Monday, May 12, 2008

Jangan Mempermainkan Politik

Oleh Isidorus Lilijawa




Dalam siklus musim di NTT, bulan Maret hingga Oktober dikenal dengan siklus musim panas. Namun, tahun ini kadar panasnya terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam bulan April hingga Mei dan berpuncak pada Juni nanti, kita tidak saja merasa panas karena tidak hujan, karena terik mentari menyengat, namun masyarakat NTT juga sedang dijangkiti musim panas pilkada. Panasnya pilkada tidak saja membuat kita gerah secara ragawi, tetapi ia sanggup menggerogori nurani dan menggosongkan rasio. Panas pilkada ini banyak disebabkan oleh partai politik, paket-paket calon pemimpin, tim sukses hingga penyelenggara pilkada itu sendiri.
Panasnya suhu politik saat ini menyebabkan orang atau partai politik tertentu secara begitu gampang mereduksi makna politik sebagai permainan adu trik dan intrik. Politik dilihat sebagai sebuah permainan yang tak punya lagi pagar etika dan moral. Malah politik diperlakukan sebagai kasino, sebuah ruang tempat para elit politik berjudi. Dengan pereduksian semacam ini, maka politik lalu dihayati hanya sebatas meraih kekuasaan, menduduki kursi terhormat atau memperjudikan kepentingan rakyat kecil.
Contoh-contoh konkrit tereduksinya makna politik dalam proses pilkada kita saat ini begitu banyak. Beberapa yang saya kemukakan: dualisme partai dan pimpinan partai; berubah-ubahnya dukungan partai pada paket tertentu, black campaign (kampanye hitam) yang mulai dilancarkan untuk menyudutkan paket tertentu, tidak tegasnya KPU yang meloloskan partai yang mencalonkan dua paket sekaligus pada verifikasi tahap pertama, pernyataan politisi yang menyebut politik itu ”memainkan dan dimainkan”. Berbagai persoalan ini mengindikasikan politik itu masih sebatas arena adu tangkas, adu cerdik, adu licik, adu power, adu uang. Politik masih dihayati secara arkhais sebagai permainan survival for the fittest (yang ’kuat’ yang jadi pemenang) dalam wilayah hukum rimba. Hemat saya, degradasinya makna politik ini terjadi ketika politisi, para pengurus partai politik dan penyelenggara pilkada kurang memahami makna politik yang sebenarnya.

Makna Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani, "Ta Politika", yang berarti hal-hal atau urusan yang berkaitan dengan polis (negara kota). Polis menurut Aristoteles berarti negara kota yang dihuni oleh orang-orang merdeka dengan hak yang sama untuk menata kehidupan bersama. Konsep ini sangat konsekuen dengan pandangannya tentang manusia sebagai 'zoon politicon', makhluk berkodrat sosial. Jadi secara etimologis, politik adalah usaha menata kehidupan bersama dalam kemerdekaan dan kesamaan hak dengan berpedoman pada perikemanusiaan.
Pada zaman Yunani klasik kata politike senantiasa disanding dengan kata techne, yang berarti teknik atau seni. Arti dasar politik adalah upaya pengelolaan bangsa dan masyarakat. Arti semacam ini selalu dimengerti sebagai kepandaian, seni, dan teknik mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat atau kelompok. Ia merupakan seni mengelola suatu kemungkinan menjadi efektif, posibilitas menjadi realitas. Menurut Otto von Bismarc politik bukanlah suatu pengetahuan atau teori. Politik merupakan kepandaian membuat pilihan dan memenangkan suatu pilihan dari begitu banyak kemungkinan untuk mencapai suatu perjuangan.
Dalam pemahaman leksikal menurut Kamus Filsafat (Lorens Bagus: 2002, 857), kata politik, politics (Inggris) berasal dari kata Yunani Politikos (menyangkut warga negara), polites (seorang warga negara), polis (kota, negara), politeia (kewargaan). Ada beberapa pengertian: (1) apa yang berhubungan dengan pemerintahan, (2) perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bernegara, (3) bidang studi yang berkaitan dengan masalah-masalah sipil-sosial dan mengembangkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-masalah tersebut, (4) aktivitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antar-bangsa dan kelompok-kelompok sosial lainnya, yang berhubungan dengan perkara penggunaan kekuasaan negara.
Politik dalam arti luas dipahami sebagai sesuatu usaha dan pembicaraan yang menyangkut kepentingan umum atau berpautan dengan publik (pro bono publico). Kepentingan dan urusan umum menjadi isi dan makna politik. Politik adalah hak kodrati setiap manusia. Politik merupakan kesempatan dan kemungkinan yang harus dimiliki oleh setiap orang dan juga harus diberikan kepada setiap orang untuk boleh hidup dan bergerak di muka umum, membina persekutuan hidup dengan orang lain, terlibat dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama dan menikmati hasil perjuangan masyarakat.
Dalam arti sempit, politik dimengerti sebagai perilaku, tindakan pemerintah, parlemen, partai dan organisasi untuk meraih suatu tujuan, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan bernegara dan untuk mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam bingkai ini, politik juga dipahami sebagai sikap dan langkah hidup yang taktis, penuh perhitungan untuk mencapai suatu tujuan secara maksimal dan efektif. Politik merupakan daya upaya atau strategi untuk mendapat kekuasaan secara legitim. Politik berkaitan dengan semua kegiatan yang mempengaruhi atau mencapai pembagian kekuasaan. Ia berkaitan langsung dengan pemerintahan, partai politik dengan program dan penampilannya yang berusaha memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan.
Tujuan politik adalah menyelenggarakan bonum commune (kepentingan umum, kesejahteraan bersama) yang berarti memfasilitasi manusia untuk mengusahakan apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak secara manusiawi. Hidup layak manusiawi berarti kemudahan untuk memenuhi kebutuhan wajar untuk dapat hidup yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Ini tidak saja diukur menurut pemenuhan kebutuhan pokok melainkan kebutuhan untuk berkembang lebih lanjut. Memenuhi kebutuhan berarti dapat memenuhi hak-haknya yang asasi, karena berbagai kebutuhan adalah mutlak; artinya harus dipenuhi, kalau tidak akan timbul gangguan berat dan bahkan kematian. Hidup sesuai dengan martabat manusia tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan, apalagi sesaat, tetapi juga segala yang perlu atau bermanfaat untuk berkembang.
Dari makna politik di atas, terlihat bahwa politik itu luhur. Politik adalah cara memperjuangkan kepentingan bersama. Politik itu seni bukan trik atau intrik. Politik bukan permainan dan bukan untuk dipermainkan. Namun, lakon politik kita saat ini malah sebaliknya. Politik jadi permainan murahan. Politik begitu gampang dimanipulasi. Orang begitu mudah membelokkan kepentingan bersama menjadi kepentingan diri dan kelompok tertentu. Dan sayangnya bahwa para politisi dengan seenaknya berargumen bahwa politik itu memainkan dan dimainkan. Politik kita sungguh-sungguh telah dipermainkan.

Pola Permainan
Ada banyak cara orang mempermainkan politik. Dan hal itu sangat jelas kita amati dalam musim pilkada saat ini. Panji yang berkibar di mana-mana adalah agar masyarakat NTT semakin sejahtera lahir dan batin. Namun, seruan-seruan yang luhur itu hanya selimut yang membalut kebohongan dan kebobrokan. Ada paket yang mempermainkan politik dengan cara-cara klasik hinggan modern seperti berikut ini.
Materialisme Praktis: verbal dan ritual. Banyak orang memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup, jadi tidak mengakui materialisme filosofis. Namun, dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup "etsi Deus non daretur" (seolah-olah tidak ada Allah) atau paling banyak hanya selektif menghayatinya. Dalam pilkada saat ini, hati-hatilah karena banyak paket yang sok suci. Bila turun ke daerah-daerah atau desa-desa, tempat pertama yang dikunjungi adalah rumah ibadat, biara-biara, pesantren. Bicara mereka pun tidak jauh dari firman Tuhan. Bahkan ada ayat-ayat Kitab Suci yang dihafal begitu lancar. Syukur jika religiositas itu sudah menjadi jiwa hidup. Sayang jika itu hanya sebuah permainan untuk mengelabui rakyat.
Pragmatisme: verbal, memang sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya. Namun, dalam kenyataannya menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawanan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan sebelumnya. Kita mungkin membaca di pinggir-pinggir jalan pada baliho paket tertentu atau membaca dan mendengar program strategis atau mandat rakyat yang berbunyi: pendidikan gratis, kesehatan gratis, pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, pembentukan provinsi Flores, provinsi kepulauan, ekonomi kerakyatan, dll. Enak kedengarannya. Bagus prorgramnya. Namun, apakah realistis? Apakah logis jika ada pendidikan gratis? Bagaimana kita bisa mengerti jika selama 5 tahun paket tertentu harus menyelesaikan 10 mandat rakyat? Mana fokusnya? Kita perlu secara jeli menyimak semuanya itu. Jangan sampai kita jatuh dalam kultur baru saat ini: bombastis.
Oportunisme: obral janji sebelum pelantikan, tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa mempedulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Inilah logika mekanisme komersialisasi jabatan: bila jabatan diperjualbelikan, maka pejabat cenderung merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu, ditambah dengan keuntungan yang diharapkannya. Ini malah sudah biasa. Sebelum jadi pejabat, dekat dengan rakyat, ingat teman-teman seperjuangan. Setelah jadi orang, malah hampir tak ada waktu untuk rakyat dan teman-teman seperjuangan sendiri. Ini harus diwaspadai. Kata orang, jangan memilih kucing dalam karung. Amati masing-masing paket, bedah diri mereka, cermati virus oportunisme kalau boleh dengan kaca pembesar.
Formalisme: tampil memukau seperti tokoh anutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de facto ada atau tidak. Ada calon pemimpin yang selalu tampil formal dan pantas dijadikan tokoh anutan. Mereka lebih suka tebar pesona ke mana-mana bukan tebar kinerja. Keyakinan pribadi tak kuat tetapi mengutamakan pencitraan dalam masyarakat melalui berbagai cara walaupun hanya sebatas formalitas saja. Ini juga perlu diwaspadai.
Dalam beberapa pola ini biasanya politik itu dipermainkan. Masyarakat tentu mesti mempunyai pisau bedah sendiri untuk menyingkap kekotoran politik oleh para politisi dan partai politik. Gunakan pisau bedah sendiri bukan pisau bedah yang diimpor dari tim sukses maupun paket-paket tertentu. Masyarakat mempunyai kemerdekaan untuk menentukan siapa yang layak untuk tampil sebagai figur politik bukan yang mempermainkan politik. Perlu diingat bahwa rakyat adalah satu-satunya hakim yang adil. Pisau bedahnya pada saatnya akan menentukan siapa yang sebenarnya hanya mengotori ruang politik sebagai ruang bonum commune dan siapa yang bersungguh-sungguh memperlakukan politik sebagai jalan meraih cita-cita bersama - kesejahteraan lahir batin.
Mungkin untuk mereka yang mempermainkan politik akan pada saatnya merasakan apa yang ditulis ini. Politik itu bukan permainan karena itu jangan dipermainkan. Politik bukan mainan untuk dimainkan. Orang yang mempermainkan politik akan dipermainkan politik. Orang yang bermain-main dengan politik akan menjadi mainan politik. Permainan, bermain-main, mainan bukan politik. Politik itu politik. Sekali lagi, jangan mempermainkan politik.


Isidorus Lilijawa, Sekretaris DPC Partai GERINDRA Kota Kupang



No comments: