Thursday, November 6, 2008

Fenomen Pekerja Anak di NTT

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil


“Anakmu bukan milikmu / mereka milik Sang Hidup / yang rindu pada dirinya sendiri. Lewat kita mereka ada / namun tidak dari kita. Mereka ada pada kita / tetapi bukan milik kita. Berikan mereka kasih sayang / tetapi jangan sodorkan bentuk pikiran kita.”
Sepenggal syair Khalil Gibran di atas secara sangat mendalam melukiskan eksistensi setiap anak dalam kehidupan ini. Dalam alur pemikiran filosofis, anak serentak dalam dirinya merupakan Gabe (anugerah) dan Aufgabe (tanggung jawab) bagi orang tua yang melahirkannya ke dunia. Sebagai anugerah, anak merupakan hadiah terindah yang Sang Pencipta berikan kepada orang tua yang mengikat dirinya dalam tali kasih perkawinan. Sedangkan, sebagai tanggung jawab, anak merupakan pemberian yang pada saatnya dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemilik Kehidupan ini.
Namun, keindahan makna puisi Gibran di atas tak selalu indah dalam realitas kehidupan anak-anak kita saat ini. Kondisi kita saat ini mempertontonkan dunia anak yang tidak ramah. Kita masih menemui anak-anak yang melakoni hidup sebagai pekerja anak, yakni anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan atau berbahaya bagi tumbuh kembang anak baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektualnya. Bahkan masih ada cukup banyak anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA) yaitu jenis pekerjaan yang dapat mengganggu perkembangan fisik, mental dan moral anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk itu seperti perbudakan, eksploitasi seksual, kegiatan ilegal, pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Ini tentu berbeda dari pemahaman anak yang bekerja, yakni anak yang melakukan pekerjaan dalam rangka membantu orang tua atau menjalankan usaha keluarga serta menjalankan tugas-tugas lainnya. Pada umumnya mereka masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan tidak tereksploitasi.

Konteks NTT
Berdasarkan hasil SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) 2005, penduduk NTT usia 10-15 tahun sekitar 481.500 jiwa atau 11,3% dari total penduduk NTT saat itu yang berjumlah 4.260.294 jiwa. Dari populasi usia tersebut 2,25% tidak/belum pernah sekolah; 88,15% sedang sekolah dan 9,60% tidak bersekolah lagi. Dari sekitar 11,85% anak usia 10-14 tahun yang tidak sedang sekolah 39,71% atau 23.105 anak harus bekerja sedangkan sebanyak 26,43% mencari pekerjaan. Fenomen pekerja anak di NTT berkaitan erat dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan bertanggung jawab selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja. Mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan waktu fenomen anak yang bekerja banyak berkaitan dengan alasan ekonomi keluarga (masalah kemiskinan) dan kesempatan memperoleh pendidikan serta faktor sosial dan lingkungan.
UU Ketenagakerjaan tidak membenarkan mempekerjakan anak di bawah umur 15 tahun. Namun Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 menunjukkan masih terdapat 23.105 anak NTT di bawah 15 tahun yang bekerja dengan presentase tertinggi di Kabupaten Sumba Barat (17,27%) dan terendah di Kota Kupang (0,42%). Keadaan pekerja anak secara tidak langsung menggambarkan tingkat pemerataan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pekerja anak, dapat diartikan kesejahteraan yang ada belum merata. Sebaliknya tingkat pekerja anak rendah yang rendah, menyiratkan kesejahteraan yang lebih merata. Bentuk-bentuk pekerjaan yang dilakoni adalah nelayan, pemulung, penjual kue, pembantu rumah tangga, pendorong gerobak, penjual minyak tanah, penjual sayur, penjual koran. Sangat disayangkan bahwa para pekerja anak ini terpaksa putus sekolah demi menopang kehidupan ekonomi keluarga.
Dari jumlah pekerja anak di NTT tahun 2005 yang sebanyak 23.105 orang, jumlah pekerja anak laki-laki 15.323 orang dan perempuan 7.782 orang. Ditinjau dari tingkat pendidikan, 18,91% pekerja anak tidak/belum pernah sekolah; 40,45% belum/tidak tamat SD; 39,29% tamat SD dan hanya 1,35% tamat SLTP/sederajat. Dari titik ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan erat dengan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, maka akan semakin baik kualitas sumber dayanya.
Menurut lapangan kerja utama, persentase tertinggi adalah pekerja anak di sektor pertanian (85,39%). Dapat dikatakan bahwa sektor ini merupakan ”penampung” sebagian besar pekerja anak yang pada umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai. Hal ini cukup beralasan karena memang sektor ini tidak terlalu menuntut pekerja dengan pendidikan yang tinggi sehingga memudahkan pekerja anak untuk bekerja di sektor ini. Selain pekerjaan utama, karakteristik lain yang bisa menggambarkan kondisi pekerja anak adalah status pekerjaan. Komposisi pekerja anak menurut status pekerjaan terkosentrasi pada status pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga (78,96%). Hal ini sesuai dengan kondisi usia dan kemampuan mereka yang terbatas.

Ironi Kemanusiaan
Adanya pekerja anak ini melahirkan suatu ironi kemanusiaan. Ketika di satu pihak dunia internasional dan pemerintah Indonesia gencar memerangi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk pada anak, di lain pihak banyak orang tua yang menyandarkan ’tiang’ ekonomi keluarga pada anak-anak mereka yang harus bekerja siang dan malam. Anak-anak masih dilihat sebagai aset ekonomi sehingga kehadiran mereka adalah modal untuk mendongkrak keterpurukan ekonomi keluarga.
Ada cukup banyak perangkat hukum yang dibuat untuk membebaskan anak-anak dari berbagai bentuk pekerjaan terburuk seperti ratifikasi konvensi ILO No. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja; ratifikasi konvensi ILO No. 182 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; UU No. 20 tahun 1999; UU No. 1 tahun 2000; UU No. 13 tahun 2000 tentang ketenagakerjaan; Kepmenaker No. 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak; Keppres No. 12 tahun 2001 tentang komite aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk pada anak. Namun, banyaknya perangkat hukum ini serasa tak bermakna saat berbenturan dengan ketidakpahaman orang tua terhadap hak setiap anak untuk bersekolah dan menikmati masa kanak-kanaknya. Banyak orang tua yang keliru melihat kehadiran anak-anak. Mereka bukan lagi anugerah terindah tetapi modal dan aset ekonomi keluarga semata.
Selain itu, masih minimnya perhatian pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota pada nasib pekerja anak menjadikan fenomen pekerja anak kian marak di NTT ini. Ketidakseriusan pemerintah dapat dilihat dari belum adanya peraturan daerah yang meminimalisir pekerja anak juga dari minimnya anggaran daerah untuk merehabilitasi para pekerja anak dan mengembalikan mereka ke bangku pendidikan. Akan jadi apakah generasi NTT 10-15 tahun ke depan jika saat ini sudah ribuan anak yang terjerat jebakan pekerja anak dan tidak bersekolah lagi?

Secercah Harapan
Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2008 menetapkan fokus membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, di mana salah satu programnya adalah pengurangan pekerja anak dalam mendukung Program Keluarga Harapan (PKH). Salah satu tujuan PKH adalah meningkatkan partisipasi anak ke sekolah dan mengurangi jumlah pekerja anak.
Pada tahun 2008 ini untuk pertama kalinya pemerintah melalui departemen tenaga kerja menelorkan program Penarikan Pekerja Anak untuk mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH). Program ini mempunyai sasaran pekerja anak/anak yang bekerja yang berstatus putus sekolah dari Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang ikut dalam Program Keluarga Harapan (PKH). Program PPA-PKH ini diarahkan pada upaya untuk mengeluarkan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk agar mereka dapat kembali ke dunia pendidikan melalui pendampingan selama sebulan di shelter.
Pendampingan pekerja anak oleh pendamping dilakukan sejak Pra Shelter melalui kunjungan rumah (home visit) dalam rangka validasi data BPS. Pada saat home visit, pendamping juga melakukan sosialisasi program PPA-PKH kepada anak dan orang tua anak serta memotivasi anak dan orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi anak agar keluarga RTSM tidak terjebak pada kemiskinan yang berkelanjutan. Pada tahap pelaksanaan, pendamping dan tutor akan mendampingi pekerja anak atau penerima manfaat selama satu bulan dalam rangka memberikan motivasi dan pembelajaran serta mengevaluasi minat dan kemampuan penerima manfaat untuk kembali ke dunia pendidikan. Setelah pendampingan di shelter selesai, pendamping masih melakukan pendampingan pasca shelter. Ini dimaksudkan untuk memonitor keberadaan dan kondisi pekerja anak penerima manfaat dalam upaya menjaga komitmen anak dan orang tua untuk tetap konsisten akan pentingnya pendidikan serta tetap berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan bagi anak.
Program PPA-PKH ini sedang diuji coba di 48 kabupaten dan 7 provinsi se-Indonesia. Dan untuk NTT ada 7 kabupaten/kota yang mendapat program ini: Kabupaten TTS, Alor, Sikka, Ende, Sumba Barat, Manggarai Barat dan Kota Kupang. Total penerima manfaat yang ditarik ke shelter adalah 660 orang. Mudah-mudahan program PPA-PKH ini melahirkan secercah harapan untuk mengurangi pekerja anak di NTT sekaligus mengembalikan semakin banyak pekerja anak ke bangku sekolah. Karena hanya dengan dan melalui pendidikan, belenggu kemiskinan yang melilit NTT ini bisa diretas dan generasi NTT mendatang adalah generasi yang cerdas (smart generation) bukan generasi yang hilang (lost generation).

Penulis adalah pendamping shelter PPA-PKH Kota Kupang.










No comments: