Thursday, November 6, 2008

Praktik Cerdas Pencatatan Kelahiran (1)

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil


Deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 menyatakan: “Setiap manusia mempunyai hak untuk diakui sebagai manusia di manapun di depan hukum.” Secara lebih tegas Konvensi Hak Anak pada tahun 1989 pasal 7 menyatakan: “Anak akan dicatat segera setelah kelahirannya (oleh negara) dan sejak dilahirkan ia berhak untuk memperoleh nama dan kewarganegaraan dan sejauh dimungkinkan untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya.” Dengan demikian, pencatatan kelahiran merupakan pengakuan negara atas eksistensi dan hak sipil seorang anak yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, asal-usul keluarga dan kewarganegaraannya.
Pencatatan kelahiran merupakan awal personalitas hukum dan status keperdataan seseorang secara universal. Pencatatan Kelahiran juga merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi identitas pribadi yang sah serta hak-hak lainnya. Bagi anak, dokumen kelahiran membantu dirinya terhindar dari manipulasi identitas seperti dalam kasus penculikan dan perdagangan manusia, juga berguna untuk mendapatkan akses pendidikan (sekolah) dan pelayanan sosial lainnya. Pencatatan kelahiran juga sangat berguna bagi pemerintah. Melalui pencatatan kelahiran pemerintah bisa: 1) Mempunyai data demografi akurat untuk perencanaan pembangunan; 2) Melaksanakan tertib administrasi kependudukan; 3) Mengalokasikan dana dan SDM lebih akurat dan tepat; 4) Membangun good governance.
Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan tegas dalam pasal 28 menyebutkan: “Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah, agar setiap keluarga yang memerlukannya mudah mengurus pembuatan akta, pemerintah harus memberikan pelayanan sampai ke tingkat desa.”
Walaupun pencatatan kelahiran dan pengurusan akta kelahiran penting untuk dilakukan namun sebagian besar masyarakat NTT memandang akta kelahiran bukan merupakan kewajiban dasar yang harus diberikan kepada anak yang lahir dari perkawinan mereka. Sikap dan pandangan ini karena mereka belum mengetahui dan juga belum menyadari hak pertama anak setelah anak itu hadir ke dunia. Di lain pihak, kita juga perlu mengakui ada sebagian keluarga yang telah sadar untuk segera menguruskan akta kelahiran bagi anaknya segera setelah lahir. Namun itu pun masih sebatas untuk kepentingan tertentu misalnya mendapatkan tunjangan biaya hidup anak yang dimasukkan dalam daftar gaji seperti banyak dilakukan oleh para PNS, anggota TNI dan POLRI.
Sikka merupakan satu-satunya Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah menghidupi amanat deklarasi universal HAM dan Konvensi Hak Anak di atas. Konteks NTT sendiri memperlihatkan bahwa dari seluruh jumlah penduduk NTT yang tercatat hanya 14,60% yang memiliki akta kelahiran dan sisanya 85,41% penduduk tidak tercatat dan tidak memiliki akta kelahiran. Ini adalah fakta yang menunjukkan bahwa secara hukum 85,41% penduduk NTT dapat dikategorikan sebagai warga yang tidak jelas status kewargenegaraannya (stateless) dan tidak diakui status keperdataannya secara universal.

Belajar dari Sikka
Sikka, salah satu kabupaten di Flores, NTT memiliki luas wilayah 1.731,91 km2. Kabupaten Sikka merupakan daerah kepulauan dengan jumlah 18 pulau besar dan kecil yang berada di bagian utara Laut Flores, 9 pulau di antaranya dihuni. Topografi wilayah Kabupaten Sikka adalah dataran rendah sepanjang pesisir di belahan utara yang berhadapan dengan Laut Flores. Berbeda dengan wilayah utara, sebagian besar pesisir pantai selatan adalah pantai terjal yang selalu diterpa ganasnya deburan ombak laut selatan. Menatap wilayah Kabupaten Sikka dari Maumere, ibu kota kabupaten, di kejauhan punggung bukit dan pegunungan terlihat ibarat pagar alam yang mengelilingi dataran rendah tersebut. Dan di bagian utara, di Laut Flores, pulau-pulau besar dan kecil yang dihuni dan tanpa penghuni menyebar menjadikan wilayah ini kabupaten kepulauan yang eksotis.
Dalam rentang waktu 2003-2007 sudah ada 11 Kabupaten di NTT yang mengeluarkan Perda pembebasan biaya akta kelahiran. Namun, dari jumlah ini hanya Kabupaten Sikka yang mencatatkan hasil yang luar biasa dalam pencatatan kelahiran anak dari 22,22 % pada tahun 2005 menjadi 72,7 % pada tahun 2006. Apa yang menyebabkan Kabupaten Sikka menjadi sangat menonjol dalam pencatatan kelahiran anak di NTT bahkan di Indonesia? Yang menarik dari Sikka adalah adanya produk hukum yang memihak pemenuhan hak pertama anak dan prosedur-prosdur yang memudahkan pencatatan kelahiran. Ini memang membutuhkan kerja sama berbagai pihak baik pemerintah daerah, masyarakat maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Atas prestasi yang gemilang ini, Kabupaten Sikka saat ini sudah menjadi pilot project pencatatan kelahiran di Indonesia. Sudah banyak daerah yang datang berguru di Sikka dan belajar dari kampung-kampung di kabupaten ini tentang bagaimana sistem dan prosedur pencatatan kelahiran yang baik.
Sejak tahun 1998/1999–2003 pemerintah Kabupaten Sikka melaksanakan sistem pencatatan kelahiran dan penerbitan akta kelahiran melalui dua mekanisme yaitu: pertama, mekanisme reguler/pelayanan tetap dan kedua, mekanisme non reguler. Dalam mekanisme reguler pelayanan pencatatan kelahiran dan penerbitan akta kelahiran terpusat di kantor catatan sipil. Masyarakat dipandang sebagai obyek yang ingin mendapatkan pelayanan. Berdasarkan inisiatif sendiri mereka mendatangi kantor catatan sipil demi kepentingan memperoleh akta kelahiran anaknya.
Sedangkan dalam mekanisme non reguler, kantor catatan sipil mengembangkan sistem pelayanan untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas. Sistem jemput bola atau pelayanan simpatik dilakukan oleh petugas dari kantor ini. Mereka mendatangi desa/kelurahan dan mengunjungi sekolah-sekolah. Kunjungan itu selalu disertai dengan kegiatan sosialisasi dan pendataan. Berdasarkan data yang telah dihimpun selama kunjungan itu, dibuatlah pelayanan penerbitan akta kelahiran di kantor catatan sipil sesuai dengan pengajuan permohonan dari masyarakat.
Untuk mengajukan permohonan pelayanan penerbitan akta kelahiran ada persayaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon yaitu: 1) Mengisi formulir permohonan; 2) Fotocopy SKL dari bidan/dokter/rumah sakit; 3) SKL dari Kepala desa/lurah; 4) Fotocopy KTP orang tua dan 2 orang saksi; 5) Fotocopy kartu keluarga orang tua; 6) Fotocopy akta perkawinan/buku nikah (bagi yang sudah kawin sah)
Selain persyaratan yang harus dipenuhi di atas, masyarakat juga dikenai pungutan biaya berdasarkan Perda Kabupaten Sikka Nomor 8 Tahun 2000. Biaya yang dipungut untuk pengurusan akta kelahiran adalah Rp 10.000 untuk anak pertama dan kedua serta Rp 15.000 untuk anak ketiga dan seterusnya. Biaya ini adalah ongkos yang harus dikeluarkan oleh masyarakat di kantor catatan sipil, sementara itu masih ada biaya lain yang harus dikeluarkan misalnya untuk mendapatkan SKL dari bidan/dokter/ rumah sakit serta SKL dari desa/lurah.

Hambatan
Dari dua strategi pelayanan itu pada periode 1998/1999–2003 kantor catatan sipil Kabupaten Sikka berhasil menerbitkan 28.079 akta kelahiran. Dari total jumlah salinan akta kelahiran yang diterbitkan itu ada 1.440 pelayanan pencatatan kelahiran dan penerbitan salinan akta kelahiran untuk kelahiran baru. Prestasi ini cukup baik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada tahun 2000-2003 kantor catatan sipil Kabupaten Sikka menerbitkan 1.248 akta kelahiran dari jumlah kelahiran yang tidak diketahui secara tepat. Pada tahun 2004 hanya ada 194 akta kelahiran yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil. Apakah jumlah kelahiran di Kabupaten Sikka dalam setahun memang serendah itu sehingga tidak banyak akta kelahiran yang diterbitkan? Tentu tidak. Lalu mengapa ada banyak kelahiran yang tidak dicatat sehingga tidak diterbitkan akta kelahirannya?
Ada berbagai penyebab dan hambatan yang dapat dikategorikan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal masyarakat. Untuk faktor internal: pertama, pola pikir masyarakat yang masih menganggap akta kelahiran itu tidak penting karena tidak terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Pola pikir ini kemudian menyebabkan masyarakat bersikap apatis untuk mengurus akta kelahiran. Kedua, banyak anggota masyarakat yang merasa malu atau menilai sebagai aib keluarga jika mencatatkan kelahiran dan mendapatkan akta kelahiran untuk anak yang lahir di luar ikatan perkawinan sah (menurut agama) seperti dalam kasus anak yang lahir dari seorang ibu di mana tidak ada suami/laki-laki yang bertanggung jawab sebagai ayah dari anak tersebut.
Sedangkan faktor eksternal adalah: pertama, kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang manfaat akta kelahiran: akta kelahiran belum dimanfaatkan secara maksimal. Selama ini akta kelahiran hanya diperlukan untuk kepentingan yang sangat terbatas seperti untuk mendapatkan paspor (persyaratan pergi ke luar negeri), bekerja/melamar sebagai PNS, TNI, POLRI atau melanjutkan sekolah (opsional) dan menikah. Kedua, mekanisme penyelengaraan: kebijakan dari pemerintah yang belum berpihak ke masyarakat. Prosedur yang rumit dan biaya pengurusan akta kelahiran mahal serta banyak persyaratan administrasi yang sulit dipenuhi keluarga. Ketiga, kapasitas pelayanan yang kurang memadai: keterbatasan jumlah dan kemampuan petugas, kekurangtersediaan formulir. Keempat, hambatan fisik/geografis: pelayanan pencatatan kelahiran hanya dapat dilakukan di kantor catatan sipil yang berada di ibukota kabupaten (sentralistik) sehingga jauh dari jangkauan masyarakat yang sebagian besar tinggal di desa. Kelima, beberapa pihak seperti sekolah masih bisa menerima SKL (Surat Kenal Lahir) dari desa/kelurahan atau Surat Baptis untuk yang beragama Kristen sebagai pengganti akta kelahiran.

Penulis Buku Akta Kelahiran Hak Pertamaku (2008)

Praktik Cerdas Pencatatan Kelahiran (2)
(Berguru pada Kabupaten Sikka)
Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil



Praktik Cerdas
Tidak bisa dimungkiri bahwa di balik penyusunan rancangan Perda tentang pembebasan biaya pengurusan akta kelahiran ada argumentasi pro dan kontra di kalangan DPRD Kabupaten Sikka yang terlibat dalam penyusunan rancangan itu. Posisi dilematis dihadapi oleh kelompok yang mendukung pembebasan biaya untuk pengurusan akta kelahiran karena pihak yang menolak rancangan Perda ini mengangkat issu berkurangnya PAD jika rancangan Perda ini pada akhirnya dijadikan Perda. Namun dalam diskusi yang lebih intensif akhirnya semua anggota DPRD yang terlibat dalam pembahasan rancangan Perda ini sepakat bahwa demi pelayanan publik dan pemenuhan hak dasariah anak, Perda tentang pembebasan biaya pengurusaan akta kelahiran ditetapkan. Bahkan lebih jauh lagi Perda itu menyatakan bahwa pembebasan biaya akta kelahiran tidak hanya untuk anak berusia 0 - 60 hari tetapi sampai dengan seseorang berusia 18 tahun.
Lalu bagaimana dengan hilangnya satu pos pemasukan untuk PAD? Ada kesadaran yang muncul di kalangan wakil rakyat itu bahwa masih banyak sumber PAD Kabupaten Sikka yang belum digarap secara optimal dan itu menjadi tugas bersama lembaga eksekutif dan legislatif Kabupaten Sikka untuk memikirkan dan mengambil kebijakan yang berpihak kepada kesejahteraan seluruh masyarakat Kabupaten Sikka. Lebih jauh lagi untuk dapat melaksanakan Perda terkait pencatatan kelahiran, pihak legislatif mendorong bahkan memberi penekanan kepada pemerintah untuk membangun sebuah sistem agar masyarakat mempunyai kemauan dari dalam diri sendiri untuk mengurus secara sadar segala hal yang menyangkut hak dan kewajibannya. Bukan hanya menanti inisiatif pemerintah saja.
Selain itu, dengan adanya cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhi orang tua untuk mencatatkan kelahiran anaknya, tentu bisa melemahkan semangat orang tua dalam mengurus kelahiran anaknya. Satu persyaratan tak dipenuhi berarti harapan untuk mendapatkan akta bakal tak tergapai. Belum lagi, ada kendala teknis dan geografis yang selalu saja menghadang. Misalnya, orang dari kampung harus ke kota hanya untuk fotocopy KTP dan kartu keluarga. Mereka harus mengeluarkan ongkos transportasi, makan dan penginapan di ibu kota kabupaten atau kecamatan. Ini sangat memberatkan. Seorang warga dari Pulau Besar - Maumere misalnya harus mengeluarkan uang Rp. 250 ribu untuk biaya pulang pergi dan ongkos makan untuk sekali mengurus akta kelahiran. Bukankah hal ini terlalu memberatkan bagi masyarakat di pedesaan?
Untuk memotong prosedur pengurusan akta yang terlalu panjang dan memberatkan itu, Bupati Sikka mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 93 Tahun 2004 tentang Penyederhanaan Prosedur Pelayanan Akta Kelahiran bagi Anak yang Baru Lahir. Pada prosedur model ini, pemohon hanya menyediakan beberapa persyaratan seperti: 1) Fotocopy KTP orang tua dan kepala keluarga; 2) Fotocopy akta perkawinan/buku nikah (bagi yang sudah kawin sah); 3) Saksi 2 orang (bidan pencatat termasuk saksi pertama). Pada prosedur penyederhanaan ini, birokrasi yang ditempuh semakin ringkas: (1) penyerahan form yang telah diisi oleh bidan ke Puskesmas (pada akhir bulan saat pertemuan rutin di puskesmas), (2) penjemputan form (pada butir 1) oleh petugas lapangan pada setiap minggu pertama bulan bersangkutan, (3) pengambilan kutipan akta kelahiran oleh petugas lapangan bersamaan dengan jadwal penjemputan form dan diserahkan ke Puskesmas, (4) Petugas Puskesmas menyerahkan kutipan kepada bidan desa dan bidan selanjutnya menyerahkan kepada orang tua anak. Prosedur ini ditempuh jika kelahiran ditangani oleh bidan desa.
Namun, jika anak yang lahir itu ditolong oleh bidan di rumah sakit dan bidan praktik, maka prosedurnya menjadi lebih ringkas lagi. Di rumah sakit identitas anak dicatat lalu bidan menyerahkan catatan kelahiran tersebut ke petugas catatan sipil tanpa melalui Puskemas lagi. Dari dinas catatan sipil kutipan akta kelahiran diserahkan kepada bidan rumah sakit dan selanjutnya diberikan kepada orang tua anak. Begitu pula prosedur di bidan praktik. Setelah mencatat identitas anak, bidan praktik langsung mengantar catatan kelahiran itu ke BKCSKB dan setelah selesai diproses, kutipan akta diambil dan diserahkan ke orang tua anak bersangkutan. Dengan prosedur yang ringkas ini, semakin cepat kutipan akta kelahiran diterima oleh orang tua. Selain itu, orang tua betul-betul dimudahkan. Mereka tidak membayar biaya kutipan akta bahkan mereka tinggal saja menunggu di rumah kapan bidan datang menyerahkan kutipan akta yang sudah jadi.
Selain prosedur yang disederhanakan, ada beberapa inisiatif yang dibuat oleh petugas yang memudahkan orang tua mencatatkan kelahiran anaknya. Kemudahan-kemudahan itu seperti: yang menjadi saksi 2 orang tetapi bidan yang mencatat kelahiran dengan sendirinya menjadi saksi pertama. Selain itu, orang tua tidak perlu mengeluarkan banyak ongkos untuk urusan fotocopy di kota. Cukup saja dengan mencatatkan nomor KTP atau nomor akta perkawinan/buku nikah, orang tua dapat langsung mencatatkan kelahiran anaknya. Inisiatif dan kemudahan inilah yang mendorong meningkatnya jumlah anak yang tercatat kelahirannya, khususnya usia 0-60 hari.

Proaktif
Di balik keberhasilan Kabupaten Sikka dalam hal pencatatan kelahiran, regulasi bukanlah salah satu-satunya faktor penentu. Kebijakan yang ada dalam peraturan daerah hanyalah perangkat keras (hardware) yang perlu diberi roh dan spirit oleh manusia-manusia Sikka yang boleh disebut sebagai perangkat lunaknya (software). Perangkat aturan yang ada hanyalah pedoman dan kompas bagaimana seharusnya pencatatan kelahiran itu dibuat. Tetapi, faktor utama tetap kembali kepada pelaku utama yakni masyarakat sendiri. Dari studi lapangan di Kabupaten Sikka terkait pencatatan kelahiran, ditemukan beberapa hal yang menunjukkan bahwa ada sesuatu di luar regulasi yang sangat mendorong keberhasilan pencatatan kelahiran:
Pertama, semangat pengabdian. Hal ini nampak sekali dalam diri para petugas pencatatan sipil yang proaktif dan bekerja melewati jam kerja yang normal. Kalau mau ikut aturan, maka hanya ada beberapa jam kerja selama di kantor. Tetapi, karena semangat mengabdi yang begitu besar, maka berkas-berkas pekerjaan itu mereka bawa ke rumah. Walaupun di rumah ada begitu banyak urusan keluarga, namun dengan pengertian baik dari isteri dan anak, mereka bisa mengerjakan pekerjaan kantor. Bahkan ada yang membayar orang tertentu untuk membantu pekerjaan pencatatan di kantor.
Kedua, ada inisiatif dan sikap proaktif. Para bidan desa misalnya banyak yang berinisiatif dan proaktif untuk mendorong meningkatnya pencatatan kelahiran. Mereka biasa membuat kunjungan rumah, kontak personal dengan ibu-ibu hamil, menempelkan nomor HP pada dinding polindes, membuat buku register kelahiran dan pengambilan kutipan akta. Para petugas lapangan yang bertugas untuk menjemput catatan kelahiran juga rela membantu pencatatan di Puskesmas jika bidan setempat berhalangan. Inisiatif inilah yang menjadi kunci sukses pencatatan kelahiran. Sikap pro aktif juga tampak dalam diri orang tua. Setelah mencatatkan anaknya, mereka juga pro aktif bertanya pada bidan sejauh mana akta kelahiran sudah diproses. Bahkan ada yang minta untuk langsung mengeceknya di kantor catatan sipil. Jadi orang tua tidak tinggal diam dan menunggu bidan mengantar kutipan akta ke rumah.
Ketiga, pendekatan dari hati ke hati. Dalam konteks masyarakat yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh adat-istiadat dan budaya, pendekatan dari hati ke hati mutlak perlu. Jika memaksakan peraturan secara rigid, maka bisa saja menimbulkan reaksi kontra dari masyarakat. Karena itu, sosialisasi yang dibuat mesti perlahan-lahan sambil memperhatikan konteks budaya setempat. Salah satu contoh yang sudah dibuat di Sikka adalah bagaimana pendekatan yang dibangun antara bidan dan dukun. Keduanya adalah mitra. Bidan membangun dialog dari hati ke hati untuk menyampaikan kepada dukun bahwa kelahiran harus ditolong oleh tenaga kesehatan. Di Sikka terlihat bahwa dukun bersalin sudah memahami tugas bidan, malah keduanya bekerja sama dengan baik. Dukun melaporkan ibu yang hendak bersalin ke bidan dan bersama-sama bidan menolong persalinan.
Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Sikka sebenarnya tidak sedang bermimpi mencatat kelahiran semua anak di Kabupaten Sikka pada tahun 2011, sebagaimana program nasional semua anak Indonesia tercatat kelahirannya tahun 2011. Mereka sudah memulainya dan sedang berbenah untuk menjadikan mimpi di tahun 2011 itu menjadi kenyataan. Berbekal praktik cerdas (smart practices) itulah Kabupaten Sikka bisa menorehkan sejarah baru di jagad Indonesia dengan mencatatkan secara signifikan kelahiran 1.580 anak atau 22,22 % dari jumlah 6.171 kelahiran hidup menjadi 3.964 anak atau 72,7 % dari 5.459 kelahiran hidup pada tahun 2006. Sudah saatnya kabupaten/kota lain di NTT dan luar NTT berguru dari Sikka.

Penulis Buku Akta Kelahiran Hak Pertamaku (2008)

No comments: