Wednesday, May 28, 2008

Awas Gegar Budaya!

(Memaknai Pekan Budaya Daerah NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa

Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional dan 100 Tahun Kebangkitan Indonesia, Dinas P & K NTT menggelar pekan budaya daerah NTT 2008. Kegiatan yang dibuka tanggal 15 Mei 2008 ini tentu bukan tanpa makna. Para peserta yang datang dari beberapa kabupaten di NTT ini selain menghadirkan keanekaragaman budaya lokal juga membawa pesan kebangkitan budaya lokal. Sangat menarik bahwa masih ada aliran kepedulian pemerintah terhadap perkembangan dan kelestarian budaya daerah. Momen ini memang strategis ketika kebanyakan orang khususnya generasi muda mulai tercerabut dari akar-akar budaya lokal. Memang harus ada usaha untuk menjaga dan melestarikan seni dan budaya daerah, sehingga generasi muda tidak cepat terpengaruh dengan kemajuan teknologi dan informasi serta perkembangan budaya luar.
Momen 100 Tahun Kebangkitan Nasional adalah saat yang tepat untuk membangkitkan kelesuan budaya lokal dalam arus deras globalisasi saat ini. Karena ketika kita menoleh ke latar budaya lokal kita saat ini, ada banyak guratan-guratan retak oleh apa yang disebut ’krisis kebudayaan’ dan ‘gegar budaya’. Tak dapat dipungkiri bahwa kita sedang hidup dalam budaya yang mengalami krisis makna. Kesimpangsiuran informasi yang membingungkan, pertentangan berbagai golongan masyarakat yang tak habis-habisnya, keterasingan dan kesepian individu-individu di dalam keramaian manusia yang sejalan dengan hancurnya berbagai hubungan mesra solidaritas lama, lenyapnya penghormatan kepada ilmu pengetahuan yang obyektif dan pengetahuan agama yang kudus, merajalelanya kuasa media, merupakan faktor-faktor yang melahirkan krisis budaya, yang melilit erat budaya lokal kita.
Generasi muda kita saat ini juga sedang mengalami situasi ‘gegar budaya’. Budaya lokal dipandang sebagai yang kuno, usang dan karena itu tidak harus ditampilkan. Pola-pola budaya barat tak jarang diekspresikan dan digemari. Ini nampak dalam busana, cara bicara, pola pergaulan. Gegar budaya menyebabkan orang kehilangan pijakan budaya. Malah dari aspek budaya, kita seperti mengalami gangguan mental. Salah satu hal yang mengindikasikan gegar budaya adalah kita malu mengakui dan menghidupkan budaya lokal sendiri dan memandang budaya luar selalu yang terbaik.
Pekan budaya daerah NTT ini bernilai strategis karena diusahakan dan dibuat pada saat budaya lokal kita sedang mengalami goncangan. Hemat saya, pekan budaya ini bertujuan merevetalisasi, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai kearifan lokal yang kian terancam punah. Di samping itu, pekan budaya ini bisa dipandang sebagai sebuah proses pembelajaran dari budaya lokal itu sebdiri. Kita bisa belajar banyak dari kekayaan budaya lokal masing-masing yang terpancar dalam nilai-nilai kerja sama, disiplin, harmoni, saling menghargai, rela berkorban dan lain-lain. Setiap gerakan tarian, hentakan kaki, ayunan tangan, putaran badan, kata-kata yang diucapkan, teriakan, bunyi-bunyi yang dihasilkan, merupakan media pembelajaran dan pendidikan dari sebuah karya seni dan kedalaman budaya kita sendiri. Karena itu, saya melihat pekan budaya ini bisa berperan sebagai pencipta nilai. Lebih jauh ia tidak hanya bernilai mimesis dalam cerapan indra, melainkan menyandang fungsi katarsis (pemurnian diri dan komunitas budaya dari kontaminasi budaya asing). Pekan budaya ini juga berperan dalam aspek tertentu seperti movere (menggerakkan nurani, sikap), docere (mengajarkan nilai-nilai) serta delectare (menghibur dan menyenangkan).
Pekan budaya daerah NTT adalah kesadaran masyarakat yang terungkap dalam upaya mencari solusi terhadap fenomen kematian realitas peradaban yang sedang menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita saat ini. Kita sepertinya mengalami paradoks budaya. Di satu pihak, budaya lokal sebagai landasan hidup kita memang masih sangat penting bagi pembentukan karakter manusia yang kaya nilai. Tetapi, di lain pihak ada keinginan besar dari masyarakat untuk bertransformasi budaya, artinya budaya lokal yang mempertahankan nilai-nilai lama perlu menyesuaikan diri dengan mainstream budaya global dewasa ini. Memang kompleks untuk mendamaikannya.
Pertanyaan untuk kita, bagaimana membuat budaya lokal kita tetap menarik dalam konteks lokal? Benar bahwa dalam tuntutan dunia pariwisata, budaya lokal kita sekarang perlu dikemas sekian sehingga bernilai dan menyenangkan bagi para wisatawan regional maupun mondial. Namun, kita perlu ingat dan sadari bahwa hakikat kebudayaan lokal kita tidak perlu menjadi korban komersialisasi dan pariwisata. Nilai-nilai lama yang signifikan bagi hidup tidak semestinya dikomodifikasi hanya untuk memenuhi selera pasar dan keinginan konsumen. Artinya, ada atau tidak adanya pekan budaya, kita harus tetap mencintai budaya kita dan menunjukkan identitas kita sebagai orang-orang yang kaya kearifan lokal.
Pada tataran ini, antara upaya merevitalisasi kebudayaan lokal dan kebutuhan kemasan budaya bernilai jual, kita perlu menempatkan upaya pemberdayaan budaya lokal sebagai agenda hidup kita setiap hari. Pertama, tindak pelestarian budaya. Tindakan ini lebih mengacu pada wujud kebudayaan baik sebagai kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat, maupun sebagai kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia di dalam masyarakat serta benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini dilestarikan karena merupakan khazanah budaya yang masih memiliki fungsi dan makna dalam proses pembudayaan yang berkelanjutan. Wujud-wujud kebudayaan ini dapat bertindak sebagai pusat-pusat keunggulan (centers of excellence). Tindakan pelestarian ini dapat diaktualisasi melalui pendirian museum-museum, mendirikan dan mengorganisir sanggar-sanggar seni budaya di daerah-daerah dan membentuk lembaga-lembaga adat. Perlu juga kita kembali pada perjuangan membangun rumah-rumah adat sebagai contoh keaslian masyarakat berbasis rumah dan kekerabatan.
Kedua, tindakan performance. Hal ini dapat dibuat melalui pementasan dan pertunjukan yang merupakan simbolisasi-integral bentuk pementasan dengan makna dan konteks makna yang mau disuguhkan. Makna dan konteks yang mau disugahkan itu bisa berupa riwayat kehidupan, hubungan-hubungan kekerabatan dan ajaran-ajaran tentang nilai-nilai universal (perdamaian, persaudaraan, cinta, keadilan, respek). Menghadapi dunia modern yang hampir nirmakna, masyarakat meneguhkan identitasnya lewat persetujukan seni budaya, tarian dan musik daerah. Pekan budaya daerah NTT berperan dalam hal ini.
Ketiga, tindakan modifikasi. Tindakan ini lebih berhubungan dengan selera pasar bebas (keuntungan ekonomis tuntutan dunia pariwisata) dewasa ini. Ini berarti bahwa proses menerjemahkan nomenklatur budaya hanya menyentuh sesuatu yang kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat manusia, namun pada saat yang sama manusia juga mengalami proses penghancuran peradaban dalam bentuk bencana-bencana global justru karena modernitas berkembang terlalu pesat (paradoks modernitas). Sebagai bagian dari masyarakat global, kita warga NTT pun tak luput dari paradoks ini. Kita sekarang sedang kehilangan dasar berpijak untuk mencegah dan mengantisipasi pengaruh budaya asing yang radikal. Budaya lokal kita hampir-hampir jadi tak berdaya ketika kita mulai hidup dalam lingkaran budaya anonim. Anonimitas budaya ini perlahan-lahan menghilangkan kepribadian dan identitas kita sebagai orang dari kultur tertentu. Dalam bahasa Ortega I Gazet, hal seperti ini mengarahkan kita pada proses dehumanisasi, yakni hilangnya kemanusiaan yang terus-menerus dalam berbagai lapangan kebudayaan dan kesenian. Seirama dengan itu, J Huizinga dalam bukunya Bayangan Hari Esok melukiskan bagaimana dalam kemajuan yang terus-menerus itu jatuh norma-norma moral, hilang kecakapan menimbang dan memilih dan kemajuan menjadi tanda tanya besar karena telah dengan sendirinya menghancurkan budaya sebagai basis kehidupan itu sendiri.
Keempat, penafsiran sebagai reinvensi tradisi. Penafsiran dapat dipahami sebagai penciptaan kembali suatu tradisi dan membacanya dalam konteks yang baru dengan artikulasi simbolis yang baru pula. Tindakan penafsiran lebih menekankan aspek nilai dan semangat yang terkandung di dalamnya. Inovasi dan kreasi sesuai konteks ini bisa dilihat dari model busana daerah, lagu-lagu pop daerah. Dalam konteks penafsiran ini, kenyataan-kenyataan lokal mesti terlebih dahulu diterima sebagai sesuatu yang wajar. Inilah tugas kita sebagai makhluk berbudaya. Kita perlu terus menghidupkan budaya dalam konteks tanpa mengabaikan nilai-nilai dan semangat budaya lokal kita masing-masing agar kita tidak menderita gegar budaya.

Penulis adalah warga Oebufu, Anggota Forum Akademia NTT. Menulis buku “Mengapa Takut Berpolitik” (2007).



Jangan Mempermainkan Politik

Oleh Isidorus Lilijawa


Dalam siklus musim di NTT, bulan Maret hingga Oktober dikenal dengan siklus musim panas. Namun, tahun ini kadar panasnya terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam bulan April hingga Mei dan berpuncak pada Juni nanti, kita tidak saja merasa panas karena tidak hujan, karena terik mentari menyengat, namun masyarakat NTT juga sedang dijangkiti musim panas pilkada. Panasnya pilkada tidak saja membuat kita gerah secara ragawi, tetapi ia sanggup menggerogori nurani dan menggosongkan rasio. Panas pilkada ini banyak disebabkan oleh partai politik, paket-paket calon pemimpin, tim sukses hingga penyelenggara pilkada itu sendiri.
Panasnya suhu politik saat ini menyebabkan orang atau partai politik tertentu secara begitu gampang mereduksi makna politik sebagai permainan adu trik dan intrik. Politik dilihat sebagai sebuah permainan yang tak punya lagi pagar etika dan moral. Malah politik diperlakukan sebagai kasino, sebuah ruang tempat para elit politik berjudi. Dengan pereduksian semacam ini, maka politik lalu dihayati hanya sebatas meraih kekuasaan, menduduki kursi terhormat atau memperjudikan kepentingan rakyat kecil.
Contoh-contoh konkrit tereduksinya makna politik dalam proses pilkada kita saat ini begitu banyak. Beberapa yang saya kemukakan: dualisme partai dan pimpinan partai; berubah-ubahnya dukungan partai pada paket tertentu, black campaign (kampanye hitam) yang mulai dilancarkan untuk menyudutkan paket tertentu, tidak tegasnya KPU yang meloloskan partai yang mencalonkan dua paket sekaligus pada verifikasi tahap pertama, pernyataan politisi yang menyebut politik itu ”memainkan dan dimainkan”. Berbagai persoalan ini mengindikasikan politik itu masih sebatas arena adu tangkas, adu cerdik, adu licik, adu power, adu uang. Politik masih dihayati secara arkhais sebagai permainan survival for the fittest (yang ’kuat’ yang jadi pemenang) dalam wilayah hukum rimba. Hemat saya, degradasinya makna politik ini terjadi ketika politisi, para pengurus partai politik dan penyelenggara pilkada kurang memahami makna politik yang sebenarnya.

Makna Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani, "Ta Politika", yang berarti hal-hal atau urusan yang berkaitan dengan polis (negara kota). Polis menurut Aristoteles berarti negara kota yang dihuni oleh orang-orang merdeka dengan hak yang sama untuk menata kehidupan bersama. Konsep ini sangat konsekuen dengan pandangannya tentang manusia sebagai 'zoon politicon', makhluk berkodrat sosial. Jadi secara etimologis, politik adalah usaha menata kehidupan bersama dalam kemerdekaan dan kesamaan hak dengan berpedoman pada perikemanusiaan.
Pada zaman Yunani klasik kata politike senantiasa disanding dengan kata techne, yang berarti teknik atau seni. Arti dasar politik adalah upaya pengelolaan bangsa dan masyarakat. Arti semacam ini selalu dimengerti sebagai kepandaian, seni, dan teknik mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat atau kelompok. Ia merupakan seni mengelola suatu kemungkinan menjadi efektif, posibilitas menjadi realitas. Menurut Otto von Bismarc politik bukanlah suatu pengetahuan atau teori. Politik merupakan kepandaian membuat pilihan dan memenangkan suatu pilihan dari begitu banyak kemungkinan untuk mencapai suatu perjuangan.
Dalam pemahaman leksikal menurut Kamus Filsafat (Lorens Bagus: 2002, 857), kata politik, politics (Inggris) berasal dari kata Yunani Politikos (menyangkut warga negara), polites (seorang warga negara), polis (kota, negara), politeia (kewargaan). Ada beberapa pengertian: (1) apa yang berhubungan dengan pemerintahan, (2) perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bernegara, (3) bidang studi yang berkaitan dengan masalah-masalah sipil-sosial dan mengembangkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-masalah tersebut, (4) aktivitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antar-bangsa dan kelompok-kelompok sosial lainnya, yang berhubungan dengan perkara penggunaan kekuasaan negara.
Politik dalam arti luas dipahami sebagai sesuatu usaha dan pembicaraan yang menyangkut kepentingan umum atau berpautan dengan publik (pro bono publico). Kepentingan dan urusan umum menjadi isi dan makna politik. Politik adalah hak kodrati setiap manusia. Politik merupakan kesempatan dan kemungkinan yang harus dimiliki oleh setiap orang dan juga harus diberikan kepada setiap orang untuk boleh hidup dan bergerak di muka umum, membina persekutuan hidup dengan orang lain, terlibat dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama dan menikmati hasil perjuangan masyarakat.
Dalam arti sempit, politik dimengerti sebagai perilaku, tindakan pemerintah, parlemen, partai dan organisasi untuk meraih suatu tujuan, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan bernegara dan untuk mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam bingkai ini, politik juga dipahami sebagai sikap dan langkah hidup yang taktis, penuh perhitungan untuk mencapai suatu tujuan secara maksimal dan efektif. Politik merupakan daya upaya atau strategi untuk mendapat kekuasaan secara legitim. Politik berkaitan dengan semua kegiatan yang mempengaruhi atau mencapai pembagian kekuasaan. Ia berkaitan langsung dengan pemerintahan, partai politik dengan program dan penampilannya yang berusaha memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan.
Tujuan politik adalah menyelenggarakan bonum commune (kepentingan umum, kesejahteraan bersama) yang berarti memfasilitasi manusia untuk mengusahakan apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak secara manusiawi. Hidup layak manusiawi berarti kemudahan untuk memenuhi kebutuhan wajar untuk dapat hidup yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Ini tidak saja diukur menurut pemenuhan kebutuhan pokok melainkan kebutuhan untuk berkembang lebih lanjut. Memenuhi kebutuhan berarti dapat memenuhi hak-haknya yang asasi, karena berbagai kebutuhan adalah mutlak; artinya harus dipenuhi, kalau tidak akan timbul gangguan berat dan bahkan kematian. Hidup sesuai dengan martabat manusia tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan, apalagi sesaat, tetapi juga segala yang perlu atau bermanfaat untuk berkembang.
Dari makna politik di atas, terlihat bahwa politik itu luhur. Politik adalah cara memperjuangkan kepentingan bersama. Politik itu seni bukan trik atau intrik. Politik bukan permainan dan bukan untuk dipermainkan. Namun, lakon politik kita saat ini malah sebaliknya. Politik jadi permainan murahan. Politik begitu gampang dimanipulasi. Orang begitu mudah membelokkan kepentingan bersama menjadi kepentingan diri dan kelompok tertentu. Dan sayangnya bahwa para politisi dengan seenaknya berargumen bahwa politik itu memainkan dan dimainkan. Politik kita sungguh-sungguh telah dipermainkan.

Pola Permainan
Ada banyak cara orang mempermainkan politik. Dan hal itu sangat jelas kita amati dalam musim pilkada saat ini. Panji yang berkibar di mana-mana adalah agar masyarakat NTT semakin sejahtera lahir dan batin. Namun, seruan-seruan yang luhur itu hanya selimut yang membalut kebohongan dan kebobrokan. Ada paket yang mempermainkan politik dengan cara-cara klasik hinggan modern seperti berikut ini.
Materialisme Praktis: verbal dan ritual. Banyak orang memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup, jadi tidak mengakui materialisme filosofis. Namun, dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup "etsi Deus non daretur" (seolah-olah tidak ada Allah) atau paling banyak hanya selektif menghayatinya. Dalam pilkada saat ini, hati-hatilah karena banyak paket yang sok suci. Bila turun ke daerah-daerah atau desa-desa, tempat pertama yang dikunjungi adalah rumah ibadat, biara-biara, pesantren. Bicara mereka pun tidak jauh dari firman Tuhan. Bahkan ada ayat-ayat Kitab Suci yang dihafal begitu lancar. Syukur jika religiositas itu sudah menjadi jiwa hidup. Sayang jika itu hanya sebuah permainan untuk mengelabui rakyat.
Pragmatisme: verbal, memang sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya. Namun, dalam kenyataannya menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawanan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan sebelumnya. Kita mungkin membaca di pinggir-pinggir jalan pada baliho paket tertentu atau membaca dan mendengar program strategis atau mandat rakyat yang berbunyi: pendidikan gratis, kesehatan gratis, pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, pembentukan provinsi Flores, provinsi kepulauan, ekonomi kerakyatan, dll. Enak kedengarannya. Bagus prorgramnya. Namun, apakah realistis? Apakah logis jika ada pendidikan gratis? Bagaimana kita bisa mengerti jika selama 5 tahun paket tertentu harus menyelesaikan 10 mandat rakyat? Mana fokusnya? Kita perlu secara jeli menyimak semuanya itu. Jangan sampai kita jatuh dalam kultur baru saat ini: bombastis.
Oportunisme: obral janji sebelum pelantikan, tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa mempedulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Inilah logika mekanisme komersialisasi jabatan: bila jabatan diperjualbelikan, maka pejabat cenderung merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu, ditambah dengan keuntungan yang diharapkannya. Ini malah sudah biasa. Sebelum jadi pejabat, dekat dengan rakyat, ingat teman-teman seperjuangan. Setelah jadi orang, malah hampir tak ada waktu untuk rakyat dan teman-teman seperjuangan sendiri. Ini harus diwaspadai. Kata orang, jangan memilih kucing dalam karung. Amati masing-masing paket, bedah diri mereka, cermati virus oportunisme kalau boleh dengan kaca pembesar.
Formalisme: tampil memukau seperti tokoh anutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de facto ada atau tidak. Ada calon pemimpin yang selalu tampil formal dan pantas dijadikan tokoh anutan. Mereka lebih suka tebar pesona ke mana-mana bukan tebar kinerja. Keyakinan pribadi tak kuat tetapi mengutamakan pencitraan dalam masyarakat melalui berbagai cara walaupun hanya sebatas formalitas saja. Ini juga perlu diwaspadai.
Dalam beberapa pola ini biasanya politik itu dipermainkan. Masyarakat tentu mesti mempunyai pisau bedah sendiri untuk menyingkap kekotoran politik oleh para politisi dan partai politik. Gunakan pisau bedah sendiri bukan pisau bedah yang diimpor dari tim sukses maupun paket-paket tertentu. Masyarakat mempunyai kemerdekaan untuk menentukan siapa yang layak untuk tampil sebagai figur politik bukan yang mempermainkan politik. Perlu diingat bahwa rakyat adalah satu-satunya hakim yang adil. Pisau bedahnya pada saatnya akan menentukan siapa yang sebenarnya hanya mengotori ruang politik sebagai ruang bonum commune dan siapa yang bersungguh-sungguh memperlakukan politik sebagai jalan meraih cita-cita bersama - kesejahteraan lahir batin.
Mungkin untuk mereka yang mempermainkan politik akan pada saatnya merasakan apa yang ditulis ini. Politik itu bukan permainan karena itu jangan dipermainkan. Politik bukan mainan untuk dimainkan. Orang yang mempermainkan politik akan dipermainkan politik. Orang yang bermain-main dengan politik akan menjadi mainan politik. Permainan, bermain-main, mainan bukan politik. Politik itu politik. Sekali lagi, jangan mempermainkan politik.


Isidorus Lilijawa, Sekretaris DPC Partai GERINDRA Kota Kupang




Tak Cukup Hanya Retorika!

(Catatan untuk Kampanye Pilkada NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa


Proses Pilkada Gubernur NTT sudah memasuki masa kampanye. Walaupun ada begitu banyak gelombang dan riak protes selama beberapa minggu terakhir, toh the show must go on. Tiga paket yakni FREN, GAUL dan TULUS siap merebut simpati rakyat dalam masa kampanye 2 minggu ini. Waktu normatif ini memang terlampau singkat untuk konteks NTT yang berciri kepulauan. Tetapi, dalam keterbatasan waktu inilah masyarakat akan menilai paket mana yang betul-betul pandai meracik strategi kampanye untuk mendulang mayoritas dukungan rakyat NTT.
Dua minggu kampanye adalah waktu normatif yang ditetapkan penyelenggara Pilkada. Namun hemat saya, dalam waktu 2 minggu ini setiap paket sebenarnya sedang melanjutkan proses kampanye yang sudah berjalan selama ini bahkan sudah dimulai setahun lalu. Sebelum kampanye normatif ini, setiap paket baik secara langsung maupun melalui mesin partai pendukung dan tim sukses sudah melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat NTT. Visi misi setiap paket sudah disebarkan. Berbagai advertorial di media massa dipublikasikan. Pertemuan dan berbagai metode pendekatan digelar di hampir setiap daerah. Belum lagi kampanye melalui baliho-baliho di setiap sudut kota dan poster atau potret paket yang lengket di rumah-rumah penduduk. Kalau mau jujur, kita sebenarnya sudah mengikuti kampanye Pilkada NTT sejak jauh-jauh hari.
Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya menulis, "Lima tahun sekali, setidak-tidaknya orang-orang penting pada menatap rakyat dengan sedikit lebih cermat. Dan seluruh Indonesia pun dipertautkan lagi. Dalam suatu momen yang agaknya jarang terjadi, mereka seakan-akan secara bergelora merasakan ke ulu hati bahwa Indonesia, Indonesia yang besar ini adalah bagian hidup mereka" ("ah, rakyat!").
Pernyataan ini setidaknya teraktualisasi dalam masa-masa kampanye. Pada momen semacam ini, perhatian partai politik dan aktor politik sungguh berbeda dengan saat-saat sebelumnya. Mereka sering menunjukkan konsern yang tidak biasa dan bahkan luar biasa untuk masyarakat. Masyarakat diperhatikan dengan sekian banyak janji yang seolah-olah sungguh-sungguh. Janji yang memikat dan disampaikan dengan retorika yang begitu meyakinkan.
Itulah kampanye. Saat penghamburan janji-janji manis. Janji yang kadang tidak realistis dan logis. Kampanye adalah suatu bagian dari keseluruhan proses Pilkada yang mesti kita lalui. Membuat wacana tentang kampanye senantiasa mengantar kita pada pergulatan yang intens dengan setiap paket calon gubernur yang akan berkampanye. Politik tanpa kampanye tidak mungkin. Bagi partai dan aktor politik, kampanye merupakan transisi ritual periodis untuk memperkenalkan janji-janji baru kepada masyarakat. Fungsi klasik kampanye adalah upaya meyakinkan pemilih melalui penyampaian visi, misi dan program paket. Kampanye adalah cara memobilisasi pemilih.
Bagi masyarakat, kampanye adalah momen penting pemberi gambaran kemampuan fungsi sistem politik sekaligus menempatkan masyarakat sebagai evaluator proses politik. Arti penting dimensi simbolik kampanye sebagai ritual konstitusional negara demokrasi modern sering dilupakan dalam pendidikan politik di negeri ini. Tak jarang, keluhuran makna kampanye terdegradasi oleh dominasi muatan politis dan interese partai atau paket tertentu. Kampanye hanya dimaknai sebagai perjuangan kekuasaan, instrumen propaganda untuk meraih kekuasaan, dan setelah itu rakyat dilupakan dalam penantiannya yang tak berujung.

Kisah Kelam
Berbagai praktik kampanye di negeri ini kerap memposisikan rakyat sebagai obyek dan komoditas politik. Dalam masa orde baru kampanye telah menoreh luka sejarah yang menyakitkan. Selama dua dasawarsa terakhir, pemilu telah menjadi instrumen penumpulan kesadaran politik rakyat. Pada masa orde baru, rakyat menjadi semakin tidak cerdas dalam berpolitik, atau malahan kehilangan sama sekali kesadaran berpolitik. Hasil pemilu sudah diatur sebelumnya. Kampanye cumalah sandiwara yang menyembunyikan kebobrokan dalam berpolitik. Dalam bahasa sarkastis, rezim orde baru telah membuat rakyat menjadi ‘primitif’ karena tiadanya peluang berpolitik. Pemilu telah menjadi instrumen pertanggungjawaban yang kurang sempurna. Rakyat melulu dijadikan obyek politik. Berkembangnya sistem politik yang dibanjiri mitos, kekerasan ideologi dan kepentingan-kepentingan primordialistik menjadikan rakyat bulan-bulanan politik, tanpa pernah menerima dan menikmati hasil-hasilnya di mana janji-janji manis pemilu seperti embun yang menguap tatkala mentari tersenyum.
Mencermati hakikat pemilu, kampanye seharusnya merupakan saat di mana rakyat dapat mempertajam kesadaran politiknya dan dengan demikian dapat menentukan pilihan politiknya. Pemilu-pemilu orde baru tidak melakukan hal itu. Kampanye-kampanye dalam pemilu hanyalah momen untuk menunjukkan kekuatan. Kampanye adalah proses pembohongan rakyat dengan seribu janji manis dan muluk yang tidak terealisasi. Rakyat diajak ke arena kampanye bukan untuk sebuah pendidikan dan pencerahan politik tetapi untuk menonton sandiwara dan menyambungkan agresinya pada gebyar kekuatan yang dipamerkan para artis. Akibatnya, bukan kampanye yang penting melainkan pawai, rasa puas pada sang penyanyi atau pesulap. Apalagi partai merekrut para artis dan selebritis sebagai juru kampanye.
Pada masa-masa itu, terjadi pergeseran dari upaya pendidikan politik ke pemuasan rasa sesaat dengan menekan rasio untuk beraksi. Bahkan kampanye semakin menakutkan. Maklum, yang terjadi bukanlah adu program partai untuk mempertajam kesadaran politik dan dengan demikian menjinakkan agresi, melainkan justru penumpukan kesadaran politik yang mengasah agresi. Kampanye sering diwarnai oleh berbagai tindak kekerasan mulai dari intimidasi sampai teror fisik. Hal ini mengindikasikan bahwa pergesekan kepentingan politik acap kali meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Tebar Retorika
Datangnya saat kampanye boleh jadi mencemaskan kita. Trauma kampanye masa lalu bisa sangat mempengaruhi sikap masyarakat NTT yang memasuki masa kampanye Pilkada Gubernur NTT saat ini. Berbagai format baru Pilkada dan kampanye dengan sekian banyak perubahan dalam sistem dan perundang-undangan tidak dengan sendirinya menjamin keberlangsungan kampanye secara damai dan bertanggung jawab. Partai dan aktor politik sering melakukan kesalahan yang sama memperjuangkan keyakinan politik dan pilihan rakyat hanya pada masa kampanye. Berbagai kasus pencurian star kampanye adalah tanda bahwa rakyat sungguh sangat dibutuhkan pada masa-masa seperti ini. Ujung-ujungnya segala daya upaya beretiket sosial-karitatif pun dibangun demi mendapatkan dukungan masyarakat.
Kita tentu berharap agar masa kampanye Pilkada NTT ini berlangsung aman, damai dan sanggup mendidik rakyat. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan setiap paket adalah memberikan penyadaran politik kepada rakyat sepanjang waktu. Dalam bahasa Max Weber, kampanye politik harus memenuhi kepentingan ideal pemilih. Karena itu, manajemen emosi politik pemilih adalah perjuangan tanpa henti yang berpuncak pada kampanye formal menjelang pemilu. Kunci sukses inilah yang belum dimiliki sebagian besar (kalau tidak semua partai politik di Indonesia). Kampanye masih sebatas retorika politik dan perjuangan kekuasaan.
Retorika dalam peradaban Yunani Kuno adalah ilmu yang paling tinggi, yang digemari para filsuf dan menjadi bagian dari eksistensinya. Setiap orang tua di Yunani saat itu mendambakan anaknya belajar retorika. Para filsuf Yunani adalah orang-orang bijak yang sangat menguasai retorika. Selain dikaitkan dengan kemahiran berbicara, kemampuan menguasai massa dan menyihir massa, retorika diyakini sebagai ilmu yang memampukan seseorang menjadi primus inter pares (pertama dari sesamanya). Karena itu, negara ideal menurut Plato adalah negara yang dipimpin oleh seorang filsuf, yang tentu juga mahir retorika. Retorika dengan demikian bukan saja apa yang verbal, tetapi sesuatu yang terpancar dari dalam diri yakni kebijaksanaan. Dengan itu, retorika selalu mengandikan dua hal ini, penampilan lahiriah dan spirit batiniah atau dalam bahasa kita saat ini tebar kata-kata sekaligus tebar kinerja.
Dalam masa-masa kampanye ini, para kandidat gubernur akan mengeluarkan semua amunisi retorika yang sudah disediakan. Berbagai persoalan khas NTT, tema-tema menarik, issu-issu strategis menjadi bagian dari materi kampanye. Mungkin juga pemetaan kebutuhan setiap daerah dan berbagai kritik atas kekurangberesan Provinsi NTT selama ini. Dan kita terus berharap agar apa yang dikatakan, dikampanyekan itu tidak sebatas retorika sebagai permainan kata-kata. Walau sukses tidaknya kampanye partai politik ditentukan oleh banyak hal seperti berbagai kekuatan partikel-partikel ekonomi, politik dan sosial, namun yang patut diingat adalah yang keluar sebagai pemenang harus mengkonversikan retorika menjadi kinerja, janji-janji menjadi realitas.
Keberpihakan kepada masyarakat adalah keharusan dalam kampanye Pilkada NTT saat ini. Semakin bertambah kritisnya masyarakat akan menjadi suatu kesulitan bagi partai-partai dan paket calon yang cenderung menjual janji-janji manis. Hanya partai-partai politik yang tetap berkomitmen pada janjinya akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat dalam siklus lima tahunan ini. Sekali lagi, jangan jadikan kampanye pemilu ajang perjuangan kekuasaan yang cenderung melupakan pemilih ketika surat suara selesai dihitung. Situasi pembodohan politik yang ditinggalkan orde baru dan yang hingga kini belum diatasi oleh orde reformasi menjadikan kampanye pada Pilkad NTT 2008 ini sebagai sebuah momen diskontinuitas terhadapnya.
Tugas para paket calon gubernur NTT, partai-partai politik dan juru kampanye dalam Pilkada NTT 2008 adalah memanggungkan kembali rakyat ke dalam pentas sejarah pembebasan. Tugas itu adalah tugas etis, karena menyangkut perjuangan hak, kebebasan, dan kesadaran manusia untuk menyatakan diri secara politis. Tugas etis ini demikian mendesak karena mengenai penderitaan rakyat akibat pembungkaman dan pembodohan kesadaran politik. Pada tataran inilah kampanye Pilkada NTT 2008 haruslah menjadi sarana pembebasan dari penderitaan itu. Jika liberasi rakyat dari penderitaan merupakan titik tolak bagi perjuangan setiap paket dan partai-partai pendukung, maka Pilkada NTT 2008 tidak boleh dijadikan taruhan (gambling) sejarah. Rakyat NTT dan penderitaannya tidak boleh dipermainkan untuk taruhan. Pilkada NTT 2008 merupakan sebuah lintasan sejarah demokratisasi dan kemestian etis yang mutlak perlu untuk repurifikasi demokrasi kita dan demi terbentuknya pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap rakyat sebagai muara kedaulatan.


Isidorus Lilijawa, Warga Oebufu. Sekretaris DPC GERINDRA Kota Kupang. Menulis buku ”Mengapa Takut Berpolitik? (2007).

Monday, May 12, 2008

Mencermati Perdagangan Orang di NTT

Oleh Isidorus Lilijawa


Perdagangan orang (human trafficking) bukan merupakan fenomen baru di Indonesia. Sejak zaman raja-raja perdagangan orang sudah dimulai. Pada masa itu, perempuan diperjualbelikan untuk memenuhi nafsu lelaki dan kepentingan penguasa. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kegiatan ini berkembang menjadi lebih terorganisir (Hull, Sulistianingsih dan Jones, 1977). Tidak berhenti saat itu. Masa kini perdagangan orang memperoleh bentuknya yang kian menjadi-jadi dengan berbagai modus operandi.
Perdagangan orang diartikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksanaan lainnya, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, yang dilakukan di dalam negara atau antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Indonesia merupakan daerah sumber, transit dan tujuan perdagangan orang. Menurut laporan IOM (International Organization of Migration) pada tahun 2006, 22 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia menjadi daerah asal korban yang tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang, Saudi Arabia, dan lain-lain. Setiap tahun diperkirakan 600,000 sampai 800,000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak melintasi perbatasan antar negara. Para pelaku trafficking sering menjadikan perempuan dan anak sebagai target trafficking dengan janji-janji untuk mendapatkan pekerjaan, kesempatan melanjutkan pendidikan, dikawini, dan kehidupan yang lebih baik.
Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 15 provinsi terindikasi bahwa dari waktu ke waktu perdagangan manusia memperlihatkan grafik meningkat dengan negara tujuan Malaysia, Singapura, Taiwan, negara-negara Timur Tengah, Amerika Serikat, negara-negara Eropa. Sementara itu tujuan trafficking adalah sebagai berikut: untuk pembantu rumah tangga di luar negeri (kebanyakan di Malaysia, juga di Singapura, Taiwan, Saudi Arabia; dan sebagainya; prostitusi di luar negeri / bekerja pada tempat-tempat hiburan; kawin dengan orang asing (terutama ke Taiwan); bekerja di bidang konstruksi, perkebunan, dan lain-lain (kebanyakan di Malaysia, Saudi Arabia, dan Jordania); pembantu rumah tangga di Indonesia; prostitusi dalam negeri; penjualan bayi; lingkaran peminta-minta yang terorganisir; perkawinan kontrak.

Dari hulu ke hilir
Untuk memahami masalah perdagangan orang di NTT, kita perlu membedahnya dari hulu ke hilir. Prof Mia Noach, Ph.D, M.Ed Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT dalam diskusi yang diselenggarakan ACILS (American Center International of Labor Solidarity) dan Biro Perempuan NTT pada tanggal 12 Maret 2008 mengatakan demikian karena NTT memiliki konteks perdagangan orang yang berbeda dari daerah lain. Untuk mengerti perdagangan orang di NTT, setiap orang mesti membedahnya secara holistik dari hulu ke hilir, bukan serpihan-serpihan kecil yang terlepas satu sama lain.
Pada hulu masalah, terdapat sejumlah faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia. Dikatakan sebagai faktor-faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia, karena faktor-faktor ini merupakan kondisi yang mendorong pelaku, keluarga, masyarakat, dan aparat pemerintah terlibat dalam proses atau cara migrasi dan kegiatan yang tergolong perdagangan manusia. Faktor-faktor itu antara lain kemiskinan yang diperburuk oleh krisis multidimensi yang masih melanda Indonesia; pertumbuhan angkatan kerja yang tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan kerja berimbas pada meningkatnya pengangguran; perubahan gaya hidup yang lebih mengarah kepada materialisme dan konsumtif; bias gender yang bersumber dari budaya yang memberikan penilaian yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan secara ekonomis; jaminan sosial dan perlindungan hukum yang belum memadai, termasuk penegakan hukum yang belum optimal terhadap maraknya tindak pidana yang melibatkan aparat pemerintah.
Sedangkan hilir masalah merupakan tujuan dari tindakan perdagangan manusia, sekaligus akibat yang diderita oleh korban. Dalam konteks ini, tujuan perdagangan manusia teridentifikasi sebagai berikut: pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili); buruh migran legal maupun ilegal; adopsi anak; pembantu rumah tangga; mengemis; industri pornografi dan bentuk-bentuk ekploitasi lainnya.
Dengan membedah masalah perdagangan orang dari hulu ke hilir, kita bisa melihat kontekstualisasinya di NTT. Untuk konteks NTT, yang menjadi korban utama perdagangan orang adalah perempuan dan anak. Karena itu, upaya pencegahan dan penanganan masalah trafiking di NTT adalah upaya yang langsung berhubungan dengan kepentingan para korban itu. Selain itu, konteks perdagangan orang di NTT tidak hanya terjadi dalam pola perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan dalam cakupan antar daerah dan antar negara melainkan juga antar lokal. Contoh perdagangan antar lokal adalah nasib seorang gadis asal Belu yang menjadi korban kerja paksa pada salah satu keluarga di Kampung Garam Maumere beberapa tahun lalu.
Masih berkaitan dengan perdagangan orang di NTT, perlu dipahami bahwa cakupan itu tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang dipekerjakan di luar negeri atau di luar daerah secara ilegal dan tidak memenuhi syarat tenaga kerja. Dalam wilayah NTT sendiri ada banyak contoh kasus perdagangan orang dalam bentuk eksploitasi seksual seperti PSK Jalur Hijau Kota Kupang, PSK Sesekoe di Belu, PSK jalanan di setiap ibukota kabupaten. Mereka-mereka ini adalah bagian dari perdagangan orang. Sayang bahwa oleh konsep tentang perdagangan orang yang masih rancu, mereka-mereka ini tak tercakup dalam upaya pencegahan dan penanganan para korban trafiking di NTT.
Perdagangan orang di NTT dari tahun ke tahun kian marak. Rumah Perempuan, salah satu LSM yang bekerja dengan isu perempuan dalam buku catatan pendampingan Rumah Perempuan melaporkan bahwa selama tahun 2007 ada 20 kasus perdagangan orang yang didampingi Rumah Perempuan. Semuanya terjadi pada buruh migran perempuan. Dari 20 kasus buruh migran, 2 (10%) terjadi pada buruh migran legal dan 18 (90%) terjadi pada buruh migran ilegal. Modus kasus perdagangan orang antara lain penipuan besarnya gaji yang dibayar tidak sesuai dengan perjanjian; penipuan identitas (usia); bekerja melebihi jam kerja.
Selain laporan di atas, wajah NTT acapkali ternoda oleh kasus perdagangan orang yang bahkan telah menjadi konsumsi wacana internasional. Kita tentu masuh ingat kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat, kasus terbunuhnya Tenaga Kerja Wanita asal NTT di Surabaya, kasus 327 Tenaga Kerja Wanita asal NTT berusia di bawah 18 tahun yang diperdagangkan di Papua. Selain itu, ada berbagai kasus yang menyangkut tenaga kerja asal NTT seperti yang dilansir oleh koran seperti kasus 108 anak dari Belu ditelantarkan di Jakarta oleh sebuah yayasan yang mengelola pendidikan tinggi (PK, 5/112007); seorang TKW asal NTT yang dianiaya oleh majikan yaitu Mr Chin dan Miss Ong (istrinya) (PK, 5/11/2007); 12 orang tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang hendak berangkat ke Malaysia diamankan aparat kepolisian di Pelabuhan Tenau Kupang (31/11/2007). Mereka adalah calon TKI asal Rote dan Belu yang rencananya diberangkatkan ke Surabaya dengan kapal Tatamailau. Mereka yang direkrut ini dijanjikan untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit dengan iming-iming gaji sebesar 2 juta rupiah/orang. Namun sebelumnya para calon TKI harus menyerahkan uang sebesar 1 juta rupiah.
Data pada Dinas Nakertrans Provinsi NTT menunjukkan bahwa pada tahun 2005 ada 977 TKI bermasalah yang dipulangkan terdiri dari 704 laki-laki dan 273 perempuan; tahun 2006 tidak ada TKI namun ada 127 kasus pemulangan, 115 kasus melarikan diri, dan 7 kasus meninggal dunia. Bahkan dari bincang-bincang saya dengan Kasubdin PPTK Dinas Nakertrans Provinsi NTT, Abraham Jumina diketahui bahwa angkatan tenaga kerja NTT yang ke luar negeri akan terus meningkat hingga 10.000 orang untuk tahun 2008. Ini merupakan akumulasi TKI NTT yang legal maupun ilegal. Besarnya angka di atas ditunjang juga oleh praktik-praktik manipulasi identitas yang banyak dilakukan terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri. RT/RW, kelurahan dan kecamatan dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas dengan subyeknya.
Kasus-kasus sebagaimana disebutkan di atas semakin meningkat dari waktu ke waktu sementara upaya pencegahan tidak memperlihatkan hasil yang maksimal karena lemahnya koordinasi, pengawasan dan pembinaan. Di samping itu, para korban tindak pidana perdagangan orang tidak ditangani secara baik. Yang terjadi sekarang adalah bagaimana para korban itu dipulangkan kembali kepada keluarganya tanpa sentuhan rehabilitasi terhadap kondisi kesehatan dan masalah sosial yang dialaminya. Sementara itu, sanksi terhadap para pelaku perdagangan manusia kurang tegas. Di sisi lain, kita belum miliki perangkat aturan yang bisa menjawab berbagai permasalahan yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi Nusa Tenggara Timur.
Kita orang NTT tidak harus puas dan berhenti sampai pada titik provinsi yang dikenal dengan industri TKI. Ini seharusnya bukan menjadi kebanggaan kita. Malah mesti dilihat sebagai katastrofa kemanusiaan yang mengerikan. Industri tenaga kerja kita kerap bermasalah dan memakan korban manusia-manusia yang lemah, rentan kekerasan seperti anak dan perempuan. Sudah saatnya kita memiliki manajemen tenaga kerja yang baik. Bukan sekadar terkejut setelah ada persoalan di negeri orang, lantas saling mencari kambing hitam. Tugas pemerintah dan masyarakat bukan hanya mengupayakan tindakan kuratif setelah ada persoalan tenaga kerja tetapi bagaimana memberantas persoalan ini sejak dari hulu.
Kita tentu sangat berharap agar di NTT segera lahir Perda perdagangan orang dan Keputusan Gubernur atas peraturan daerah itu. Ini adalah landasan hukum yang penting untuk mencegah dan menangani kasus perdagangan orang di NTT. Bukan terutama secara politis, tetapi juga secara praksis di lapangan. Dan lebih dalam dari itu, karakteristik masalah perdagangan orang di NTT dari hulu ke hilir, kiranya tercakup dalam peraturan daerah yang sedang didamba masyarakat saat ini. Membedah perdagangan orang adalah upaya menguliti persoalan yang ada dengan harapan ada tindakan preventif dan kuratif yang dilakukan pemerintah dan masyarakat agar tidak jatuh terus-menerus korban perdagangan orang di NTT khususnya kaum perempuan dan anak.


Isidorus Lilijawa, Koordinator ACILS-LPA NTT untuk Traffiking. Tamatan STFK Ledalero.

Ironi NTT

Oleh Isidorus Lilijawa


Hingga saat ini Provinsi NTT dikenal sebagai dapur TKI (baca: buruh). Hampir setiap tahun ribuan orang ke luar negeri untuk mencari kerja. Untuk proses perekrutan tenaga kerja, hingga bulan Pebruari 2008 ada 55 cabang PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta) yang beroperasi di NTT. Yang menarik adalah dari banyaknya cabang PPTKIS yang ada, hingga saat ini hanya satu PPTKIS yang berkantor pusat di Kota Kupang Provinsi NTT yakni PT. Citra Bina Tenaga Mandiri dengan penanggung jawab Ir. Abraham Paul Liyanto yang juga ketua APJATI NTT saat ini.
Dengan jumlah cabang PPTKIS yang begitu banyak di NTT, maka tidak mengherankan jika terjadi perang di lapangan untuk mendapatkan para tenaga kerja yang mau dikirim dan bekerja di luar negeri atau di luar NTT. Rekapitulasi penempatan TKI NTT yang dibuat oleh BP3TKI untuk tahun 2006 menunjukkan angka yang cukup signifikan. Total TKI NTT yang ke luar negeri pada tahun 2006 berjumlah 8.196 orang.Tujuan Malaysia 7.972 orang; Singapura 153 orang; Hongkong 10 orang; Taiwan 58 orang; Brunai 3 orang. Dari jumlah itu, yang bekerja di sektor formal laki-laki 661 orang; wanita 165 orang dan informal (pembantu rumah tangga) 7.535 orang.
Penempatan TKI NTT untuk tahun 2007 negara tujuan Malaysia 9.494 orang, Singapura 327 orang; Hongkong 15 orang; Taiwan 58 orang; Brunai 3 orang dan Saudi Arabia 19 orang. Sektor formal laki-laki 1.644 orang, wanita 165 orang dan informal 7.850 orang. Total TKI NTT tahun 2007 adalah 9.897 orang. Jenis-jenis pekerjaan yang dilakoni para TKI kita adalah tenaga kerja perkebunan, pekerja pabrik, tenaga kerja peternakan dan yang paling banyak adalah penatalaksana rumah tangga. Untuk tujuan Malaysia pada tahun 2007 ada 7.810 perempuan NTT yang menjadi penatalaksana rumah tangga.
Jika penempatan di atas dilakukan secara legal, maka rekapitulasi data CTKI/TKI ilegal asal NTT sesuai Berita Acara Penyerahan dari Polresta Kupang selama tahun 2007 posisi bulan November menyebutkan bahwa TKI ilegal yang berhasil digagalkan keberangkatannya berjumlah 310 orang. Dari jumlah itu 259 diantaranya laki-laki dan 51 orang perempuan. Ini belum terhitung, ratusan orang lainnya yang lolos dari pantauan dan dibawa langsung oleh para calo ke luar negeri. Data pada Dinas Nakertrans Provinsi NTT menunjukkan bahwa pada tahun 2005 ada 977 TKI bermasalah yang dipulangkan terdiri dari 704 laki-laki dan 273 perempuan; tahun 2006 tidak ada TKI namun ada 127 kasus pemulangan, 115 kasus melarikan diri, dan 7 kasus meninggal dunia.
Ada apa dengan NTT? Mengapa begitu banyak anak daerah ini yang berlomba-lomba melukis kisah hidupnya di negeri orang? Kalau dilihat dari potensi yang ada di NTT ini, sebenarnya tidak ada alasan NTT diurutkan sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Ada banyak potensi penunjang pembangunan di NTT. Sebut saja potensi pertanian sebagai basis ekonomi dengan potensi lahan basah 127.271 ha, potensi lahan kering 1.528.306 ha, padang untuk usaha peternakan seluas 1.939.801 ha. Perairan laut yang diperkirakan seluas 200.000 km2 (80,86%) dari luas wilayah yang memiliki sumber daya hayati laut multispesies dengan potensi 240.000 ton/tahun belum termasuk nener 680.000.000 ekor/tahun. Belum lagi potensi wisata serta modal sosial dan budaya yang berlimpah di persada NTT ini.
Jika demikian, mengapa hingga sekarang NTT tetap terpuruk dalam problem kemiskinan? Mengapa setiap saat anak-anak NTT berlomba-lomba jadi buruh di negeri orang? Apakah tak ada lagi pekerjaan di NTT ini? ANTARA (Australia Nusa Tenggara Assitance for regional Autonomy), sebuah lembaga kerja sama pemerintah Australia dan pemerintah NTT untuk mengurangi kemiskinan melalui pengembangan sosial dan ekonomi yang merata dan berkelanjutan menyebutkan bahwa NTT merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Sekitar 1,1 juta penduduk atau 28% dari jumlah penduduk di NTT tergolong miskin. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah pedesaan sebagai petani. Pertumbuhan ekonomi daerah NTT pada 2002 sekitar 4,88% agak melebihi ekonomi Indonesia 4,50%. Pada 2003 laju pertumbuhan ekonomi NTT 4,57% sedangkan ekonomi Indonesia 4,78%. Pada 2004 ekonomi NTT bertumbuh 4,77% sementara ekonomi Indonesia 5,03%. Pada 2005 ekonomi NTT alami hambatan pertumbuhan yakni 3,42% sedangkan pada ekonomi Indonesia melaju dengan 5,68%. Berikut pada 2006 ekonomi NTT meningkat pertumbuhannya menjadi 5,08% sementara ekonomi Indonesia agak stabil dengan 5,48%. Itu berarti tingkat pertumbuhan ekonomi NTT menurun secara berarti dan pada tahun 2005 turun sebesar 3.1% jika dibandingkan dengan rata-rata ekonomi Indonesia yang mencapai 5.6%.
Dari parameter ekonomi ini saja dapat dilihat bahwa NTT adalah daerah yang masih perlu ditolong untuk bisa keluar dari persoalan-persoalan itu. Pertanyaannya, siapa yang harus bantu? Apakah menanti pertolongan Tuhan? Apakah ini kewajiban pemerintah daerah NTT untuk membuka mata dan kuping lebih lebar mencermati persoalan rakyat? Apa perlu menjadikan NTT sebagai pilot proyek kemiskinan sehingga perlu ada kampanye bagi negara dan lembaga-lembaga donor untuk datang dan berperang melawan kemiskinan di NTT? Atau, apakah rakyat yang harus menolong dirinya sendiri untuk bangun dari kubangan kemiskinan, dengan salah satu caranya menjadi TKI ke luar negeri?

Uang datang, TKI pergi
Kemiskinan di NTT menjadi sebuah ironi yang menarik untuk dikaji. Betapa tidak, setiap tahun anggaran pembangunan untuk NTT miliaran rupiah, belum lagi bantuan dari lembaga dan negara donor. Itu berarti, dengan dana yang ada sebenarnya persoalan kemiskinan, pengangguran, ketiadaan lapangan kerja, upah yang rendah, pendidikan rendah bisa diatasi. Namun, mengapa hingga berusia setengah abad ini, hal ini masih sulit di NTT? Malah saat ini kita dihadapkan pada sebuah ironi. Uang banyak mengalir ke NTT, tapi banyak orang NTT lebih suka mencari uang di negeri orang.
Setiap tahun ratusan miliar dana pembangunan dialokasikan ke NTT. Itu yang ada dalam APBD. Belum lagi dana DAU dan DAK yang langsung dikelola oleh kepala daerah di setiap kabupaten. Uang yang mengalir ke NTT pun datang dari donor agencies atau bantuan luar negeri. Ini lebih heboh karena setiap tahun ratusan miliar uang tercurah di bumi NTT ini. Saat ini ada 33 lembaga donor atau NGO Internasional yang bekerja di NTT.
Data sebaran sektor bantuan luar negeri yang diperoleh dari Sekretariat Bersama (Sekber) Bappeda NTT menyebutkan untuk tahun 2006 bantuan sektor kesehatan sebesar 70.5 miliar lebih; sektor pemberdayaan masyarakat 290.3 miliar lebih; pendidikan 18.2 miliar lebih. Total bantuan untuk tahun 2006 adalah 379.3 miliar lebih. Sedangkan untuk tahun 2007; sektor pariwisata 10.6 miliar lebih; kesehatan 39.039 miliar lebih; pemberdayaan masyarakat 1.077 miliar lebih; pendidikan 44.2 miliar lebih; perikanan dan kelautan 220 juta; pertanian 17.4 miliar lebih; tanggap darurat 13.8 miliar lebih. Jumlah total bantuan luar negeri untuk NTT dalam tahun 2007 adalah 160.67 miliar lebih. Anggaran tahun 2006 dan 2007 mengalami peningkatan dari 2 tahun sebelumnya. Tahun 2004 total bantuan luar negeri sebesar 129,89 miliar lebih. Sedangkan untuk tahun 2005 adalah 125,2 miliar lebih.
Ironi pun menjadi nyata. Dana banyak mengairi NTT, namun NTT masih tetap mengenakan atribut daerah tertinggal, provinsi miskin dan terbelakang dari provinsi lain di Indonesia. Data yang dikeluarkan BPS NTT tahun 2005 menunjukkan bahwa dari total 952.908 rumah tangga di NTT, sebanyak 623.137 atau 65,42% terkategori rumah tangga miskin. Atau, sekitar 2.787.000 jiwa penduduk miskin dari jumlah 4 juta jiwa penduduk NTT. Di sini terlihat ada korelasi semakin banyak bantuan, semakin tertinggal masyarakatnya. Lantas, ke manakah uang miliaran itu terserap? Ke kantong masyarakat; pejabat atau aktivis lembaga internasional bersangkutan?
NTT sebenarnya tidak perlu miskin. Sesungguhnya tidak harus ada orang NTT yang jadi TKI ke luar negeri. Lihat saja besaran uang yang mengalir ke NTT. Kalau saja dana-dana itu dikelola secara bijaksana, maka bisa-bisa NTT ini kebanjiran uang. Dari 33 NGO/donor agencies yang ada, salah satu fokus bersama adalah memberangus kemiskinan. Dengan berbagai fokus, mereka memerangi kemiskinan itu. Aneh, sampai saat ini NTT tetap miskin dan karena itu harus mengekspor tenaga kerja ke luar negeri.
Dari besaran dana pemerintah maupun donor agencies, berapa yang diperuntukkan bagi tenaga kerja NTT? Dalam aspek pemberdayaan masyarakat, tentu saja donor agencies melalui program-program pemberdayaan masyarakat berusaha menyediakan lapangan kerja, kesempatan kerja, dan latihan keterampilan untuk menciptakan lapangan kerja. Pemerintah juga melalui instansi dinas tenaga kerja berusaha sedemikian rupa sesuai anggaran yang ada untuk kesejahteraan rakyat.
Ada ironi untuk ketenagakerjaan di NTT. Orang yang bekerja di luar negeri secara legal disebut pahlawan devisa. Tetapi, penghargaan dan perlakuan terhadap mereka sebelum ke luar negeri sangat-sangat minim. Bahkan pemerintah baru mengambil sikap setelah ada kasus kekerasan yang terjadi di tempat kerja seperti tragedi Nirmala Bonat. Ini memang keterlaluan. Karena para TKI yang bekerja di luar negeri memberi kontribusi yang sangat besar bagi pembangunan daerah NTT.
Sumbangan TKI itu akan semakin besar jika mereka bekerja di luar negeri secara resmi. Dengan status pekerja asing legal dan ditunjang keterampilan yang tinggi otomatis meningkatkan gaji mereka. Semakin tinggi gaji yang diterima, maka semakin banyak pula uang yang dikirim ke daerah asalnya. Paul Liyanto, Ketua APJATI NTT dalam wawancara dengan Pos Kupang (3/9/2007) mengatakan bahwa berdasarkan hasil analisis International Labour Organisation (ILO), dari 227 penduduk Indonesia 10 persen saja yang bekerja ke luar negeri atau sekitar 22 juta orang, sumbangan devisa terhadap negara setiap bulan bisa mencapai 30 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 300 triliun. Kalau 22 juta saja yang ke luar negeri dengan asumsi satu orang mampu menghidupkan empat orang atau membuka lapangan pekerjaan untuk empat orang lagi berarti sekitar 88 juta yang tenaga kerja yang mereka hidupkan.
Sementara untuk NTT, jika pengiriman legal melalui 35 PJTKI dengan asumsi satu PJTKI 100 orang per bulan atau 1200/ PJTKI/ tahun dan pendapatan per TKI Rp 1 juta per bulan, devisa yang masuk ke NTT diperkirakan mencapai Rp 42 miliar/ tahun. Angka di atas adalah jumlah yang cukup besar. Namun karena keterbatasan dana, banyak dari TKI yang memilih ilegal. Di Adonara, Flores Timur misalnya, setahun sumbangan dari para TKI dan TKW cukup tinggi mencapai minimal Rp 1 miliar yang masuk melalui bank di daerah itu.
Sebagai pahlawan devisa, para TKI kita telah memberi kontribusi yang besar bagi pembangunan di daerah dalam konteks otonomi daerah seperti sekarang ini. Sayang, upaya pemerintah sepertinya setengah-setengah dalam mempersiapkan tenaga kerja yang handal dan professional sebelum dikirim ke luar negeri. Kita tentu perlu belajar dari negara tetangga Filipina yang begitu sungguh-sungguh mengirim tenaga kerja handal dan professional ke luar negeri. Dengan bekal tingkat pendidikan yang tinggi, tenaga kerja Filipina mempunyai daya tawar yang tinggi. Kapan tenaga kerja NTT bisa seperti itu?
Kita tak perlu senang mendapat devisa hasil keringat para TKI kita, sementara di rumah sendiri mereka tidak mendapatkan perhatian dan persiapan yang layak. Dan lebih dari itu kita tidak harus berbangga karena provinsi ini dikenal sebagai dapur pengekspor tenaga kerja ke luar negeri entah legal maupun ilegal. Hari buruh kiranya menyadarkan kita untuk menyelamatkan TKI kita baik di luar negeri maupun di dalam negeri agar tidak terperosok dalam model perbudakan modern.

Isidorus Lilijawa, Alumni STFK Ledalero. Anggota Forum Akademia NTT. Saat ini Koordinator ACILS-LPA NTT untuk persoalan trafiking.


Humanopolis

(Memaknai HUT Kota Kupang)
Oleh Isidorus Lilijawa


Tanggal 25 April 2008, Kota Kupang merayakan hari jadinya yang ke-12. Sebuah kesempatan untuk berefleksi bagi segenap penghuni domus bernama kota Kupang. Dalam usia yang ke-12, kota Kupang telah berkembang menjadi sebuah kota modern. Kita bisa membandingkan perkembangan kota Kupang 10 atau 5 tahun lalu dengan kota Kupang saat ini. Jika kita bertanya kepada orang-orang yang hidup di kota Kupang pada era 1980-an tentang keadaan kota Kupang saat ini, tentu saja mereka mengatakan situasinya jauh berbeda. Kota Kupang saat ini jauh lebih maju dan berkembang.
Namun, sebagaimana perkembangan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, tak dapat dimungkiri kota Kupang juga berkembang secara laissez faire, tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kecuali pada kota-kota baru yang memang direncanakan sejak awal seperti Tanjungpura atau Tembagapura, kota-kota kita tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek.
Karena itu, bukanlah suatu pemandangan yang aneh jika kota-kota besar di Indonesia menampilkan wajah ganda. Di satu sisi terlihat perkembangan pembangunan yang serba mengesankan dalam wujud arsitektur modern dan pasca modern di sepanjang jalan tepi jalan utama kota. Di balik semua keanggunan itu, nampak menjamurnya lingkungan kumuh dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai untuk mendukung keberlangsungan kehidupan manusia yang berbudaya.

Patologi Kota
Dalam usia yang ke-12 saat ini, kita bisa bertanya: bagaimana kondisi kota Kupang? Apakah kota kesayangan kita ini sehat-sehat (baca: nyaman, kondusif) atau kota Kupang malah menjadi kota yang sakit? Sebuah kota termasuk dalam kategori sakit jika perkembangan kota terlalu dititikberatkan pada rekayasa kota pada aspek fisik dan keruangan seperti bentuk, ukuran, atau besaran kota, jalur jalan dan struktur spasialnya, lantas mengabaikan kebijakan yang berpihak pada sebanyak mungkin orang khususnya masyarakat kecil. Selain itu, sakitnya sebuah kota terjadi ketika para penentu kendali ekonomi dan pembuat keputusan menjadi entitas dominan yang menentukan merah dan hijaunya wajah kota. Pada sisi lain, partisipasi masyarakat diabaikan.
Seorang sosiolog Indonesia, Prof Dr Satjipto Rahardjo pernah memperbincangkan apa yang disebut “patologi kota”, yaitu kota yang menderita sakit karena tidak mampu memberikan respons yang seksama terhadap kebutuhan warga kota dan pendatang dari kota lain. Ini seperti ledekan orang pada kota Frankfurt di Jerman yang dipanggil dengan Krank-furt alias kota yang sakit, dan kota Chicago yang disebut pula dengan predikat Sickago. Lalu Kupang?
Patologi kota Kupang, hemat saya disebabkan oleh pemerintah, masyarakat dan lingkungannya. Dalam derap maju perkembangan kota Kupang, tak dimungkiri bahwa kota ini sebenarnya sedang sakit. Kota kita sakit ketika pemerintah melupakan rakyatnya; ketika masih ada warga kota Kupang yang gizi buruk; saat banyak kebijakan dan peraturan yang tidak memihak rakyat kecil. Kota ini sakit karena ruang partisipasi warga dipangkas dan pengelolaan kota dipercayakan pada segelintir orang yakni penguasa dan pengusaha; saat korupsi masih merajalela dalam tubuh pemerintahan kita.
Dari aspek masyarakatnya, kota Kupang sedang sakit ketika masyarakat kota ini mulai terbawa dalam pola hidup materialisme hedonisme; saat masyarakat tidak mau peduli lagi dengan situasi sekitar; saat daya kritis masyarakat menjadi tumpul berhadapan dengan kebobrokan moral dan sosial yang terjadi. Kota ini sakit ketika kota ini tidak lagi ramah anak, kasus pemerkosaan terjadi setiap hari, penculikan anak menakutkan orang tua, perselingkuhan menjadi trend, pengaruh narkoba membius aparat hukum hingga anak sekolah.
Dari konteks lingkungannya, kota Kupang adalah kota yang sakit ketika jalur hijau perlahan-lahan dirambah dan menjadi pemukiman warga; saat jalur hijau jadi tempat interaksi dan interelasi para pekerja seks komersial. Kota Kupang juga sedang sakit ketika sampah yang berserakan menjadi pemandangan keseharian, saluran air yang buntu hingga menyebabkan banjir saat musim hujan. Kota Kupang mulai sakit ketika listrik mati terus-menerus, ketika sepanjang pesisir pantai hutan-hutan tembok dan beton mulai dibangun demi kepentingan bisnis, ruang-ruang kosong tak cukup lagi hingga anak-anak harus bermain bola di jalanan.
Sebegitu parahkah sakitnya kota Kupang? Pada satu sisi kita harus jujur bahwa memang begitulah adanya kota Kupang. Walau di sisi lain, perkembangan kota ini terus menggeliat dengan pembangunan berbagai macam sarana bisnis dan sarana publik. Tanpa ada upaya memutus rantai penyebab sakitnya Kota Kupang, hemat saya perayaan dan peringatan HUT kota Kupang ini tidak lain adalah merayakan kota Kupang yang sakit, dan itu berarti kita akan terus membiarkan kota ini sakit dan menjadi warga-warga kota yang sakit juga.
Patologi kota Kupang yang dibiarkan terus berkembang akan menjadikan kota Kupang sebagai cacopolis, sebuah kota yang mengerikan dan kacau balau dalam beberapa tahun mendatang. Secara detail cacopolis dicirikan oleh udara yang panas berdebu, suara yang bising memekakkan telinga, lalu lintas kendaraan yang macet, perumahan yang berlebihan kepadatannya, listrik padam terus menerus, jaringan jalan semrawut bagaikan bakmi, sampah menggunung menebarkan aroma amis, selokan tersumbat, air minum tercemar, dan lain lain. Daftarnya sangat panjang dan tak ada akhirnya.
Bahkan ada sekelompok tim perancang yang menamakan dirinya Super Studio, nekat melukiskan secara visual fantasinya tentang cacopolis di masa depan dalam bentuk kota yang geometrik kaku, terkotak-kotak, tak ada peluang komunikasi sosial, tumbuh tanpa batas dan setiap kegiatan manusia diatur secara eksternal di luar dirinya. Bangunan-bangunan peninggalan kuno yang diakrabi penduduk terkikis habis. Sentuhan estetis dikerdilkan oleh perhitungan ekonomi dan bisnis. Bahkan manusianya kehilangan lacak dan orientasi bagaikan orang hilang ingatan.

Humanopolis
Memahami begitu banyaknya kota yang sakit saat ini, Peter Hall, seorang perancang kota sebagaimana dikutip oleh Eko Budihardjo dalam bukunya Kota Berwawasan Lingkungan (1993) mengajukkan perencanaan kota yang humanopolis, yaitu kota yang lembut dan manusiawi, dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perlakuan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam dan mengolah hubungan antara manusia dan lingkungan binaannya secara lebih akrab.
Hemat saya untuk menjadikan kota Kupang sebagai humanopolis, hal pertama dan utama yang perlu dibuat oleh pemerintah dan warga kota ini adalah pertobatan (metanoia). Pemerintah harus bertobat dari cara-cara keliru dalam mengelola kota dan warga mesti bertobat dari tingkah lakunya yang menjadikan kota ini kian merana. Pertobatan ini perlu dibangun dalam ranah birokrasi, hukum, aparatur, dan sikap terhadap alam. Dan pertobatan ini harus mulai dari saat ini, ketika warga Kupang merefleksikan dan merayakan HUT kota kesayangannya ini. Tanpa pertobatan, kota ini sedang berjalan menuju sebuah situasi cacopolis dan bahkan miseropolis (kota yang menyengsarakan).
Untuk menjadikan kota Kupang sebagai humanopolis, hemat saya harus ada kerja sama yang kondusif antara perekayasa kota, pengelola kota dan masyarakat yang mendiami kota. Urusan kota bukan cuma urusan fisik aristektur semata. Kota juga berurusan dengan moralitas para pengambil keputusan dan moralitas warganya. Karena itu, para pengambil kebijakan di kota ini harus tampil sebagai the solver of city problem bukan a part of city problem. Tidak heran jika ada yang berani mengatakan: “Tunjukkan padaku wajah kotamu, saya akan menebak seperti apa tampang walikotanya.” Pernyataan ini sebenarnya mau menegaskan bahwa para pengambil kebijakan di kota ini mesti terbuka terhadap berbagai komponen masyarakat yang menjadi penghuni kota ini. Sudah saatnya para pengelola dan pengambil kebijakan di kota Kupang mendengarkan kotanya sendiri.
Shakespeare pernah mengungkapkan: “Apakah kota itu kalau bukan penduduknya.” Ini berarti, perkembangan sebuah kota indikatornya adalah perkembangan masyarakat itu sendiri lahir dan batin, bukan perkembangan fisik perkotaan seperti banyaknya gedung, mall, tempat rekreasi, dan lain-lain. Kota memang terbentuk dari perangkat keras seperti bangunan, jalan dan infrastruktur. Tetapi yang menghidupkan kota itu sendiri adalah manusia dengan segenap perilakunya. Ada hubungan yang erat antara city (kota) dan citizen (warga kota). Saling hubungan itulah yang acapkali dilupakan.
Satu hal lagi jika kita ingin memutuskan rantai patologi kota Kupang adalah dengan menjadikan Kupang sebagai ecopolis, kota yang berwawasan lingkungan. Kita sendiri melihat di kota Kupang, paru-paru kota perlahan-lahan menghilang. Ruang terbuka hijau hanyalah slogan yang terpampang di pinggir jalan ketika banyak bangunan didirikan di atas lahan dimaksud. Konsep ecopolis adalah ketika orang merusak kehidupan kota dengan cara memadati ruang terbuka hijau dengan bangunan, ecopolis akan memperbaiki sistem kehidupan lingkungan kota dengan menanam pepohonan. Jika secara tradisional strategi perencanaan kota dikendalikan secara top-down, perkembangan kota ekologi berawal dari grass root. Partisipasi warga menjadi bagian integral dari program kota ekologi.
Kiranya HUT kota Kupang ini menjadi titik awal untuk menjadikan kota Kupang kota KASIH, kota yang humanopolis dan ecopolis. Bukan kota yang sakit, sakit-sakitan, cacopolis bahkan miseropolis.

Warga Oebufu, Tamatan STFK Ledalero. Menulis buku: “Mengapa Takut Berpolitik?” (2007). Saat ini Koordinator ACLIS-LPA NTT.


Petani dan Pilkada

Oleh Isidorus Lilijawa


Dalam musim pilkada saat ini, kita mendengar ada begitu banyak pernyataan politis yang menunjukkan keberpihakan para calon pemimpin pada para petani. Bahkan ada paket pemimpin tertentu yang secara terang-terangan sudah menjanjikan sesuatu untuk para petani. Entah itu menaikkan harga komoditas, meningkatkan kesejahteraan petani, memberikan subsidi dan kemudahan-kemudahan lainnya yang selama ini belum dirasakan para petani. Para petani kita di desa-desa menjadi fokus perhatian. Mereka sudah seperti sebuah entitas yang sangat berharga, yang berbeda dari perlakuan sebelum-sebelumnya.
Namun, jika kita cermati lebih jeli pernyataan-pernyataan politis dan janji-janji para calon pemimpin itu seperti sudah menjadi sesuatu yang basi. Dikatakan basi karena hampir di setiap ajang pilkada, pernyataan dan janji-janji yang sama itulah yang diucapkan dan diumbar-umbar para calon pemimpin saat mengunjungi para petani. Hasilnya kebanyakan nihil. Janji tinggal janji. Malah lebih apes, para petani kita menjadi komoditi politik. Eksistensi mereka dipolitisasi demi kepentingan sesaat dari golongan elit tertentu yang sedang berebut kue kekuasaan.
Apa yang para petani kita alami ini terbersit juga dalam kata-kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya yang menulis, "Lima tahun sekali, setidak-tidaknya orang-orang penting pada menatap rakyat dengan sedikit lebih cermat. Dan seluruh Indonesia pun dipertautkan lagi dalam suatu momen yang agaknya jarang terjadi. Mereka seakan-akan secara bergelora merasakan ke ulu hati bahwa Indonesia yang besar ini adalah bagian hidup mereka" ("ah, rakyat!").
Para petani adalah mereka yang terpanggil untuk membaktikan dirinya dengan mengolah tanah (petani: pe-tanah). Ikatan mereka dengan tanah adalah ikatan yang tak terpisahkan. Bila kita ada waktu dan meluangkan kesempatan untuk bercerita dengan mereka dari hati ke hati, kita akan menangkap sejuta kisah gagal sukses, suka duka, tawa dan air mata dalam menjalani panggilan hidup sebagai petani. Termasuk di dalamnya adalah kisah para petani yang dilupakan para politisi setelah terpilih menjadi pejabat. Bahkan masih ada penyesalan mengapa begitu cepat mempercayai pernyataan politis dari figur tertentu dan mudah terpikat pada tebar pesona calon pemimpin tertentu.
Secara ideal, petani adalah komponen penting dalam konstruksi hidup berbangsa dan bernegara. Idealisme inilah yang terus-menerus digemakan para calon pemimpin saat pilkada. Bisa jadi sekedar untuk membuat para petani berbangga telah menjadi komponen penting bangsa ini walau dalam praksis mereka sering dilupakan dan gampang terlupakan. Sungguh ironis bahwa dalam usia kemerdekaan bangsa kita yang ke-60, para petani kita belum merasakan indahnya kemerdekaan itu. Justru ketidakadilan yang sering mereka kecapi.
Para petani walau secara de facto adalah jumlah terbesar di negeri ini, namun mereka jugalah pihak yang mudah dimanipulasi. Dalam keunggulan kuantitas, para petani kita belum solid memperjuangkan hak-haknya termasuk hak politik karena petani itu sendiri telah dipolitisasi oleh orang-orang yang berkuasa dan sedang merebut kursi kekuasaan. Di beberapa tempat memang telah ada organisasi petani yang solid dan terstruktur baik, tetapi hal itu belum memberikan dampak yang cukup bagi para petani di daerah lain. Hemat saya, dengan berbagai organisasi petani yang dibentuk di daerah-daerah para petani telah berupaya merebut momen strategis untuk membangun jati diri dan membangkitkan kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan itu, para petani kita sedang melawan sebuah arus besar monopoli pemanfaatan ruang publik oleh kepentingan struktur-struktur politik di daerah kita. Tak dimungkiri bahwa pemberitaan dan diskusi mengenai para petani kita cenderung kurang berdaya pikat dibanding reportase dan diskursus tentang dagelan politik para politisi kita atau gosip selebriti dan eforia sepak bola.
Para petani yang karena anggapan khalayak sebagai pengolah tanah, pekerja kasar ditempatkan pada posisi lebih rendah ketimbang wacana sekitar kehidupan para white colar, seperti para pejabat dan politisi. Padahal sebagian besar pejabat dan politikus kita itu berasal dari keluarga petani dan kelangsungan hidup bersama kita banyak didukung oleh perjuangan para petani. Ini memang sesuatu yang tidak adil.
Dalam beberapa bulan terakhir, di beberapa tempat di NTT digelar rembuk petani dan pendirian forum-forum petani. Selain ada agenda dan tujuan tersendiri dari kegiatan semacam itu, hemat saya forum-forum petani adalah sebuah kesempatan membenturkan dominasi kekuasaan dan struktur politik pada dinding kesadaran bahwa petani itu ada dan memiliki kekuatan yang besar. Di saat para politisi sibuk bergerilya mengamankan posisi pada Pilkada mendatang dan pejabat sibuk mengkalkulasi berapa persen keuntungan dari proyek-proyek yang bakal masuk kantong pribadi, para petani justru berkumpul dan berembuk bersama. Mereka berbicara dari hati ke hati, dari kepala ke kepala, membangun komitmen bersama sebagai orang-orang yang senasib dan sepenanggungan untuk melawan struktur yang menindas sambil memperkuat basis mereka sebagai petani yang sadar dan kritis.
Petani adalah peran yang sangat penting, yang patut diapresiasi karena telah mengubah sejarah hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Dalam diri para petani kita melihat makna homo faber secara utuh. Petani adalah manusia yang bekerja, yang mengaktualisasikan dirinya dengan mengolah tanah dan menghasilkan sesuatu dari tanah. Ia bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Keringat dan air matanya di ladang, di sawah terlebur dalam hasil panen yang dinikmati oleh begitu banyak orang dalam ruang lingkup yang berbeda melalui proses ekonomi; produksi, distribusi dan konsumsi.
Petani bukan peran sisa setelah orang gagal tes PNS berkali-kali atau gagal menjadi politikus atau stres karena tidak bisa bersaing mendapatkan pekerjaan lain. Petani juga bukan pekerjaan rendahan sebagaimana ada dalam pandangan kultur Barat atau pekerjaan para budak dan hambat sebagaimana nyata dalam konsep masyarakat Yunani dahulu. Bukan juga sesuatu yang menyakitkan seperti konsep lama masyarakat Ibrani atau sebuah bentuk hukuman atau dosa menurut anggapan komunitas Kristen purba (C.Wright Mills dalam bukunya White Colar, 1953).
Sejak pola hidup nomaden seperti yang dilakoni oleh suku pygme, orang Bosyes, bangsa Aeta, bangsa Eskimo dan berbagai suku Indian yang ada di Amerika Utara dan Selatan atau suku-suku bangsa primitif di Asia dan Afrika tidak terjadi lagi, manusia mulai melakoni sebuah bentuk kehidupan baru. Pola hidup sedenter. Viktor C Ferkiss mengungkapkan bahwa sekitar tahun 7000 sebelum Masehi, di wilayah perbukitan Timur Tengah manusia mulai hidup dalam komunitas-komunitas pertanian. Di sana mereka mulai dengan pola kerja baru yakni bertani. Peradaban pertanian itu sebenarnya muncul pertama secara lebih konkret baru pada tahun 4000 sebelum Masehi di lembah-lembah sungai Tigris dan Eufrat, Yangtze, Nil dan Indus di mana terdapat tanah endapan yang subur dan persediaan air yang berlimpah. Bentuk kerja pertanian ini ternyata membawa angin segar bagi manusia saat itu dengan terciptanya kecukupan pangan. Bersama dengan itulah, lahirlah peradaban baru oleh spesialisasi kerja seperti menjadi tukang, nelayan, peternak. Dengan peradaban baru ini manusia mulai melepaskan ketergantungan pada alam dan perlahan-lahan berusaha untuk menguasainya.
Bertani, menjadi petani dengan demikian merupakan sebuah panggilan hidup. Panggilan untuk mempertahankan peradaban manusia dan mengembangkan kualitas-kualitas manusia. Sebagai panggilan, petani adalah sebuah tugas dan tanggung jawab yang mulia. Bahkan dalam tinjauan teologis, para petani karena kerja mereka mendapat predikat co-creator. Mereka melanjutkan karya Allah dalam penciptaan dan menjadikan tanah/alam sebagai sarana menuju keselamatan umat manusia. Karena itu, tindakan dan sikap yang merendahkan dan meremehkan peran para petani adalah sikap yang berlawanan dengan nilai-nilai peradaban. Dalam bahasa yang sarkastik, pola perilaku dan sikap semacam itu hanya milik orang-orang tak beradab alias biadab.
Sebagai pemicu peradaban, struktur politik dan kekuasaan yang ada sekarang ini semestinya mempunyai tanggung jawab moral untuk mengawetkan, mempertahankan dan menjaga agar para petani tidak tergerus gempuran industrialisasi dan globalisasi. Yang diharapkan adalah ada kebijakan yang berpihak pada para petani dan melindungi kepentingan mereka. Dan lebih dari itu, dalam arena pilkada saat ini kita berharap agar para politisi, partai politik dan pihak-pihak lainnya tidak menjadikan para petani sebagai objek politik. Janganlah menganggap bahwa para petani itu orang kecil, kurang pendidikan, tidak tahu banyak tentang strategi dan kalkulasi politik. Jangan salah. Para petani pada saatnya adalah penghakim yang adil untuk segala sepak terjang para politisi. Dengan caranya sendiri mereka akan menelanjangi kebobrokan para pemimpin dan tentu saja memenangkan calon pemimpin mana yang berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan mereka. Pengalaman sudah membuktikan dalam pilkada di mana-mana.
Selain itu, jangan pernah merasa bahwa para petani itu tidak dapat berbuat apa-apa tanpa kuasa politik tertentu. Para petani memiliki elan vital yang membuat mereka bertahan beratus-ratus abad hingga hari ini. Fungsi politik adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi petani untuk mengembangkan diri menuju kebaikan dan kesejahteraan. Para politisi dengan demikian hanyalah para pendamping yang mengarahkan petani menggapai tujuannya. Sangat fatal jika ada calon pemimpin dalam pilkada saat ini yang menilai para petani akan kehabisan daya jika tak memilihnya. Ini keliru. Partai politik dan politisi, juga calon pemimpin daerah harus memberikan pendidikan politik yang benar kepada petani. Bukan malah mengobyektivasi mereka.
Berhadapan dengan realitas politik saat ini, para petani harus bersatu dan berpartisipasi dalam ruang politik. Petani adalah kekuatan lama yang telah ‘dibenamkan’ penguasa selama bertahun-tahun. Kesadaran ini mesti menginspirir petani untuk memperjuangkan aspirasi. Petani adalah kelompok kekuatan terbesar bangsa ini yang jika disatukan dan diikat bersama bersama dalam satu rasa, nasib dan komitmen akan membawa dampak politis yang besar. Kekuatan ini akan menentukan gerak politik dan keberlangsungan ekonomi.
Jika pernyataan ini dikonfrontir dengan situasi kita saat ini, terlihat bahwa para petani sering menjadi korban politik. Mereka adalah korban janji-janji palsu para elit politik yang pada musim kampanye legislatif atau pilkada turba ramai-ramai ke desa-desa dan pura-pura peduli dengan kondisi riil orang desa. Para petani masih dilihat sebagai objek politik, yang dibutuhkan adalah suara mereka saat menjoblos di tempat pemungutan suara, bukan totalitas diri mereka dan segala persoalannya. Benar bahwa kekuatan itu ”dibenamkan” juga dengan pola-pola semacam ini. Dengan adanya forum-forum petani atau bangkitnya kesadaran para petani diharapkan agar para petani kembali tampil sebagai satu kekuatan besar bangsa ini. Petani bisa menentukan arah kebijakan di level pemerintah daerah dan mempunyai political bargainning yang besar berhadapan dengan pemerintah.

Isidorus Lilijawa, tamatan STFK Ledalero. Saat ini Sekretaris DPC Partai GERINDRA Kota Kupang.

Jangan Mempermainkan Politik

Oleh Isidorus Lilijawa




Dalam siklus musim di NTT, bulan Maret hingga Oktober dikenal dengan siklus musim panas. Namun, tahun ini kadar panasnya terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam bulan April hingga Mei dan berpuncak pada Juni nanti, kita tidak saja merasa panas karena tidak hujan, karena terik mentari menyengat, namun masyarakat NTT juga sedang dijangkiti musim panas pilkada. Panasnya pilkada tidak saja membuat kita gerah secara ragawi, tetapi ia sanggup menggerogori nurani dan menggosongkan rasio. Panas pilkada ini banyak disebabkan oleh partai politik, paket-paket calon pemimpin, tim sukses hingga penyelenggara pilkada itu sendiri.
Panasnya suhu politik saat ini menyebabkan orang atau partai politik tertentu secara begitu gampang mereduksi makna politik sebagai permainan adu trik dan intrik. Politik dilihat sebagai sebuah permainan yang tak punya lagi pagar etika dan moral. Malah politik diperlakukan sebagai kasino, sebuah ruang tempat para elit politik berjudi. Dengan pereduksian semacam ini, maka politik lalu dihayati hanya sebatas meraih kekuasaan, menduduki kursi terhormat atau memperjudikan kepentingan rakyat kecil.
Contoh-contoh konkrit tereduksinya makna politik dalam proses pilkada kita saat ini begitu banyak. Beberapa yang saya kemukakan: dualisme partai dan pimpinan partai; berubah-ubahnya dukungan partai pada paket tertentu, black campaign (kampanye hitam) yang mulai dilancarkan untuk menyudutkan paket tertentu, tidak tegasnya KPU yang meloloskan partai yang mencalonkan dua paket sekaligus pada verifikasi tahap pertama, pernyataan politisi yang menyebut politik itu ”memainkan dan dimainkan”. Berbagai persoalan ini mengindikasikan politik itu masih sebatas arena adu tangkas, adu cerdik, adu licik, adu power, adu uang. Politik masih dihayati secara arkhais sebagai permainan survival for the fittest (yang ’kuat’ yang jadi pemenang) dalam wilayah hukum rimba. Hemat saya, degradasinya makna politik ini terjadi ketika politisi, para pengurus partai politik dan penyelenggara pilkada kurang memahami makna politik yang sebenarnya.

Makna Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani, "Ta Politika", yang berarti hal-hal atau urusan yang berkaitan dengan polis (negara kota). Polis menurut Aristoteles berarti negara kota yang dihuni oleh orang-orang merdeka dengan hak yang sama untuk menata kehidupan bersama. Konsep ini sangat konsekuen dengan pandangannya tentang manusia sebagai 'zoon politicon', makhluk berkodrat sosial. Jadi secara etimologis, politik adalah usaha menata kehidupan bersama dalam kemerdekaan dan kesamaan hak dengan berpedoman pada perikemanusiaan.
Pada zaman Yunani klasik kata politike senantiasa disanding dengan kata techne, yang berarti teknik atau seni. Arti dasar politik adalah upaya pengelolaan bangsa dan masyarakat. Arti semacam ini selalu dimengerti sebagai kepandaian, seni, dan teknik mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat atau kelompok. Ia merupakan seni mengelola suatu kemungkinan menjadi efektif, posibilitas menjadi realitas. Menurut Otto von Bismarc politik bukanlah suatu pengetahuan atau teori. Politik merupakan kepandaian membuat pilihan dan memenangkan suatu pilihan dari begitu banyak kemungkinan untuk mencapai suatu perjuangan.
Dalam pemahaman leksikal menurut Kamus Filsafat (Lorens Bagus: 2002, 857), kata politik, politics (Inggris) berasal dari kata Yunani Politikos (menyangkut warga negara), polites (seorang warga negara), polis (kota, negara), politeia (kewargaan). Ada beberapa pengertian: (1) apa yang berhubungan dengan pemerintahan, (2) perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bernegara, (3) bidang studi yang berkaitan dengan masalah-masalah sipil-sosial dan mengembangkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-masalah tersebut, (4) aktivitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antar-bangsa dan kelompok-kelompok sosial lainnya, yang berhubungan dengan perkara penggunaan kekuasaan negara.
Politik dalam arti luas dipahami sebagai sesuatu usaha dan pembicaraan yang menyangkut kepentingan umum atau berpautan dengan publik (pro bono publico). Kepentingan dan urusan umum menjadi isi dan makna politik. Politik adalah hak kodrati setiap manusia. Politik merupakan kesempatan dan kemungkinan yang harus dimiliki oleh setiap orang dan juga harus diberikan kepada setiap orang untuk boleh hidup dan bergerak di muka umum, membina persekutuan hidup dengan orang lain, terlibat dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama dan menikmati hasil perjuangan masyarakat.
Dalam arti sempit, politik dimengerti sebagai perilaku, tindakan pemerintah, parlemen, partai dan organisasi untuk meraih suatu tujuan, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan bernegara dan untuk mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam bingkai ini, politik juga dipahami sebagai sikap dan langkah hidup yang taktis, penuh perhitungan untuk mencapai suatu tujuan secara maksimal dan efektif. Politik merupakan daya upaya atau strategi untuk mendapat kekuasaan secara legitim. Politik berkaitan dengan semua kegiatan yang mempengaruhi atau mencapai pembagian kekuasaan. Ia berkaitan langsung dengan pemerintahan, partai politik dengan program dan penampilannya yang berusaha memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan.
Tujuan politik adalah menyelenggarakan bonum commune (kepentingan umum, kesejahteraan bersama) yang berarti memfasilitasi manusia untuk mengusahakan apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak secara manusiawi. Hidup layak manusiawi berarti kemudahan untuk memenuhi kebutuhan wajar untuk dapat hidup yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Ini tidak saja diukur menurut pemenuhan kebutuhan pokok melainkan kebutuhan untuk berkembang lebih lanjut. Memenuhi kebutuhan berarti dapat memenuhi hak-haknya yang asasi, karena berbagai kebutuhan adalah mutlak; artinya harus dipenuhi, kalau tidak akan timbul gangguan berat dan bahkan kematian. Hidup sesuai dengan martabat manusia tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan, apalagi sesaat, tetapi juga segala yang perlu atau bermanfaat untuk berkembang.
Dari makna politik di atas, terlihat bahwa politik itu luhur. Politik adalah cara memperjuangkan kepentingan bersama. Politik itu seni bukan trik atau intrik. Politik bukan permainan dan bukan untuk dipermainkan. Namun, lakon politik kita saat ini malah sebaliknya. Politik jadi permainan murahan. Politik begitu gampang dimanipulasi. Orang begitu mudah membelokkan kepentingan bersama menjadi kepentingan diri dan kelompok tertentu. Dan sayangnya bahwa para politisi dengan seenaknya berargumen bahwa politik itu memainkan dan dimainkan. Politik kita sungguh-sungguh telah dipermainkan.

Pola Permainan
Ada banyak cara orang mempermainkan politik. Dan hal itu sangat jelas kita amati dalam musim pilkada saat ini. Panji yang berkibar di mana-mana adalah agar masyarakat NTT semakin sejahtera lahir dan batin. Namun, seruan-seruan yang luhur itu hanya selimut yang membalut kebohongan dan kebobrokan. Ada paket yang mempermainkan politik dengan cara-cara klasik hinggan modern seperti berikut ini.
Materialisme Praktis: verbal dan ritual. Banyak orang memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup, jadi tidak mengakui materialisme filosofis. Namun, dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup "etsi Deus non daretur" (seolah-olah tidak ada Allah) atau paling banyak hanya selektif menghayatinya. Dalam pilkada saat ini, hati-hatilah karena banyak paket yang sok suci. Bila turun ke daerah-daerah atau desa-desa, tempat pertama yang dikunjungi adalah rumah ibadat, biara-biara, pesantren. Bicara mereka pun tidak jauh dari firman Tuhan. Bahkan ada ayat-ayat Kitab Suci yang dihafal begitu lancar. Syukur jika religiositas itu sudah menjadi jiwa hidup. Sayang jika itu hanya sebuah permainan untuk mengelabui rakyat.
Pragmatisme: verbal, memang sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya. Namun, dalam kenyataannya menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawanan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan sebelumnya. Kita mungkin membaca di pinggir-pinggir jalan pada baliho paket tertentu atau membaca dan mendengar program strategis atau mandat rakyat yang berbunyi: pendidikan gratis, kesehatan gratis, pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, pembentukan provinsi Flores, provinsi kepulauan, ekonomi kerakyatan, dll. Enak kedengarannya. Bagus prorgramnya. Namun, apakah realistis? Apakah logis jika ada pendidikan gratis? Bagaimana kita bisa mengerti jika selama 5 tahun paket tertentu harus menyelesaikan 10 mandat rakyat? Mana fokusnya? Kita perlu secara jeli menyimak semuanya itu. Jangan sampai kita jatuh dalam kultur baru saat ini: bombastis.
Oportunisme: obral janji sebelum pelantikan, tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa mempedulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Inilah logika mekanisme komersialisasi jabatan: bila jabatan diperjualbelikan, maka pejabat cenderung merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu, ditambah dengan keuntungan yang diharapkannya. Ini malah sudah biasa. Sebelum jadi pejabat, dekat dengan rakyat, ingat teman-teman seperjuangan. Setelah jadi orang, malah hampir tak ada waktu untuk rakyat dan teman-teman seperjuangan sendiri. Ini harus diwaspadai. Kata orang, jangan memilih kucing dalam karung. Amati masing-masing paket, bedah diri mereka, cermati virus oportunisme kalau boleh dengan kaca pembesar.
Formalisme: tampil memukau seperti tokoh anutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de facto ada atau tidak. Ada calon pemimpin yang selalu tampil formal dan pantas dijadikan tokoh anutan. Mereka lebih suka tebar pesona ke mana-mana bukan tebar kinerja. Keyakinan pribadi tak kuat tetapi mengutamakan pencitraan dalam masyarakat melalui berbagai cara walaupun hanya sebatas formalitas saja. Ini juga perlu diwaspadai.
Dalam beberapa pola ini biasanya politik itu dipermainkan. Masyarakat tentu mesti mempunyai pisau bedah sendiri untuk menyingkap kekotoran politik oleh para politisi dan partai politik. Gunakan pisau bedah sendiri bukan pisau bedah yang diimpor dari tim sukses maupun paket-paket tertentu. Masyarakat mempunyai kemerdekaan untuk menentukan siapa yang layak untuk tampil sebagai figur politik bukan yang mempermainkan politik. Perlu diingat bahwa rakyat adalah satu-satunya hakim yang adil. Pisau bedahnya pada saatnya akan menentukan siapa yang sebenarnya hanya mengotori ruang politik sebagai ruang bonum commune dan siapa yang bersungguh-sungguh memperlakukan politik sebagai jalan meraih cita-cita bersama - kesejahteraan lahir batin.
Mungkin untuk mereka yang mempermainkan politik akan pada saatnya merasakan apa yang ditulis ini. Politik itu bukan permainan karena itu jangan dipermainkan. Politik bukan mainan untuk dimainkan. Orang yang mempermainkan politik akan dipermainkan politik. Orang yang bermain-main dengan politik akan menjadi mainan politik. Permainan, bermain-main, mainan bukan politik. Politik itu politik. Sekali lagi, jangan mempermainkan politik.


Isidorus Lilijawa, Sekretaris DPC Partai GERINDRA Kota Kupang