Monday, May 12, 2008

Ironi NTT

Oleh Isidorus Lilijawa


Hingga saat ini Provinsi NTT dikenal sebagai dapur TKI (baca: buruh). Hampir setiap tahun ribuan orang ke luar negeri untuk mencari kerja. Untuk proses perekrutan tenaga kerja, hingga bulan Pebruari 2008 ada 55 cabang PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta) yang beroperasi di NTT. Yang menarik adalah dari banyaknya cabang PPTKIS yang ada, hingga saat ini hanya satu PPTKIS yang berkantor pusat di Kota Kupang Provinsi NTT yakni PT. Citra Bina Tenaga Mandiri dengan penanggung jawab Ir. Abraham Paul Liyanto yang juga ketua APJATI NTT saat ini.
Dengan jumlah cabang PPTKIS yang begitu banyak di NTT, maka tidak mengherankan jika terjadi perang di lapangan untuk mendapatkan para tenaga kerja yang mau dikirim dan bekerja di luar negeri atau di luar NTT. Rekapitulasi penempatan TKI NTT yang dibuat oleh BP3TKI untuk tahun 2006 menunjukkan angka yang cukup signifikan. Total TKI NTT yang ke luar negeri pada tahun 2006 berjumlah 8.196 orang.Tujuan Malaysia 7.972 orang; Singapura 153 orang; Hongkong 10 orang; Taiwan 58 orang; Brunai 3 orang. Dari jumlah itu, yang bekerja di sektor formal laki-laki 661 orang; wanita 165 orang dan informal (pembantu rumah tangga) 7.535 orang.
Penempatan TKI NTT untuk tahun 2007 negara tujuan Malaysia 9.494 orang, Singapura 327 orang; Hongkong 15 orang; Taiwan 58 orang; Brunai 3 orang dan Saudi Arabia 19 orang. Sektor formal laki-laki 1.644 orang, wanita 165 orang dan informal 7.850 orang. Total TKI NTT tahun 2007 adalah 9.897 orang. Jenis-jenis pekerjaan yang dilakoni para TKI kita adalah tenaga kerja perkebunan, pekerja pabrik, tenaga kerja peternakan dan yang paling banyak adalah penatalaksana rumah tangga. Untuk tujuan Malaysia pada tahun 2007 ada 7.810 perempuan NTT yang menjadi penatalaksana rumah tangga.
Jika penempatan di atas dilakukan secara legal, maka rekapitulasi data CTKI/TKI ilegal asal NTT sesuai Berita Acara Penyerahan dari Polresta Kupang selama tahun 2007 posisi bulan November menyebutkan bahwa TKI ilegal yang berhasil digagalkan keberangkatannya berjumlah 310 orang. Dari jumlah itu 259 diantaranya laki-laki dan 51 orang perempuan. Ini belum terhitung, ratusan orang lainnya yang lolos dari pantauan dan dibawa langsung oleh para calo ke luar negeri. Data pada Dinas Nakertrans Provinsi NTT menunjukkan bahwa pada tahun 2005 ada 977 TKI bermasalah yang dipulangkan terdiri dari 704 laki-laki dan 273 perempuan; tahun 2006 tidak ada TKI namun ada 127 kasus pemulangan, 115 kasus melarikan diri, dan 7 kasus meninggal dunia.
Ada apa dengan NTT? Mengapa begitu banyak anak daerah ini yang berlomba-lomba melukis kisah hidupnya di negeri orang? Kalau dilihat dari potensi yang ada di NTT ini, sebenarnya tidak ada alasan NTT diurutkan sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Ada banyak potensi penunjang pembangunan di NTT. Sebut saja potensi pertanian sebagai basis ekonomi dengan potensi lahan basah 127.271 ha, potensi lahan kering 1.528.306 ha, padang untuk usaha peternakan seluas 1.939.801 ha. Perairan laut yang diperkirakan seluas 200.000 km2 (80,86%) dari luas wilayah yang memiliki sumber daya hayati laut multispesies dengan potensi 240.000 ton/tahun belum termasuk nener 680.000.000 ekor/tahun. Belum lagi potensi wisata serta modal sosial dan budaya yang berlimpah di persada NTT ini.
Jika demikian, mengapa hingga sekarang NTT tetap terpuruk dalam problem kemiskinan? Mengapa setiap saat anak-anak NTT berlomba-lomba jadi buruh di negeri orang? Apakah tak ada lagi pekerjaan di NTT ini? ANTARA (Australia Nusa Tenggara Assitance for regional Autonomy), sebuah lembaga kerja sama pemerintah Australia dan pemerintah NTT untuk mengurangi kemiskinan melalui pengembangan sosial dan ekonomi yang merata dan berkelanjutan menyebutkan bahwa NTT merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Sekitar 1,1 juta penduduk atau 28% dari jumlah penduduk di NTT tergolong miskin. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah pedesaan sebagai petani. Pertumbuhan ekonomi daerah NTT pada 2002 sekitar 4,88% agak melebihi ekonomi Indonesia 4,50%. Pada 2003 laju pertumbuhan ekonomi NTT 4,57% sedangkan ekonomi Indonesia 4,78%. Pada 2004 ekonomi NTT bertumbuh 4,77% sementara ekonomi Indonesia 5,03%. Pada 2005 ekonomi NTT alami hambatan pertumbuhan yakni 3,42% sedangkan pada ekonomi Indonesia melaju dengan 5,68%. Berikut pada 2006 ekonomi NTT meningkat pertumbuhannya menjadi 5,08% sementara ekonomi Indonesia agak stabil dengan 5,48%. Itu berarti tingkat pertumbuhan ekonomi NTT menurun secara berarti dan pada tahun 2005 turun sebesar 3.1% jika dibandingkan dengan rata-rata ekonomi Indonesia yang mencapai 5.6%.
Dari parameter ekonomi ini saja dapat dilihat bahwa NTT adalah daerah yang masih perlu ditolong untuk bisa keluar dari persoalan-persoalan itu. Pertanyaannya, siapa yang harus bantu? Apakah menanti pertolongan Tuhan? Apakah ini kewajiban pemerintah daerah NTT untuk membuka mata dan kuping lebih lebar mencermati persoalan rakyat? Apa perlu menjadikan NTT sebagai pilot proyek kemiskinan sehingga perlu ada kampanye bagi negara dan lembaga-lembaga donor untuk datang dan berperang melawan kemiskinan di NTT? Atau, apakah rakyat yang harus menolong dirinya sendiri untuk bangun dari kubangan kemiskinan, dengan salah satu caranya menjadi TKI ke luar negeri?

Uang datang, TKI pergi
Kemiskinan di NTT menjadi sebuah ironi yang menarik untuk dikaji. Betapa tidak, setiap tahun anggaran pembangunan untuk NTT miliaran rupiah, belum lagi bantuan dari lembaga dan negara donor. Itu berarti, dengan dana yang ada sebenarnya persoalan kemiskinan, pengangguran, ketiadaan lapangan kerja, upah yang rendah, pendidikan rendah bisa diatasi. Namun, mengapa hingga berusia setengah abad ini, hal ini masih sulit di NTT? Malah saat ini kita dihadapkan pada sebuah ironi. Uang banyak mengalir ke NTT, tapi banyak orang NTT lebih suka mencari uang di negeri orang.
Setiap tahun ratusan miliar dana pembangunan dialokasikan ke NTT. Itu yang ada dalam APBD. Belum lagi dana DAU dan DAK yang langsung dikelola oleh kepala daerah di setiap kabupaten. Uang yang mengalir ke NTT pun datang dari donor agencies atau bantuan luar negeri. Ini lebih heboh karena setiap tahun ratusan miliar uang tercurah di bumi NTT ini. Saat ini ada 33 lembaga donor atau NGO Internasional yang bekerja di NTT.
Data sebaran sektor bantuan luar negeri yang diperoleh dari Sekretariat Bersama (Sekber) Bappeda NTT menyebutkan untuk tahun 2006 bantuan sektor kesehatan sebesar 70.5 miliar lebih; sektor pemberdayaan masyarakat 290.3 miliar lebih; pendidikan 18.2 miliar lebih. Total bantuan untuk tahun 2006 adalah 379.3 miliar lebih. Sedangkan untuk tahun 2007; sektor pariwisata 10.6 miliar lebih; kesehatan 39.039 miliar lebih; pemberdayaan masyarakat 1.077 miliar lebih; pendidikan 44.2 miliar lebih; perikanan dan kelautan 220 juta; pertanian 17.4 miliar lebih; tanggap darurat 13.8 miliar lebih. Jumlah total bantuan luar negeri untuk NTT dalam tahun 2007 adalah 160.67 miliar lebih. Anggaran tahun 2006 dan 2007 mengalami peningkatan dari 2 tahun sebelumnya. Tahun 2004 total bantuan luar negeri sebesar 129,89 miliar lebih. Sedangkan untuk tahun 2005 adalah 125,2 miliar lebih.
Ironi pun menjadi nyata. Dana banyak mengairi NTT, namun NTT masih tetap mengenakan atribut daerah tertinggal, provinsi miskin dan terbelakang dari provinsi lain di Indonesia. Data yang dikeluarkan BPS NTT tahun 2005 menunjukkan bahwa dari total 952.908 rumah tangga di NTT, sebanyak 623.137 atau 65,42% terkategori rumah tangga miskin. Atau, sekitar 2.787.000 jiwa penduduk miskin dari jumlah 4 juta jiwa penduduk NTT. Di sini terlihat ada korelasi semakin banyak bantuan, semakin tertinggal masyarakatnya. Lantas, ke manakah uang miliaran itu terserap? Ke kantong masyarakat; pejabat atau aktivis lembaga internasional bersangkutan?
NTT sebenarnya tidak perlu miskin. Sesungguhnya tidak harus ada orang NTT yang jadi TKI ke luar negeri. Lihat saja besaran uang yang mengalir ke NTT. Kalau saja dana-dana itu dikelola secara bijaksana, maka bisa-bisa NTT ini kebanjiran uang. Dari 33 NGO/donor agencies yang ada, salah satu fokus bersama adalah memberangus kemiskinan. Dengan berbagai fokus, mereka memerangi kemiskinan itu. Aneh, sampai saat ini NTT tetap miskin dan karena itu harus mengekspor tenaga kerja ke luar negeri.
Dari besaran dana pemerintah maupun donor agencies, berapa yang diperuntukkan bagi tenaga kerja NTT? Dalam aspek pemberdayaan masyarakat, tentu saja donor agencies melalui program-program pemberdayaan masyarakat berusaha menyediakan lapangan kerja, kesempatan kerja, dan latihan keterampilan untuk menciptakan lapangan kerja. Pemerintah juga melalui instansi dinas tenaga kerja berusaha sedemikian rupa sesuai anggaran yang ada untuk kesejahteraan rakyat.
Ada ironi untuk ketenagakerjaan di NTT. Orang yang bekerja di luar negeri secara legal disebut pahlawan devisa. Tetapi, penghargaan dan perlakuan terhadap mereka sebelum ke luar negeri sangat-sangat minim. Bahkan pemerintah baru mengambil sikap setelah ada kasus kekerasan yang terjadi di tempat kerja seperti tragedi Nirmala Bonat. Ini memang keterlaluan. Karena para TKI yang bekerja di luar negeri memberi kontribusi yang sangat besar bagi pembangunan daerah NTT.
Sumbangan TKI itu akan semakin besar jika mereka bekerja di luar negeri secara resmi. Dengan status pekerja asing legal dan ditunjang keterampilan yang tinggi otomatis meningkatkan gaji mereka. Semakin tinggi gaji yang diterima, maka semakin banyak pula uang yang dikirim ke daerah asalnya. Paul Liyanto, Ketua APJATI NTT dalam wawancara dengan Pos Kupang (3/9/2007) mengatakan bahwa berdasarkan hasil analisis International Labour Organisation (ILO), dari 227 penduduk Indonesia 10 persen saja yang bekerja ke luar negeri atau sekitar 22 juta orang, sumbangan devisa terhadap negara setiap bulan bisa mencapai 30 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 300 triliun. Kalau 22 juta saja yang ke luar negeri dengan asumsi satu orang mampu menghidupkan empat orang atau membuka lapangan pekerjaan untuk empat orang lagi berarti sekitar 88 juta yang tenaga kerja yang mereka hidupkan.
Sementara untuk NTT, jika pengiriman legal melalui 35 PJTKI dengan asumsi satu PJTKI 100 orang per bulan atau 1200/ PJTKI/ tahun dan pendapatan per TKI Rp 1 juta per bulan, devisa yang masuk ke NTT diperkirakan mencapai Rp 42 miliar/ tahun. Angka di atas adalah jumlah yang cukup besar. Namun karena keterbatasan dana, banyak dari TKI yang memilih ilegal. Di Adonara, Flores Timur misalnya, setahun sumbangan dari para TKI dan TKW cukup tinggi mencapai minimal Rp 1 miliar yang masuk melalui bank di daerah itu.
Sebagai pahlawan devisa, para TKI kita telah memberi kontribusi yang besar bagi pembangunan di daerah dalam konteks otonomi daerah seperti sekarang ini. Sayang, upaya pemerintah sepertinya setengah-setengah dalam mempersiapkan tenaga kerja yang handal dan professional sebelum dikirim ke luar negeri. Kita tentu perlu belajar dari negara tetangga Filipina yang begitu sungguh-sungguh mengirim tenaga kerja handal dan professional ke luar negeri. Dengan bekal tingkat pendidikan yang tinggi, tenaga kerja Filipina mempunyai daya tawar yang tinggi. Kapan tenaga kerja NTT bisa seperti itu?
Kita tak perlu senang mendapat devisa hasil keringat para TKI kita, sementara di rumah sendiri mereka tidak mendapatkan perhatian dan persiapan yang layak. Dan lebih dari itu kita tidak harus berbangga karena provinsi ini dikenal sebagai dapur pengekspor tenaga kerja ke luar negeri entah legal maupun ilegal. Hari buruh kiranya menyadarkan kita untuk menyelamatkan TKI kita baik di luar negeri maupun di dalam negeri agar tidak terperosok dalam model perbudakan modern.

Isidorus Lilijawa, Alumni STFK Ledalero. Anggota Forum Akademia NTT. Saat ini Koordinator ACILS-LPA NTT untuk persoalan trafiking.


No comments: