Thursday, November 6, 2008

Uji Publik

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil

Komisi Pemilihan Umum Provinsi maupun Kabupaten/Kota di NTT telah mengumumkan Daftar Caleg Sementara (DCS) dari setiap partai politik untuk berlaga dalam pemilihan umum 2009 nanti. DCS ini diumumkan kepada publik untuk dinilai dan dikritisi. Ini tentu sesuai dengan amanat Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pedoman Teknis Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009.
Pasal 40 Peraturan KPU Nomor 18 tahun 2008 menegaskan bahwa: (1) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan daftar calon sementara anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sekurang-kurangnya pada 1 media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya selama 5 hari setelah ditetapkannya daftar calon sementara oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat. (2) Masukan dan tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota paling lama 10 hari sejak daftar calon sementara anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diumumkan.
Amanat Pasal 40 di atas memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menilai, memberi tanggapan, mengkritik, mengklarifikasi, mempertanyakan, menyangkal dan melaporkan kepada KPU setiap caleg sementara yang ‘bermasalah’. Konteks permasalahan yang dimaksudkan di sini adalah yang bermasalah dengan hukum (pernah menjadi narapidana) serta bermasalah dengan etika dan moral. Namun, pengaduan dan tanggapan masyarakat mesti disertai dengan bukti-bukti yang kuat dan kalau bisa menyertakan para saksi. Sehingga yang namanya surat kaleng, SMS liar maupun mulutgram tidak dapat dipertanggungjawabkan jika tanpa bukti valid.

Keterlibatan Masyarakat
Masa-masa sejak pengumuman DCS hingga penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) adalah salah satu kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan umum 2009. Masa uji publik ini menegaskan bahwa politik tidak dapat dikurung dalam ruang privat dan ghetto partai politik. Politik itu riil dan membumi dalam ruang publik. Tujuannya demi bonum commune (kebaikan bersama). Karena itu, masyarakat mesti dilibatkan dalam setiap proses politik. Pada titik lain, uji publik menelanjangi kesalahan penafsiran dan perlakuan politik sebagai bonum individuum (kebaikan individu) semata yang selama ini dipraktikkan oleh kalangan tertentu.
Para caleg yang ada dalam DCS adalah bagian dari masyarakat. Mereka bukan siluman. Mereka adalah bagian dari kita: keluarga, rekan, suami, isteri, kakak, adik, yang kita jumpai setiap hari, yang kita dengar namanya dan amati rupa dan sikapnya di masyarakat. Karena itu sudah jelas bahwa masyarakat memiliki catatan tersendiri atas figur-figur itu. Catatan positif maupun kelam itu sebenarnya ada di file masyarakat. Inilah saatnya untuk membuka file memori itu dan memberikan penilaian serta tanggapan secara kritis.
Nama-nama caleg dalam DCS merupakan hasil dari serangkaian proses yang sudah dilakukan oleh partai politik dan KPU. Tahap pertama partai politik melakukan penjaringan terhadap para bakal caleg. Yang dijaring adalah mereka yang dirasa mampu dan berkualitas untuk duduk sebagai wakil rakyat kelak, entah berasal dari kader partai maupun tokoh masyarakat. Partai politik telah menyeleksi para bacaleg itu dengan kriteria-kriteria internal partai. Setelah itu, giliran KPU melakukan verifikasi terhadap para bacaleg yang diajukan partai politik. Pada saat verifikasi ini yang menjadi fokus adalah kelengkapan administrasi setiap bacaleg. Nah, pada tahap sekarang ini masyarakat berperan dalam uji publik atas para caleg sementara. Tidak saja dalam hal administrasi (seperti ijazah palsu) tetapi lebih substansial ke wilayah etika dan moral. Pertanyaan mendasar adalah: Apakah para caleg sementara ini bermoral dan etis untuk menjadi wakil rakyat kelak?
Uji publik adalah tanggung jawab publik untuk menguji dan menilai sejauhmana para caleg sementara ini layak atau tidak layak ditetapkan sebagai DCT. Uji publik adalah bentuk partisipasi masyarakat atas proses politik bernama pemilihan umum. Kata partisipasi berasal dari bahasa Latin, pars yang berarti bagian dan capere yang berarti mengambil. Kedua kata ini kemudian membentuk kata particeps yang berarti mengambil bagian atau peran serta atau terlibat. Dalam pengertian sehari-hari, partisipasi berarti ikut mengambil bagian dalam suatu hal. Masyarakat sudah memberi bagian terhadap politik dengan mengutus para caleg sementara ini. Sekarang saatnya masyarakat mengambil bagian dalam menilai para caleg sementara itu. Karena partisipasi itu tidak hanya mengambil bagian dalam suatu hal tetapi juga pengorbanan untuk memberi bagian bagi suatu hal.
Berkaitan dengan partisipasi politik ini, Herbert Mc Closky mengatakan: "The term "political participation" will refer to those voluntary activites by which members of a society share in selection of rulers and directly or indirectly in the formation of public policy." (Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum). Uji publik ini juga merupakan satu kesempatan strategis bagi masyarakat untuk turut menentukan orang-orang yang tepat dan layak menduduki jabatan wakil rakyat dan mengemban amanat kepercayaan rakyat.

Etika Politik
Uji publik yang seluas-luasnya dibuka aksesnya kepada masyarakat adalah sebuah proses pembersihan politik dari kekotoran dan keternodaan aktor-aktornya. Dalam DCS terlihat ada begitu banyak wajah baru yang enerjik dan kritis. Namun, masih ada wajah-wajah lama yang sudah berjasa bagi rakyat selama 5 tahun belakangan ini maupun wajah-wajah lama yang selama 5 tahun hanya menjadi tukang tidur di gedung dewan maupun anggota dewan bermerek kontraktor proyek.
Di Kota Kupang misalnya, untuk merebut 30 kursi DPRD jumlah caleg dalam DCS adalah 812 orang. Sungguh fantastis. Masyarakat harus pandai-pandai untuk pada saatnya dalam pemilu 2009 memilih hanya 30 orang yang layak membawa amanat rakyat. Dengan jumlah 38 partai dan 812 caleg sementara, rakyat tentu bekerja ekstra untuk menentukan pilihan yang bijak dan arif jika tidak ingin terjatuh dalam sebuah lorong ‘kebingungan’ panjang. Siapa yang layak dan tidak layak sangat dimungkinkan oleh apakah orang-orang tersebut memiliki etika politik atau malah berpolitik tanpa etika dan malah beretika tanpa politik.
Secara lebih tajam, kita dapat katakan bahwa berpolitik secara etis berarti berlaku tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. Artinya, politik dan etika mestinya berjalan beriringan, saling mengontrol dan mengawasi. Namun, dalam praksisnya, tak jarang terjadi polarisasi yang cukup besar antara politik di satu pihak dan etika di pihak lain. Seringkali para politisi (pejabat negara) berpolitik tanpa etika dan acapkali mereka pun beretika tetapi tak punya taring politis.
Seperti pernah saya singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya di media ini, untuk menilai siapakah yang layak menjadi wakil rakyat atau tidak, rakyat perlu mencermatinya dari kacamata etika politik. Kinerja politisi saat ini banyak mengalami sorotan. Karena itu, orang berasumsi bahwa politik itu kotor. Padahal politisi kitalah yang penuh polusi. Isme-isme yang disebutkan di bawah ini merupakan sumber politik tanpa etika, yang kerap kali dilakonkan dalam pentas perpolitikan kita tak terkecuali di Kota Kupang ini. Ada materialisme praktis. Banyak politisi memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup. Namun, dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup, “etsi Deus non daretur” (seolah-olah Allah memang tidak ada). Ada juga pragmatisme: sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya (seperti saat kampanye, saat turba ke kampung-kampung). Namun, dalam kenyataan menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan sebelumnya.
Selain itu, banyak politisi dan calon politisi yang oportunis. Obral janji sebelum mendapat kursi. Tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa memedulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Ada pula yang menghidupi formalisme. Tampil memukau seperti tokoh panutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de facto ada atau tidak.
Masyarakat juga perlu menyadari bahwa seringkali para politisi itu mempraktikkan etika tanpa politik. Penghayatan nilai-nilai etis masih berorientasi pada kepentingan “sang aku”. Aku dan kepentinganku masih menjadi prioritas utama dalam segala proses pengambilan keputusan, dalam setiap kebijakan publik. Etika tanpa politik menyata dalam penghayatan nilai-nilai etis yang tidak berorientasi pada kepentingan umum, bonum commune, melainkan melulu individual. Acapkali para politisi kita kehilangan gairah politis, mengalami disorientasi prinsip-prinsip politik. Setelah memegang jabatan dan kuasa, naluri politik yang mengutamakan kepentingan orang-orang kecil, komitmen politik untuk mengangkat nasib para buruh, para pegawai rendahan, para petani kecil, justru menjadi tumpul. Mereka lebih betah mengurus “ rumah tangganya” sendiri. Toh, kuasa dan jabatan itu sudah ada dalam genggaman. Untuk apa peduli dengan orang lain.
Pada tataran ini, bukan esensi politik pro bono publico (untuk kepentingan umum) yang menjadi target dan prioritas pelayanan, melainkan menumbuhkembangkan benih-benih etika individualistis. Apa jadinya bila para politisi tidak peduli lagi pada kepentingan rakyat banyak? Fakta ini mesti menyadarkan kita bahwa kekayaan nilai-nilai etis, tradisi etis yang mengalir dalam diri, dan etika hidup bersama jangan dihayati secara sempit dalam ruang batin yang kekecilan, tetapi patut menjadi inspirasi bagi keterlibatan politis. Para politisi baru nanti yang diharapkan adalah mereka yang tidak saja tulus tetapi juga harus cerdik. Karena kalau tulus saja, maka boleh jadi kita akan menjadi kuda beban dan kuda tunggangan oleh kepentingan-kepentingan individu, kelompok dan golongan tertentu. Demikian pun cerdik saja belum cukup. Karena kecerdikan cenderung mengarahkan orang pada upaya manipulasi, pembohongan publik, pemutarbalikan fakta tentang kebenaran. Tetapi, ketulusan dan kecerdikan mesti selalu bersama, saling melengkapi dan mengandaikan agar mereka yang tulus tidak mudah dijadikan kuda tunggangan berbagai kepentingan pribadi/kelompok dan mereka yang cerdik tidak berubah menjadi penipu, koruptor dan perekayasa problem.
Untuk para rakyat, selamat menikmati masa-masa uji publik ini. Amatilah wajah-wajah para caleg sementara ini. Kenalilah mereka satu per satu. Cermati nama-nama mereka. Lalu, buka file memori yang selama ini tersimpan. Lakukan verifikasi ala rakyat dengan standar etika dan moral sambil terus bertanya: layakkah mereka menduduki kursi dewan yang terhormat? Ah, rakyat! Kalianlah sang pengadil yang diharapkan.

Caleg (DCS) No. 1 Partai Gerindra - Dapil 2 Kec. Oebobo

No comments: