Wednesday, May 28, 2008

Tak Cukup Hanya Retorika!

(Catatan untuk Kampanye Pilkada NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa


Proses Pilkada Gubernur NTT sudah memasuki masa kampanye. Walaupun ada begitu banyak gelombang dan riak protes selama beberapa minggu terakhir, toh the show must go on. Tiga paket yakni FREN, GAUL dan TULUS siap merebut simpati rakyat dalam masa kampanye 2 minggu ini. Waktu normatif ini memang terlampau singkat untuk konteks NTT yang berciri kepulauan. Tetapi, dalam keterbatasan waktu inilah masyarakat akan menilai paket mana yang betul-betul pandai meracik strategi kampanye untuk mendulang mayoritas dukungan rakyat NTT.
Dua minggu kampanye adalah waktu normatif yang ditetapkan penyelenggara Pilkada. Namun hemat saya, dalam waktu 2 minggu ini setiap paket sebenarnya sedang melanjutkan proses kampanye yang sudah berjalan selama ini bahkan sudah dimulai setahun lalu. Sebelum kampanye normatif ini, setiap paket baik secara langsung maupun melalui mesin partai pendukung dan tim sukses sudah melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat NTT. Visi misi setiap paket sudah disebarkan. Berbagai advertorial di media massa dipublikasikan. Pertemuan dan berbagai metode pendekatan digelar di hampir setiap daerah. Belum lagi kampanye melalui baliho-baliho di setiap sudut kota dan poster atau potret paket yang lengket di rumah-rumah penduduk. Kalau mau jujur, kita sebenarnya sudah mengikuti kampanye Pilkada NTT sejak jauh-jauh hari.
Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya menulis, "Lima tahun sekali, setidak-tidaknya orang-orang penting pada menatap rakyat dengan sedikit lebih cermat. Dan seluruh Indonesia pun dipertautkan lagi. Dalam suatu momen yang agaknya jarang terjadi, mereka seakan-akan secara bergelora merasakan ke ulu hati bahwa Indonesia, Indonesia yang besar ini adalah bagian hidup mereka" ("ah, rakyat!").
Pernyataan ini setidaknya teraktualisasi dalam masa-masa kampanye. Pada momen semacam ini, perhatian partai politik dan aktor politik sungguh berbeda dengan saat-saat sebelumnya. Mereka sering menunjukkan konsern yang tidak biasa dan bahkan luar biasa untuk masyarakat. Masyarakat diperhatikan dengan sekian banyak janji yang seolah-olah sungguh-sungguh. Janji yang memikat dan disampaikan dengan retorika yang begitu meyakinkan.
Itulah kampanye. Saat penghamburan janji-janji manis. Janji yang kadang tidak realistis dan logis. Kampanye adalah suatu bagian dari keseluruhan proses Pilkada yang mesti kita lalui. Membuat wacana tentang kampanye senantiasa mengantar kita pada pergulatan yang intens dengan setiap paket calon gubernur yang akan berkampanye. Politik tanpa kampanye tidak mungkin. Bagi partai dan aktor politik, kampanye merupakan transisi ritual periodis untuk memperkenalkan janji-janji baru kepada masyarakat. Fungsi klasik kampanye adalah upaya meyakinkan pemilih melalui penyampaian visi, misi dan program paket. Kampanye adalah cara memobilisasi pemilih.
Bagi masyarakat, kampanye adalah momen penting pemberi gambaran kemampuan fungsi sistem politik sekaligus menempatkan masyarakat sebagai evaluator proses politik. Arti penting dimensi simbolik kampanye sebagai ritual konstitusional negara demokrasi modern sering dilupakan dalam pendidikan politik di negeri ini. Tak jarang, keluhuran makna kampanye terdegradasi oleh dominasi muatan politis dan interese partai atau paket tertentu. Kampanye hanya dimaknai sebagai perjuangan kekuasaan, instrumen propaganda untuk meraih kekuasaan, dan setelah itu rakyat dilupakan dalam penantiannya yang tak berujung.

Kisah Kelam
Berbagai praktik kampanye di negeri ini kerap memposisikan rakyat sebagai obyek dan komoditas politik. Dalam masa orde baru kampanye telah menoreh luka sejarah yang menyakitkan. Selama dua dasawarsa terakhir, pemilu telah menjadi instrumen penumpulan kesadaran politik rakyat. Pada masa orde baru, rakyat menjadi semakin tidak cerdas dalam berpolitik, atau malahan kehilangan sama sekali kesadaran berpolitik. Hasil pemilu sudah diatur sebelumnya. Kampanye cumalah sandiwara yang menyembunyikan kebobrokan dalam berpolitik. Dalam bahasa sarkastis, rezim orde baru telah membuat rakyat menjadi ‘primitif’ karena tiadanya peluang berpolitik. Pemilu telah menjadi instrumen pertanggungjawaban yang kurang sempurna. Rakyat melulu dijadikan obyek politik. Berkembangnya sistem politik yang dibanjiri mitos, kekerasan ideologi dan kepentingan-kepentingan primordialistik menjadikan rakyat bulan-bulanan politik, tanpa pernah menerima dan menikmati hasil-hasilnya di mana janji-janji manis pemilu seperti embun yang menguap tatkala mentari tersenyum.
Mencermati hakikat pemilu, kampanye seharusnya merupakan saat di mana rakyat dapat mempertajam kesadaran politiknya dan dengan demikian dapat menentukan pilihan politiknya. Pemilu-pemilu orde baru tidak melakukan hal itu. Kampanye-kampanye dalam pemilu hanyalah momen untuk menunjukkan kekuatan. Kampanye adalah proses pembohongan rakyat dengan seribu janji manis dan muluk yang tidak terealisasi. Rakyat diajak ke arena kampanye bukan untuk sebuah pendidikan dan pencerahan politik tetapi untuk menonton sandiwara dan menyambungkan agresinya pada gebyar kekuatan yang dipamerkan para artis. Akibatnya, bukan kampanye yang penting melainkan pawai, rasa puas pada sang penyanyi atau pesulap. Apalagi partai merekrut para artis dan selebritis sebagai juru kampanye.
Pada masa-masa itu, terjadi pergeseran dari upaya pendidikan politik ke pemuasan rasa sesaat dengan menekan rasio untuk beraksi. Bahkan kampanye semakin menakutkan. Maklum, yang terjadi bukanlah adu program partai untuk mempertajam kesadaran politik dan dengan demikian menjinakkan agresi, melainkan justru penumpukan kesadaran politik yang mengasah agresi. Kampanye sering diwarnai oleh berbagai tindak kekerasan mulai dari intimidasi sampai teror fisik. Hal ini mengindikasikan bahwa pergesekan kepentingan politik acap kali meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Tebar Retorika
Datangnya saat kampanye boleh jadi mencemaskan kita. Trauma kampanye masa lalu bisa sangat mempengaruhi sikap masyarakat NTT yang memasuki masa kampanye Pilkada Gubernur NTT saat ini. Berbagai format baru Pilkada dan kampanye dengan sekian banyak perubahan dalam sistem dan perundang-undangan tidak dengan sendirinya menjamin keberlangsungan kampanye secara damai dan bertanggung jawab. Partai dan aktor politik sering melakukan kesalahan yang sama memperjuangkan keyakinan politik dan pilihan rakyat hanya pada masa kampanye. Berbagai kasus pencurian star kampanye adalah tanda bahwa rakyat sungguh sangat dibutuhkan pada masa-masa seperti ini. Ujung-ujungnya segala daya upaya beretiket sosial-karitatif pun dibangun demi mendapatkan dukungan masyarakat.
Kita tentu berharap agar masa kampanye Pilkada NTT ini berlangsung aman, damai dan sanggup mendidik rakyat. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan setiap paket adalah memberikan penyadaran politik kepada rakyat sepanjang waktu. Dalam bahasa Max Weber, kampanye politik harus memenuhi kepentingan ideal pemilih. Karena itu, manajemen emosi politik pemilih adalah perjuangan tanpa henti yang berpuncak pada kampanye formal menjelang pemilu. Kunci sukses inilah yang belum dimiliki sebagian besar (kalau tidak semua partai politik di Indonesia). Kampanye masih sebatas retorika politik dan perjuangan kekuasaan.
Retorika dalam peradaban Yunani Kuno adalah ilmu yang paling tinggi, yang digemari para filsuf dan menjadi bagian dari eksistensinya. Setiap orang tua di Yunani saat itu mendambakan anaknya belajar retorika. Para filsuf Yunani adalah orang-orang bijak yang sangat menguasai retorika. Selain dikaitkan dengan kemahiran berbicara, kemampuan menguasai massa dan menyihir massa, retorika diyakini sebagai ilmu yang memampukan seseorang menjadi primus inter pares (pertama dari sesamanya). Karena itu, negara ideal menurut Plato adalah negara yang dipimpin oleh seorang filsuf, yang tentu juga mahir retorika. Retorika dengan demikian bukan saja apa yang verbal, tetapi sesuatu yang terpancar dari dalam diri yakni kebijaksanaan. Dengan itu, retorika selalu mengandikan dua hal ini, penampilan lahiriah dan spirit batiniah atau dalam bahasa kita saat ini tebar kata-kata sekaligus tebar kinerja.
Dalam masa-masa kampanye ini, para kandidat gubernur akan mengeluarkan semua amunisi retorika yang sudah disediakan. Berbagai persoalan khas NTT, tema-tema menarik, issu-issu strategis menjadi bagian dari materi kampanye. Mungkin juga pemetaan kebutuhan setiap daerah dan berbagai kritik atas kekurangberesan Provinsi NTT selama ini. Dan kita terus berharap agar apa yang dikatakan, dikampanyekan itu tidak sebatas retorika sebagai permainan kata-kata. Walau sukses tidaknya kampanye partai politik ditentukan oleh banyak hal seperti berbagai kekuatan partikel-partikel ekonomi, politik dan sosial, namun yang patut diingat adalah yang keluar sebagai pemenang harus mengkonversikan retorika menjadi kinerja, janji-janji menjadi realitas.
Keberpihakan kepada masyarakat adalah keharusan dalam kampanye Pilkada NTT saat ini. Semakin bertambah kritisnya masyarakat akan menjadi suatu kesulitan bagi partai-partai dan paket calon yang cenderung menjual janji-janji manis. Hanya partai-partai politik yang tetap berkomitmen pada janjinya akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat dalam siklus lima tahunan ini. Sekali lagi, jangan jadikan kampanye pemilu ajang perjuangan kekuasaan yang cenderung melupakan pemilih ketika surat suara selesai dihitung. Situasi pembodohan politik yang ditinggalkan orde baru dan yang hingga kini belum diatasi oleh orde reformasi menjadikan kampanye pada Pilkad NTT 2008 ini sebagai sebuah momen diskontinuitas terhadapnya.
Tugas para paket calon gubernur NTT, partai-partai politik dan juru kampanye dalam Pilkada NTT 2008 adalah memanggungkan kembali rakyat ke dalam pentas sejarah pembebasan. Tugas itu adalah tugas etis, karena menyangkut perjuangan hak, kebebasan, dan kesadaran manusia untuk menyatakan diri secara politis. Tugas etis ini demikian mendesak karena mengenai penderitaan rakyat akibat pembungkaman dan pembodohan kesadaran politik. Pada tataran inilah kampanye Pilkada NTT 2008 haruslah menjadi sarana pembebasan dari penderitaan itu. Jika liberasi rakyat dari penderitaan merupakan titik tolak bagi perjuangan setiap paket dan partai-partai pendukung, maka Pilkada NTT 2008 tidak boleh dijadikan taruhan (gambling) sejarah. Rakyat NTT dan penderitaannya tidak boleh dipermainkan untuk taruhan. Pilkada NTT 2008 merupakan sebuah lintasan sejarah demokratisasi dan kemestian etis yang mutlak perlu untuk repurifikasi demokrasi kita dan demi terbentuknya pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap rakyat sebagai muara kedaulatan.


Isidorus Lilijawa, Warga Oebufu. Sekretaris DPC GERINDRA Kota Kupang. Menulis buku ”Mengapa Takut Berpolitik? (2007).

No comments: