Thursday, November 6, 2008

Pemilu 2009: Pilih Partai atau Figur?

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil

Gaung Pemilihan Umum 2009 kian santer terdengar. Setelah babak penjaringan para calon legislatif usai dan KPU melakukan tugas verifikasi atas para bakal caleg tersebut, kini giliran partai politik melengkapi berkas-berkas yang masih kurang. Pada saat yang sama intensitas dan tensi kerja partai-partai politik pun meningkat. Pemilu 2009 adalah satu proses politik yang harus dilewati bangsa ini sebagai implementasi demokratisasi yang telah begitu lama diperjuangkan dengan keringat darah dan air mata oleh para pendiri bangsa ini.
Dalam menyambut Pemilu 2009 itu, ada banyak fenomen yang mengisi lembaran-lembaran politik di negeri ini dan juga di NTT. Banyaknya partai politik saat ini yang berjumlah 38 dengan ribuan caleg di satu sisi membingungkan masyarakat dan di sisi lain membuka ruang persaingan merebut simpati rakyat diantara para caleg. Di antara kebingungan rakyat dan persaingan para caleg merebut simpati rakyat, politik hadir sebagai sebuah seni yang mempertautkan rasa, panglima yang menundukkan nalar dan gelombang yang penuh dinamika.

Partai atau Figur?
Banyaknya partai politik saat ini membuat rakyat cenderung memilih figur ketimbang partai politik. Ini asumsi yang perlu diuji kebenarannya. Namun, preposisi di atas patut diselami kedalamannya. Hampir semua partai politik menjual program yang biasa-biasa saja dan sama saja. Tak ada bedanya. Walau memang ada satu dua partai politik yang memang tampil beda, tampil sebagai gerakan bersama untuk pembaharuan bangsa. Lantas, apa dampaknya bagi rakyat jika ’jualan’ partai politik semacam di atas adalah ’jualan’ yang terlalu murah, lips service, nonsens dan hampir seperti bualan semata?
Dengan pertimbangan seperti ini, memilih figur adalah kecenderungan rakyat saat ini. Partai boleh banyak, tetapi boleh jadi hanya ada satu dua figur yang berkenan di hati rakyat. Pada titik ini, ’jualan’ para figur caleg haruslah benar-benar ’jualan’ yang berkualitas, bukan ’asal jual’ atau ’asal dilego ke pasar politik’. Di sini peran partai politik sangat urgen, menjaring dan menjual calon-calonnya ke pasar politik agar mempunyai daya jual tinggi dan berkenan di hati rakyat.
Dari realitas ini, ada beberapa fenomen menarik yang patut dikaji oleh setiap insan politik. Pertama, di Indonesia belakangan ini tumbuh gejala partai semacam bursa jual beli. Mereka yang berani membayar mahal akan mendapat imbalan dukungan partai, tak peduli yang bayar itu ’orang luar’. Tak jadi soal kalau harus menyisihkan kader tulen partai yang sudah ’berdarah-darah’ mendaki karir politik dari bawah dan berjasa membesarkan partai. Ini sangat kentara kita amati saat proses penyerahan berkas ke KPU. Ada kader partai yang merasa tidak puas karena tidak diakomodir dalam ’nomor jadi’ sementara ’orang luar’ yang mempunyai ’duit’ mendapat ’nomor jadi’. Ujung-ujungnya pleno penentuan nomor urut pun berbuntut konflik dan perkelahian.
Partai dan pengurus partai barangkali menikmati ”keuntungan” dalam jangka pendek, tetapi basis partai akan rusak ditinggalkan konstituen yang kecewa. Sebagai wadah menyebarkan gagasan, partai akan melemah dan sebaliknya sang pemilik uang akan menguat. Dengan bantuan teknologi informasi dan media serta dana besar, sang kandidat lebih efektif mempengaruhi warga ketimbang partai politik. Lama-kelamaan, partai hanya diperlukan sekadar untuk memenuhi syarat formal pencalonan anggota legislatif. Barangkali gejala inilah yang disebut para ahli sebagai ”personalisasi politik”. Pencalonan pejabat publik yang tadinya merupakan ”wilayah kerja” partai, pelan tapi pasti digantikan kepentingan ”person” terutama yang berduit.
Fenomen lain yang tak kalah menarik adalah ”migrasinya” para ”politisi lama” ke partai-partai yang baru atau partai lain. Fenomen ini marak di NTT. Banyak politisi yang merasa ”tidak nyaman” lagi di partai lama yang telah membesarkannya dan ”menumpang” ke partai lain untuk Pemilu 2009. Ini sah-sah saja dilihat dari perpektif para politisi itu karena itu pilihan politiknya. Namun, dalam tataran etika politik migrasinya para politisi lama ini mengindikasikan bahwa partai politik masih sebatas sebagai ”terminal” untuk mendapat kekuasaan. Karena diperlakukan sebagai ”terminal”, maka sejauh partai memberikan rasa aman, maka para politisi itu akan betah. Tetapi jika rasa aman yang didamba tak kunjung tiba, maka pindah partai pun jadi solusi. Lalu, akan kemanakah suara-suara begitu banyak rakyat telah memilih para politisi itu ketika mereka masih mengenakan baju partai yang lama? Hemat saya, upaya para politisi ”pindah-pindah partai” adalah hal yang tidak mendidik bagi rakyat dan tentu saja menderai kepercayaan rakyat. Artinya apa? Para politisi mau selamat sendiri, sementara kepercayaan rakyat disepelekan hanya karena waktu 5 tahun segera usai. Selain tidak mendidik, upaya ”migrasi” partai oleh para politisi lama ini mengindikasikan bawah politik masih dilihat sebatas kepentingan pribadi aman atau tidak. Bukan lagi kepentingan rakyat selaku konstituen.

Alergi
Dalam wacana lepas yang saya bangun dengan kelompok-kelompok masyarakat mengeni Pemilu 2009, satu hal yang mereka katakan adalah mereka sudah alergi dengan DPRD. Bahkan ada niat untuk tidak memilih pada Pemilu 2009. Menurut mereka, anggota DPRD yang ada saat ini sudah melecehkan kepercayaan dan komitmen yang dibangun sebelumnya. Sebelum terpilih, mati-matian membela kepentingan rakyat. Tetapi setelah duduk di kursi legislatif, mereka justru sibuk urus kepentingan diri, bahkan sibuk urus proyek sehingga DPR saat ini banyak yang berprofesi ganda sebagai kontraktor juga.
Lontaran-lontaran skeptis masyarakat ini berbanding lurus dengan perilaku anggota dewan kita saat ini. Amati saja di televisi. Institusi DPR menjadi institusi yang paling bermasalah. Ada kasus suap, sogok-menyogok, korupsi, amoral, dan lainnya. Apa yang bisa diharapkan dari para wakil rakyat semacam itu? What sorts of person do we want and need to be a politicians? (Manusia macam apakah yang kita harapkan dan butuhkan sebagai politikus?). Yang kita butuhkan adalah figur wakil rakyat yang tahu diri, tahu tempat dan tahu tugas. Artinya, seorang wakil rakyat adalah dia yang berjuang demi kepentingan rakyat, mengutamakan kemaslahatan hidup rakyat banyak dan tidak berpikir serta berjuang untuk kepentingan diri. Wakil rakyat yang populis adalah impian rakyat yang memilihnya. Kondisi wakil rakyat kita saat ini memang sedang sakit. Bisa sakit ingatan, sakit jiwa maupun sakit-sakitan bila berhadapan dengan perjuangan merespons kebutuhan pokok rakyat. Apa yang kita buat?
Pertama, menggagas dan merealisasikan komite etika bagi politikus. Para politisi kita banyak yang sakit dan karena itu dibutuhkan dokter politik. Ada yang tuli, pekak, buta, rabun, pincang. Etika politik dapat menjadi dokter bagi para wakil rakyat itu. Etika politik juga dibutuhkan untuk melindungi hak-hak ‘pasien politik’ yang dalam keadaan tertentu tidak mustahil akan menjadi korban para politikus. Di Amerika Serikat umpamanya, kita mendengar adanya komite etika (Ethics Committee) di parlemen, sehingga jika salah satu anggotanya dinilai melanggar etika politik, maka ia disarankan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota parlemen. Wakil rakyat kita menderita penyakit lupa ingatan kronis. Obat untuk penyembuhannya ada di tengah-tengah masyarakat. Wakil rakyat yang mau sembuh dari penyakit ini mesti sering turun ke tengah masyarakat, berdialog dari hati ke hati, mendengarkan keluhan dan masukkan dari rakyat serta memperjuangkan aspirasi rakyat. Penyakit lupa ingatan (lupa janji-janji kampanye, lupa komitmen kerakyatan, lupa status) akan hilang bila memoria passionis, ingatan pada penderitaan orang-orang kecil, masyarakat periferi yang mengharapkan perbaikan nasibnya pada eksistensi wakil rakyat yang dipilihnya selalu terbangun dalam setiap rutinitas wakil rakyat.
Kedua, menciptakan clean governance. Wakil rakyat adalah rekan kerja pemerintah dan keduanya mempunyai tujuan akhir yakni mencipatakan kesejahteraan rakyat. Pasca reformasi, berbagai elemen masyarakat mendesak agar lembaga pemerintahan dibersihkan dari tikus-tikus kantor. Sudah menjadi fakta bahwa lembaga pemerintahan ternoda oleh praktik korupsi, kolusi, nepotisme, pengkhianatan janji-janji, pembohongan publik dan konspirasi politik. Karena itu, tugas wakil rakyat adalah mengawali kinerja pemerintah agar selalu bersih. Wakil rakyat berperan seperti ‘anjing penjaga’ yang selalu menggonggong setiap kebijakan pemerintah yang tidak populis. Tetapi, ideal seperti ini rupanya sulit diimplementasikan ketika institusi wakil rakyat sendiri dijadikan sarang penyamun. Maka langkah yang bisa dibuat adalah pembersihan institusi (clean institution). Pembersihan institusi wakil rakyat mesti mulai dari diri sendiri. Jangan hanya tahu mengkritik pemerintah, tetapi diri sendiri tak terurus. Fungsi kritik wakil rakyat tak bergema dan mengena karena mereka sering menikmati orgasme ‘perselingkuhan politik’ bersama aparat pemerintahan dan penegak hukum.
Ketiga, meningkatkan political will para politikus. Kemauan politik wakil rakyat kita sering mengalami fluktuasi, tergantung amplop. Pihak yang berani menyediaka jaminan materi akan diperjuangkan kepentingannya ketimbang pihak-pihak yang tak punya apa-apa (rakyat miskin dan menderita). Kemauan politik wakil rakyat mesti ditingkatkan dengan upaya mempelajari fungsi dan makna eksistensinya di tengah kehidupan rakyat. Persoalan penggelembungan dana misalnya terjadi karena lemahnya kemauan politik wakil rakyat terhadap kepentingan rakyat. Jika political will itu kuat, maka saya yakin wakil rakyat kita akan seperti Yohanes Pembaptis yang membawa orang menuju jalan keselamatan, berani mengeritik segala kebobrokan termasuk kebejatan Herodes, dan tidak berusaha mendapat keuntungan apa-apa dari tugas perutusannya. Dia tetaplah figur sederhana, tidak mengejar kemewahan seperti wakil rakyat saat ini.
Keempat, membumikan religious ethics. Wakil rakyat kita semuanya orang beriman, orang beragama. Bahkan kutipan-kutipan biblis sering terdengar dari ucapannya. Menjadi orang beriman, orang beragama tidak cukup dengan mengikuti berbagai ritus keagamaan atau menyebut-nyebut kutipan biblis. Yang perlu dibuat adalah bagaimana makna keimanan itu dipraktikan dalam pelaksanaan tugas setiap hari. Para wakil rakyat mengerti banyak tentang cinta kasih, pelayanan, pengorbanan, rendah hati yang adalah buah-buah iman. Namun, yang dipraktikan justru kebobrokan, ingat diri, angkuh. Masih pantaskah menyebut diri orang beragama?
Betul bahwa wakil rakyat kita tidak sempurna, sebagaimana kita manusia adalah makhluk tidak sempurna (errare humanum est). Tetapi, jangan memperbesar ketidaksempurnaan itu karena kelalaian pribadi, ketulian dan kebutaan membaca kebutuhan rakyat, dan tumpulnya tanggung jawab politik. Untuk para caleg yang baru, selamat berefleksi.
Sekretaris DPC Partai Gerindra Kota Kupang

No comments: