Monday, May 12, 2008

Petani dan Pilkada

Oleh Isidorus Lilijawa


Dalam musim pilkada saat ini, kita mendengar ada begitu banyak pernyataan politis yang menunjukkan keberpihakan para calon pemimpin pada para petani. Bahkan ada paket pemimpin tertentu yang secara terang-terangan sudah menjanjikan sesuatu untuk para petani. Entah itu menaikkan harga komoditas, meningkatkan kesejahteraan petani, memberikan subsidi dan kemudahan-kemudahan lainnya yang selama ini belum dirasakan para petani. Para petani kita di desa-desa menjadi fokus perhatian. Mereka sudah seperti sebuah entitas yang sangat berharga, yang berbeda dari perlakuan sebelum-sebelumnya.
Namun, jika kita cermati lebih jeli pernyataan-pernyataan politis dan janji-janji para calon pemimpin itu seperti sudah menjadi sesuatu yang basi. Dikatakan basi karena hampir di setiap ajang pilkada, pernyataan dan janji-janji yang sama itulah yang diucapkan dan diumbar-umbar para calon pemimpin saat mengunjungi para petani. Hasilnya kebanyakan nihil. Janji tinggal janji. Malah lebih apes, para petani kita menjadi komoditi politik. Eksistensi mereka dipolitisasi demi kepentingan sesaat dari golongan elit tertentu yang sedang berebut kue kekuasaan.
Apa yang para petani kita alami ini terbersit juga dalam kata-kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya yang menulis, "Lima tahun sekali, setidak-tidaknya orang-orang penting pada menatap rakyat dengan sedikit lebih cermat. Dan seluruh Indonesia pun dipertautkan lagi dalam suatu momen yang agaknya jarang terjadi. Mereka seakan-akan secara bergelora merasakan ke ulu hati bahwa Indonesia yang besar ini adalah bagian hidup mereka" ("ah, rakyat!").
Para petani adalah mereka yang terpanggil untuk membaktikan dirinya dengan mengolah tanah (petani: pe-tanah). Ikatan mereka dengan tanah adalah ikatan yang tak terpisahkan. Bila kita ada waktu dan meluangkan kesempatan untuk bercerita dengan mereka dari hati ke hati, kita akan menangkap sejuta kisah gagal sukses, suka duka, tawa dan air mata dalam menjalani panggilan hidup sebagai petani. Termasuk di dalamnya adalah kisah para petani yang dilupakan para politisi setelah terpilih menjadi pejabat. Bahkan masih ada penyesalan mengapa begitu cepat mempercayai pernyataan politis dari figur tertentu dan mudah terpikat pada tebar pesona calon pemimpin tertentu.
Secara ideal, petani adalah komponen penting dalam konstruksi hidup berbangsa dan bernegara. Idealisme inilah yang terus-menerus digemakan para calon pemimpin saat pilkada. Bisa jadi sekedar untuk membuat para petani berbangga telah menjadi komponen penting bangsa ini walau dalam praksis mereka sering dilupakan dan gampang terlupakan. Sungguh ironis bahwa dalam usia kemerdekaan bangsa kita yang ke-60, para petani kita belum merasakan indahnya kemerdekaan itu. Justru ketidakadilan yang sering mereka kecapi.
Para petani walau secara de facto adalah jumlah terbesar di negeri ini, namun mereka jugalah pihak yang mudah dimanipulasi. Dalam keunggulan kuantitas, para petani kita belum solid memperjuangkan hak-haknya termasuk hak politik karena petani itu sendiri telah dipolitisasi oleh orang-orang yang berkuasa dan sedang merebut kursi kekuasaan. Di beberapa tempat memang telah ada organisasi petani yang solid dan terstruktur baik, tetapi hal itu belum memberikan dampak yang cukup bagi para petani di daerah lain. Hemat saya, dengan berbagai organisasi petani yang dibentuk di daerah-daerah para petani telah berupaya merebut momen strategis untuk membangun jati diri dan membangkitkan kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan itu, para petani kita sedang melawan sebuah arus besar monopoli pemanfaatan ruang publik oleh kepentingan struktur-struktur politik di daerah kita. Tak dimungkiri bahwa pemberitaan dan diskusi mengenai para petani kita cenderung kurang berdaya pikat dibanding reportase dan diskursus tentang dagelan politik para politisi kita atau gosip selebriti dan eforia sepak bola.
Para petani yang karena anggapan khalayak sebagai pengolah tanah, pekerja kasar ditempatkan pada posisi lebih rendah ketimbang wacana sekitar kehidupan para white colar, seperti para pejabat dan politisi. Padahal sebagian besar pejabat dan politikus kita itu berasal dari keluarga petani dan kelangsungan hidup bersama kita banyak didukung oleh perjuangan para petani. Ini memang sesuatu yang tidak adil.
Dalam beberapa bulan terakhir, di beberapa tempat di NTT digelar rembuk petani dan pendirian forum-forum petani. Selain ada agenda dan tujuan tersendiri dari kegiatan semacam itu, hemat saya forum-forum petani adalah sebuah kesempatan membenturkan dominasi kekuasaan dan struktur politik pada dinding kesadaran bahwa petani itu ada dan memiliki kekuatan yang besar. Di saat para politisi sibuk bergerilya mengamankan posisi pada Pilkada mendatang dan pejabat sibuk mengkalkulasi berapa persen keuntungan dari proyek-proyek yang bakal masuk kantong pribadi, para petani justru berkumpul dan berembuk bersama. Mereka berbicara dari hati ke hati, dari kepala ke kepala, membangun komitmen bersama sebagai orang-orang yang senasib dan sepenanggungan untuk melawan struktur yang menindas sambil memperkuat basis mereka sebagai petani yang sadar dan kritis.
Petani adalah peran yang sangat penting, yang patut diapresiasi karena telah mengubah sejarah hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Dalam diri para petani kita melihat makna homo faber secara utuh. Petani adalah manusia yang bekerja, yang mengaktualisasikan dirinya dengan mengolah tanah dan menghasilkan sesuatu dari tanah. Ia bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Keringat dan air matanya di ladang, di sawah terlebur dalam hasil panen yang dinikmati oleh begitu banyak orang dalam ruang lingkup yang berbeda melalui proses ekonomi; produksi, distribusi dan konsumsi.
Petani bukan peran sisa setelah orang gagal tes PNS berkali-kali atau gagal menjadi politikus atau stres karena tidak bisa bersaing mendapatkan pekerjaan lain. Petani juga bukan pekerjaan rendahan sebagaimana ada dalam pandangan kultur Barat atau pekerjaan para budak dan hambat sebagaimana nyata dalam konsep masyarakat Yunani dahulu. Bukan juga sesuatu yang menyakitkan seperti konsep lama masyarakat Ibrani atau sebuah bentuk hukuman atau dosa menurut anggapan komunitas Kristen purba (C.Wright Mills dalam bukunya White Colar, 1953).
Sejak pola hidup nomaden seperti yang dilakoni oleh suku pygme, orang Bosyes, bangsa Aeta, bangsa Eskimo dan berbagai suku Indian yang ada di Amerika Utara dan Selatan atau suku-suku bangsa primitif di Asia dan Afrika tidak terjadi lagi, manusia mulai melakoni sebuah bentuk kehidupan baru. Pola hidup sedenter. Viktor C Ferkiss mengungkapkan bahwa sekitar tahun 7000 sebelum Masehi, di wilayah perbukitan Timur Tengah manusia mulai hidup dalam komunitas-komunitas pertanian. Di sana mereka mulai dengan pola kerja baru yakni bertani. Peradaban pertanian itu sebenarnya muncul pertama secara lebih konkret baru pada tahun 4000 sebelum Masehi di lembah-lembah sungai Tigris dan Eufrat, Yangtze, Nil dan Indus di mana terdapat tanah endapan yang subur dan persediaan air yang berlimpah. Bentuk kerja pertanian ini ternyata membawa angin segar bagi manusia saat itu dengan terciptanya kecukupan pangan. Bersama dengan itulah, lahirlah peradaban baru oleh spesialisasi kerja seperti menjadi tukang, nelayan, peternak. Dengan peradaban baru ini manusia mulai melepaskan ketergantungan pada alam dan perlahan-lahan berusaha untuk menguasainya.
Bertani, menjadi petani dengan demikian merupakan sebuah panggilan hidup. Panggilan untuk mempertahankan peradaban manusia dan mengembangkan kualitas-kualitas manusia. Sebagai panggilan, petani adalah sebuah tugas dan tanggung jawab yang mulia. Bahkan dalam tinjauan teologis, para petani karena kerja mereka mendapat predikat co-creator. Mereka melanjutkan karya Allah dalam penciptaan dan menjadikan tanah/alam sebagai sarana menuju keselamatan umat manusia. Karena itu, tindakan dan sikap yang merendahkan dan meremehkan peran para petani adalah sikap yang berlawanan dengan nilai-nilai peradaban. Dalam bahasa yang sarkastik, pola perilaku dan sikap semacam itu hanya milik orang-orang tak beradab alias biadab.
Sebagai pemicu peradaban, struktur politik dan kekuasaan yang ada sekarang ini semestinya mempunyai tanggung jawab moral untuk mengawetkan, mempertahankan dan menjaga agar para petani tidak tergerus gempuran industrialisasi dan globalisasi. Yang diharapkan adalah ada kebijakan yang berpihak pada para petani dan melindungi kepentingan mereka. Dan lebih dari itu, dalam arena pilkada saat ini kita berharap agar para politisi, partai politik dan pihak-pihak lainnya tidak menjadikan para petani sebagai objek politik. Janganlah menganggap bahwa para petani itu orang kecil, kurang pendidikan, tidak tahu banyak tentang strategi dan kalkulasi politik. Jangan salah. Para petani pada saatnya adalah penghakim yang adil untuk segala sepak terjang para politisi. Dengan caranya sendiri mereka akan menelanjangi kebobrokan para pemimpin dan tentu saja memenangkan calon pemimpin mana yang berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan mereka. Pengalaman sudah membuktikan dalam pilkada di mana-mana.
Selain itu, jangan pernah merasa bahwa para petani itu tidak dapat berbuat apa-apa tanpa kuasa politik tertentu. Para petani memiliki elan vital yang membuat mereka bertahan beratus-ratus abad hingga hari ini. Fungsi politik adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi petani untuk mengembangkan diri menuju kebaikan dan kesejahteraan. Para politisi dengan demikian hanyalah para pendamping yang mengarahkan petani menggapai tujuannya. Sangat fatal jika ada calon pemimpin dalam pilkada saat ini yang menilai para petani akan kehabisan daya jika tak memilihnya. Ini keliru. Partai politik dan politisi, juga calon pemimpin daerah harus memberikan pendidikan politik yang benar kepada petani. Bukan malah mengobyektivasi mereka.
Berhadapan dengan realitas politik saat ini, para petani harus bersatu dan berpartisipasi dalam ruang politik. Petani adalah kekuatan lama yang telah ‘dibenamkan’ penguasa selama bertahun-tahun. Kesadaran ini mesti menginspirir petani untuk memperjuangkan aspirasi. Petani adalah kelompok kekuatan terbesar bangsa ini yang jika disatukan dan diikat bersama bersama dalam satu rasa, nasib dan komitmen akan membawa dampak politis yang besar. Kekuatan ini akan menentukan gerak politik dan keberlangsungan ekonomi.
Jika pernyataan ini dikonfrontir dengan situasi kita saat ini, terlihat bahwa para petani sering menjadi korban politik. Mereka adalah korban janji-janji palsu para elit politik yang pada musim kampanye legislatif atau pilkada turba ramai-ramai ke desa-desa dan pura-pura peduli dengan kondisi riil orang desa. Para petani masih dilihat sebagai objek politik, yang dibutuhkan adalah suara mereka saat menjoblos di tempat pemungutan suara, bukan totalitas diri mereka dan segala persoalannya. Benar bahwa kekuatan itu ”dibenamkan” juga dengan pola-pola semacam ini. Dengan adanya forum-forum petani atau bangkitnya kesadaran para petani diharapkan agar para petani kembali tampil sebagai satu kekuatan besar bangsa ini. Petani bisa menentukan arah kebijakan di level pemerintah daerah dan mempunyai political bargainning yang besar berhadapan dengan pemerintah.

Isidorus Lilijawa, tamatan STFK Ledalero. Saat ini Sekretaris DPC Partai GERINDRA Kota Kupang.

No comments: