sama dengan rekan-rekan dari Bappeda kabupaten/kota dan provinsi, juga peserta yang diutus dari SKPD tertentu menggeluti proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dokumen rakyat yang bernama APBD itu.
Terkait dengan lokakarya dan pelatihan itu, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui mengenai anggaran. Anggaran publik memiliki beberapa prinsip. Pertama, transparan. Dokumen anggaran dapat dengan mudah diakses oleh publik. Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang bagi keterlibatan publik secara langsung. Selain itu, adanya hubungan yang kuat antara program dan nilai alokasi anggaran dengan kondisi aktual kebutuhan masyarakat. Ini untuk mengetahui seberapa besar penetapan anggaran mengakomodir kepentingan publik, khususnya masyarakat miskin. Aspek transparan ini juga terkait dengan adanya kebijakan yang memberikan tempat/ruang kontrol dan monitoring oleh lembaga independen dan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelembagaan sebagai media “check and balance” dan ada prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan/pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan menjamin hak informasi publik.
Kedua, rasional. perhitungan besaran penerimaan dan pengeluaran dilakukan dengan metode yang jelas dan terukur, bukan dengan perkiraan-perkiraan dan kepentingan pihak tertentu. Ketiga, akuntabel. Ini berhubungan erat dengan komitmen pemerintah untuk mengelola anggaran secara transparan, ada jaminan yang jelas terhadap hak-hak masyarakat dalam pelaksanaan anggaran dan ada prosedur pertanggungjawaban anggaran oleh pemerintah kepada publik yang diatur dalam suatu kebijakan/peraturan daerah. Keempat, keadilan dan proporsional. Maksudnya, anggaran dialokasikan pada sektor-sektor tertentu yang mendesak dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas sebagai kompensasi pemerintah kepada kelompok masyarakat tertentu (miskin) untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang telah menciptakan ketidakadilan ekonomi.
Sementara anggaran yang pro poor mempunyai beberapa prinsip. Anggaran harus dikelola secara transparan, akuntabel, partisipatif dan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran; menggunakan prinsip keadilan anggaran (efektif, efisien, dan adil); program/kegiatan mempunyai indikator yang jelas dan terukur. Selain itu, orang miskin ditargetkan untuk mendapatkan perhatian khusus (orang miskin menerima manfaat lebih besar); perencanaan dan penganggaran difokuskan pada akar masalah dari kemiskinan; memberikan kemampuan pada orang miskin agar dapat mengakses dan menggunakan sumber daya yang dapat membantu mereka untuk keluar dari kemiskinan; orang miskin dapat berpartisipasi dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi atas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Anggaran pro poor adalah praktik penyusunan dan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja ditujukan untuk membuat kebijakan, program, dan proyek yang berpihak pada kepentingan masyarakat miskin. Anggaran pro poor dapat dilihat dari dampaknya apakah dapat meningkatkan kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.

Mengkonteks
Apa korelasinya anggaran pro poor untuk NTT? Dari beberapa prinsip yang dikemukakan di atas, hemat saya belum semuanya teraplikasi dalam ruang perencanaan hingga penetapan dan dalam ruang praksis pelaksanaan APBD di lapangan. Penyusunan anggaran kita belum transparan. Warga tidak dilibatkan secara aktif. Malah ini seolah-olah jadi privilese eksekutif dan legislatif. Anggaran kita juga belum akuntabel. Ada banyak tikus dalam karung beras anggaran kita. Anggaran daerah kita bocor sepanjang jalan. Anggaran itu pun belum adil dan proporsional. Membangun istana pemerintah yang megah dan menguras biaya bisa, tapi memberi makan untuk rakyat sendiri tak bisa.
Data BPS tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 17%, sementara jumlah penduduk miskin di NTT adalah 28%. Pada tahun 2004, diperkirakan rata-rata pendapatan masyarakat NTT adalah sekitar Rp2,9 juta/orang/tahun, sedangkan pendapatan masyarakat Indonesia hampir mencapai Rp9,5 juta/orang/tahun. Jumlah penduduk miskin di NTT tahun 2007 sebanyak 1,16 juta jiwa atau 27,51%. Untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada tahun 2005 Provinsi NTT menduduki peringkat ke-31 dari 33 provinsi lainnya. Data BPS NTT sampai dengan 17 Januari 2006, menunjukkan bahwa di NTT terdapat 952.508 RT yang mana 75,45% adalah RT miskin. Angka kematian ibu melahirkan adalah 554 jiwa/1000 kelahiran dan angka kematian bayi adalah 72 jiwa/1000 kelahiran. Jumlah pengangguran di NTT sampai bulan Agustus 2007 sebanyak 77,7 ribu jiwa atau 3,7%. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2005 turun menjadi 3,1% dari 4,8% pada tahun 2004 (BPS NTT 2006). Data korupsi terkini hasil temuan BPK-RI yang dipublikasikan pada tanggal 16 Mei 2006, sampai dengan semester II TA 2005 terdapat 331 kasus penggunaan dana anggaran publik yang berindikasi korupsi dan diduga dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp.184,54 M. Dan berita terbaru hasil analisis ICW sebulan lalu, NTT naik peringkat untuk kategori provinsi terkorup yakni ke-3 di Indonesia.
Apa yang mau dikatakan dengan data dan fakta ini? Sudah saatnya APBD di NTT ini baik di provinsi maupun kabupaten menerapkan anggaran yang pro poor. Masih banyak orang kecil dan orang miskin di NTT yang butuh perhatian, butuh makan dan pengobatan, tidak sekadar membangun aneka istana pemerintahan, menggelontorkan banyak biaya untuk perjalanan dinas yang belum dirasa urgen, mendesak dan terkesan diada-adakan. Anggaran pro poor adalah sebuah kemendesakan dan kemestian untuk konteks NTT saat ini. Yang perlu dibuat adalah adanya kehendak politik dan tekad keras pihak-pihak yang secara langsung mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam penanggulangan kemiskinan. Menciptakan iklim yang mendukung berupa peraturan/kebijakan daerah yang mendukung penanggulangan kemiskinan, usaha kecil, akses terhadap kredit, pedagang kaki lima, penghapusan pungutan terhadap hasil-hasil pertanian. Membangun tata pemerintahan yang baik melalui keterbukaan, pertanggungjawaban publik, penegakan hukum, penghapusan birokrasi yang menyulitkan, pemberantasan korupsi.

Belajar dari Jembrana
Kabupaten Jembrana beberapa tahun terakhir menjadi kabupaten paling disoroti karena keberhasilan pemerintah setempat membebaskan biaya sekolah dan biaya kesehatan bagi masyarakatnya. Banyak daerah yang melakukan studi banding ke sana, termasuk beberapa daerah di NTT ini. Apa yang dibuat setelah pulang studi dari sana? Ini yang belum tampak. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Jembrana pada tahun 2001 Rp.1 M, 2002 Rp.6 M, 2003 Rp.9,2 M dst, 2006 Rp.11,2 M. Angka-angka ini jauh lebih kecil dari Denpasar dan Badung yg pada saat bersamaan meningkat di atas Rp.250 M. Dan mungkin juga lebih kecil dari PAD kabupaten/kota kita di NTT. PAD NTT sendiri tahun 2002 Rp.81,6 M, 2003 Rp.94,3 M, 2004 Rp.123,7 M, 2006 Rp.175,9 M.
Namun, mengapa dengan PAD yang terbatas, Pemkab Jembrana dapat melakukan hal-hal berikut ini: Tahun 2005 untuk menggratiskan pendidikan dan biaya kesehatan Pemkab Jembrana mengalokasikan Rp.110 M (89 M untuk pendidikan dan 20 M lebih untuk kesehatan); lebih dari itu, para petani sawah dibebaskan dari PBB atas lahan sawah (kira-kira nilainya Rp.670 juta); penataan perizinan (ada sekitar 50 perizinan, akta catatan sipil 5 jenis dan pelayanan kependudukan) yang menghindari ‘kontak langsung’ dengan pejabat, sehingga menghindari ‘pungli’ dan korupsi. Mengapa Jembrana bisa? Kuncinya adalah pemerintah berani melakukan inovasi, kreasi dan efisiensi. ”Tujuan berpemerintahan, apalagi dalam otonomi daerah, terutama adalah menyejahterakan rakyat, bukan untuk kekuasaan.” Ini komitmen Bupati Jembrana.
Gebrakan yang Bupati Jembrana lakukan adalah pengadaan kartu pengenal PNS tanpa biaya karena sekaligus merupakan Kartu ATM dari Bank Provinsi (efisiensi dan mendidik kebiasaan menabung); terobosan untuk belanja rutin di kantor-kantor. Penerapan standar dan sistem pergudangan yang baik sehingga bisa ditekan kemungkinan korupsi dan kuitansi fiktif atau penggelembungan harga dan bentuk manipulasi lainnya. Dalam 6 tahun terakhir tidak pernah mengalokasikan pembelian kendaraan baru melainkan menggunakan kendaraan dinas lama dan sebagian kendaraan sewa, dan yang lainnya. Berbagai terobosan dan inovasi itu menghasilkan penghematan biaya 20-50 persen. Manajemen anggaran pro poor di NTT bisa belajar dari Jembrana. Sayang jika dengan sekian banyak potensi yang ada di bumi Flobamorata ini, kita hanya dikenal karena ranking 3 terkorup di Indonesia.

Pemerhati Masalah Anggaran Publik.
Saa ini bekerja di Institute of Cross Timor Economic and Social Development (INCREASE)

Masyarakat dan Partisipasi Anggaran

Oleh Isidorus Lilijawa

Dalam siklus penyusunan APBD, bulan Januari–Pebruari adalah waktu untuk melakukan Musrenbangdes/dus (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa/Dusun). Pada momen ini, masyarakat bersama-sama merumuskan kebutuhan pembangunan yang akan dijalankan di dusun atau desa bersangkutan sebelum kesepakatan itu dibawa ke tingkat kecamatan dan seterusnya kabupaten. Kesannya memang sebuah pendekatan partisipatif yang bottom up, tetapi praksis di lapangan justru masih jauh dari yang diharapkan. Musrenbangdes/dus belum mencerminkan partisipasi anggaran masyarakat setempat.
Temuan Lokakarya Membangun Pemahaman Bersama Tata Pemerintahan yang Baik Pemprov NTT kerja sama dengan GTZ, tanggal 3-6 Juli 2007 mengerucutkan beberapa persoalan di antaranya: (1) sistem dan mekanisme perencanaan dan penganggaran belum terintegrasi; (2) penentuan prioritas usulan masyarakat lebih kuat dipengaruhi pertimbangan politis dan lobi eksekutif; (3) Musrenbangdes/dus sekadar formalitas (masyarakat lebih menganggap sebagai ritual tahunan, bukannya sebuah proses yang berkesinambungan); (4) minimnya informasi yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran partisipatif pada tingkat masyarakat desa; (5) peserta dan/atau fasilitator hanya sebatas mengidentifikasi masalah, tidak mampu melakukan analisis sehingga tidak menemukan kebutuhan dan pemecahannya secara benar; (6) kelompok perempuan dan rentan belum dilibatkan dalam perencanaan dan penganggaran, kalaupun terlibat tidak dalam kapasitas untuk mengambil keputusan.
Beberapa temuan ini dalam kacamata skeptis melahirkan tanya: masih urgenkah Musrenbangdes/dus bagi masyarakat kita saat ini? Skeptisisme ini terkuak tatkala kita mencermati berbagai temuan di atas. Selaih itu, Musrenbangdes/dus saat ini sepertinya menjadi ”proyek” tahunan pemerintah daerah tanpa ada upaya edukasi anggaran bagi masyarakat. Lebih miris lagi jika suara-suara masyarakat yang mengkristal dalam Musrenbang di desa, hilang lenyap ditelan belantara birokrasi dan politis ketika berada pada tahap musrenbangkab. Mengapa? Karena pada tahap Musrenbangkab terjadi pertarungan sengit antara RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang disusun oleh Bappeda dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) yang merupakan agenda Bupati/Walikota terpilih. Agenda ini erat kaitannya dengan ”janji politik” yang disampaikan pada saat kampanye. Suara masyarakat bisa-bisa terpinggirkan dan terabaikan apalagi dalam pembahasan anggaran level kabupaten, tidak dibuka ruang partisipasi bagi masyarakat untuk hadir dan memantau proses pembahasan anggaran.

Hak Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran adalah hak masyarakat. Hak ini terkait dengan prinsip partisipasi yakni masyarakat harus diberdayakan, diberi kesempatan, dan diikutsertakan untuk berperan mulai dari tahap perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Partisipasi bukan hanya berupa kehadiran masyarakat atau perwakilan masyarakat di dalam kegiatan-kegiatan seremonial perencanaan. Partisipasi seharusnya berwujud aspirasi, akses, dan kontrol. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan dalam mempengaruhi dan mewarnai keputusan yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Dari 8 tingkatan partisipasi yakni manipulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, penentraman, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, kontrol masyarakat, masyarakat kita masih berada pada level manipulasi hingga penentraman. Pada level ini tingkat pembagian kekuasaan berciri tak ada partisipasi hingga sekadar justifikasi agar masyarakat mengiyakan. Yang pemerintah buat melalui terapi bertujuan sekadar agar masyarakat tidak marah; pada pemberitahuan sekadar informasi searah/sosialisasi; pada tingkat konsultasi masyarakat didengar, tetapi saran mereka tidak selalu dipakai. Padahal ideal partisipasi anggaran adalah tingkat keterlibatan dan pengaruh individu dalam penyusunan anggaran, serta proses di mana pelaksana anggaran diberikan kesempatan untuk terlibat dan mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan anggaran.
Salah satu daerah di Indonesia yang patut menjadi model pembelajaran dalam partisipasi anggaran adalah Kabupaten Sumedang – Jawa Barat. Pemkab setempat menghasilkan Perda No.1/2007, tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah Kabupaten Sumedang. Pada Perda itu dicantumkan penghitungan sumber daya di awal perencanaan (pagu indikatif awal tahun perencanaan); jaminan terhadap keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah yang dilembagakan dalam bentuk Forum Delegasi Musrenbang (FDM); adanya jaminan prioritas kegiatan hasil Musrenbang diakomodasikan dalam penganggaran. Dalam Perda itu juga dirumuskan Pagu Indikatif Kecamatan (PIK) yakni sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program. Dengan FDM, masyarakat mempunyai wakil untuk mengawasi dan memantau perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan anggaran publik. Apakah kita mau belajar juga dari Sumedang?

Celah Partisipasi
Masyarakat bisa berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran. Pada tahap pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) antara panitia anggaran eksekutif dan legislatif, juga pada saat paripurna di DPRD celah untuk masyarakat adalah masyarakat (baik individu maupun lembaga) bisa memberikan masukan dan kritik terhadap draft dokumen KUA pada saat hearing di DPRD (lisan atau tulisan); memberi masukan dan hadir selama proses pembahasan (tulisan atau SMS); membangun opini publik dengan menggunakan media (koran atau radio).
Dalam proses penetapan anggaran seperti penyusunan draft RKA–SKPD/kerangka pembiayaan di internal Pemda, yang mana pembahasan hanya melibatkan SKPD dengan Bappeda dan Bagian Keuangan, yang keluarannya adalah kerangka rencana RAPBD, masyarakat pun bisa terlibat. Pada proses ini ada titik kritis pertama, karena bisa terjadi usulan dadakan/pencoretan rencana kegiatan hasil Musrenbang. Celah yang bisa digunakan masyarakat adalah melakukan komunikasi dengan dinas/instansi secara informal untuk konfirmasi tentang rencanan usulan kegiatan atau sekaligus memberikan masukan dan tambahan kegiatan berdasarkan rujukan kepada hasil Musrenbang apabila ada yang terlewat. Selain itu, bisa membangun hubungan secara personal dengan pejabat di SKPD.
Pada tahap pembahasan draft RKA-SKPD di DPRD antara SKPD dengan Komisi DPRD yang diawali dengan pembahasan secara umum kerangka rencana RAPBD antara panitia anggaran eksekutif dan legislatif, masyarakat bisa berpartisipasi. Celah keterlibatannya adalah pada saat pembahasan di Komisi DPRD, masyarakat bisa melakukan pengawalan dengan hadir di tempat pembahasan atau meminta hearing secara resmi ke DPRD dan melakukan diskusi dengan anggota Komisi DPRD secara informal. Pada tahap pembahasan pendahuluan RAPBD, yang mana ada titik krusial kedua yakni akan terjadi tarik menarik berbagai kepentingan, warga bisa terlibat pada saat DPRD melakukan hearing dengan masyarakat untuk sosialisasi RAPBD; masyarakat bisa melakukan monitoring selama pembahasan, memberi masukan dan sekaligus membangun publik opini melalui media massa dan kelompok kepentingan bisa melakukan monitoring di pembahasan yang menjadi minatnya.
Pada tahap pengesahan APBD masyarakat pun bisa terlibat dengan diundang resmi oleh DPRD pada seluruh rapat paripurna (masyarakat tidak bisa memberi masukan, hanya mendengarkan saja). Warga bisa membuat tulisan pada saat paripurna dan disebarkan ke peserta dan undangan. Masyarakat bisa hadir pada tahapan pembahasan/penyelarasan dan masih bisa memberi masukan melaui surat atau SMS, dan masyarakat bisa meminta hearing dengan Panggar DPRD. Pada tahap pelaksanaan APBD masyarakat dapat terlibat dengan memonitoring pelaksanaan kegiatan (apakah sesuai dengan rencana); melihat alokasi anggaran, apakah sesuai dengan budget yang telah direncanakan (berapa nilai riil kegiatan, apakah tender dilakukan secara transparan dan akuntabel). Kalau terjadi dugaan penyimpangan bisa diangkat dan dilaporkan kepada institusi yang berwenang
Tahap akhir siklus APBD adalah evaluasi dan pengawasan. Ada yang bersifat administratif dan politis. Administratif oleh Bawasda. Politis oleh DPRD pada arena LKPJ. DPRD melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan APBD triwulanan atau semesteran. Evaluasi satu tahun yaitu pada arena LKPJ. Celah keterlibatan warga pada tahap ini adalah pada saat evaluasi tahunan, warga bisa memberi masukan ke DPRD, dengan mengkritisi dokumen LKPJ Bupati dengan melihat pelaksanaan di lapangan. Warga bisa memberikan penilaian (melakukan komparasi) antara rencana dan target yang telah disepakati di dokumen KUA dengan dokumen LKPJ.
Keuntungan adanya keterlibatan publik dalam perencanaan hingga evaluasi APBD adalah meningkatkan kualitas perencanaan dan alokasi sumber daya demi efisiensi penggunaan sumber daya yang terbatas. Selain itu, memperkuat proses demokrasi dan meningkatkan rasa saling percaya. Semuanya ini hanya terjadi apabila ada kemauan politik dari pemerintah dan wakil rakyat. Perjuangan untuk terlibat dalam proses anggaran bukanlah upaya yang mudah apalagi kultur birokrasi dan politis kita masih cukup rigid pada hal-hal ini. Namun, tidak mesti ada kata menyerah. Karena APBD adalah hak rakyat, maka sudah saatnya rakyat harus terlibat dalam seluruh proses anggaran. Lembaga pemberdayaan masyarakat sudah saatnya melakukan advokasi dan studi yang terfokus pada politik anggaran. Karena apa artinya pemberdayaan jika masyarakat tidak sanggup memberdayakan diri sendiri untuk mengontrol apa yang menjadi haknya yakni APBD.

Pemerhati masalah anggaran publik.
Saat ini Sekretaris DPC GERINDRA Kota Kupang.

Wednesday, May 28, 2008

Awas Gegar Budaya!

(Memaknai Pekan Budaya Daerah NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa

Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional dan 100 Tahun Kebangkitan Indonesia, Dinas P & K NTT menggelar pekan budaya daerah NTT 2008. Kegiatan yang dibuka tanggal 15 Mei 2008 ini tentu bukan tanpa makna. Para peserta yang datang dari beberapa kabupaten di NTT ini selain menghadirkan keanekaragaman budaya lokal juga membawa pesan kebangkitan budaya lokal. Sangat menarik bahwa masih ada aliran kepedulian pemerintah terhadap perkembangan dan kelestarian budaya daerah. Momen ini memang strategis ketika kebanyakan orang khususnya generasi muda mulai tercerabut dari akar-akar budaya lokal. Memang harus ada usaha untuk menjaga dan melestarikan seni dan budaya daerah, sehingga generasi muda tidak cepat terpengaruh dengan kemajuan teknologi dan informasi serta perkembangan budaya luar.
Momen 100 Tahun Kebangkitan Nasional adalah saat yang tepat untuk membangkitkan kelesuan budaya lokal dalam arus deras globalisasi saat ini. Karena ketika kita menoleh ke latar budaya lokal kita saat ini, ada banyak guratan-guratan retak oleh apa yang disebut ’krisis kebudayaan’ dan ‘gegar budaya’. Tak dapat dipungkiri bahwa kita sedang hidup dalam budaya yang mengalami krisis makna. Kesimpangsiuran informasi yang membingungkan, pertentangan berbagai golongan masyarakat yang tak habis-habisnya, keterasingan dan kesepian individu-individu di dalam keramaian manusia yang sejalan dengan hancurnya berbagai hubungan mesra solidaritas lama, lenyapnya penghormatan kepada ilmu pengetahuan yang obyektif dan pengetahuan agama yang kudus, merajalelanya kuasa media, merupakan faktor-faktor yang melahirkan krisis budaya, yang melilit erat budaya lokal kita.
Generasi muda kita saat ini juga sedang mengalami situasi ‘gegar budaya’. Budaya lokal dipandang sebagai yang kuno, usang dan karena itu tidak harus ditampilkan. Pola-pola budaya barat tak jarang diekspresikan dan digemari. Ini nampak dalam busana, cara bicara, pola pergaulan. Gegar budaya menyebabkan orang kehilangan pijakan budaya. Malah dari aspek budaya, kita seperti mengalami gangguan mental. Salah satu hal yang mengindikasikan gegar budaya adalah kita malu mengakui dan menghidupkan budaya lokal sendiri dan memandang budaya luar selalu yang terbaik.
Pekan budaya daerah NTT ini bernilai strategis karena diusahakan dan dibuat pada saat budaya lokal kita sedang mengalami goncangan. Hemat saya, pekan budaya ini bertujuan merevetalisasi, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai kearifan lokal yang kian terancam punah. Di samping itu, pekan budaya ini bisa dipandang sebagai sebuah proses pembelajaran dari budaya lokal itu sebdiri. Kita bisa belajar banyak dari kekayaan budaya lokal masing-masing yang terpancar dalam nilai-nilai kerja sama, disiplin, harmoni, saling menghargai, rela berkorban dan lain-lain. Setiap gerakan tarian, hentakan kaki, ayunan tangan, putaran badan, kata-kata yang diucapkan, teriakan, bunyi-bunyi yang dihasilkan, merupakan media pembelajaran dan pendidikan dari sebuah karya seni dan kedalaman budaya kita sendiri. Karena itu, saya melihat pekan budaya ini bisa berperan sebagai pencipta nilai. Lebih jauh ia tidak hanya bernilai mimesis dalam cerapan indra, melainkan menyandang fungsi katarsis (pemurnian diri dan komunitas budaya dari kontaminasi budaya asing). Pekan budaya ini juga berperan dalam aspek tertentu seperti movere (menggerakkan nurani, sikap), docere (mengajarkan nilai-nilai) serta delectare (menghibur dan menyenangkan).
Pekan budaya daerah NTT adalah kesadaran masyarakat yang terungkap dalam upaya mencari solusi terhadap fenomen kematian realitas peradaban yang sedang menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita saat ini. Kita sepertinya mengalami paradoks budaya. Di satu pihak, budaya lokal sebagai landasan hidup kita memang masih sangat penting bagi pembentukan karakter manusia yang kaya nilai. Tetapi, di lain pihak ada keinginan besar dari masyarakat untuk bertransformasi budaya, artinya budaya lokal yang mempertahankan nilai-nilai lama perlu menyesuaikan diri dengan mainstream budaya global dewasa ini. Memang kompleks untuk mendamaikannya.
Pertanyaan untuk kita, bagaimana membuat budaya lokal kita tetap menarik dalam konteks lokal? Benar bahwa dalam tuntutan dunia pariwisata, budaya lokal kita sekarang perlu dikemas sekian sehingga bernilai dan menyenangkan bagi para wisatawan regional maupun mondial. Namun, kita perlu ingat dan sadari bahwa hakikat kebudayaan lokal kita tidak perlu menjadi korban komersialisasi dan pariwisata. Nilai-nilai lama yang signifikan bagi hidup tidak semestinya dikomodifikasi hanya untuk memenuhi selera pasar dan keinginan konsumen. Artinya, ada atau tidak adanya pekan budaya, kita harus tetap mencintai budaya kita dan menunjukkan identitas kita sebagai orang-orang yang kaya kearifan lokal.
Pada tataran ini, antara upaya merevitalisasi kebudayaan lokal dan kebutuhan kemasan budaya bernilai jual, kita perlu menempatkan upaya pemberdayaan budaya lokal sebagai agenda hidup kita setiap hari. Pertama, tindak pelestarian budaya. Tindakan ini lebih mengacu pada wujud kebudayaan baik sebagai kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat, maupun sebagai kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia di dalam masyarakat serta benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini dilestarikan karena merupakan khazanah budaya yang masih memiliki fungsi dan makna dalam proses pembudayaan yang berkelanjutan. Wujud-wujud kebudayaan ini dapat bertindak sebagai pusat-pusat keunggulan (centers of excellence). Tindakan pelestarian ini dapat diaktualisasi melalui pendirian museum-museum, mendirikan dan mengorganisir sanggar-sanggar seni budaya di daerah-daerah dan membentuk lembaga-lembaga adat. Perlu juga kita kembali pada perjuangan membangun rumah-rumah adat sebagai contoh keaslian masyarakat berbasis rumah dan kekerabatan.
Kedua, tindakan performance. Hal ini dapat dibuat melalui pementasan dan pertunjukan yang merupakan simbolisasi-integral bentuk pementasan dengan makna dan konteks makna yang mau disuguhkan. Makna dan konteks yang mau disugahkan itu bisa berupa riwayat kehidupan, hubungan-hubungan kekerabatan dan ajaran-ajaran tentang nilai-nilai universal (perdamaian, persaudaraan, cinta, keadilan, respek). Menghadapi dunia modern yang hampir nirmakna, masyarakat meneguhkan identitasnya lewat persetujukan seni budaya, tarian dan musik daerah. Pekan budaya daerah NTT berperan dalam hal ini.
Ketiga, tindakan modifikasi. Tindakan ini lebih berhubungan dengan selera pasar bebas (keuntungan ekonomis tuntutan dunia pariwisata) dewasa ini. Ini berarti bahwa proses menerjemahkan nomenklatur budaya hanya menyentuh sesuatu yang kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat manusia, namun pada saat yang sama manusia juga mengalami proses penghancuran peradaban dalam bentuk bencana-bencana global justru karena modernitas berkembang terlalu pesat (paradoks modernitas). Sebagai bagian dari masyarakat global, kita warga NTT pun tak luput dari paradoks ini. Kita sekarang sedang kehilangan dasar berpijak untuk mencegah dan mengantisipasi pengaruh budaya asing yang radikal. Budaya lokal kita hampir-hampir jadi tak berdaya ketika kita mulai hidup dalam lingkaran budaya anonim. Anonimitas budaya ini perlahan-lahan menghilangkan kepribadian dan identitas kita sebagai orang dari kultur tertentu. Dalam bahasa Ortega I Gazet, hal seperti ini mengarahkan kita pada proses dehumanisasi, yakni hilangnya kemanusiaan yang terus-menerus dalam berbagai lapangan kebudayaan dan kesenian. Seirama dengan itu, J Huizinga dalam bukunya Bayangan Hari Esok melukiskan bagaimana dalam kemajuan yang terus-menerus itu jatuh norma-norma moral, hilang kecakapan menimbang dan memilih dan kemajuan menjadi tanda tanya besar karena telah dengan sendirinya menghancurkan budaya sebagai basis kehidupan itu sendiri.
Keempat, penafsiran sebagai reinvensi tradisi. Penafsiran dapat dipahami sebagai penciptaan kembali suatu tradisi dan membacanya dalam konteks yang baru dengan artikulasi simbolis yang baru pula. Tindakan penafsiran lebih menekankan aspek nilai dan semangat yang terkandung di dalamnya. Inovasi dan kreasi sesuai konteks ini bisa dilihat dari model busana daerah, lagu-lagu pop daerah. Dalam konteks penafsiran ini, kenyataan-kenyataan lokal mesti terlebih dahulu diterima sebagai sesuatu yang wajar. Inilah tugas kita sebagai makhluk berbudaya. Kita perlu terus menghidupkan budaya dalam konteks tanpa mengabaikan nilai-nilai dan semangat budaya lokal kita masing-masing agar kita tidak menderita gegar budaya.

Penulis adalah warga Oebufu, Anggota Forum Akademia NTT. Menulis buku “Mengapa Takut Berpolitik” (2007).



Jangan Mempermainkan Politik

Oleh Isidorus Lilijawa


Dalam siklus musim di NTT, bulan Maret hingga Oktober dikenal dengan siklus musim panas. Namun, tahun ini kadar panasnya terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam bulan April hingga Mei dan berpuncak pada Juni nanti, kita tidak saja merasa panas karena tidak hujan, karena terik mentari menyengat, namun masyarakat NTT juga sedang dijangkiti musim panas pilkada. Panasnya pilkada tidak saja membuat kita gerah secara ragawi, tetapi ia sanggup menggerogori nurani dan menggosongkan rasio. Panas pilkada ini banyak disebabkan oleh partai politik, paket-paket calon pemimpin, tim sukses hingga penyelenggara pilkada itu sendiri.
Panasnya suhu politik saat ini menyebabkan orang atau partai politik tertentu secara begitu gampang mereduksi makna politik sebagai permainan adu trik dan intrik. Politik dilihat sebagai sebuah permainan yang tak punya lagi pagar etika dan moral. Malah politik diperlakukan sebagai kasino, sebuah ruang tempat para elit politik berjudi. Dengan pereduksian semacam ini, maka politik lalu dihayati hanya sebatas meraih kekuasaan, menduduki kursi terhormat atau memperjudikan kepentingan rakyat kecil.
Contoh-contoh konkrit tereduksinya makna politik dalam proses pilkada kita saat ini begitu banyak. Beberapa yang saya kemukakan: dualisme partai dan pimpinan partai; berubah-ubahnya dukungan partai pada paket tertentu, black campaign (kampanye hitam) yang mulai dilancarkan untuk menyudutkan paket tertentu, tidak tegasnya KPU yang meloloskan partai yang mencalonkan dua paket sekaligus pada verifikasi tahap pertama, pernyataan politisi yang menyebut politik itu ”memainkan dan dimainkan”. Berbagai persoalan ini mengindikasikan politik itu masih sebatas arena adu tangkas, adu cerdik, adu licik, adu power, adu uang. Politik masih dihayati secara arkhais sebagai permainan survival for the fittest (yang ’kuat’ yang jadi pemenang) dalam wilayah hukum rimba. Hemat saya, degradasinya makna politik ini terjadi ketika politisi, para pengurus partai politik dan penyelenggara pilkada kurang memahami makna politik yang sebenarnya.

Makna Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani, "Ta Politika", yang berarti hal-hal atau urusan yang berkaitan dengan polis (negara kota). Polis menurut Aristoteles berarti negara kota yang dihuni oleh orang-orang merdeka dengan hak yang sama untuk menata kehidupan bersama. Konsep ini sangat konsekuen dengan pandangannya tentang manusia sebagai 'zoon politicon', makhluk berkodrat sosial. Jadi secara etimologis, politik adalah usaha menata kehidupan bersama dalam kemerdekaan dan kesamaan hak dengan berpedoman pada perikemanusiaan.
Pada zaman Yunani klasik kata politike senantiasa disanding dengan kata techne, yang berarti teknik atau seni. Arti dasar politik adalah upaya pengelolaan bangsa dan masyarakat. Arti semacam ini selalu dimengerti sebagai kepandaian, seni, dan teknik mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat atau kelompok. Ia merupakan seni mengelola suatu kemungkinan menjadi efektif, posibilitas menjadi realitas. Menurut Otto von Bismarc politik bukanlah suatu pengetahuan atau teori. Politik merupakan kepandaian membuat pilihan dan memenangkan suatu pilihan dari begitu banyak kemungkinan untuk mencapai suatu perjuangan.
Dalam pemahaman leksikal menurut Kamus Filsafat (Lorens Bagus: 2002, 857), kata politik, politics (Inggris) berasal dari kata Yunani Politikos (menyangkut warga negara), polites (seorang warga negara), polis (kota, negara), politeia (kewargaan). Ada beberapa pengertian: (1) apa yang berhubungan dengan pemerintahan, (2) perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bernegara, (3) bidang studi yang berkaitan dengan masalah-masalah sipil-sosial dan mengembangkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-masalah tersebut, (4) aktivitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antar-bangsa dan kelompok-kelompok sosial lainnya, yang berhubungan dengan perkara penggunaan kekuasaan negara.
Politik dalam arti luas dipahami sebagai sesuatu usaha dan pembicaraan yang menyangkut kepentingan umum atau berpautan dengan publik (pro bono publico). Kepentingan dan urusan umum menjadi isi dan makna politik. Politik adalah hak kodrati setiap manusia. Politik merupakan kesempatan dan kemungkinan yang harus dimiliki oleh setiap orang dan juga harus diberikan kepada setiap orang untuk boleh hidup dan bergerak di muka umum, membina persekutuan hidup dengan orang lain, terlibat dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama dan menikmati hasil perjuangan masyarakat.
Dalam arti sempit, politik dimengerti sebagai perilaku, tindakan pemerintah, parlemen, partai dan organisasi untuk meraih suatu tujuan, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan bernegara dan untuk mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam bingkai ini, politik juga dipahami sebagai sikap dan langkah hidup yang taktis, penuh perhitungan untuk mencapai suatu tujuan secara maksimal dan efektif. Politik merupakan daya upaya atau strategi untuk mendapat kekuasaan secara legitim. Politik berkaitan dengan semua kegiatan yang mempengaruhi atau mencapai pembagian kekuasaan. Ia berkaitan langsung dengan pemerintahan, partai politik dengan program dan penampilannya yang berusaha memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan.
Tujuan politik adalah menyelenggarakan bonum commune (kepentingan umum, kesejahteraan bersama) yang berarti memfasilitasi manusia untuk mengusahakan apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak secara manusiawi. Hidup layak manusiawi berarti kemudahan untuk memenuhi kebutuhan wajar untuk dapat hidup yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Ini tidak saja diukur menurut pemenuhan kebutuhan pokok melainkan kebutuhan untuk berkembang lebih lanjut. Memenuhi kebutuhan berarti dapat memenuhi hak-haknya yang asasi, karena berbagai kebutuhan adalah mutlak; artinya harus dipenuhi, kalau tidak akan timbul gangguan berat dan bahkan kematian. Hidup sesuai dengan martabat manusia tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan, apalagi sesaat, tetapi juga segala yang perlu atau bermanfaat untuk berkembang.
Dari makna politik di atas, terlihat bahwa politik itu luhur. Politik adalah cara memperjuangkan kepentingan bersama. Politik itu seni bukan trik atau intrik. Politik bukan permainan dan bukan untuk dipermainkan. Namun, lakon politik kita saat ini malah sebaliknya. Politik jadi permainan murahan. Politik begitu gampang dimanipulasi. Orang begitu mudah membelokkan kepentingan bersama menjadi kepentingan diri dan kelompok tertentu. Dan sayangnya bahwa para politisi dengan seenaknya berargumen bahwa politik itu memainkan dan dimainkan. Politik kita sungguh-sungguh telah dipermainkan.

Pola Permainan
Ada banyak cara orang mempermainkan politik. Dan hal itu sangat jelas kita amati dalam musim pilkada saat ini. Panji yang berkibar di mana-mana adalah agar masyarakat NTT semakin sejahtera lahir dan batin. Namun, seruan-seruan yang luhur itu hanya selimut yang membalut kebohongan dan kebobrokan. Ada paket yang mempermainkan politik dengan cara-cara klasik hinggan modern seperti berikut ini.
Materialisme Praktis: verbal dan ritual. Banyak orang memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup, jadi tidak mengakui materialisme filosofis. Namun, dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup "etsi Deus non daretur" (seolah-olah tidak ada Allah) atau paling banyak hanya selektif menghayatinya. Dalam pilkada saat ini, hati-hatilah karena banyak paket yang sok suci. Bila turun ke daerah-daerah atau desa-desa, tempat pertama yang dikunjungi adalah rumah ibadat, biara-biara, pesantren. Bicara mereka pun tidak jauh dari firman Tuhan. Bahkan ada ayat-ayat Kitab Suci yang dihafal begitu lancar. Syukur jika religiositas itu sudah menjadi jiwa hidup. Sayang jika itu hanya sebuah permainan untuk mengelabui rakyat.
Pragmatisme: verbal, memang sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya. Namun, dalam kenyataannya menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawanan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan sebelumnya. Kita mungkin membaca di pinggir-pinggir jalan pada baliho paket tertentu atau membaca dan mendengar program strategis atau mandat rakyat yang berbunyi: pendidikan gratis, kesehatan gratis, pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, pembentukan provinsi Flores, provinsi kepulauan, ekonomi kerakyatan, dll. Enak kedengarannya. Bagus prorgramnya. Namun, apakah realistis? Apakah logis jika ada pendidikan gratis? Bagaimana kita bisa mengerti jika selama 5 tahun paket tertentu harus menyelesaikan 10 mandat rakyat? Mana fokusnya? Kita perlu secara jeli menyimak semuanya itu. Jangan sampai kita jatuh dalam kultur baru saat ini: bombastis.
Oportunisme: obral janji sebelum pelantikan, tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa mempedulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Inilah logika mekanisme komersialisasi jabatan: bila jabatan diperjualbelikan, maka pejabat cenderung merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu, ditambah dengan keuntungan yang diharapkannya. Ini malah sudah biasa. Sebelum jadi pejabat, dekat dengan rakyat, ingat teman-teman seperjuangan. Setelah jadi orang, malah hampir tak ada waktu untuk rakyat dan teman-teman seperjuangan sendiri. Ini harus diwaspadai. Kata orang, jangan memilih kucing dalam karung. Amati masing-masing paket, bedah diri mereka, cermati virus oportunisme kalau boleh dengan kaca pembesar.
Formalisme: tampil memukau seperti tokoh anutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de facto ada atau tidak. Ada calon pemimpin yang selalu tampil formal dan pantas dijadikan tokoh anutan. Mereka lebih suka tebar pesona ke mana-mana bukan tebar kinerja. Keyakinan pribadi tak kuat tetapi mengutamakan pencitraan dalam masyarakat melalui berbagai cara walaupun hanya sebatas formalitas saja. Ini juga perlu diwaspadai.
Dalam beberapa pola ini biasanya politik itu dipermainkan. Masyarakat tentu mesti mempunyai pisau bedah sendiri untuk menyingkap kekotoran politik oleh para politisi dan partai politik. Gunakan pisau bedah sendiri bukan pisau bedah yang diimpor dari tim sukses maupun paket-paket tertentu. Masyarakat mempunyai kemerdekaan untuk menentukan siapa yang layak untuk tampil sebagai figur politik bukan yang mempermainkan politik. Perlu diingat bahwa rakyat adalah satu-satunya hakim yang adil. Pisau bedahnya pada saatnya akan menentukan siapa yang sebenarnya hanya mengotori ruang politik sebagai ruang bonum commune dan siapa yang bersungguh-sungguh memperlakukan politik sebagai jalan meraih cita-cita bersama - kesejahteraan lahir batin.
Mungkin untuk mereka yang mempermainkan politik akan pada saatnya merasakan apa yang ditulis ini. Politik itu bukan permainan karena itu jangan dipermainkan. Politik bukan mainan untuk dimainkan. Orang yang mempermainkan politik akan dipermainkan politik. Orang yang bermain-main dengan politik akan menjadi mainan politik. Permainan, bermain-main, mainan bukan politik. Politik itu politik. Sekali lagi, jangan mempermainkan politik.


Isidorus Lilijawa, Sekretaris DPC Partai GERINDRA Kota Kupang