Thursday, February 28, 2008

Pers yang Sial

Pers, kebebasan dan kekerasan

(Mengkritisi kekerasan terhadap awak pers)

Oleh Isidorus Lilijawa

Reporters Without Borders (RWB), sebuah lembaga pemantau media internasional baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-100 dari 167 negara dalam hal kebebesan pers. Hasil survey itu menyimpulkan bahwa “freedom of the press” di negara-negara Asia Timur umumnya lebih baik ketimbang di kawasan Asia Tenggara. Kebebasan pers di Asia Timur berada di urutan 30-40 kecuali RRC.

Dalam indeks yang hanya memasukkan unsur minimnya kekerasan ataupun ancaman bagi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, posisi negara-negara Asia Tenggara justru lebih buruk dari negara-negara Asia Timur. Kamboja (85), Indonesia (100), Brunei (118), Malaysia (124), Filipina (128), Thailand (138), Laos (161), Myanmar (164). Walau dalam urutan di atas, posisi Indonesia lebih baik daripada negara-negara Asia Tenggara lainnya, namun Indonesia justru lebih buruk jika dibandingkan dengan negara Timor Leste yang berada di posisi 92 (Pos Kupang, 18/2/2008). Berada pada urutan 100 bukan merupakan sebuah kebanggan bagi dunia pers di negeri ini. Itu artinya, masih cukup tinggi unsur kekerasan dan ancaman bagi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Dan dalam konteks mikro di NTT misalnya, posisi 100 itu justru berbanding lurus dengan perlakuan kasar atau kekerasan yang dialami para awak pers.

Dalam seminggu (12-18/2/2008), media massa lokal menyajikan fakta kekerasan yang dialami awak pers di NTT. Tanggal 12/2/2008, Yoppi Latty, wartawan Timex, ditelepon oleh bagian Humas Kajati NTT untuk menghubungi wartawan lain agar datang ke kantor Kejati NTT karena ada yang mau disampaikan. Namun dalam pertemuan dengan Hady Purwoto yang adalah Aspidum Kejati NTT, Yoppi justru dimarah-marah dan Purwoto malah mengangkat dagu Yoppi (Timex, 15/2/2008).

Beberapa hari kemudian, kekerasan terhadap wartawan terjadi lagi. Hendrik R Beni, wartawan Expo NTT yang bertugas di Ende mengadukan Sekretaris Daerah (Sekda) Ende, Iskandar M Mberu kepada kepolisian resort Ende karena perbuatan yang tak menyenangkan yang dilakukan terhadap Beny di Bandara Haji H Aroeboesman Ende. “Sudah lama saya cari Anda dan sekarang kita bertemu. Anda jago membuat berita selama ini dan menulis tentang saya. Sekarang ini kita ke depan untuk membuat perhitungan (adu fisik),” demikian kata-kata Sekda Mberu. Bahkan Sekda Mberu menunjukkan kepalan tangan dan mengejar korban sambil berteriak maling, maling (Pos Kupang, 16/2/2008).

Kekerasan fisik terhadap wartawan dialami oleh Obby Lewanmeru, wartawan Pos Kupang yang bertugas di Kabupaten Manggarai Barat. Obby dianiaya oleh empat preman di depan Kantor Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) di Labuan Bajo, Minggu (17/2/2008). Akibatnya Obby mengalami luka robek pada bibir. Sebelum memukul, para preman itu hanya mengatakan tak senang dengan pemberitaan soal bank NTT Cabang Labuan Bajo, yang menurut Obby tak pernah ditulisnya (Pos Kupang, 18/2/2008).

Situasi kelabu

Tiga kasus yang terungkap di atas mengindikasikan bahwa para awak pers dalam iklim kebebasan dan reformasi sekarang ini masih rentan terhadap kekerasan. Sebelum era reformasi lahir, kehidupan pers sangat dikebiri dan ruang geraknya dipantau penguasa. Pers berada dalam masa-masa kelabu untuk mengekspresikan peran dan tugasnya di tengah masyarakat. Pers dikontrol oleh penguasa dan dimanfaatkan sebagai corong kepentingan penguasa.

Dalam situasi seperti ini, pemberitaan pers adalah pesanan penguasa atau pemberitaan yang menyenangkan penguasa. Pembredelan, pencabutan SIUP adalah senjata yang menumpulkan fungsi kritik dan kontrol sosial pers. Sejarah pers di Indonesia lebih banyak menunjukkan wajah yang retak dan terpecah. Wajah pers tak pernah semulus wajah para artis yang diberitakan, digosipkan dan didekati para wartawan dengan begitu mudahnya. Wajah pers di Indonesia buram oleh berbagai kooptasi, intervensi, terror bahkan pembunuhan wartawan. Nadi hidup pers diputuskan oleh “allah” yang adalah instruksi pembredelan.

Tak mengherankan jika kelahiran momen reformasi yang mengusung brand kebebasan disambut gembira oleh seluruh warga negeri ini, termasuk para awak pers dan industri media massa. Sebuah era baru kehidupan pers yang independen, merdeka dan bebas. Pers pun tumbuh dengan suburnya. Kebebasan pers yang seluas-seluasnya itupun kerap menjebak pers dalam persoalan pelanggaran kode etik jurnalistik karena kebebasan sering disalahartikan sebagai kebebasan untuk menulis apa saja tanpa panduan kode etik dan prinsip-prinsip jurnalisme yang benar. Dan sayangnya, aksi-aksi kekerasan terhadap pers tidak dengan sendirinya berakhir setelah rezim orde baru itu tumbang.

Tiga kasus kekerasan yang dialami para awak pers di atas sepertinya melemparkan kita kembali ke masa-masa kelabu pers di era orde baru. Itu berarti, hingga saat ini masih ada sikap dan mentalitas publik yang belum beranjak dari cara-cara kekerasan, intimidasi, ancaman saat berhadapan dengan pemberitaan pers yang bersinggungan dengan kepentingan bersama. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa pola-pola pendekatan orde baru yang selalu dicaci maki karena tak menampakan jiwa demokratis dan mengekang kebebasan masih menjadi bagian dari pola laku dan pola sikap masyarakat kita.

Secara tak sengaja, tiga pelaku kekerasan di atas dapat dikelompokkan dalam tiga struktur peran dalam masyarakat. Hadi Purwoto selaku Aspidum Kejati NTT adalah aparat penegak hukum. Sekda Iskandar Mberu adalah aparat pemerintahan. Dan keempat preman di Labuan Bajo adalah warga masyarakat biasa. Aksi kekerasan yang mereka lakukan terhadap awak pers menggambarkan beberapa hal: Pertama, bahwa kekerasan terhadap pers bukan saja hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mengerti hukum, yang tidak berpendidikan, tetapi juga oleh orang-orang yang melek hukum dan yang patut menjadi anutan masyarakat. Kedua, pers hadir sebagai mitra pemerintah dalam mewujudkan clean government dan good government melalui fungsi kritiknya. Pers menjadi wahana penyampaian aspirasi rakyat yang sangat membantu pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Sayang jika aparat pemerintah merasa alergi pada pers. Jika itu terjadi maka tentu ada sesuatu di balik itu. Ketiga, masyarakat biasa yang mana kepentingannya selalu dibela pers kadang berperilaku kasar terhadap pers itu sendiri. Pada situasi tertentu, masyarakat sering dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kuasa dan modal atau aktor intelektual untuk mengamankan kepentingannya yang disengat pers karena keterlibatan mereka dalam kasus-kasus tertentu yang merugikan bonum commune.

Atas ketiga kasus kekerasan terhadap awak pers di atas, masing-masing institusi pers telah menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan dengan mempolisikan para pelaku kekerasan. Namun, upaya kita sebenarnya tidak sebatas itu. Mengungkap motif kekerasan, menyeret pelaku kekerasan ke meja hukum adalah hal yang terus kita perjuangkan. Selain itu, upaya mencegah dan menyembuhkan mentalitas preman yang meruak dalam ranah publik, yang terwakili oleh para pelaku kekerasan di atas adalah satu hal yang harus kita lakukan saat ini. Jalur hukum tetap ditempuh, tetapi proses penyadaran berkaitan dengan eksistensi dan urgensitas pers demi demokratisasi masyarakat harus terus kita galakkan. Karena pers tidak boleh mati hanya karena intimidasi dan kekerasan terhadapnya. Pers harus tetap hidup dan ‘mencerahkan’ pelaku-pelaku kekerasan itu.

Proses pembelajaran

Kasus kekerasan terhadap awak pers walau menyakitkan, namun tidak mesti menghilangkan aspek pembelajaran yang lahir daripadanya. Kasus-kasus kekerasan di atas cenderung berkaitan dengan ‘kenyamanan pribadi’ yang diganggu. Padahal pers tidak menukik ke hal-hal pribadi, melainkan bermain di ruang publik atas dasar fakta dan data yang diverifikasi. Kenyamanan pribadi terganggu ketika ruang bonum commune dikontaminasi oleh pemenuhan hasrat pribadi yang egois. Artinya, hanya orang-orang yang memanipulasi kepentingan umum dengan kepentingan pribadinya yang merasa tidak nyaman terhadap pers.

Tiga kasus di atas memberikan pembelajaran khusus kepada para awak pers. Bukan untuk menjadi takut dan kecut dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tetapi agar melaksanakan tugas itu berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik. Jika awak pers telah melaksanakan tugasnya sesuai kaidah jurnalistik dan prinsip-prinsip jurnalisme, maka kekerasan yang dilakukan terhadapnya adalah sesuatu yang sangat tidak mendasar. Dan hemat saya, hal itu mencerminkan rendahnya kualitas intelektual dan moral pribadi pelaku kekerasan bersangkutan. Tindakan kekerasan terhadap pers dalam arti yang lebih dalam adalah sebuah proses pemberangusan benih-benih demokrasi yang telah ditumbuhkembangkan dengan susah payah di negeri ini.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism yang diterjemahkan oleh Yusi A Parcanon menjadi Sembilan Elemen Jurnalisme (Yayasan Pantau: 2006) mengemukakan sembilan prinsip jurnalisme yang menjadi pedoman penting bagi setiap wartawan. Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah mengabdi kebenaran. Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Ketiga, inti jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi. Keempat, para wartawan harus bebas dari sumber yang mereka liput. Kelima, wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas dari pengaruh kekuasaan. Keenam, jurnalisme harus menyiapkan forum untuk kritik dan komentar publik. Ketujuh, jurnalisme harus menjadikan hal yang penting menarik dan relevan. Kedelapan, wartawan harus menjaga agar beritanya proporsional dan komprehensif. Kesembilan, wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya.

Kesembilan prinsip di atas merupakan panduan dan kompas bagi kerja seorang jurnalis. Itu berarti, sangat disayangkan jika pemberitaan pers mengabaikan salah satu unsur itu yang selanjutnya dapat menimbulkan kekerasan walau ada mekanisme tersendiri dalam dunia pers, yang hingga saat ini belum cukup diketahui oleh masyarakat, aparat penegak hukum dan aparat pemerintah yakni undang-undang pers. Sebagai bagian dari proses pembelajaran, maka apa yang dikemukakan oleh Damyan Godho, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT, yang juga Pemimpin Umum SKH Pos Kupang patut dimaknai oleh segenap insan pers. Ia berpesan kepada para wartawan agar tidak usah takut dan gentar melawan praktik-praktik preman, intrik, teror, dan intimidasi. “Di tengah penegakan hukum yang belum maksimal, praktik-praktik KKN yang menggurita, cara-cara preman bisa saja terjadi. Mereka yang terkena pemberitaan bukan tidak mungkin bereaksi. Mereka menggeliat dengan berbagai cara termasuk gaya preman yang direkayasa sedemikian rupa dalam menghadapi kontrol pers terhadap perbuatan yang merugikan rakyat dan negara” (Pos Kupang, 18/2/2008). Tentu saja, awak pers harus tetap lantang bersuara di padang gurun nurani para penguasa, pejabat, pemodal, rakyat yang KKN, seperti Yohanes Pemandi yang selalu menggelisahkan raja Herodes di singgasana kemapanannya.

Pembelajaran lain yang perlu dimaknai oleh aparat pemerintahan, aparat penegak hukum dan masyarakat umum lainnya adalah mengenai Undang-Undang Pers. Perundang-undangan ini bukan hanya milik dan wajib diketahui oleh para jurnalis dan pegiat pers, tetapi harus menjadi pengetahuan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini yang hemat saya masih belum terjadi di bumi NTT ini. Jangan membayangkan para preman di Labuan Bajo mengerti hal ini. Seorang Aspidum seperi Purwoto dan aparat pemerintahan semacam Sekda Iskandar Mberu pun tidak paham mekanisme pers semacam itu. Karena ketidakpahaman itulah lahirlah kekerasan terhadap pers. Padahal dalam undang-undang pers, telah disebutkan secara jelas mekanisme apa yang harus ditempuh bila pemberitaan pers merugikan atau merusak nama baik seseorang.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 item ke-11, 12, 13 secara jelas telah menulis tentang hak jawab, hak koreksi dan kewajiban koreksi. Hak jawab adalah hak seorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Kewajiban koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers bersangkutan.

Prosedur-prosedur di atas adalah cara yang ditempuh apabila terjadi kekeliruan dalam pemberitaan. Bukannya membuat perhitungan untuk ada fisik (otot). Secara psikologis, orang yang selalu marah adalah orang yang menyembunyikan kelemahan dirinya. Dan orang yang mengandalkan otot adalah mereka yang kurang memfungsikan otak atau dengan kata lain ‘otak kosong’. Berbagai kasus kekerasan terhadap awak pers bermula ketika orang tidak memahami mekanisme yang berlaku dalam dunia pers atau undang-undang pers. Ini adalah tugas pegiat pers untuk terus mensosialisasikan undang-undang ini kepada segenap masyarakat, aparat penegak hukum, aparat pemerintah, dan wakil rakyat. Harapan kita tentunya dengan pemahaman yang benar tentang pers, berbagai kekerasan terhadap awak pers dapat diminimalisir.

Pers memainkan peran yang sangat signifikan dalam perkembangan peradaban kita saat ini. Dengan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Dalam perkembangannya, pers juga mengemban fungsi-fungsi ini: (1) menegakkan nilai-nilai demokrasi, (2) mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, (3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, (4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran-saran yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (5) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dengan fungsi seperti ini, para awak pers menyuarakan warta profetis demi kebaikan masyarakat. Suara profetis ini sangat perlu dalam konteks hidup kita di mana sering terjadi manipulasi kebenaran dan keadilan, perendahan hak asasi manusia, penggiringan opini publik pada kepentingan pihak tertentu dan pembodohan-pembodohan ala penguasa/pemodal dan aktor intelektual yang terus-menerus menimpa masyarakat kecil. Pers ada untuk melayani kepentingan publik, menciptakan kesejahteraan rakyat. Itu berarti, kekerasan terhadap pers adalah kekerasan terhadap publik itu sendiri.

Sampai pada saat ini kita masih butuh pers dan kita akan selalu membutuhkannya. Pers adalah mitra masyarakat, rekan pemerintah, kawan penegak hukum. Pers dalam teori pers libertarian adalah the fourth estate (pilar kekuasaan keempat). Walau pers adalah mitra, ia tetap berperan sebagai watchdog (anjing pemantau) bagi kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Pers juga mengawasi roda kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pers adalah ‘perpanjangan tangan rakyat’. Karena itulah, kemerdekaan pers adalah conditio sine qua non bagi terungkapnya aspirasi rakyat dan terciptanya demokratisasi di daerah ini. Hanya orang yang terlibat dalam hal-hal yang merugikan rakyat dan negaralah yang alergi terhadap pers. Sekali lagi awak pers tidak boleh takut dan kecut. Bersuaralah lantang di padang gurun NTT ini. Pers, jayalah selalu.

Isidorus Lilijawa, Alumnus STFK Ledalero. Mantan wartawan/redaktur Harian Umum Flores Pos (2006/2007). Anggota Forum Akademia NTT. Menulis buku “Mengapa Takut Berpolitik?” (Pustaka Nusatama: 2007). Koodinator Program ACILS-LPA NTT 2008 untuk Trafiking.

No comments: