Monday, May 12, 2008

Humanopolis

(Memaknai HUT Kota Kupang)
Oleh Isidorus Lilijawa


Tanggal 25 April 2008, Kota Kupang merayakan hari jadinya yang ke-12. Sebuah kesempatan untuk berefleksi bagi segenap penghuni domus bernama kota Kupang. Dalam usia yang ke-12, kota Kupang telah berkembang menjadi sebuah kota modern. Kita bisa membandingkan perkembangan kota Kupang 10 atau 5 tahun lalu dengan kota Kupang saat ini. Jika kita bertanya kepada orang-orang yang hidup di kota Kupang pada era 1980-an tentang keadaan kota Kupang saat ini, tentu saja mereka mengatakan situasinya jauh berbeda. Kota Kupang saat ini jauh lebih maju dan berkembang.
Namun, sebagaimana perkembangan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, tak dapat dimungkiri kota Kupang juga berkembang secara laissez faire, tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kecuali pada kota-kota baru yang memang direncanakan sejak awal seperti Tanjungpura atau Tembagapura, kota-kota kita tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek.
Karena itu, bukanlah suatu pemandangan yang aneh jika kota-kota besar di Indonesia menampilkan wajah ganda. Di satu sisi terlihat perkembangan pembangunan yang serba mengesankan dalam wujud arsitektur modern dan pasca modern di sepanjang jalan tepi jalan utama kota. Di balik semua keanggunan itu, nampak menjamurnya lingkungan kumuh dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai untuk mendukung keberlangsungan kehidupan manusia yang berbudaya.

Patologi Kota
Dalam usia yang ke-12 saat ini, kita bisa bertanya: bagaimana kondisi kota Kupang? Apakah kota kesayangan kita ini sehat-sehat (baca: nyaman, kondusif) atau kota Kupang malah menjadi kota yang sakit? Sebuah kota termasuk dalam kategori sakit jika perkembangan kota terlalu dititikberatkan pada rekayasa kota pada aspek fisik dan keruangan seperti bentuk, ukuran, atau besaran kota, jalur jalan dan struktur spasialnya, lantas mengabaikan kebijakan yang berpihak pada sebanyak mungkin orang khususnya masyarakat kecil. Selain itu, sakitnya sebuah kota terjadi ketika para penentu kendali ekonomi dan pembuat keputusan menjadi entitas dominan yang menentukan merah dan hijaunya wajah kota. Pada sisi lain, partisipasi masyarakat diabaikan.
Seorang sosiolog Indonesia, Prof Dr Satjipto Rahardjo pernah memperbincangkan apa yang disebut “patologi kota”, yaitu kota yang menderita sakit karena tidak mampu memberikan respons yang seksama terhadap kebutuhan warga kota dan pendatang dari kota lain. Ini seperti ledekan orang pada kota Frankfurt di Jerman yang dipanggil dengan Krank-furt alias kota yang sakit, dan kota Chicago yang disebut pula dengan predikat Sickago. Lalu Kupang?
Patologi kota Kupang, hemat saya disebabkan oleh pemerintah, masyarakat dan lingkungannya. Dalam derap maju perkembangan kota Kupang, tak dimungkiri bahwa kota ini sebenarnya sedang sakit. Kota kita sakit ketika pemerintah melupakan rakyatnya; ketika masih ada warga kota Kupang yang gizi buruk; saat banyak kebijakan dan peraturan yang tidak memihak rakyat kecil. Kota ini sakit karena ruang partisipasi warga dipangkas dan pengelolaan kota dipercayakan pada segelintir orang yakni penguasa dan pengusaha; saat korupsi masih merajalela dalam tubuh pemerintahan kita.
Dari aspek masyarakatnya, kota Kupang sedang sakit ketika masyarakat kota ini mulai terbawa dalam pola hidup materialisme hedonisme; saat masyarakat tidak mau peduli lagi dengan situasi sekitar; saat daya kritis masyarakat menjadi tumpul berhadapan dengan kebobrokan moral dan sosial yang terjadi. Kota ini sakit ketika kota ini tidak lagi ramah anak, kasus pemerkosaan terjadi setiap hari, penculikan anak menakutkan orang tua, perselingkuhan menjadi trend, pengaruh narkoba membius aparat hukum hingga anak sekolah.
Dari konteks lingkungannya, kota Kupang adalah kota yang sakit ketika jalur hijau perlahan-lahan dirambah dan menjadi pemukiman warga; saat jalur hijau jadi tempat interaksi dan interelasi para pekerja seks komersial. Kota Kupang juga sedang sakit ketika sampah yang berserakan menjadi pemandangan keseharian, saluran air yang buntu hingga menyebabkan banjir saat musim hujan. Kota Kupang mulai sakit ketika listrik mati terus-menerus, ketika sepanjang pesisir pantai hutan-hutan tembok dan beton mulai dibangun demi kepentingan bisnis, ruang-ruang kosong tak cukup lagi hingga anak-anak harus bermain bola di jalanan.
Sebegitu parahkah sakitnya kota Kupang? Pada satu sisi kita harus jujur bahwa memang begitulah adanya kota Kupang. Walau di sisi lain, perkembangan kota ini terus menggeliat dengan pembangunan berbagai macam sarana bisnis dan sarana publik. Tanpa ada upaya memutus rantai penyebab sakitnya Kota Kupang, hemat saya perayaan dan peringatan HUT kota Kupang ini tidak lain adalah merayakan kota Kupang yang sakit, dan itu berarti kita akan terus membiarkan kota ini sakit dan menjadi warga-warga kota yang sakit juga.
Patologi kota Kupang yang dibiarkan terus berkembang akan menjadikan kota Kupang sebagai cacopolis, sebuah kota yang mengerikan dan kacau balau dalam beberapa tahun mendatang. Secara detail cacopolis dicirikan oleh udara yang panas berdebu, suara yang bising memekakkan telinga, lalu lintas kendaraan yang macet, perumahan yang berlebihan kepadatannya, listrik padam terus menerus, jaringan jalan semrawut bagaikan bakmi, sampah menggunung menebarkan aroma amis, selokan tersumbat, air minum tercemar, dan lain lain. Daftarnya sangat panjang dan tak ada akhirnya.
Bahkan ada sekelompok tim perancang yang menamakan dirinya Super Studio, nekat melukiskan secara visual fantasinya tentang cacopolis di masa depan dalam bentuk kota yang geometrik kaku, terkotak-kotak, tak ada peluang komunikasi sosial, tumbuh tanpa batas dan setiap kegiatan manusia diatur secara eksternal di luar dirinya. Bangunan-bangunan peninggalan kuno yang diakrabi penduduk terkikis habis. Sentuhan estetis dikerdilkan oleh perhitungan ekonomi dan bisnis. Bahkan manusianya kehilangan lacak dan orientasi bagaikan orang hilang ingatan.

Humanopolis
Memahami begitu banyaknya kota yang sakit saat ini, Peter Hall, seorang perancang kota sebagaimana dikutip oleh Eko Budihardjo dalam bukunya Kota Berwawasan Lingkungan (1993) mengajukkan perencanaan kota yang humanopolis, yaitu kota yang lembut dan manusiawi, dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perlakuan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam dan mengolah hubungan antara manusia dan lingkungan binaannya secara lebih akrab.
Hemat saya untuk menjadikan kota Kupang sebagai humanopolis, hal pertama dan utama yang perlu dibuat oleh pemerintah dan warga kota ini adalah pertobatan (metanoia). Pemerintah harus bertobat dari cara-cara keliru dalam mengelola kota dan warga mesti bertobat dari tingkah lakunya yang menjadikan kota ini kian merana. Pertobatan ini perlu dibangun dalam ranah birokrasi, hukum, aparatur, dan sikap terhadap alam. Dan pertobatan ini harus mulai dari saat ini, ketika warga Kupang merefleksikan dan merayakan HUT kota kesayangannya ini. Tanpa pertobatan, kota ini sedang berjalan menuju sebuah situasi cacopolis dan bahkan miseropolis (kota yang menyengsarakan).
Untuk menjadikan kota Kupang sebagai humanopolis, hemat saya harus ada kerja sama yang kondusif antara perekayasa kota, pengelola kota dan masyarakat yang mendiami kota. Urusan kota bukan cuma urusan fisik aristektur semata. Kota juga berurusan dengan moralitas para pengambil keputusan dan moralitas warganya. Karena itu, para pengambil kebijakan di kota ini harus tampil sebagai the solver of city problem bukan a part of city problem. Tidak heran jika ada yang berani mengatakan: “Tunjukkan padaku wajah kotamu, saya akan menebak seperti apa tampang walikotanya.” Pernyataan ini sebenarnya mau menegaskan bahwa para pengambil kebijakan di kota ini mesti terbuka terhadap berbagai komponen masyarakat yang menjadi penghuni kota ini. Sudah saatnya para pengelola dan pengambil kebijakan di kota Kupang mendengarkan kotanya sendiri.
Shakespeare pernah mengungkapkan: “Apakah kota itu kalau bukan penduduknya.” Ini berarti, perkembangan sebuah kota indikatornya adalah perkembangan masyarakat itu sendiri lahir dan batin, bukan perkembangan fisik perkotaan seperti banyaknya gedung, mall, tempat rekreasi, dan lain-lain. Kota memang terbentuk dari perangkat keras seperti bangunan, jalan dan infrastruktur. Tetapi yang menghidupkan kota itu sendiri adalah manusia dengan segenap perilakunya. Ada hubungan yang erat antara city (kota) dan citizen (warga kota). Saling hubungan itulah yang acapkali dilupakan.
Satu hal lagi jika kita ingin memutuskan rantai patologi kota Kupang adalah dengan menjadikan Kupang sebagai ecopolis, kota yang berwawasan lingkungan. Kita sendiri melihat di kota Kupang, paru-paru kota perlahan-lahan menghilang. Ruang terbuka hijau hanyalah slogan yang terpampang di pinggir jalan ketika banyak bangunan didirikan di atas lahan dimaksud. Konsep ecopolis adalah ketika orang merusak kehidupan kota dengan cara memadati ruang terbuka hijau dengan bangunan, ecopolis akan memperbaiki sistem kehidupan lingkungan kota dengan menanam pepohonan. Jika secara tradisional strategi perencanaan kota dikendalikan secara top-down, perkembangan kota ekologi berawal dari grass root. Partisipasi warga menjadi bagian integral dari program kota ekologi.
Kiranya HUT kota Kupang ini menjadi titik awal untuk menjadikan kota Kupang kota KASIH, kota yang humanopolis dan ecopolis. Bukan kota yang sakit, sakit-sakitan, cacopolis bahkan miseropolis.

Warga Oebufu, Tamatan STFK Ledalero. Menulis buku: “Mengapa Takut Berpolitik?” (2007). Saat ini Koordinator ACLIS-LPA NTT.


No comments: