Thursday, February 28, 2008

Manajemen Pemberdayaan Masyarakat

Manajemen Pemberdayaan Masyarakat

Oleh Isidorus Lilijawa

Tak dapat kita mungkiri lagi bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan issu aktual saat ini. Untuk proses pemberdayaan ini, ada begitu banyak lembaga swadaya masyarakat lokal maupun internasional yang terjun ke tengah-tengah masyarakat mengibarkan panji pemberdayaan ini. Tak hanya itu, pemerintah selaku pihak yang diserahi tanggung jawab untuk mengusahakan dan merealisasikan kemaslahatan hidup orang banyak menelorkan program-program pemberdayaan masyarakat melalui instansi-instansi terkait. Untuk tugas pemberdayaan itulah, para fasilitator pemberdayaan masyarakat dari berbagai lembaga di atas telah dan sedang melakoni tugas fasilitasi di tengah masyarakat desa.

Dalam proses pemberdayaan ini, tiga hal yang penting untuk dikaji adalah masyarakat, fasilitator dan proses fasilitasi. Masyarakat adalah universitas sejati. Di sana ada begitu banyak kekayaan intelektual, bergelimang kearifan lokal dan gudang pengetahuan yang tak terbatas. Jika kita ingin mendapatkan keterampilan dan pengetahuan yang lengkap dan sempurna, bergurulah pada masyarakat. Sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan formal adalah miniatur dari sebagian aspek kehidupan masyarakat. Kita belum cukup memahami masyarakat hanya dengan menghabiskan waktu di sekolah atau panti pendidikan. Pemahaman kita mengenai masyarakat bisa menjadi lengkap jika dan hanya jika kita hidup di tengah masyarakat dan berguru daripadanya. Demikian pun seorang fasilitator hanya dapat memahami masyarakat bila ia datang dan belajar dari masyarakat itu sendiri.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah untuk apa fasilitator atau apa peran fasilitator jika masyarakat dapat melakukan sendiri apa yang mau dilakukannya? Pertanyaan ini penting untuk menguji sejauh manakah masyarakat betul-betul membutuhkan kehadiran seorang fasilitator dan apa yang harus dibuat fasilitator berhadapan dengan kebutuhan dan problematika masyarakat. Dengan caranya sendiri masyarakat sebenarnya memiliki kemampuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan dapat menciptakan kehidupannya secara lebih baik. Masyarakat selama ini mampu melakukan apa yang dikenal dengan lima (5) tahap pemberdayaan yakni partnership building (membangun kemitraan) ke dalam dan keluar, issue analysis (analisis masalah), action plan (menyusun rencana), implementation and monitoring (pelaksanaan dan monitoring) dan evaluation and feedback (evaluasi dan mendengar umpan balik) dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Pendek kata, sebenarnya masyarakat dapat melakukan sendiri apa yang menjadi tuntutan hidupnya.

Jika kita berada dekat dengan masyarakat, kita dapat mengamati banyak kasus dalam kehidupan mereka yang mampu dipecahkan sendiri atas inisiatif yang datang dari mereka sendiri. Dengan potensi yang mereka miliki, khazanah kultur dan kearifan lokal yang mereka hidupi, persoalan-persoalan itu sanggup mereka atasi secara bijak. Ini berarti dari dalam dirinya sendiri masyarakat sebenarnya mempunyai daya hidup (elan vital) yang memampukan mereka bertahan dan terus berkembang. Dengan demikian, kehadiran fasilitator sebagai “outsiders” bukanlah obat mujarab bagi persoalan masyarakat. Fasilitator hanyalah setitik dari kekayaan masyarakat yang berusaha mendampingi masyarakat sejauh dapat. Prinsipnya, fasilitator tidak membawa sesuatu yang baru dan asing dari luar komunitas masyarakat setempat, tetapi mulai dengan apa yang masyarakat miliki.

Lantas, atas dasar apa fasilitator sebagai ”pihak luar” terlibat dalam persoalan masyarakat? Apakah karena mereka diminta oleh donor untuk melakukan tugas pemberdayaan? Atau, karena fasilitator lebih berilmu dan mengetahui banyak hal? Atau, apakah karena fasilitator memiliki issue yang sama (common issues) untuk dipecahkan secara bersama-sama? Pertanyaan-pertanyaan di atas mau menegaskan bahwa fasilitator (pihak luar) harus sangat berhati-hati ketika akan melibatkan diri dalam suatu komunitas masyarakat. Sering kali fasilitator terjun ke masyarakat tanpa bekal pengetahuan yang cukup mengenai masyarakat dan problematikanya. Sebagaimana seorang dokter yang sebelum melakukan operasi pasiennya perlu mempelajari genealogi pasien, riwayat penyakit, peralatan yang perlu, fasilitator pun harus mempunyai pemahaman yang benar mengenai masyarakat dan mengapa masyarakat membutuhkan “pemberdayaan”.

Itu artinya, seorang fasilitator yang sedang bekerja mendampingi masyarakat harus bisa “berpikir” dan “berasa” secara sehat tentang masyarakat. Proses berpikir dan berasa inilah yang kemudian mendasari bagaimana fasilitator mendampingi masyarakat. Alur berpikir yang benar akan menimbulkan fasilitasi yang benar. Sebaliknya, bila alur berpikir salah, fasilitasi yang diciptakan juga akan keliru. Sensivitas rasa yang kurang diperhatikan dalam proses fasilitasi menjadikan masyarakat sebagai tong sampah yang bisa menampung segala hal yang dibuat dan dikatakan fasilitator. Padahal, masyarakat mempunyai sensus kolektif yang perlu dihargai karena menjadi patokan kebenaran bagi mereka.

Jadi, dapat dikatakan bahwa aktivitas berpikir dan berasa seorang fasilitator akan sangat menentukan dalam proses dan tahapan suatu program pemberdayaan masyarakat. Namun, alur atau proses berpikir fasilitator ini kadang susah dipahami secara mendalam, baik itu oleh fasilitator sendiri maupun pihak manajemen sebagai supervisor dari fasilitator bersangkutan. Dan juga jarang sekali alur berpikir fasilitator didalami selama proses pengembangan kapasitas baik melalui pelatihan-pelatihan maupun praktik dalam sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Konsep pemberdayaan

Pada prinsipnya, pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat didampingi oleh fasilitator untuk memecahkan masalahnya sendiri dengan mengakses dan menggunakan sumber daya setempat. Dengan demikian, pemecahan masalah, pengembangan berkelanjutan dan ketergantungan masyarakat pada pihak-pihak dan bantuan dari luar dapat dikurangi. Seringkali masyarakat mendapat bantuan dari pihak luar, Namun sering pula bantuan itu tidak berlanjut sehingga setelah program selesai bantuan tersebut tidak bermanfaat lagi bagi masyarakat. Untuk jangka pendek masalah dapat dipecahkan, tetapi untuk jangka panjang tentu tidak ada perbaikan. Sekali lagi, fasilitator dan lembaga pemberdayaan harus mempunyai pemahaman yang benar mengenai apa dan siapa masyarakat itu sebelum terjun ke tengah-tengah mereka.

Tujuan pendampingan adalah pemberdayaan. Pemberdayaan berarti mengembangkan kekuatan atau kemampuan (daya) potensi, sumber daya masyarakat agar mampu memecahkan persoalannya sendiri. Ilustrasi cara berpikir dokter di atas, untuk konteks pemberdayaan sedikit berbeda. Dokter menyembuhkan pasien, dan apabila pasien mengalami sakit lagi, tentu ia akan ke dokter. Tetapi dalam konsep pemberdayaan, jika penyakit yang telah disembuhkan pada suatu saat kambuh lagi, maka pasien yang sama tidak segera ke dokter tetapi berusaha mengobati sendiri dengan cara dan potensi yang dimiliki. Inilah esensi proses fasilitasi.

Seorang fasilitator mesti bisa membedakan pemberdayaan masyarakat dengan pembinaan. Pembinaan adalah intervensi dari pihak luar, di mana orang luar yang mengambil inisiatif, memutuskan dan melakukan sesuai pikirannya sendiri. Masyarakat 'diikutkan' sebagai obyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai 'pembina'. Sedangkan pemberdayaan adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat, di mana masyarakat didampingi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif sendiri agar mereka lebih mandiri dalam pengembangan dan peningkatan taraf hidupnya. Dalam proses pemberdayaan, masyarakat adalah subyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai fasilitator.

Proses pemberdayaan masyarakat cenderung diwarnai oleh pola pikir yang sesat semacam ini. Kita tidak mempunyai modal → minta bantuan modal; kita tidak mempunyai SDM berpendidikan tinggi → minta beasiswa dan pelatihan; kita tidak memiliki teknologi, alat dan mesin → minta bantuan teknologi, alat dan mesin; kita juga tidak ada akses pasar → minta informasi pasar. Pendek kata, tidak ada di sini → minta dari luar. Pola pikir semacam ini bisa saja bersarang dalam benak masyarakat maupun fasilitator. Sangat disayangkan jika para fasilitator yang mempunyai tugas pendampingan masyarakat masih sangat kuat dipengaruhi oleh konsep keliru seperti itu.

Kita, masyarakat maupun fasilitator cenderung mencari apa yang kita tidak punya tanpa melihat apa yang kita punya, atau kita selalu menganggap bahwa orang luar mempunyai hal-hal yang lebih bagus daripada yang kita miliki. Kita selalu menjelekkan diri sendiri sambil membandingkannya dengan orang luar atau kita selalu lebih percaya hal-hal yang ada di luar daripada yang ada di dalam. Padahal, prinsip pemberdayaan adalah jangan melihat ke luar, tetapi tengoklah ke dalam, galilah potensi yang ada di masyarakat, yang lainnya akan ditambahkan dari luar sejauh perlu. Dan yang utama adalah mulailah dengan apa yang ada pada masyarakat (potensi, peluang, kekuatan, tradisi, budaya, kearifan lokal, dll). Kita patut menyadari bahwa masyarakat kita memiliki kekuatan atau kemampuan (daya) potensi, sumber daya masyarakat untuk dapat bertahan, berkembang bahkan mampu memecahkan persoalannya sendiri.

Keberlanjutan pemberdayaan

Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa setelah sekian lama kelompok-kelompok masyarakat mendapat ”pendampingan” oleh fasilitator, mereka akan merasa terus bergantung/tersubordinasi pada fasilitator atau lembaga-lembaga yang mendampingi mereka (pihak luar) walaupun proses pendampingan itu telah berakhir. Jarang sekali masyarakat setempat sampai pada tahap benar-benar mengambil alih, mengelola dan mengendalikannnya sendiri.

Padahal pemberdayaan masyarakat berarti membangun dan mengembangkan mekanisme yang menjadikan masyarakat pada akhirnya berperan sebagai pelaku utama semua kegiatan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dan tindak lanjut. Bahkan sejak awal sebenarnya mekanisme itu mestinya dibentuk oleh masyarakat sendiri. Itulah esensi dari keberlanjutan. Bila kita sederhanakan pemahaman di atas, kita bisa mendefenisikan ”keberlanjutan hidup” sebagai kemampuan masyarakat untuk mengamankan dan mengelola sumber daya yang memadai sehingga memungkinkannya memenuhi misinya secara efektif dan konsisten sepanjang waktu tanpa ketergantungan yang berlebihan pada orang luar.

Pemberdayaan masyarakat tidaklah sekedar hanya membentuk dan membangun struktur kelembagaan dan mekanisme kerja masyarakat tetapi sekaligus juga berarti membangun nilai-nilai, memberi makna baru pada struktur-struktur tradisional tersebut. Inilah salah satu tantangan para fasilitator dalam program pemberdayaan masyarakat.

Karena itu, dalam hal pendampingan kelompok sasaran maupun anggota, fasilitator perlu memikirkan strategi duplikasi jaringan dan pengembangan hubungan dengan lembaga lain, sebagai suatu strategi pengembangan jaringan. Duplikasi jaringan penting untuk diperhatikan karena dalam kondisi yang semakin berkembang (baik manfaat maupun anggota), kebutuhan akan sebuah wadah yang bisa melayani kelompok sasaran yang ada untuk meluaskan jaringan semakin tinggi. Dengan terbentuknya jaringan ini, maka tekanan pendampingan fasilitator tidak lagi lebih banyak pada tingkat kelompok sasaran, tetapi pada tingkat atas, tergantung perkembangan kelembagaannya dan sebaliknya pembinaan lembaga akan dilakukan oleh jaringan yang ada di atasnya.

Pengembangan hubungan dengan lembaga lain menjadi penting jika kelompok sasaran maupun jaringan membutuhkan hubungan dengan pihak luar, termasuk dengan jaringan kelompok masyarakat di wilayah lain. Di sini peran fasilitator bersama dengan kader dari wadah yang dibentuk akan memfasilitasi kebutuhan tersebut, mulai dari memperkenalkan, mengasistensi proses hubungan dan mendampingi kelompok sasaran dalam proses kerja sama. Wadah ini juga dapat berperan sebagai chaneling. Dengan cara ini, kelompok sasaran maupun jaringannya secara perlahan sudah mampu berhubungan sendiri dengan pihak-pihak lain, meskipun tanpa fasilitator sebagai pendamping.

Dalam program keberlanjutan pemberdayaan masyarakat, pengembangan fasilitator ”lapis kedua” adalah hal yang penting untuk ditindaklanjuti. Jika selama program pemberdayaan itu berlangsung, para fasilitator datang dari luar desa atau komunitas masyarakat setempat, maka setelah program pemberdayaan selesai harus ada fasilitator lokal yang menindaklanjuti apa yang sudah dibuat. Fasilitator ”lapis kedua” adalah para fasilitator lokal yang sudah dipersiapkan untuk melakukan peran atau fungsi-fungsi pemberdayaan setelah para fasilitator ”lapis pertama” (fasilitator dari luar) menyelesaikan tugas pedampingannya di desa bersangkutan. Walau program keberlanjutan pemberdayaan masyarakat menempati posisi buntut setelah tahap-tahap pemberdayaan masyarakat lainnya, namun hal itu mesti sudah harus dipikirkan dan direncanakan sejak awal sebuah program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan.

Hal ini penting dilakukan karena selama proses pemberdayaan itu berjalan, mesti sudah ada orang-orang lokal (fasilitator lapis kedua) yang didampingi dan dilatih secara khusus untuk menangani bagian-bagian tertentu dari proses pemberdayaan itu. Pelibatan mereka secara langsung maupun tidak langsung juga merupakan proses pembelajaran untuk mulai berkenalan dan mendalami apa itu pemberdayaan masyarakat dalam konteks fasilitator lokal.

Joe Han Tan dan Roem Topatimasang dalam buku Mengorganisir Rakyat (hal.106) melukiskan strategi dan cara yang ditempuh oleh Jaringan Baileo Maluku dalam mengembangkan fasilitator lapis kedua ini. ”Dalam berbagai pertemuan antar organisasi non pemerintah di Indonesia, utusan dari Jaringan Baileo Maluku hampir selalu muncul dengan wajah-wajah segar, para fasilitator baru dari generasi yang kesekian. Mereka seluruhnya adalah orang-orang lokal, warga masyarakat adat dari berbagai tempat di Maluku, bahkan banyak yang sehari-harinya adalah para nelayan atau petani dengan tingkat pendidikan formal rata-rata SMP saja. Meskipun demikian, perspektif dan kemampuan teknis mereka setara dengan generasi-generasi sebelumnya. Sementara itu, utusan-utusan dari organisasi lainnya banyak yang masih dari generasi pertama, orang-orangnya tetap itu ke itu saja, para aktivis yang bahkan menjabat sebagai pemimpin, ketua atau direktur ’seumur hidup’ dari organisasi mereka.”

Ketika sebuah program pemberdayaan masyarakat digagas, adalah lebih baik jika pada saat yang sama gagasan keberlanjutan pemberdayaan masyarakat diperhatikan. Pengalaman di daerah-daerah kita menunjukkan bahwa kerja LSM lokal maupun nasional/internasional serasa mubazir karena tidak ada tindak lanjut setelah program pemberdayaan itu selesai. LSM atau fasilitator mungkin saja lupa hal ini karena sibuk dengan sosialisasi dan membangun sana sini atau memberi ini itu. Masyarakat juga bisa lupa jika selalu dimanjakan dengan pemberian ini itu. Walau keberlanjutan berada pada tahap terakhir sebuah proses pemberdayaan, namun mengabaikannya sama halnya kita membangun rumah di atas pasir. Penyiapan fasilitator lapis kedua sangat dimungkinkan oleh pendekatan kerja seorang fasilitator. Pendekatan kerja seorang fasilitator bukan top-down dan juga bukan bottom-up. Pendekatan kerja seorang fasilitator adalah midle-up down. Artinya, peran seorang fasilitator adalah menjembatani konteks mikro ke dalam konteks makro, dan sebaliknya menerjemahkan konteks makro ke dalam konteks mikro. Pada titik ini, relasi kerja yang dibangun seorang fasilitator adalah pola partisipatif. Dalam pola ini, fasilitator lokal dapat dilahirkan. Masyarakat bukanlah penerima manfaat (beneficiaries), dan fasilitator bukanlah pemberi manfaat (benefactor), tetapi mitra masyarakat. Kiranya, proses pemberdayaan masyarakat kita ke depan selalu diwarnai oleh relasi mitra yang dialogal ini.

Isidorus Lilijawa, staf Institute of Cross Timor Economic and Social Development (INCREASE) Kupang, alumnus STFK Ledalero.

1 comment:

alexander yopi said...

eja tolong masuk ke http://seminarimataloko-ledalero.blogspot.com....kita reuni di situ...