Thursday, November 6, 2008

NTT: Provinsi Gizi Buruk?

Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil

Perayaan dirgahayu kemerdekaan RI baru saja kita lewati. Momen ini menjadi cukup spesial untuk Provinsi NTT karena pada tahun ini NTT genap berusia 50 tahun. Rentang waktu 63 tahun dan 50 tahun merupakan lintasan waktu khronos (perputaran waktu linear) yang bisa bernilai khairos (saat penyelamatan). Dalam rentang waktu itu, Provinsi NTT telah berupaya tampil ke pentas Indonesia dan dunia sebagai sebuah provinsi yang merdeka dari berbagai model penjajahan.
Namun, satu hal yang terus membayangi perjalanan panjang 50 tahun NTT adalah persoalan gizi buruk. Bangsa Indonesia boleh menyebut diri bangsa yang merdeka dan rakyat NTT merasa memiliki kemerdekaan yang sama, tetapi di satu titik rakyat NTT masih dan terus dijajah oleh sebuah persoalan bernama busung lapar dan gizi buruk. Bentuk penjajahan ini terus melindas NTT setiap tahun. Bahkan provinsi ini menjadi spesialis gizi buruk karena memang terjadi setiap tahun di hampir setiap kabupaten.

Persoalan klasik
Untuk sebagian kalangan, Provinsi NTT dan gizi buruk adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Artinya, bukan NTT kalau tak ada gizi buruk. Secara ironis, gizi buruk sudah membantu ‘memperkenalkan’ wajah NTT ke mana-mana. Sepertinya persoalan ini tak putus-putusnya, sementara pemerintah dan berbagai pihak menyatakan sudah melakukan tindakan preventif dan kuratif yang memadai. Lantas, letak kesalahannya di mana?
Jika kita melihat data-data yang saya beberkan di bawah ini, menjadi jelas bagi kita bahwa tingkat kerentanan anak-anak di NTT sangat tinggi terhadap gizi buruk itu. Profil Dinas Kesehatan Provinsi NTT tahun 2007 menyebutkan bahwa dari laporan hasil pengukuran status gizi diketahui bahwa persentase balita yang bergizi baik/normal sebesar (60,3%) pada tahun 2005, (62,5%) pada tahun 2006 dan (61,6%) pada tahun 2007, ini mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun dan balita yang bergizi lebih (0,7%) pada tahun 2005-2006 dan (0,6%) pada tahun 2007. Sedangkan persentase gizi buruk di Provinsi NTT pada tahun 2007 sebanyak (6,0%). Berdasarkan kabupaten/kota persentase tertinggi ada di Kabupaten Sumba Barat (12,20%), TTS (10,00%) dan TTU (9,90%), sedangkan yang terendah di Kabupaten Ngada (3,60%), Belu (3,80%) dan Lembata (5,40%). Sedangkan untuk gambaran risiko daerah rawan gizi di Provinsi NTT dari hasil Pengukuran Status Gizi (PSG) tahun 2007, dengan daerah rawan gizi resik, yaitu sebanyak 30 kecamatan, gambaran persentase risiko daerah rawan gizi tahun 2007 adalah risiko sangat tinggi 59,22%; risiko tinggi 26,61% dan risiko sedang 11,17%.
Data-data resmi lainnya dari laporan tahunan Dinas Kesehatan Provinsi NTT kepada Gubernur NTT terkait dengan kasus gizi buruk adalah sebagai berikut: Pada tahun 2006 di NTT terdapat 559 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis (marasmus-kwashiorkor). Ada 17.161 kasus gizi buruk tanpa kelainan klinis dan 89.251 kasus gizi kurang. Yang meninggal sebanyak 77 orang. Kasus gizi buruk dengan kelainan klinis pada urutan pertama adalah Kabupaten Sumba Barat 137 kasus, TTU 97 kasus dan Belu 90 kasus. Yang meninggal, terbanyak: 15 orang di Belu, 14 Sumba Timur, 12 TTU. Pada tahun 2007 di NTT terdapat 497.577 balita. Dari antaranya terdapat 12.340 balita gizi buruk tanpa kelainan klinis, 167 balita marasmus, dan 10 balita meninggal. Kasus marasmus terbanyak di Kabupaten TTU, Sumba Barat 27 dan Rote Ndao 13.
Untuk tahun 2008, sampai tanggal 24 Juni, dari total balita sebanyak 512.407 balita terdapat 12.680 balita gizi buruk tanpa kelainan klinis, 112 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis (98 balita marasmus, 12 balita kwashiorkor, 2 balita marasmus kwashiorkor), 72.085 kasus gizi kurang dan 24 balita meninggal. Kasus marasmus terbanyak di Kabupaten Sumba Barat Daya 34, Kabupaten TTU 17, Rote Ndao 15 dan Sumba Barat 13. Korban terbanyak meninggal Sumba Tengah 9, Kota Kupang 7, Rote Ndao 4. Bahkan dalam gegap gempita masyarakat dan pemerintah NTT menyongsong HUT RI ke-63, pada awal Agustus 2008 ada berita miris dari Kabupaten TTU. Empat bocah di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) menderita gizi buruk tingkat berat jenis marasmus (kekurangan asupan zat karbohidrat) dan kwashiorkor.
Mengapa ada begitu banyak penderita gizi buruk di NTT? Dr. S.M.J. Koamesah, MMR, MMP selaku Kasubdin PMK Dinkes Provinsi NTT mengatakan gizi buruk tidak selalu sama dengan penyakit. Kasus gizi buruk di NTT, 75% lebih banyak disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan pangan. Ada 3 hal berkaitan dengan pengaruh makanan pada gizi buruk, yakni: 1) jumlah makanan; 2) kualitas makanan; 3) jenis/variasi makanan. Anak-anak gizi buruk hanya 15% disebabkan oleh penyakit seperti TBC, cacingan. Ini yang menjadi intervensi dinas kesehatan. Sementara 75% lainnya disebabkan oleh pola makan. Ini sebenarnya yang menjadi perhatian mutli sektor. Namun, selama ini orang selalu melihat gizi buruk sebagai urusan dinas kesehatan.

Kedaulatan Pangan
Jika penyebab gizi buruk 75% terletak pada persoalan tidak terpenuhinya kebutuhan pangan dan hanya 15% karena penyakit, maka upaya mengatasi gizi buruk adalah upaya memenuhi kebutuhan pangan rakyat di NTT. Provinsi NTT hampir setiap tahun mengalami kekeringan panjang yang berbuntut pada rawan pangan. Sebanyak 89% penduduk NTT berprofesi sebagai petani, 79% di antaranya adalah petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama. Dengan demikian, kebanyakan rakyat NTT menggantungkan hidupnya pada kondisi alam dengan tanah dan iklim jadi faktor penentu.
Kedaulatan pangan dimaksudkan agar masyarakat memiliki kemandirian dalam memproduksi pangan dan sedapat mungkin tidak mengimpor dari luar. Diharapan bahwa mereka tidak mengalami kelaparan karena pangan selalu tersedia di lumbung-lumbung. Dalam kaitannya dengan gizi buruk, kedaulatan pangan berarti, 1) rakyat harus memiliki jumlah makanan yang cukup; 2) rakyat harus mengonsumsi cukup banyak makanan yang berkualitas; 3) rakyat perlu memiliki jenis dan variasi makanan yang cukup. Sayangnya, selama ini kita justru tidak memiliki kedaulatan pangan. Bahkan kedaulatan kita atas perut sendiri pun ditentukan oleh pihak lain. Kita terlanjur berada dalam lingkaran penjajahan gaya baru yang disebut berasnisasi. Rakyat diindoktrinasi dengan berbagai pola bahwa beras adalah makanan yang paling layak untuk dikonsumsi. Jika tidak mengkonsumsi beras, kita kehilangan gengsi dan harga diri. Beras menjadi makanan idola, sementara tidak semua orang di NTT memiliki sawah. Kehadiran politik berasnisasi tidak saja dalam pola konsumsi tetapi produksi, yang dengan sendirinya menggeser posisi jagung dan makanan alternatif lainnya.
Dengan politik berasnisasi, kita menjadi orang-orang yang tidak merdeka. Seorang pakar pertanian Indonesia pernah mengeluarkan sebuah pernyataan yang menarik : "Kalau isi perut kita saja masih ditentukan oleh orang luar, maka sebenarnya kita belum merdeka sama sekali". Kita tergantung pada impor beras dari negeri lain. Kita selalu berharap pada raskin (beras untuk rakyat miskin) yang didatangkan dari luar. Padahal kita mempunyai stok makanan yang sangat cukup untuk dikonsumsi. Masyarakat NTT mempunyai stok pangan lokal yang cukup untuk mengatasi wabah kelaparan. Ada banyak jenis umbi-umbian yang dibudidayakan di kampung-kampung kita. Ada juga hasil hutan berupa putak di Timor, ondo di Flores, iwi di Sumba. Dulu orang-orang tua mengonsumsi makanan ini dan mereka menjadi sehat dengan daya tahan tubuh yang kuat. Sudah saatnya mengantisipasi bencana busung lapar dan gizi buruk dengan pola diversivikasi pangan. Jangan hanya pikir beras. Mulailah untuk menanam umbi, jagung dan jenis makanan alternatif lainnya yang bisa dikonsumsi saat gagal panen padi atau bencana kelaparan menimpa.

Merdeka atas Anggaran
Hingga saat ini hemat saya sebagian besar rakyat NTT belum merasakan nikmatnya merdeka atas anggaran publik. Para penderita gizi buruk pun demikian. Untuk mengatasi persoalan gizi buruk, tidak saja melalui kedaulatan pangan, tetapi juga melalui keberpihakan anggaran. Ini memang jadi soal. Di mana-mana di NTT ini, pemerintah dan DPRD berkoar-koar tentang kepedulian pada korban gizi buruk. Tetapi, dalam merencanakan dan menetapkan anggaran untuk itu, sangat minimalis. Ini yang namanya omong kosong. Wacananya menarik dan menjanjikan tetapi komitmennya tidak jelas.
Kita amati beberapa contoh. Kabupaten TTU dengan tingkat risiko gizi buruk yang cukup tinggi di NTT hingga pekan kedua September 2007 menangani 1.466 kasus gizi buruk, di antaranya 35 penderita dengan kelainan klinis dan 7.267 balita yang berstatus gizi kurang. Pemerintah setempat hanya menyediakan anggaran Rp 198 juta dari APBD untuk menangani masalah ini. Alokasi yang sangat kecil mengingat anggaran untuk penanganan 35 kasus gizi buruk dengan kelainan klinis saja membutuhkan biaya sebesar Rp 37,8 juta. Di mana setiap anak balita membutuhkan biaya sebesar Rp 12.000 per hari dengan masa intervensi selama 90 hari. Sementara untuk penanganan 1.466 kasus gizi buruk dibutuhkan dana sebesar Rp 1.583.280.000. artinya, masih dibutuhkan lagi dana sebesar Rp 1.394.280.000 untuk penanganan lanjutan. Nah, sangat tidak rasional jikalau pemerintah katakan anggaran terbatas sementara di sisi lain kebocoran anggaran oleh tikus-tikus kantor terus terjadi dan berbagai kegiatan yang menguras kas daerah dalam jumlah besar terus berjalan.
Untuk konteks NTT, berdasarkan analisis ABPD NTT tahun 2007 terlihat bahwa total anggaran untuk sektor kesehatan pada tahun 2007 sebesar Rp 22.945.559.800 atau 2,42% dari total APBD NTT tahun 2007 sebesar Rp 779.458.100.000. Dari dana untuk sektor kesehatan itu, belanja anggaran untuk anak secara umum sebesar Rp 5.189.073.200. Sedangkan belanja yang langsung ke anak sebesar Rp 3.128.889.100 (13,6% dari porsi anggaran sektor kesehatan atau 0,40% dari total APBD NTT). Dikonversikan ke anggaran untuk anak karena para penderita gizu buruk di NTT berusia balita dan anak-anak. Apakah dengan 0,40% anggaran dari APBD NTT kita sanggup menggempur penjajahan gizi buruk? Jelas tidak mungkin. Anggaran yang dibutuhkan untuk mengatasi gizi buruk setahun di NTT adalah 57 M. Tetapi APBD NTT hanya menyiapkan 2 M. Artinya hanya 3% dari total anggaran yang dibutuhkan. Terlalu sulit untuk mencegah terjadinya kasus gizi buruk dengan dana yang minim seperti itu.
Momen dirgahayu kemerdekaan RI ke-63 dan refleksi panjang atas usia 50 tahun Provinsi NTT menegaskan beberapa hal. Pertama, rakyat NTT belum sepenuhnya merasakan arti terdalam sebuah kemerdekaan. Masih ada banyak bentuk penjajahan yang dibiarkan terus menindas rakyat seperti gizi buruk, kemiskinan, kebodohan. Kedua, kedaulatan rakyat NTT atas perutnya sendiri masih tergantung pada kemurahan pihak lain. Rakyat kita sudah terpola untuk tergantung pada jatah beras miskin atau operasi pasar beras murah. Makanan alternatif lain seperti jagung dan umbi-umbian mulai ditinggalkan karena gengsi. Akibatnya setiap tahun kita mengalami petaka kelaparan karena stok beras berkurang dan harga beras melambung tinggi sementara di kebun sebelah rumah masih ada umbi dan di pondok masih ada jagung tapi malu untuk mengonsumsinya. Ketiga, rakyat NTT masih belum merdeka atas anggaran publik yang menjadi haknya. Anggaran publik kita belum responsif persoalan krusial kemanusiaan seperti gizi buruk, padahal ini terjadi rutin setiap tahun.
Dalam memerangi penjajahan gizi buruk, kita perlu memiliki filosofi bermain sepak bola. Sebuah tim akan unggul jika semua lini aktif, baik penyerang, gelandang maupun penjaga gawang. Ada penjagaan man to man terhadap pergerakan lawan. Jika Dinas Kesehatan adalah penjaga gawang tim pemberangusan gizi buruk NTT, maka sektor hilir seperti Dinas Pertanian, Peternakan, Perikanan, budget APBD harus berperan aktif untuk menahan pergerakan musuh bernama gizi buruk dan melakukan serangan sehingga membuahkan goal penyelamatan penderita gizi buruk. Namun, bagaimana mau tidak kebobolan (baca: gizi buruk meningkat) terus jika penyerang dan pemain bertahan (sektor hilir dan budget APBD) tidak giat menjaga daerah dan menciptakan gol. Akhirnya, pinalti terus dan kebobolan terus. Kalau seperti ini, maka kasus gizi buruk di NTT akan berlangsung selamanya.

Sekretaris DPC Gerindra Kota Kupang
Caleg No. 1 Partai Gerindra Dapil 2 - Oebobo Kota Kupang




No comments: