Monday, June 2, 2008

Masyarakat dan Partisipasi Anggaran

Oleh Isidorus Lilijawa

Dalam siklus penyusunan APBD, bulan Januari–Pebruari adalah waktu untuk melakukan Musrenbangdes/dus (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa/Dusun). Pada momen ini, masyarakat bersama-sama merumuskan kebutuhan pembangunan yang akan dijalankan di dusun atau desa bersangkutan sebelum kesepakatan itu dibawa ke tingkat kecamatan dan seterusnya kabupaten. Kesannya memang sebuah pendekatan partisipatif yang bottom up, tetapi praksis di lapangan justru masih jauh dari yang diharapkan. Musrenbangdes/dus belum mencerminkan partisipasi anggaran masyarakat setempat.
Temuan Lokakarya Membangun Pemahaman Bersama Tata Pemerintahan yang Baik Pemprov NTT kerja sama dengan GTZ, tanggal 3-6 Juli 2007 mengerucutkan beberapa persoalan di antaranya: (1) sistem dan mekanisme perencanaan dan penganggaran belum terintegrasi; (2) penentuan prioritas usulan masyarakat lebih kuat dipengaruhi pertimbangan politis dan lobi eksekutif; (3) Musrenbangdes/dus sekadar formalitas (masyarakat lebih menganggap sebagai ritual tahunan, bukannya sebuah proses yang berkesinambungan); (4) minimnya informasi yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran partisipatif pada tingkat masyarakat desa; (5) peserta dan/atau fasilitator hanya sebatas mengidentifikasi masalah, tidak mampu melakukan analisis sehingga tidak menemukan kebutuhan dan pemecahannya secara benar; (6) kelompok perempuan dan rentan belum dilibatkan dalam perencanaan dan penganggaran, kalaupun terlibat tidak dalam kapasitas untuk mengambil keputusan.
Beberapa temuan ini dalam kacamata skeptis melahirkan tanya: masih urgenkah Musrenbangdes/dus bagi masyarakat kita saat ini? Skeptisisme ini terkuak tatkala kita mencermati berbagai temuan di atas. Selaih itu, Musrenbangdes/dus saat ini sepertinya menjadi ”proyek” tahunan pemerintah daerah tanpa ada upaya edukasi anggaran bagi masyarakat. Lebih miris lagi jika suara-suara masyarakat yang mengkristal dalam Musrenbang di desa, hilang lenyap ditelan belantara birokrasi dan politis ketika berada pada tahap musrenbangkab. Mengapa? Karena pada tahap Musrenbangkab terjadi pertarungan sengit antara RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang disusun oleh Bappeda dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) yang merupakan agenda Bupati/Walikota terpilih. Agenda ini erat kaitannya dengan ”janji politik” yang disampaikan pada saat kampanye. Suara masyarakat bisa-bisa terpinggirkan dan terabaikan apalagi dalam pembahasan anggaran level kabupaten, tidak dibuka ruang partisipasi bagi masyarakat untuk hadir dan memantau proses pembahasan anggaran.

Hak Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran adalah hak masyarakat. Hak ini terkait dengan prinsip partisipasi yakni masyarakat harus diberdayakan, diberi kesempatan, dan diikutsertakan untuk berperan mulai dari tahap perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Partisipasi bukan hanya berupa kehadiran masyarakat atau perwakilan masyarakat di dalam kegiatan-kegiatan seremonial perencanaan. Partisipasi seharusnya berwujud aspirasi, akses, dan kontrol. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan dalam mempengaruhi dan mewarnai keputusan yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Dari 8 tingkatan partisipasi yakni manipulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, penentraman, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, kontrol masyarakat, masyarakat kita masih berada pada level manipulasi hingga penentraman. Pada level ini tingkat pembagian kekuasaan berciri tak ada partisipasi hingga sekadar justifikasi agar masyarakat mengiyakan. Yang pemerintah buat melalui terapi bertujuan sekadar agar masyarakat tidak marah; pada pemberitahuan sekadar informasi searah/sosialisasi; pada tingkat konsultasi masyarakat didengar, tetapi saran mereka tidak selalu dipakai. Padahal ideal partisipasi anggaran adalah tingkat keterlibatan dan pengaruh individu dalam penyusunan anggaran, serta proses di mana pelaksana anggaran diberikan kesempatan untuk terlibat dan mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan anggaran.
Salah satu daerah di Indonesia yang patut menjadi model pembelajaran dalam partisipasi anggaran adalah Kabupaten Sumedang – Jawa Barat. Pemkab setempat menghasilkan Perda No.1/2007, tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah Kabupaten Sumedang. Pada Perda itu dicantumkan penghitungan sumber daya di awal perencanaan (pagu indikatif awal tahun perencanaan); jaminan terhadap keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah yang dilembagakan dalam bentuk Forum Delegasi Musrenbang (FDM); adanya jaminan prioritas kegiatan hasil Musrenbang diakomodasikan dalam penganggaran. Dalam Perda itu juga dirumuskan Pagu Indikatif Kecamatan (PIK) yakni sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program. Dengan FDM, masyarakat mempunyai wakil untuk mengawasi dan memantau perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan anggaran publik. Apakah kita mau belajar juga dari Sumedang?

Celah Partisipasi
Masyarakat bisa berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran. Pada tahap pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) antara panitia anggaran eksekutif dan legislatif, juga pada saat paripurna di DPRD celah untuk masyarakat adalah masyarakat (baik individu maupun lembaga) bisa memberikan masukan dan kritik terhadap draft dokumen KUA pada saat hearing di DPRD (lisan atau tulisan); memberi masukan dan hadir selama proses pembahasan (tulisan atau SMS); membangun opini publik dengan menggunakan media (koran atau radio).
Dalam proses penetapan anggaran seperti penyusunan draft RKA–SKPD/kerangka pembiayaan di internal Pemda, yang mana pembahasan hanya melibatkan SKPD dengan Bappeda dan Bagian Keuangan, yang keluarannya adalah kerangka rencana RAPBD, masyarakat pun bisa terlibat. Pada proses ini ada titik kritis pertama, karena bisa terjadi usulan dadakan/pencoretan rencana kegiatan hasil Musrenbang. Celah yang bisa digunakan masyarakat adalah melakukan komunikasi dengan dinas/instansi secara informal untuk konfirmasi tentang rencanan usulan kegiatan atau sekaligus memberikan masukan dan tambahan kegiatan berdasarkan rujukan kepada hasil Musrenbang apabila ada yang terlewat. Selain itu, bisa membangun hubungan secara personal dengan pejabat di SKPD.
Pada tahap pembahasan draft RKA-SKPD di DPRD antara SKPD dengan Komisi DPRD yang diawali dengan pembahasan secara umum kerangka rencana RAPBD antara panitia anggaran eksekutif dan legislatif, masyarakat bisa berpartisipasi. Celah keterlibatannya adalah pada saat pembahasan di Komisi DPRD, masyarakat bisa melakukan pengawalan dengan hadir di tempat pembahasan atau meminta hearing secara resmi ke DPRD dan melakukan diskusi dengan anggota Komisi DPRD secara informal. Pada tahap pembahasan pendahuluan RAPBD, yang mana ada titik krusial kedua yakni akan terjadi tarik menarik berbagai kepentingan, warga bisa terlibat pada saat DPRD melakukan hearing dengan masyarakat untuk sosialisasi RAPBD; masyarakat bisa melakukan monitoring selama pembahasan, memberi masukan dan sekaligus membangun publik opini melalui media massa dan kelompok kepentingan bisa melakukan monitoring di pembahasan yang menjadi minatnya.
Pada tahap pengesahan APBD masyarakat pun bisa terlibat dengan diundang resmi oleh DPRD pada seluruh rapat paripurna (masyarakat tidak bisa memberi masukan, hanya mendengarkan saja). Warga bisa membuat tulisan pada saat paripurna dan disebarkan ke peserta dan undangan. Masyarakat bisa hadir pada tahapan pembahasan/penyelarasan dan masih bisa memberi masukan melaui surat atau SMS, dan masyarakat bisa meminta hearing dengan Panggar DPRD. Pada tahap pelaksanaan APBD masyarakat dapat terlibat dengan memonitoring pelaksanaan kegiatan (apakah sesuai dengan rencana); melihat alokasi anggaran, apakah sesuai dengan budget yang telah direncanakan (berapa nilai riil kegiatan, apakah tender dilakukan secara transparan dan akuntabel). Kalau terjadi dugaan penyimpangan bisa diangkat dan dilaporkan kepada institusi yang berwenang
Tahap akhir siklus APBD adalah evaluasi dan pengawasan. Ada yang bersifat administratif dan politis. Administratif oleh Bawasda. Politis oleh DPRD pada arena LKPJ. DPRD melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan APBD triwulanan atau semesteran. Evaluasi satu tahun yaitu pada arena LKPJ. Celah keterlibatan warga pada tahap ini adalah pada saat evaluasi tahunan, warga bisa memberi masukan ke DPRD, dengan mengkritisi dokumen LKPJ Bupati dengan melihat pelaksanaan di lapangan. Warga bisa memberikan penilaian (melakukan komparasi) antara rencana dan target yang telah disepakati di dokumen KUA dengan dokumen LKPJ.
Keuntungan adanya keterlibatan publik dalam perencanaan hingga evaluasi APBD adalah meningkatkan kualitas perencanaan dan alokasi sumber daya demi efisiensi penggunaan sumber daya yang terbatas. Selain itu, memperkuat proses demokrasi dan meningkatkan rasa saling percaya. Semuanya ini hanya terjadi apabila ada kemauan politik dari pemerintah dan wakil rakyat. Perjuangan untuk terlibat dalam proses anggaran bukanlah upaya yang mudah apalagi kultur birokrasi dan politis kita masih cukup rigid pada hal-hal ini. Namun, tidak mesti ada kata menyerah. Karena APBD adalah hak rakyat, maka sudah saatnya rakyat harus terlibat dalam seluruh proses anggaran. Lembaga pemberdayaan masyarakat sudah saatnya melakukan advokasi dan studi yang terfokus pada politik anggaran. Karena apa artinya pemberdayaan jika masyarakat tidak sanggup memberdayakan diri sendiri untuk mengontrol apa yang menjadi haknya yakni APBD.

Pemerhati masalah anggaran publik.
Saat ini Sekretaris DPC GERINDRA Kota Kupang.

No comments: