Wednesday, May 28, 2008

Awas Gegar Budaya!

(Memaknai Pekan Budaya Daerah NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa

Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional dan 100 Tahun Kebangkitan Indonesia, Dinas P & K NTT menggelar pekan budaya daerah NTT 2008. Kegiatan yang dibuka tanggal 15 Mei 2008 ini tentu bukan tanpa makna. Para peserta yang datang dari beberapa kabupaten di NTT ini selain menghadirkan keanekaragaman budaya lokal juga membawa pesan kebangkitan budaya lokal. Sangat menarik bahwa masih ada aliran kepedulian pemerintah terhadap perkembangan dan kelestarian budaya daerah. Momen ini memang strategis ketika kebanyakan orang khususnya generasi muda mulai tercerabut dari akar-akar budaya lokal. Memang harus ada usaha untuk menjaga dan melestarikan seni dan budaya daerah, sehingga generasi muda tidak cepat terpengaruh dengan kemajuan teknologi dan informasi serta perkembangan budaya luar.
Momen 100 Tahun Kebangkitan Nasional adalah saat yang tepat untuk membangkitkan kelesuan budaya lokal dalam arus deras globalisasi saat ini. Karena ketika kita menoleh ke latar budaya lokal kita saat ini, ada banyak guratan-guratan retak oleh apa yang disebut ’krisis kebudayaan’ dan ‘gegar budaya’. Tak dapat dipungkiri bahwa kita sedang hidup dalam budaya yang mengalami krisis makna. Kesimpangsiuran informasi yang membingungkan, pertentangan berbagai golongan masyarakat yang tak habis-habisnya, keterasingan dan kesepian individu-individu di dalam keramaian manusia yang sejalan dengan hancurnya berbagai hubungan mesra solidaritas lama, lenyapnya penghormatan kepada ilmu pengetahuan yang obyektif dan pengetahuan agama yang kudus, merajalelanya kuasa media, merupakan faktor-faktor yang melahirkan krisis budaya, yang melilit erat budaya lokal kita.
Generasi muda kita saat ini juga sedang mengalami situasi ‘gegar budaya’. Budaya lokal dipandang sebagai yang kuno, usang dan karena itu tidak harus ditampilkan. Pola-pola budaya barat tak jarang diekspresikan dan digemari. Ini nampak dalam busana, cara bicara, pola pergaulan. Gegar budaya menyebabkan orang kehilangan pijakan budaya. Malah dari aspek budaya, kita seperti mengalami gangguan mental. Salah satu hal yang mengindikasikan gegar budaya adalah kita malu mengakui dan menghidupkan budaya lokal sendiri dan memandang budaya luar selalu yang terbaik.
Pekan budaya daerah NTT ini bernilai strategis karena diusahakan dan dibuat pada saat budaya lokal kita sedang mengalami goncangan. Hemat saya, pekan budaya ini bertujuan merevetalisasi, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai kearifan lokal yang kian terancam punah. Di samping itu, pekan budaya ini bisa dipandang sebagai sebuah proses pembelajaran dari budaya lokal itu sebdiri. Kita bisa belajar banyak dari kekayaan budaya lokal masing-masing yang terpancar dalam nilai-nilai kerja sama, disiplin, harmoni, saling menghargai, rela berkorban dan lain-lain. Setiap gerakan tarian, hentakan kaki, ayunan tangan, putaran badan, kata-kata yang diucapkan, teriakan, bunyi-bunyi yang dihasilkan, merupakan media pembelajaran dan pendidikan dari sebuah karya seni dan kedalaman budaya kita sendiri. Karena itu, saya melihat pekan budaya ini bisa berperan sebagai pencipta nilai. Lebih jauh ia tidak hanya bernilai mimesis dalam cerapan indra, melainkan menyandang fungsi katarsis (pemurnian diri dan komunitas budaya dari kontaminasi budaya asing). Pekan budaya ini juga berperan dalam aspek tertentu seperti movere (menggerakkan nurani, sikap), docere (mengajarkan nilai-nilai) serta delectare (menghibur dan menyenangkan).
Pekan budaya daerah NTT adalah kesadaran masyarakat yang terungkap dalam upaya mencari solusi terhadap fenomen kematian realitas peradaban yang sedang menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita saat ini. Kita sepertinya mengalami paradoks budaya. Di satu pihak, budaya lokal sebagai landasan hidup kita memang masih sangat penting bagi pembentukan karakter manusia yang kaya nilai. Tetapi, di lain pihak ada keinginan besar dari masyarakat untuk bertransformasi budaya, artinya budaya lokal yang mempertahankan nilai-nilai lama perlu menyesuaikan diri dengan mainstream budaya global dewasa ini. Memang kompleks untuk mendamaikannya.
Pertanyaan untuk kita, bagaimana membuat budaya lokal kita tetap menarik dalam konteks lokal? Benar bahwa dalam tuntutan dunia pariwisata, budaya lokal kita sekarang perlu dikemas sekian sehingga bernilai dan menyenangkan bagi para wisatawan regional maupun mondial. Namun, kita perlu ingat dan sadari bahwa hakikat kebudayaan lokal kita tidak perlu menjadi korban komersialisasi dan pariwisata. Nilai-nilai lama yang signifikan bagi hidup tidak semestinya dikomodifikasi hanya untuk memenuhi selera pasar dan keinginan konsumen. Artinya, ada atau tidak adanya pekan budaya, kita harus tetap mencintai budaya kita dan menunjukkan identitas kita sebagai orang-orang yang kaya kearifan lokal.
Pada tataran ini, antara upaya merevitalisasi kebudayaan lokal dan kebutuhan kemasan budaya bernilai jual, kita perlu menempatkan upaya pemberdayaan budaya lokal sebagai agenda hidup kita setiap hari. Pertama, tindak pelestarian budaya. Tindakan ini lebih mengacu pada wujud kebudayaan baik sebagai kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat, maupun sebagai kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia di dalam masyarakat serta benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini dilestarikan karena merupakan khazanah budaya yang masih memiliki fungsi dan makna dalam proses pembudayaan yang berkelanjutan. Wujud-wujud kebudayaan ini dapat bertindak sebagai pusat-pusat keunggulan (centers of excellence). Tindakan pelestarian ini dapat diaktualisasi melalui pendirian museum-museum, mendirikan dan mengorganisir sanggar-sanggar seni budaya di daerah-daerah dan membentuk lembaga-lembaga adat. Perlu juga kita kembali pada perjuangan membangun rumah-rumah adat sebagai contoh keaslian masyarakat berbasis rumah dan kekerabatan.
Kedua, tindakan performance. Hal ini dapat dibuat melalui pementasan dan pertunjukan yang merupakan simbolisasi-integral bentuk pementasan dengan makna dan konteks makna yang mau disuguhkan. Makna dan konteks yang mau disugahkan itu bisa berupa riwayat kehidupan, hubungan-hubungan kekerabatan dan ajaran-ajaran tentang nilai-nilai universal (perdamaian, persaudaraan, cinta, keadilan, respek). Menghadapi dunia modern yang hampir nirmakna, masyarakat meneguhkan identitasnya lewat persetujukan seni budaya, tarian dan musik daerah. Pekan budaya daerah NTT berperan dalam hal ini.
Ketiga, tindakan modifikasi. Tindakan ini lebih berhubungan dengan selera pasar bebas (keuntungan ekonomis tuntutan dunia pariwisata) dewasa ini. Ini berarti bahwa proses menerjemahkan nomenklatur budaya hanya menyentuh sesuatu yang kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat manusia, namun pada saat yang sama manusia juga mengalami proses penghancuran peradaban dalam bentuk bencana-bencana global justru karena modernitas berkembang terlalu pesat (paradoks modernitas). Sebagai bagian dari masyarakat global, kita warga NTT pun tak luput dari paradoks ini. Kita sekarang sedang kehilangan dasar berpijak untuk mencegah dan mengantisipasi pengaruh budaya asing yang radikal. Budaya lokal kita hampir-hampir jadi tak berdaya ketika kita mulai hidup dalam lingkaran budaya anonim. Anonimitas budaya ini perlahan-lahan menghilangkan kepribadian dan identitas kita sebagai orang dari kultur tertentu. Dalam bahasa Ortega I Gazet, hal seperti ini mengarahkan kita pada proses dehumanisasi, yakni hilangnya kemanusiaan yang terus-menerus dalam berbagai lapangan kebudayaan dan kesenian. Seirama dengan itu, J Huizinga dalam bukunya Bayangan Hari Esok melukiskan bagaimana dalam kemajuan yang terus-menerus itu jatuh norma-norma moral, hilang kecakapan menimbang dan memilih dan kemajuan menjadi tanda tanya besar karena telah dengan sendirinya menghancurkan budaya sebagai basis kehidupan itu sendiri.
Keempat, penafsiran sebagai reinvensi tradisi. Penafsiran dapat dipahami sebagai penciptaan kembali suatu tradisi dan membacanya dalam konteks yang baru dengan artikulasi simbolis yang baru pula. Tindakan penafsiran lebih menekankan aspek nilai dan semangat yang terkandung di dalamnya. Inovasi dan kreasi sesuai konteks ini bisa dilihat dari model busana daerah, lagu-lagu pop daerah. Dalam konteks penafsiran ini, kenyataan-kenyataan lokal mesti terlebih dahulu diterima sebagai sesuatu yang wajar. Inilah tugas kita sebagai makhluk berbudaya. Kita perlu terus menghidupkan budaya dalam konteks tanpa mengabaikan nilai-nilai dan semangat budaya lokal kita masing-masing agar kita tidak menderita gegar budaya.

Penulis adalah warga Oebufu, Anggota Forum Akademia NTT. Menulis buku “Mengapa Takut Berpolitik” (2007).



No comments: