Thursday, April 24, 2008

Gunakan Nurani!!!

(Catatan seputar Pilgub NTT)
Oleh Isidorus Lilijawa

Sebuah baliho berdiri kokoh di pojok kiri kantor KPU Provinsi NTT Jalan Polisi Militer 2 Kupang. Terpampang dengan jelas tulisan “gunakan nurani”. Di bagian bawahnya ada gambar seekor burung merpati dan tulisan: Pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT 2008 – KPU Provinsi NTT. Tulisan “gunakan nurani” menjadi motto dan semboyan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT pada tanggal 2 Juni 2008 mendatang. Pertanyaan kita, mengapa kata-kata itu yang dipilih?

Kecerdasan nurani
Ada sebuah tesis mendasar berkaitan dengan pembangunan di NTT yakni supaya NTT bisa keluar dari kubangan kemiskinan, supaya nasib NTT menjadi lebih baik, agar NTT menjadi provinsi yang maju, para pemimpin NTT, pemerintah, dan masyarakat mesti memiliki kecerdasan nurani. Kecerdasan nurani tidak dimaksudkan sebagai kecerdasan emosional atau spiritual semata. Tidak juga cuma kecerdasan intelektual, sosial dan finansial. Kecerdasan nurani mengatasi semuanya dan mencakup semuanya.
Sayang bahwa sudah selama 50 tahun usia NTT, kecerdasan nurani masih menjadi sebuah ideal belaka. Para pemimpin mengumbar janji untuk menjadi pemimpin bernurani, namun mereka tidak paham dan selanjutnya tidak merealisasikan janji-janji itu dalam praksis yang lahir dari tanur nurani. Meminjam istilah Featherstone, dunia perpolitikan kita menjadi dunia ‘seolah-olah’ (virtual reality). Demokrasi katanya, nepotisme praktinya. Divestasi katanya, memperkaya kantong pribadi praktiknya. Menangkap koruptor katanya, konspirasi dengan pelaku praktiknya. Masyarakat NTT pun kian tergerus gelombang kepentingan diri, narsisme, hingga mengabaikan bisikan terdalam dari relung-relung nurani yang masih bertutur tentang kebenaran, keadilan, kehormatan dan kedamaian.
Memasuki usia emas NTT dan pemilu kepala daerah di banyak tempat mulai dari provinsi hingga kabupaten, ada banyak harapan masyarakat yang terungkap baik melalui temu wicara, dialog, diskusi maupun debat kusir. Salah satu di antara berbagai harapan itu adalah orang yang menjadi pemimpin NTT harus benar-benar bernurani. Pemimpin NTT adalah pemimpin yang mengutamakan hati nurani, bukan nafsu untuk menguasai.
Harapan di atas mengindikasikan bahwa kecerdasan nurani adalah kebutuhan untuk pemimpin dan masyarakat di NTT saat ini. Para pemimpin harus tahu hati nurani rakyat (baca: kebutuhan) rakyat. Rakyat harus bisa memilih pemimpin yang bernurani (baca: jujur, bertanggung jawab, bermoral). Pemimpin dan rakyat NTT harus menggunakan nurani agar menjadi orang-orang yang tahu diri, tahu tugas, tahu tanggung jawab. Kebutuhan akan kecerdasan nurani inilah yang hemat saya melahirkan motto pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT.
KPU NTT selaku penyelenggara pemilu kepala daerah level provinsi ini tentu tidak bermuluk-muluk dengan motto “gunakan nurani” dalam pemilu gubernur/wakil gubernur 2 Juni mendatang. Sepintas, motto ini adalah kata suruhan, perintah kepada orang lain (baca: rakyat) untuk mengaktifkan hati nurani, menggunakan nurani dalam memilih para pemimpin NTT untuk 5 tahun ke depan. Artinya, rakyat harus pandai menganalisis para calon pemimpin dari aspek kecerdasan intelektual, sosial, emosional, finansial, dan kecerdasan spiritual. Karena kecerdasan nurani mencakup semuanya, maka tidak cukup menjatuhkan pilihan pada salah satu paket hanya karena cerdas secara sosial, namun tidak cerdas secara finansial misalnya. Secara sosial dalam pergaulan dan hidup bermasyarakat sangat baik, namun ia tidak bisa membedakan mana uang pribadi, mana uang rakyat. Ini yang patut dipertimbangkan.
Seruan “gunakan nurani” tidak sebatas untuk rakyat. Seruan itu diperuntukan juga buat para calon pemimpin, kandidat gubernur dan wakil gubernur NTT saat ini agar menggunakan kebeningan nuraninya dalam proses suksesi ini. Ini berarti pasangan calon harus menghindari money politics, obral janji saat kampanye nanti, berbagai praktik pembodohan masyarkat melalui tim sukses dan kader-kader pendukung di lapangan. Rakyat, siapapun dia adalah pribadi bermartabat yang patut dihormati. Karena itu, jangan nodai martabat rakyat dengan janji-janji palsu, iming-iming proyek. Menggunakan nurani berarti juga para calon itu harus saling menghormati, bertarung secara ksatria, tidak ada black campaign atau fitnah sana sini untuk merugikan paket lain.
Seruan “gunakan nurani” juga merupakan otokritik bagi penyelenggara pemilu kepala daerah pada level provinsi maupun kabupaten. Untuk konteks provinsi, para penyelenggara (baca: KPU) harus mengutamakan nurani bukan kepentingan-kepentingan sesaat. Tentu saja ada banyak godaan dan tawaran berkaitan dengan proses suksesi ini dalam memenangkan salah satu pasangan calon. Namun, kecerdasan nurani harus tetap berbicara ketimbang godaan materi, jabatan, fulus dan kenikmatan-kenikmatan lainnya.

Logika hati
Blaise Pascal yang hidup antara tahun 1623-1662 membuat demarkasi antara pengetahuan ilmiah dan iman – religius. Menurutnya, rasionalitas tak dapat diterapkan secara tak terbatas dalam bidang moral dan agama. Dengan jalan intuisi, manusia mampu menangkap kekayaan dan kedalaman hidupnya sendiri. Jalan intuisi ini disebut esprit definesse (semangat ketajaman intuisi). Karena akal manusia bersifat kognitif, maka ia tak mampu menemukan dan meyakini hukum dan norma-norma. ‘Hati memiliki alasan-alasannya sendiri yang tidak dikenal oleh akal’ (le coeur a ses raisons le raison ne connait point). Ini berarti bahwa menyangkut pengalaman penghayatan hidup religius dan moral, akal budi sendiri tak mampu memberikan pemahaman yang utuh. Penghayatan hidup moral dan religius hanya dapat dihayati dengan membuka hati untuk menerima unsur-unsur pengetahuan tersebut yang berada di luar jangkauan akal budi. Menurut Pascal, ada logika khusus untuk itu yakni ‘logika hati’.
Selain Pascal, muncul pula Santo Agustinus yang mengedepankan Filsafat Hati (Philosophia Cordis). Bagi Agustinus, cor (hati) merupakan pusat pribadi dan organ kesatuan subtansial manusia. Philosophia cordis Agustinus memberikan pada hati peranan penting dalam proses epistemologis manusia, terutama dalam pengetahuan religius dan moral. Ini mengindikasikan peran urgen hati dalam teori pengetahuan Agustinus. Walaupun ia tahu bahwa hati bisa sesat, namun ia menemukan dimensi lain dari hati yakni cor rectum (hati yang tulus, murni) yang berfungsi sebagai norma dalam kehidupan moral manusia.
Rakyat NTT diharapkan memiliki logika hati dalam menganalisis dan menentukan siapa yang bakal menjadi gubernur dan wakil gubernur 5 tahun mendatang. Logika hati, mendengar nurani mutlak perlu ketika rasio kita mudah dibohongi oleh penampilan, kata-kata para calon pemimpin. Rasio kita kadang buntu saat berhadapan dengan pilihan urusan perut atau mau urus kepentingan orang banyak. Rasio kita mudah tunduk pada lembaran-lembara fulus. Logika hati menyadarkan kita bahwa masih ada ruang bening dalam diri untuk bercermin; apakah kita menjadi orang baik atau orang jahat selama masa suksesi hingga pencoblosan nanti.
Dr. Karmel Husein, seorang ahli fisika dan mantar Rektor Universitas Ibrahim, Kairo menulis: “Di dalam daya-daya kodrati dan inteleknya manusia masih memiliki hati nurani, suatu percikan terang ilahi. Terang inilah yang menunjukan kebaikan dan kejahatan. Ketika manusia kehilangan hati nurani, tiada sesuatu pun yang lain yang dapat menggantikannya. Karena hati nurani manusia adalah obor dan terang ilahi. Tanpa itu manusia tidak memperoleh bimbingan. Bila manusia tidak memiliki hati nurani sebagai pembimbingnya, maka segala kebajikan akan runtuh dan berubah menjadi kejahatan”.
Apa yang diungkapkan oleh Dr. Karmel ini menjadi bahan refleksi dan pedoman arah bagi rakyat dan calon-calon pemimpin di NTT ini dalam masa suksesi saat ini. Hati nurani merupakan guru moral dan instansi tertinggi dalam pengambilan suatu keputusan, terlebih keputusan menyangkut hayat hidup orang banyak, keputusan publik. Ini berarti, setiap tindakan, tutur kata, sikap dan perilaku manusia hendaknya terpancar dari tanur nuraninya. Hati nurani berperan sebagai kategori imperatif. Ia memutuskan apa yang baik dan apa yang buruk. Nurani menuntut orang untuk amar ma’ruf nahi mungkar (melakukan yang baik dan menolak yang jahat). Suksesi pemimpin NTT sebagai bagian dari proses politik tentu membutuhkan nurani untuk menyingkap kekotorannya dan menghalau “kebusukannya”. Hati nurani merupakan “conditio sine qua non dalam proses politik yang bertujuan bonum commune.
Untuk para calon gubernur dan wakil gubernur NTT, hati nurani menjadi syarat mutlak untuk membangun spirit kepemimpinan di NTT ini. Karena sebagaimana kata C Wright Mills, dunia perpolitikan dewasa ini (baca: di NTT) dipenuhi dengan the higher immorality- di mana terjadi konspirasi imoralitas kaum elite yang diyakini merupakan ancaman serius terhadap demokrasi. Mills memakai istilah ini ketika menggambarkan hilangnya kepekaan moral-moral insesibilitas di kalangan para pejabat publik. Immoralistis itu mencakup penyelenggaraan pemerintahan yang tidak bersih, manipulasi biaya-biaya perjalanan, manipulasi opini publik, korupsi politik dan berbagai praktik ilegal secara sistemik dan terlembaga yang kemudian menodai demokrasi.
Satu hal yang mesti diperhatikan oleh rakyat dan calon pemimpin NTT adalah upaya mentahtakan kembali hati nurani pada singgasana terhormatnya sebagai ‘guru moral’, meminjam istilah Henry Newman. Hal ini harus menjadi prioritas mengingat hati nurani senantiasa memastikan pilihannya pada nilai-nilai kebaikan, kejujuran dan kebenaran. Saya sepakat dengan buah pemikiran Michel Foucalt yang menggagas apa yang disebut political spirituality (kerohanian politik). Politik in se tak dapat melepaskan diri dan jaring-jaring norma etis moral. Moralitas politik harus menyatakan dalam pelayanan, pengabdian dan keberanian menolak konspirasi yang merugikan rakyat. Selamat menggunakan nurani.

Isidorus Lilijawa, Tamatan STFK Ledalero.


Perdagangan Orang di NTT

Oleh Isidorus Lilijawa

Perdagangan orang (human trafficking) bukan merupakan fenomen baru di Indonesia. Sejak zaman raja-raja perdagangan orang sudah dimulai. Pada masa itu, perempuan diperjualbelikan untuk memenuhi nafsu lelaki dan kepentingan penguasa. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kegiatan ini berkembang menjadi lebih terorganisir (Hull, Sulistianingsih dan Jones, 1977). Tidak berhenti saat itu. Masa kini perdagangan orang memperoleh bentuknya yang kian menjadi-jadi dengan berbagai modus operandi.
Perdagangan orang diartikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksanaan lainnya, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, yang dilakukan di dalam negara atau antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Indonesia merupakan daerah sumber, transit dan tujuan perdagangan orang. Menurut laporan IOM (International Organization of Migration) pada tahun 2006, 22 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia menjadi daerah asal korban yang tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang, Saudi Arabia, dan lain-lain. Setiap tahun diperkirakan 600,000 sampai 800,000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak melintasi perbatasan antar negara. Para pelaku trafficking sering menjadikan perempuan dan anak sebagai target trafficking dengan janji-janji untuk mendapatkan pekerjaan, kesempatan melanjutkan pendidikan, dikawini, dan kehidupan yang lebih baik.
Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 15 provinsi terindikasi bahwa dari waktu ke waktu perdagangan manusia memperlihatkan grafik meningkat dengan negara tujuan Malaysia, Singapura, Taiwan, negara-negara Timur Tengah, Amerika Serikat, negara-negara Eropa. Sementara itu tujuan trafficking adalah sebagai berikut: untuk pembantu rumah tangga di luar negeri (kebanyakan di Malaysia, juga di Singapura, Taiwan, Saudi Arabia; dan sebagainya; prostitusi di luar negeri / bekerja pada tempat-tempat hiburan; kawin dengan orang asing (terutama ke Taiwan); bekerja di bidang konstruksi, perkebunan, dan lain-lain (kebanyakan di Malaysia, Saudi Arabia, dan Jordania); pembantu rumah tangga di Indonesia; prostitusi dalam negeri; penjualan bayi; lingkaran peminta-minta yang terorganisir; perkawinan kontrak.

Dari hulu ke hilir
Untuk memahami masalah perdagangan orang di NTT, kita perlu membedahnya dari hulu ke hilir. Prof Mia Noach, Ph.D, M.Ed Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT dalam diskusi yang diselenggarakan ACILS (American Center International of Labor Solidarity) dan Biro Perempuan NTT pada tanggal 12 Maret 2008 mengatakan demikian karena NTT memiliki konteks perdagangan orang yang berbeda dari daerah lain. Untuk mengerti perdagangan orang di NTT, setiap orang mesti membedahnya secara holistik dari hulu ke hilir, bukan serpihan-serpihan kecil yang terlepas satu sama lain.
Pada hulu masalah, terdapat sejumlah faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia. Dikatakan sebagai faktor-faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia, karena faktor-faktor ini merupakan kondisi yang mendorong pelaku, keluarga, masyarakat, dan aparat pemerintah terlibat dalam proses atau cara migrasi dan kegiatan yang tergolong perdagangan manusia. Faktor-faktor itu antara lain kemiskinan yang diperburuk oleh krisis multidimensi yang masih melanda Indonesia; pertumbuhan angkatan kerja yang tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan kerja berimbas pada meningkatnya pengangguran; perubahan gaya hidup yang lebih mengarah kepada materialisme dan konsumtif; bias gender yang bersumber dari budaya yang memberikan penilaian yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan secara ekonomis; jaminan sosial dan perlindungan hukum yang belum memadai, termasuk penegakan hukum yang belum optimal terhadap maraknya tindak pidana yang melibatkan aparat pemerintah.
Sedangkan hilir masalah merupakan tujuan dari tindakan perdagangan manusia, sekaligus akibat yang diderita oleh korban. Dalam konteks ini, tujuan perdagangan manusia teridentifikasi sebagai berikut: pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili); buruh migran legal maupun ilegal; adopsi anak; pembantu rumah tangga; mengemis; industri pornografi dan bentuk-bentuk ekploitasi lainnya.
Dengan membedah masalah perdagangan orang dari hulu ke hilir, kita bisa melihat kontekstualisasinya di NTT. Untuk konteks NTT, yang menjadi korban utama perdagangan orang adalah perempuan dan anak. Karena itu, upaya pencegahan dan penanganan masalah trafiking di NTT adalah upaya yang langsung berhubungan dengan kepentingan para korban itu. Selain itu, konteks perdagangan orang di NTT tidak hanya terjadi dalam pola perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan dalam cakupan antar daerah dan antar negara melainkan juga antar lokal. Contoh perdagangan antar lokal adalah nasib seorang gadis asal Belu yang menjadi korban kerja paksa pada salah satu keluarga di Kampung Garam Maumere beberapa tahun lalu.
Masih berkaitan dengan perdagangan orang di NTT, perlu dipahami bahwa cakupan itu tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang dipekerjakan di luar negeri atau di luar daerah secara ilegal dan tidak memenuhi syarat tenaga kerja. Dalam wilayah NTT sendiri ada banyak contoh kasus perdagangan orang dalam bentuk eksploitasi seksual seperti PSK Jalur Hijau Kota Kupang, PSK Sesekoe di Belu, PSK jalanan di setiap ibukota kabupaten. Mereka-mereka ini adalah bagian dari perdagangan orang. Sayang bahwa oleh konsep tentang perdagangan orang yang masih rancu, mereka-mereka ini tak tercakup dalam upaya pencegahan dan penanganan para korban trafiking di NTT.
Perdagangan orang di NTT dari tahun ke tahun kian marak. Rumah Perempuan, salah satu LSM yang bekerja dengan isu perempuan dalam buku catatan pendampingan Rumah Perempuan melaporkan bahwa selama tahun 2007 ada 20 kasus perdagangan orang yang didampingi Rumah Perempuan. Semuanya terjadi pada buruh migran perempuan. Dari 20 kasus buruh migran, 2 (10%) terjadi pada buruh migran legal dan 18 (90%) terjadi pada buruh migran ilegal. Modus kasus perdagangan orang antara lain penipuan besarnya gaji yang dibayar tidak sesuai dengan perjanjian; penipuan identitas (usia); bekerja melebihi jam kerja.
Selain laporan di atas, wajah NTT acapkali ternoda oleh kasus perdagangan orang yang bahkan telah menjadi konsumsi wacana internasional. Kita tentu masuh ingat kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat, kasus terbunuhnya Tenaga Kerja Wanita asal NTT di Surabaya, kasus 327 Tenaga Kerja Wanita asal NTT berusia di bawah 18 tahun yang diperdagangkan di Papua. Selain itu, ada berbagai kasus yang menyangkut tenaga kerja asal NTT seperti yang dilansir oleh koran seperti kasus 108 anak dari Belu ditelantarkan di Jakarta oleh sebuah yayasan yang mengelola pendidikan tinggi (PK, 5/112007); seorang TKW asal NTT yang dianiaya oleh majikan yaitu Mr Chin dan Miss Ong (istrinya) (PK, 5/11/2007); 12 orang tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang hendak berangkat ke Malaysia diamankan aparat kepolisian di Pelabuhan Tenau Kupang (31/11/2007). Mereka adalah calon TKI asal Rote dan Belu yang rencananya diberangkatkan ke Surabaya dengan kapal Tatamailau. Mereka yang direkrut ini dijanjikan untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit dengan iming-iming gaji sebesar 2 juta rupiah/orang. Namun sebelumnya para calon TKI harus menyerahkan uang sebesar 1 juta rupiah.
Data pada Dinas Nakertrans Provinsi NTT menunjukkan bahwa pada tahun 2005 ada 977 TKI bermasalah yang dipulangkan terdiri dari 704 laki-laki dan 273 perempuan; tahun 2006 tidak ada TKI namun ada 127 kasus pemulangan, 115 kasus melarikan diri, dan 7 kasus meninggal dunia. Bahkan dari bincang-bincang saya dengan Kasubdin PPTK Dinas Nakertrans Provinsi NTT, Abraham Jumina diketahui bahwa angkatan tenaga kerja NTT yang ke luar negeri akan terus meningkat hingga 10.000 orang untuk tahun 2008. Ini merupakan akumulasi TKI NTT yang legal maupun ilegal. Besarnya angka di atas ditunjang juga oleh praktik-praktik manipulasi identitas yang banyak dilakukan terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri. RT/RW, kelurahan dan kecamatan dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas dengan subyeknya.
Kasus-kasus sebagaimana disebutkan di atas semakin meningkat dari waktu ke waktu sementara upaya pencegahan tidak memperlihatkan hasil yang maksimal karena lemahnya koordinasi, pengawasan dan pembinaan. Di samping itu, para korban tindak pidana perdagangan orang tidak ditangani secara baik. Yang terjadi sekarang adalah bagaimana para korban itu dipulangkan kembali kepada keluarganya tanpa sentuhan rehabilitasi terhadap kondisi kesehatan dan masalah sosial yang dialaminya. Sementara itu, sanksi terhadap para pelaku perdagangan manusia kurang tegas. Di sisi lain, kita belum miliki perangkat aturan yang bisa menjawab berbagai permasalahan yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi Nusa Tenggara Timur.
Kita orang NTT tidak harus puas dan berhenti sampai pada titik provinsi yang dikenal dengan industri TKI. Ini seharusnya bukan menjadi kebanggaan kita. Malah mesti dilihat sebagai katastrofa kemanusiaan yang mengerikan. Industri tenaga kerja kita kerap bermasalah dan memakan korban manusia-manusia yang lemah, rentan kekerasan seperti anak dan perempuan. Sudah saatnya kita memiliki manajemen tenaga kerja yang baik. Bukan sekadar terkejut setelah ada persoalan di negeri orang, lantas saling mencari kambing hitam. Tugas pemerintah dan masyarakat bukan hanya mengupayakan tindakan kuratif setelah ada persoalan tenaga kerja tetapi bagaimana memberantas persoalan ini sejak dari hulu.
Kita tentu sangat berharap agar di NTT segera lahir Perda perdagangan orang dan Keputusan Gubernur atas peraturan daerah itu. Ini adalah landasan hukum yang penting untuk mencegah dan menangani kasus perdagangan orang di NTT. Bukan terutama secara politis, tetapi juga secara praksis di lapangan. Dan lebih dalam dari itu, karakteristik masalah perdagangan orang di NTT dari hulu ke hilir, kiranya tercakup dalam peraturan daerah yang sedang didamba masyarakat saat ini. Membedah perdagangan orang adalah upaya menguliti persoalan yang ada dengan harapan ada tindakan preventif dan kuratif yang dilakukan pemerintah dan masyarakat agar tidak jatuh terus-menerus korban perdagangan orang di NTT khususnya kaum perempuan dan anak.


Isidorus Lilijawa, Koordinator ACILS-LPA NTT untuk Traffiking. Tamatan STFK Ledalero.

Saturday, April 12, 2008

13 Tulisan tentang Media

TELEVISI DAN PARADOKS KOMUNIKASI



Zaman telah mengantar kita memasuki abad informasi. Arus globalisasi dan gelombang perubahan zaman dewasa ini telah memposisikan ‘komunikasi’ sebagai sebuah lalu lintas sosial. Komunikasi in se juga membuka berbagai kemungkinan bagi membanjirnya arus globalisasi dan perubahan dunia. Lalu lintas komunikasi sosial masyarakat bertujuan menghubungkan pikiran manusia untuk menemukan pola-pola tindakan tertentu. Singkatnya, komunikasi telah menjadi jiwa kehidupan sosial suatu masyarakat yang dinamis dewasa ini.
Televisi (TV) hadir sebagai salah satu media komunikasi elektronik yang mampu mengubah dunia dan kehidupan masyarakat manusia. Teaevisi sesuai dengan namanya berarti melihat jauh. Kemampuan melihat jauh yang dahulu dimonopoli ahli-ahli telepati kini menjadi milik semua orang. TV dianggap sebagai ‘kotak ajaib’ yang bisa menyederhanakan dunia ini menjadi begitu sempit dan transparan. Dunia seolah-olah hanya sebuah kampung besar. Manusia di pelosok desa Ngada dapat melihat apa yang sedang terjadi di pedalaman Kosovo, atau festival film di Cannes, Prancis. Setiap hari orang bisa mendengar dan memantau situasi dunia atau menyaksikan serpihan-serpihan kebrutalan aksi teroris di Amerika Serikat dan di Kuta, Bali. Lantas, adakah televisi sebagai media komunikasi telah menjawabi kebutuhan komunikasi manusia?
Adanya sebuah media komunikasi membawa serta berbagai tujuan dalam dirinya. Tujuan pokok sebuah media komunikasi adalah menyampaikan informasi secara efektif dan efisien serta berfungsi menyampaikan informasi mengenai ’kebenaran’. Kebenaran disederhanakan menjadi semacam kepercayaan yang dianggap masuk akal demi melanggengkan suatu kepentingan. Manusia tidak dapat menutup mata terhadap aspek positif TV. Sebagai media komunikasi, TV berfungsi sintesis. Di dunia modern saat ini dengan kemajuan yang pesat dalam bidang tranportasi dan komunikasi, beragam informasi dan produk yang dihasilkan dan tersedia akan saling bersaing. Bagi orang tertentu, dari kelompok dan golongan tertentu, keberagaman seperti ini bisa menimbulkan kebingungan. Mereka menganggap hanya buang waktu, tenaga, dan pikiran yang tidak perlu untuk membuat pilihan itu. Dalam arti tertentu, penerima dan pendengar atau konsumen lebih senang bila media komunikasi mau menyajikan pilihan sintesis dari keragaman itu.
TV juga dapat berperan sebagai wahana pendidikan dan menyediakan sarana untuk memproduksi sebuah pengetahuan dan kebenaran. Masyarakat diharapkan mampu membedakan mana yang salah dan benar serta asli. Lewat TV orang mampu menetapkan manakah produk sebuah realita dan mana yang khayalan. TV juga dapat membuat orang bersikap kreatif, mengarahkan masyarakat ke masa depan dengan menghadirkan pesan-pesan terkini. Pendek kata, TV menjelma sebagai simbol sivilisasi manusia dan kebutuhan aktual manusia dewasa ini.
Di balik fungsi-fungsi tersebut, TV juga berwajah ambivalen. TV hadir sebagai alat komunikasi dan sekaligus perusak komunikasi. Pada satu sisi, TV sebagai media komunikasi massa. Keberadaan televisi memainkan peran yang sangat penting. Kehadirannya dalam skala tertentu sangat mengganggu komunikasi jarak dekat. Dalam keluarga, misalnya, komunikasi antara anggota keluarga sedikit terhambat karena semua mata tertuju pada satu fokus: TV. Komunikasi dialogal dalam keluarga tidak bisa jalan, karena semua mata terarah kepada televisi. Akibatnya, relasi dalam keluarga serba cepat dan basa basi. Kemesraan dan kebersamaan dalam keluarga sering ditinggalkan karena acara kesayangan tertentu yang disuguhkan TV.
Dengan adanya TV, dunia memasuki era baru, era elektronik. Dalam konteks ini, perubahan dirasakan sebagai suatu loncatan sebab tidak ada dasar pijak yang kuat. Ketika masyarakat kita belum terbiasa dengan budaya membaca, televisi menawarkan budaya instan, budaya menonton. Dan bagi anak-anak, TV menyebabkan kebuntuan untuk berkreasi. Apa yang disuguhkan TV, semuanya sudah terstruktur dan terprogram. Bukan tidak mungkin bila kreativitas dan imajinasi kita pun terbelenggu dalam struktur ini. Kita sering menjadi penjiplak yang setia. Hal ini menjadi lebih kompleks masalahnya, kalau tendensi menonton seorang anak terpenuhi dalam adegan-adegan asosial yang ditayangkan di TV.
TV dengan berbagai programnya yang padat dan keterbatasan jam tayangan, pada satu sisi memaksa manusia untuk mengikuti semua acara yang ditawarkan. Ketika berita, dan kejadian ditampilkan secara rutin, maka orang pun melihat semua itu tidak lebih dari rutinitas pula. Ketika berita peperangan, kematian, bencana alam, pembunuhan ditayangkan, orang tidak mampu berbuat lebih daripada menikmatinya sebagai suatu suguhan yang mungkin menarik, mungkin juga tidak.
TV tidak saja menghambat proses komunikasi horizontal antara aku dan aku yang lain, namun lebih dalam ia masuk dan meretas jalinan komunikasi vertikal antara manusia dan yang Ilahi. James Arnold, seorang kritikus media massa untuk majakah St. Anthony Massenger, menyatakan, ‘Anda dapat menemukan Tuhan di televisi, bahkan kapanpun. Hanya saja Anda harus menjatuhkan pilihan yang tepat’. Untuk itu, cukup penting bagi orang beriman menonton televisi, dan itu merupakan suatu kesempatan bukannya suatu godaan. TV merupakan sarana belajar, informasi dan kontak kultural. Televisi dapat dijadikan sarana pewartaan, di mana melaluinya kita dapat menjumpai Tuhan. Berbagai acara bernuansa keagamaan sekarang marak ditayangkan di TV. Pertanyaan yang muncul apakah dengan tersedianya berbagai acara keagamaan itu, TV sebagai media komunikasi telah menjadi penyalur komunikasi iman yang tepat? Apakah dengan itu berarti kita telah dapat menangkap kehadiran Tuhan dalam keajaiban kotak kecil itu?
Jalaludin Rakhmat, seorang pakar komunikasi massa, berpendapat TV sudah menjadi the first God (Tuhan pertama). Pernyataan ini benar. Kehadiran TV mengaburkan batas antara Tuhan dan tuhan-tuhan. Selanjutnya otoriter Tuhan pun tenggelam dalam kecanggihan teknologi. Pada hal Tuhan adalah suatu otoritas mutlak, hegemoni tunggal yang amat menentukan. Antara Tuhan dan tuhan ada perbedaan tingkat otoritas. Tuhan memiliki kuasa absolut, sedangkan tuhan yang lain adalah rekayasa manusia.
Sementara Emha Ainum Nadjib berkomentar bahwa dalam skala yang berbeda manusia di rumahnya masing-masing tidak sedikit yang memiliki ‘tuhan’ mereka sendiri. Sebatas mana pikirannya boleh mengembara dan kakinya boleh melangkah sudah tersedia pedomannya di layar TV. Bagaimana manusia harus tampil beda, macam mana hidup yang bergengsi dan model-model pakaian yang harus dibeli, sudah ada ‘firmannya’ (baca programnya) dalam iklan TV. Komunikasi manusia dengan yang ilahi pun semakin singkat dan praktis hilang ketika manusia menemukan semuanya dalam ‘firman’ tuhannya. Manusia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV sampai-sampai waktu untuk berbicara dengan Tuhan pun hilang. Orang cenderung menonton TV ketimbang pergi ibadah. Anak-anak berteman dengan TV daripada dengan teman sebayanya. Mereka lebih mudah menghafal nama para pemain sepak bola daripada menghafal rumusan doa. Tidak mengherankan TV sangat mempengaruhi anak-anak dewasa ini.
Keberadaan TV di pihak lain juga turut mempengaruhi komunikasi dengan diri sendiri. Manusia semakin sulit membedakan sebuah keinginan dari kebutuhan. Artinya, komunikasi dengan diri sendiri tidak bisa berjalan. Orang menonton TV berjam-jam lamanya demi sebuah kesenangan dan lupa akan kesehatannya. Berhadapan dengan kotak ajaib ini, maka orang sulit membuat prioritas nilai. Bukankah ini berarti orang mulai berhamba pada TV?
Seorang pengamat dan pemerhati bola kaki dunia, Umberto Eco melukiskan bagaimana para bolamania yang kehilangan pengendalian diri dan sulit berkomunikasi dengan diri sendiri. Menurutnya, menonton sebuah program olahraga merupakan semacam voyeurisme yang menggerogoti kesehatan. Secara psikologis, orang mendapat kepuasan dengan melihat pihak lain bertempur. Secara fisik, orang mengalami reduksi agresivitas. Kehadiran TV telah meretas sekat-sekat peradaban manusia dan menempatkan komunikasi manusia dalam bingkai yang rancu. TV sudah menjadi salah satu kebutuhan kita dalam mengakses informasi dan hiburan. Yang terpenting bagi kita adalah, mengambil sikap yang cermat dan tepat dalam menyiasatinya. Mungkin kita perlu menetapkan siaga terhadap pengaruhnya sebelum ia menjadi bumerang bagi kita. TV adalah media paradoks yang sangat membantu dan mempermudah kita sejauh dimanfaatkan sebagai sarana dan bukan tujuan hidup kita.


Dimuat di Flores Pos, 19 Desember 2002




BELAJAR MENGKRITISI TV



Kasus teror bom di Flobamora Mall, Kupang - NTT beberapa saat lalu sungguh menghebohkan warga kota Kupang. Dalam situasi saat ini yang mana terorisme menjadi ancaman bagi siapa saja, teror tersebut membuat kepanikan dan ketakutan yang mendalam. Tapi tak disangka bahwa pelakunya adalah seorang bocah CS (6 tahun), murid kelas I salah satu SD di Kota Kupang, bukan jaringan teroris internasional ataupun kaki tangan dedengkot teroris Indonesia Dr. Azahari dan Nurdin M Top. Kepada polisi, CS dengan polos menuturkan bahwa ia hanya iseng saja menelpon ke Flobamora Mall bahwa ada bom. Ia mengaku perbuatan isengnya dilakukan karena ia sering menonton di TV mengenai adanya teror bom yang membuat orang ketakutan (Pos Kupang, 13/11/2005).
Dari fakta ini, kita bisa bertanya siapakah yang patut dipersalahkan: TV, orangtua atau si bocah sendiri? Realita di atas mesti menjadi pembelajaran dan perhatian serius bagi setiap orang tua dan bagi seluruh masyarakat pada pengaruh pesona TV khusunya bagi anak-anak. Para tataran ini, hemat saya penting untuk mulai ditumbuhkembangkan ‘TV awareness’, kesadaran bertelevisi mulai dari anak-anak hingga kaum dewasa.

Pesona Televisi
Kehadiran TV dalam hidup manusia sungguh menebar pesona. TV telah menjawabi semua keinginan dan kebutuhan manusia. Ia menyediakan apa yang diharapkan dan dicita-citakan manusia. Sebagai ‘kotak ajaib’, TV menjadi salah satu keajaiban dunia yang menandai civilisasi dan humanisasi manusia. Pesona TV itu nampak melalui kemasan acaranya yang menarik, melalui iklan-iklan yang ditawarkan, melalui bahasa dan simbol yang menarik, mudah dimengerti dan menggugah. Dengan pesonanya, TV telah mendominasi komunikasi manusia. Ia telah mendapat tempat dan posisi strategis dalam tata ruang rumah tangga dan keluarga. Pesona TV yang begitu dahsyat melalui film, telenovela, sinetron, iklan, jurnalisme sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat manusia. Dalam skala prioritas, TV telah menempatkan posisi urgen untuk ditonton dan dinikmati. Dalam sebuah penelitian di Kolumbia tahun 1985, diperoleh hasil sebagai berikut. Dari 6.000 anak usia 4-12 tahun, 75% paling suka TV dari semua media yanga ada. Mereka sehari-hari menonton TV 2 jam pada hari sekolah dan 5-6 jam pada hari libur. Sebanyak 75% dari anak-anak Kolumbia memandang bahwa Amerika Serikat lebih penting dari negara mereka sendiri. 40% anak menyesal mengapa mereka tidak dilahirkan di Amerika Serikat (Iswarahadi, 2003: 23-24).
Pesona TV mewartakan satu kebenaran ini, TV meyakinkan manusia bahwa dia baik. Dia bukanlah suatu ancaman bagi manusia. Pesona ini begitu ampuh justru karena ia merasuki pusat rasionalisasi kita melalui rupa-rupa jalan yang mungkin dengan maksud untuk memikat kita secara sensoris, efektif pun kognitif. Pesona TV sangat menyentuh rasa dan membutakan proses analisis rasio. Seluruh panca indera kita dibuat bereaksi terhadap apa yang ditunjukkan. Afeksi kita ikut tersentuh. Pada umumnya rasio kita hampir tidak ikut bekerja pada saat kita berhadapan dengan program-program tertentu yang ditayangkan di TV. Akal kita baru berfungsi kemudian untuk memberi legitimasi bagi sikap dan perbuatan kita.

TV, seks dan kekerasan
Dalam zaman globalisasi dan informasi sekarang ini, kekerasan yang dipicu oleh hadirnya berbagai media komunikasi merupakan suatu konsekuensi yang tak dapat dihindari. Dua cuplikan kasus ini bisa mewakili apa yang sebenarnya terjadi. Di Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, Flores, NTT seorang anak laki-laki ditanya oleh seorang petugas peneliti HIV/AIDS. ‘Apakah adik sudah pernah melakukan hubungan seks?’ Jawabnya: ‘Saya sudah pernah melakukan hubungan seks dengan seorang ibu janda sebanyak tiga kali. Kami melakukan itu setelah kami menonton video porno di rumah ibu janda itu.’ Hal yang senada juga terjadi di desa Nangahure, Wuring Baru, Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Seorang pemilik rumah setiap hari memutar film porno dengan tarif Rp. 1000,00. Sejumlah anak sekolah yang hendak ke sekolah ternyata berhenti di situ untuk menonton video porno hingga pukul 13.00 Wita. Mereka bubar pada jam anak-anak lainnya pulang sekolah (Fernandez A: 2004,1).
Berbagai aksi kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini seperti perkosaan dan pencabulan banyak kali disebabkan oleh pesona TV. TV memanfaatkan daya tarik seks sebagai menu utama untuk mereguk keuntungan. Daya tarik seks tetap dianggap memiliki kemampuan yang kuat untuk memikat publik dan mengikat konsumen dengan efektif terhadap produk tertentu. Sex is a short cut to instant value and therefore high memorability (seks adalah jalan pintas menuju pengakuan seketika. Ia memiliki nilai kejutan dan karena itu mempunyai daya kenang yang tinggi). Sex appeal yang dikemas dalam berbagai produk TV mengajak setiap orang untuk mencicipinya dalam sebuah laboratorium eksperimen ‘esek-esek’ yang namanya laboratorium perkosaan dan percabulan.
Berbagai adegan kekerasan menjadi menu spesial TV. Bahkan beberapa saat lalu, Kapolri Jendral Dai Bachtiar pernah mengeritik TV yang dinilai sudah amat vulgar dalam menayangkan berita-berita kriminal. Amati saja dalam berbagai stasiun TV di tanah air yang mempunyai program kriminal: Patroli (Indosiar), Sergap (RCTI), Buser (SCTV), Sidik (TPI), Kriminal (TransTV), TKP (TV7) dan Investigasi (Lativi).

TV awareness
Kesadaran kita tentang TV, kesadaran saat berhadapan dengan TV merupakan modal dasar yang perlu ditumbuhkembangkan bila kita mau menjadi kritis terhadapnya. Dari berbagai uraian terdahulu, kita dapat melihat bahwa TV adalah kotak ajaib yang paradoksal. Justru karena itulah, maka kita perlu menyiasatinya. Kita mesti memiliki sebuah stand point atau point of view (titik pijak) yang membuat kita memiliki tempat berdiri dalam menilai media dan bagaimana menggunakannya secara arif dan bijsaksana. TV awareness dapat ditumbuhkan melalui latihan yang terus-menerus.
Tidak mungkin kita hanya dapat mempersalahkan TV atas berbagai kebobrokan moral, mental dan kepribadian manusia dewasa ini. Kita mesti mempersalahkan diri karena tidak kritis dan kreatif menciptakan usaha-usaha untuk membendung pengaruh negatif dari TV. Latihan kesadaran ber-TV perlu diadakan di dalam keluarga, sekolah dan kelompok-kelompok masyarakat. Latihan ini bertujuan mendidik masyarakat agar menjadi pembaca, mendengar, pemirsa yang aktif. Mereka diajar untuk mengiterpretasi isi media, membuat fokus dan bertanya manakah informasi yang baik dan negatif. Seirama dengan pandangan di atas, kita membutuhkan langkah-langkah praktis.
Pertama, selektif. Kita membuat klasifikasi acara mana yang bisa ditonton, artikel mana yang bisa dibaca, berita apa yang bisa didengar. Di sini urgensitas berita menjadi hal utama. Kita menonton TV dengan acara tertentu karena memiliki pijakan yang jelas. Kedua, tahu melihat prioritas nilai. Kecenderungan terbesar di kalangan generasi muda saat ini adalah kehilangan orientasi hidup yang berakibat pada tiadanya prioritas nilai dalam hidup. Waktu untuk menonton TV lebih banyak ketimbang untuk belajar. Prioritas itu penting karena ia seperti kompas yang mengatur arah kerja dan aktivitas.
Selain itu, sebagai pemirsa yang mengkonsumsi TV dan segala programnya kita mesti berlaku sebagai “penulis kedua”. Maksudnya, pengarang-pengarang acara, pengarah program dan mereka yang menampilkan iklan adalah “penulis pertama”. Mereka hadir dalam prespektif mereka sendiri, dalam hasil studi dan refleksi mereka ketika membaca kenyataan. Sikap kritis kita, TV Awareness kita tampil di sini bahwa tidak semua yang disajikan adalah “makanan bergizi” yang cocok untuk kita. Makanan boleh enak tetapi belum tentu bergizi. Makanan boleh enak, tapi kalau mengandung kadar lemak tinggi, kolesterol kita bakal naik. Itu menyebabkan kita mati muda. Karena itu, kita sendiri mesti memiliki ’preunderstanding’, sebuah pemahaman awal yang sudah ada sebelum menonton sesuatu. Dan kita berada di jalur ini: di satu pihak kita memiliki pemikiran kritis, di pihak lain kita menikmati sajian dalam sebuah konfrontasi yang terus-menerus. Ada suasana diskursus di sini, sebuah dialektika yang memampukan kita tidak duduk sebagai objek melainkan sebagai subjek yang terlibat di dalam sebuah wacana yang ditampilkan.

Dimuat di Pos Kupang, 15 November 2005



AWAS, TUHAN MODERN!


Pada tanggal 15 Desember 1996, sejumlah pekerja sosial mengadakan dialog di Molave, rumah tahanan di Quezon City, Filipina. Dialog itu dihadiri juga oleh keluarga dari 3 anak laki-laki (7-12 tahun) yang ditahan karena kasus perkosaan. Dua dari tiga anak yang memperkosa Sheila gadis berusia 5 tahun, mengaku bahwa tindakan itu mereka lakukan setelah menonton video porno di rumah tetangga (Iswarahadi: Beriman dengan Bermedia, 75).
Beberapa saat lalu, publik negeri ini dihantui tayangan smack down yang brutal menghajar anak-anak negeri ini. Muhamad Hardianto, siswa kelas 1 SMP Negeri 3 Puwatu, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, menjadi korban smack down teman sekolahnya. Ia diserang temannya dengan gaya tarung ala smack down. Ia dibanting, lalu kepalanya diduduki, persis seperti pemenang memperlakukan pecundang dalam tayangan TV yang disiarkan stasiun Lativi.
Di Bandung, Reza Ikhsan Fadilah, seorang siswa kelas 3 SD meninggal dunia setelah di-smack down oleh 3 temannya. Korban lainnya adalah Ahmad Firdaus, murid kelas 3 SD Babakan Surabaya yang harus dilarikan ke rumah sakit setelah perut dan kemaluannya menjadi korban kekerasan gaya smack down oleh 3 kakak kelasnya (Media Indonesia, 27/11/2007).
Apa yang dapat kita katakan setelah menyimak fakta kekerasan ini? Anak-anak kita sedang babak belur dihajar TV. Jika kita tidak mengantisipasinya, maka tak mustahil anak-anak kita bakal menjadi idiot dan paranoid gara-gara TV. TV berperan mereduksi kenyataan menjadi ilusi, dan anak-anak kita akan hidup dalam ilusi-ilusinya. Berbagai peristiwa di atas berawal dari ‘semangat’ meniru yang kuat dalam diri anak-anak. Tanpa bimbingan orang tua, apa saja yang disabdakan TV akan diterima dan diserap anak sebagai sesuatu yang harus ditiru karena baik adanya.
Dalam siaran-siaran TV kita, dalam tayangan film-film yang beradegan kekerasan, pada monitor televisi pojok kiri atas selalu ditampilkan huruf BO (bimbingan orang tua). Pertanyaannya, sejauh mana orang tua terlibat dalam tontonan anak-anak? Mungkin sangat jarang. Anak dibiarkan menonton seturut maunya. Bahkan mereka sudah mulai secara sembunyi-sembunyi ‘melahap’ adegan-adegan seks melalui kepingan-kepingan bluefilm yang marak beredar di emperan-emperan toko.
TV kerap hadir dalam wajah ‘tuhan’ modern. Ia mempunyai banyak sabda yang harus ditaati pemirsanya. Mulai sabda menggunakan bumbu masak hingga memilih pembalut wanita. Pemirsa tunduk di bawah sabda itu. Jika tidak, lingkungan akan memvonis dengan kata-kata kuper (kurang pergaulan), tidak up to date, kuno, wawasan sempit, jadul (jaman dulu). Dan untuk anak-anak sabda tuhan modern ini lebih memikat dan menarik daripada Sabda Tuhan dalam Kitab Suci dan sabda para orang tua.
Bahasa TV selalu dikemas ringan, menarik dan mudah diingat. Kelebihan TV adalah para tokoh dibawa masuk ke dalam otak dan hati pemirsa. TV merupakan kurikulum tanpa peringkat yang langsung merengkuh setiap pemirsa (anak) untuk alasan apa saja dan kapan saja. Di dalam TV, tidak ada yang harus diingat dan disimak dengan susah payah. Pengaruh TV atas anak-anak menjangkaui tembok kelas, sampai di luar kelas, termasuk di dalam rumah. Di dalam kelas guru mengajarkan nilai-nilai yang luhur seperti kesopanan, kelemahlembutan, perdamaia. Di dalam TV seakan-akan ada nabi-nabi palsu yang menyangkal semua ajaran luhur itu. Informasi yang salah dan tidak lengkap di dalam TV dapat mengantar anak-anak pada pemahaman nilai yang keliru. Kekerasan laki-laki terhadap perempuan yang digambarkan di dalam TV dapat memberi kesan perempuan itu tidak lebih dari objek seks dan bukan pribadi yang bermartabat. TV sering mengubah seksualitas menjadi sekadar penampilan sensual, harga diri menjadi kesombongan, dan kemauan untuk hidup menjadi keinginan untuk berkuasa.
Pokok persoalan bagi kita adalah bagaimana mencegah ’brutalnya’ TV bagi anak-anak kita. Tidak bijak jika kita hanya menyalahkan media TV. Tidak sesederhana itu memang. Tapi di ruang tunggu bank dan rumah sakit, bahan bacaan menghilang dan digantikan TV. Kita perlu belajar untuk menilai, manakah program yang baik untuk anak-anak dan manakah program yang menjauhkan anak-anak dari nalar sehat. Kemampuan untuk menilai ini akan berguna untuk mendampingi anak-anak.
Kita sebagai orang tua, guru, praktisi TV semakin ditantang untuk bisa mendampingi mereka, khususnya dalam hal mengenali nabi-nabi palsu di TV. Sang nabi sejati sudah bersabda kepada kita: ”Janganlah dengarkan perkataan-perkataan para nabi (palsu) yang bernubuat kepada kamu! Mereka hanya memberikan harapan yang sia-sia kepadamu, dan hanya mengungkapkan penglihatan (visualisasi) rekaan hatinya sendiri, bukan apa yang datang dari mulut Tuhan” (Yer 23:16). Awas, ada tuhan modern dan sabda bahagianya.


Dimuat di Timex, Agustus 2007




SEKSUALITAS DALAM KONSTRUKSI MEDIA


Masyarakat berbudaya ketimuran umumnya memandang seks sebagai hal yang tabu. Pembicaraan tentang seks, alat vital, kelamin adalah pembicaraan yang hanya bisa dilakukan di ruang privat dan sangat berkaitan dengan privasi seseorang. Sampai dengan sebelum abad ke-20 ini, seks selalu dipandang oleh masyarakat sebagai perilaku yang tertutup. Perjalanan waktu dan dinamika perubahan masyarakat ternyata turut menentukan cara pandang terhadap yang namanya kelamin atau seks. Misalnya, pada tahun 2 SM pujangga Romawi Ovidius menerbitkan buku Seni Cinta, yang isinya memuji-muji seks. Baru pada awal tahun Masehi seks sebagai suatu kebebasan dan kesenangan jasmani semata dicela oleh Santo Agustinus, seorang pujangga dan guru retorika. Di Inggris misalnya, pada zaman Ratu Victoria, seks tertutup sebagai adat yang dipatuhi oleh masyarakat, namun pasca Ratu Victoria, seks mulai dipahami secara lebih terbuka.
Bom revolusi industri di abad ke-20 ini menyebabkan revolusi mindset manusia terhadap seksualitas. Dengan arus informasi yang mewabah luas, seksualitas manusia dipandang jauh lebih terbuka dan sofistis karena didukung oleh perkembangan perangkat teknologi informasi. Teknologi secara mutlak telah mengukuhkan iklim pornografis dalam kehidupan kita selama abad ini. Seks, alat vital, kelamin perlahan-lahan dipahami bukan lagi hal tabu. Pembicaraan seputar alat vital itu bukan lagi urusan privat. Alat vital itu sekarang telah berada di ruang publik. Ia dibicarakan, ditulis, dianalisis, dikeluhkan di media massa. Ia juga digambar, ditonton, dieksploitasi dalam dunia cyber (internet). Bahkan ia dipampang pada etalase toko, tembok-tembok kota, digeletakan pada emperan-emperan toko. Alat vital kita telah go public, mungkin ini kata yang cocok.
Revolusi seksualitas dicirikan juga oleh maraknya pornografi, pornoteks dan pornomedia saat ini. Intinya tetap sama. Kelamin diobjekkan. Sepertinya tak ada lagi ruang domestik dan publik yang terlepas dari “serangan” porno itu. Gambar-gambar perempuan telanjang, setengah telanjang atau yang terkesan tanpa busana ditemukan di sampul-sampul majalah, dipasang pada iklan-iklan baliho di jalan raya, di pusat-pusat perbelanjaan dan mencolok mata di pojok-pojok ruang publik. Kenyamanan bisa terganggu ketika orang tua membawa anak-anak remaja mereka melewati lorong-lorong dan memasuki pusat perbelanjaan itu. Karena mau atau tidak anak-anak pun menikmati gambar porno itu. Di satu sisi, orang tua melarang anak-anak mereka melihat pornografi, namun gambar itu dapat disaksikan anak-anak mereka di mana-mana (ruang publik) tanpa masyarakat di sekitarnya bereaksi bersalah.
Jika ada waktu, bolak-baliklah lembaran-lembaran media massa kita, nasional maupun lokal. Coba amati. Ada iklan seperti ini: “Gebyar terapi unik alat vital, bersama ustadz A Surya dan H Nahwi Nawawi dari pedalaman Banten. Jangan salah tempat, salah orang. Saatnya bagi kaum pria untuk bisa menentukan ukuran alat vitalnya; mau yang lebih besar, lebih panjang dan lebih kuat. Kami dapat menangani problem alat vital seperti memperbesar dan memperpanjang alat vital sesuai permintaan anda panjang 16 cm, 17 cm, sampai 20 cm. Besar 3,5 cm, 4 cm, 4,5 cm, dan 5 cm. Mengobati ejakulasi dini, mani encer, lemah syahwat, impotensi. Memperbesar payudara, rapat vagina. Silahkan buktikan, mahar Rp500.000.”
Bandingkan juga dengan iklan berikut: “Gebyar spektakuler pengobatan alat vital ditangani langsung oleh H. Saeful dan HJ, Mak Erot. Mahar Rp600.000. Bagi pria, memperbesar, memperpanjang, menjadikan keras, kuat, tahan lama. Bagi wanita, memperbesar dan mengencangkan payudara.” Ada juga Sentral Kosmetik A’seng: “Menambah besar, panjang dan tahan lama penis pria, Viagra USA dan Cina, procomil sprey (tahan lama), gerah vagina, ring penggeli. Kami juga menyediakan alat bantu pria/wanita: vagina silikon empot-empot, vibrator mutiara, vibrator maju mundur, penis mirip asli, dll.”
Tim investigator Editor dalam investigasinya beberapa tahun lalu menulis bahwa secara terang-terangan alat bantu seks telah dijual bebas di masyarakat, baik itu dalam bentuk boneka ataupun bentuk alat kelamin. Ada banyak alat-alat bantu seks “instan” dengan iklan-iklan yang merangsang, seperti sebuah iklan yang berbunyi: “Boneka (wanita) pirang Rp65.000 – Rp125.000 dilengkapi cairan pembasah, asli Taiwan, halus, full satu badan. Untuk wanita tersedia vibrator maju mundur, berputar, dll. Hanya Rp50.000.”
Gambaran di atas menegaskan bahwa seksualitas sebagai bagian dari kebertubuhan manusia selalu saja ‘ditunggangi’ oleh berbagai kepentingan. Sebagai homo economicus, orang berusaha membentuk visi ekonomi dalam tingkah laku seksual, dan menjadikan seks, alat vital itu sebagai komoditi untuk meraup keuntungan finansial. Sebagai homo ludens, orang sangat suka bermain-main dalam setiap tindakan seksual dan mempermainkan alat vital atau menggunakan alat-alat permainan kelamin itu untuk kepentingannya. Sebagai zoon politicon, politik selalu mati-matian memanfaatkan seksualitas sebagai alat kontrol dalam mekanisme kekuasaan yang mengatur kehidupan masyarakat.

Industri Media
Go public-nya alat vital ke ruang publik sangat dipengaruhi oleh industri media komunikasi massa saat ini. Menurut Sayling Wen, Club of Rome pernah menerbitkan sebuah buku, The Firs Global Revolution. Dalam buku tersebut diramalkan bahwa media adalah salah satu dari tiga kekuatan utama yang akan sangat mempengaruhi umat manusia di abad ke-21. Media ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita. Media sebagai ruang publik adalah pembentuk opini publik. Sebagai ruang publik, media massa adalah tempat bertemunya berbagai kepentingan, walaupun media itu bebas kepentingan dan bahkan orang-orang media harus jadi asosial dalam lingkungannya.
Di ruang publik, segala hal bisa ditelanjangi demi purifikasi fakta untuk sebuah kebenaran. Namun, di ruang publik jualah, seks yang dalam frame ketimuran ditutup, justru ditelanjangi. Misalnya iklan-iklan di atas bisa mengajak setiap orang untuk mencoba alat bantu seks tanpa atau dengan partner, tidak tertutup untuk kaum remaja yang memiliki usia rentan terhadap pengaruh dari luar. Bisa juga hasrat seks dibangkitkan dengan teknik memperbesar, memperpanjang, tahan lama dan diuji coba pada teman lawan jenis atau dalam aksi kekerasan seksual.
Pada saat ini peranan media massa sebagai media informasi dalam menyampaikan pesan-pesan perubahan masyarakat begitu penting. Persoalannya bahwa yang dibawa oleh media massa baik elektronik maupun cetak, tidak saja bersifat positif, namun juga negatif. Bahkan justru pesan-pesan positif kadang kala dimodifikasi menjadi negatif. Misalnya, konsultasi seks atau konsultasi masalah sosial lainnya yang menjadi rubrik-rubrik menarik di media massa direspons secara positif oleh publik. Banyak rubrik yang digemari karena di sana banyak persoalan seks yang dapat “dinikmatinya”, daripada dijadikan pelajaran. Ada fenomen “jurnalisme sampah” yang mana media menjadikan seks sebagai komoditi pemberitaan (bukan pada substansi menguak kebenaran, tetapi proses terjadinya pemerkosaan ditulis secara detail misalnya), mengumbar nafsu syahwat dan merebut pasaran dengan jurus jitu pornoteks dan pornografis.
Dalam buku Imaji Media Massa (2001: 222), H M Burhan Bungin menulis bahwa konstruksi sosial media massa memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengkonstruksi agenda pemberitaan di masyarakat sehingga agenda itu menjadi konstruksi pengetahuan di masyarakat pada umumnya. Kekuatan konstruksi sosial media massa terletak pada kekuatan media massa itu sendiri sebagai media penyebaran informasi yang sangat cepat, luas, serentak, dan dapat mengkonstruksi citra yang amat berkesan terhadap objek pemberitaan di masyarakat.
Kekuatan konstruksi sosial media terletak pada: (1) kekuatan media massa menyuntik “jarum pemberitaan” ke dalam pikiran masyarakat, sehingga objek pemberitaan menjadi sesuatu yang selamanya “benar” melalui proses pembenaran virtual yang dilakukan media; (2) sifat pemberitaan media massa yang diulang-ulang merupakan metode yang cepat untuk mengkonstruksi masyarakat sesuai dengan kekuatan media itu; (3) karakter masyarakat yang kurang kritis terhadap pemberitaan media, menjadikan apa saja yang dikatakan media sebagai ikon pembenaran publik. Kekuatan konstruksi sosial media inilah yang mengkonstruksi seksualitas menjadi sekedar komoditi ekonomis, politis melalui pornomedia, pornoteks, pornowicara. Tentu saja ada “kecelakaan” sosial yang bisa terjadi yang mengakibatkan kerusakan sosial pada norma-norma sosial yang mapan dan sensitif dan menjadi kekuatan pendorong terhadap unsur-unsur perusak lembaga sosial.
Seksualitas kita sedang bertarung di ruang publik. Disadari atau tidak, kita sering menatap, membaca dan menertawakan seks, kelamin dan alat vital kita yang sedang dikonstruksi di berbagai media yang kita jumpai. Untuk menghentikan lajunya pornoteks dan pornomedia yang bisa menciptakan kecelakaan sosial itu memang butuh ongkos. Mungkin jauh lebih baik kita mencegahnya daripada sekedar menanti ‘pengobatan’ setelah terjadi kecelakaan. Pada titik ini, hemat saya gagasan “biologi plus” dan ancaman “kematian dini” adalah solusi yang bisa dipakai untuk mencegahnya.

Biologi Plus
Beberapa waktu lalu, SMA Charitas dan beberapa SMA swasta di Jakarta mencoba membuat terobosan dengan menyisipkan materi pendidikan seks dalam pelajaran biologi. Upaya memberi nilai “plus” ini menarik mengingat mendesaknya kebutuhan riil untuk mengarahkan perilaku seks para remaja. Hal ini juga mengingat iklim kehidupan yang semakin pornogragfis di era keterbukaan saat ini sangat kondusif menjerumuskan para remaja dalam pengumbaran tindakan seksual yang tak terkontrol. Dalam kurikulum pelajaran biologi sendiri, pendidikan seks bisa disisipkan antara lain lewat materi tentang reproduksi, hereditas, genetika. Pintu masuk ini diharapkan bisa mengantisipasi arus informasi seks di dunia luar yang semakin pornografis. Selain itu, muatan-muatan moral dan agama di sekolah-sekolah baik lewat retret, ibadah dan keimanan mutlak perlu untuk menjadi counter power terhadap informasi-informasi itu.
Alternatif lain adalah menyelenggarakan pendidikan seks melalui lembaga lain di luar lembaga pendidikan resmi. Jalur-jalur telepon hot line untuk remaja seperti yang digelar PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia) atau LSM seperti Yayasan Kalyanamitra atau Yayasan Perspektif yang mengadakan studi seksualitas lewat program media monitoring yang bisa memberi banyak masukan dalam penyusunan konsep pendidikan seks yang komprehensif.
Ancaman “kematian dini” yang disebabkan oleh AIDS, yang mana penderitanya meninggal setiap saat bisa menjadi shock therapy untuk pola seks bebas dan gonta-ganti pasangan, yang bisa jadi hanya sekedar uji coba dari pemetaan pengetahuan seks yang dipungut dari media massa tidak secara kritis. Ancaman AIDS inilah harus membuka cakrawala siapa saja untuk menempatkan kembali posisi alat vital pada porsi kebertubuhan yang sebenarnya, yang harus dijaga dan dihargai. Di titik lain, kita diharapkan bisa menerima dan membaca media secara sadar dan kritis. Bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Orang tua, lembaga agama dan lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab dalam melatih kesadaran dan kekritisan para remaja terhadap apa yang disebut “jurnalisme sampah” itu.

Dimuat di Mingguan Dian, 1 April 2007




BILA KITA MABUK TEKNOLOGI


Penemuan dan penggunaan alat-alat teknologi merupakan sebuah kemajuan berharga yang dicapai manusia dalam peradabannya. Manusia dengan demikian ditempatkan dan diposisikan sebagai makhluk teknologi. Kemampuan manusia merekayasa dan menciptakan hal-hal baru demi humanisasi manusia merupakan hal yang patut dibanggakan. Dalam relasi dengan instrumen teknologi manusia merasa dunia ini sebagai sebua kampung besar yang mudah dipantau dan diikuti perkembangannya.
Kita sekarang sedang hidup dalam abad teknologi, suatu kondisi yang menuntut manusia berpikir dan bertindak sejalan dengan tuntutan teknologi. Teknologi memang menguntungkan dan memanusiakan manusia. Tetapi, dalam praksisnya, penggunaan alat-alat teknologi sering menimbulkan dehumanisasi. Kemanusiaan kita justru banyak dikorbankan oleh kehadiran perangkat teknologi yang terbilang semakin canggih. Teknologi adalah tirani bagi perkembangan dan pertumbuhan manusia. Sebagai tirani, ia menentukan segala tindakan dan pikiran manusia, mengobjektivasi manusia menjadi instrumen belaka. Tidak mengherankan bila pengakuan eksistensi manusia justru ditakar dari penguasaan alat-alat teknologi. Orang yang gagap teknologi, buta teknologi dianggap lebih rendah oleh mereka yang melek dan menguasai teknologi. Dengan demikian, teknologi adalah tangan setan yang senantiasa mencengkeram persamaan dan kesederajatan manusia.
Gambaran tentang keberadaan teknologi di atas merupakan paradoks teknologi dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan ini, penulis berusaha mengurai relasi antara perkembangan peralatan teknologi dengan kasus pemerkosaan yang sering terjadi hampir setiap hari dalam lingkungan kita. Adakah relasi antara keduanya?
Berbagai media lokal maupun nasional, siaran televisi, mulutgram sering memberitakan adanya tindakan pemerkosaan. Kita tidak menyangkal bahwa pemerkosaan itu ada dan sering terjadi pun dalam lingkungan kita. Kita pun mungkin gelisah karena dengan berbagai modus para pelaku merancang tindak pemerkosaan bahkan hingga ke cara-cara yang kian canggih. Kegelisahan kita menyata ketika hidup kita menjadi tidak aman. Anak-anak gadis kita senantiasa terancam bahkan anak-anak gadis di bawah umur. Mengurai sebab pemerkosaan memang rumit. Untuk itu, dalam tulisan ini saya membatasi diri pada faktor teknologi sebagai salah satu sebab tindak pemerkosaan.
Teknologi dengan segala bentuk dan kemudahannya mewabah hingga ke desa-desa. Ketika dulu kita masih mendengar slogan listrik masuk desa sekarang justru lebih seru dari itu VCD masuk desa. Memang sudah merupakan kebutuhan manusia untuk memperoleh hiburan dan informasi melalui peralatan semacam itu. Tetapi, apakah kita telah mengantisipasi ekses negatif kehadirannya? Mewabahnya VCD yang disertai beredarnya kepingan-kepingan CD porno/BF (Blue Film) yang murah meriah diperjualbelikan di emperan-emperan toko, di rental-rental CD merupakan fakta yang perlu dicermati.
Lebih dari itu, adanya kebebasan yang diberikan orang tua bagi anak-anaknya akan menjadi jebakan bagi mereka dalam memanfaatkan peluang ini untuk mengkonsumsi pertunjukan-pertunjuan BF walaupun secara sembunyi-sembunyi. Kurangnya kontrol, minimnya perhatian dan pendidikan nilai dari orang tua menyebabkan anak-anak mencari jalan keluarnya sendiri dalam persoalan seks. Yang kita cemaskan adalah bahwa bukan saja hanya menonton tetapi setelah menonton mereka malah mempraktikkannya.
Terlepas dari persoalan pemerkosaan dengan dalih suka sama suka atau dengan kekerasan, saya melihat bahwa ada kecenderungan untuk mencoba dan akhirnya fatal (trial and error). Untuk mencoba, mereka membutuhkan korban yang umumnya pihak perempuan entah yang dewasa maupun anak-anak. Selanjutnya, hari-hari mereka adalah pencarian korban bagi pemenuhan hasrat seksual yang liar tak terkendali itu. Dan bila ada kesempatan, mereka akan melakukannya dengan segala ancaman dan tipu daya. Keseringan menonton BF, kurangnya kontrol dari orangtua, minimnya pendidikan seks menjadi pemicu terjadinya berbagai tindak pemerkosaan.
Pada tataran ini sangat urgen bila kita menyadari kematian realitas peradaban yang sudah mulai dan sedang kita rasakan. Kita sulit menyangkal bahwa kendati pun modernitas dan proses perekonomia global telah sungguh mengakibatkan kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia, namun sekaligus juga manusia mengalami proses penghancuran peradaban dalam bentuk bencana-bencana global dan bencana kemanusiaan seperti pemerkosaan justru karena modernitas berkembang terlalu pesat (paradoks modernitas).
Modernitas semacan ini telah menjadi modernitas ekstrim dan radikal karena telah menggiring masyarakat global kepada suatu kondisi di mana realitas telah diambil alih oleh model-model simulasi realitas yang tidak punya referensinya lagi pada realitas itu sendiri sehingga terciptalah kematian realitas. Kita sebagai bagian dari masyarakat global tentu saja tidak luput dari paradoks ini. Kita sekarang sedang kehilangan dasar berpijak untuk mengantisipasi dan mencegah pengaruh teknologi yang radikal. Pendidikan di sekolah, budaya lokal, kearifan lokal menjadi tidak berarti ketika kita mulai hidup dan menceburkan diri dalam kegelimangan budaya anonim. Anonimitas budaya ini perlahan-lahan menghilangkan kepribadian dan identitas kita sebagai manusia bermoral dan bermartabat. Dalam bahasa Ortega Y Gazet, hal seperti ini mengarahkan kita pada proses dehumanisasi, yakni hilangnya kemanusiaan yang terus-menerus dalam berbagai lapangan kebudayaan dan keseniaan.
Seirama dengan itu, J. Huizinga dalam bukunya Bayangan Hari Esok melukiskan bagaimana dalam kemajuan yang terus-menerus itu jatuh norma-norma moral, hilang kecakapan menimbang dan memilih sehingga makin lama orang makin tunduk pada dorongan insting dan kemajuan adalah tanda tanya besar karena telah dengan sendirinya menghancurkan kemanusiaan kita dan masa depan orang lain.
Disadari atau tidak, paradoks modernitas yang sedang mengglobal dewasa ini telah menempatkan manusia (juga kita) dalam zona mabuk teknologi yakni zona yang ditandai oleh adanya hubungan yang rumit dan sering bertentangan antara teknologi dan upaya manusia mencari makna kehidupan. John Naisbith menemukan 5 zona mabuk teknologi. Pertama, manusia lebih suka pada penyelesaian masalah secara kilat. Kedua, takut sekaligus memuja teknologi (teknofobia dan teknofilia). Ketiga, mengaburnya perbedaan antara yang nyata dan semu. Keempat, menerima kekerasan akibat teknologi sebagai sesuatu yang wajar. Kelima, mencintai teknologi dalam wujud mainan. Saya pikir bahwa gejala-gejala ini setidak-tidaknya telah dan sedang menjadi bagian dari paradigma hidup modern kita. Kemudahan, kecanggihan teknologi bagai anggur manis yang memabukkan. Berbagai gejala itu dapat terbaca dalam keseharian hidup kita. Hilangnya nilai-nilai kesopanan sebagai ciri budaya lokal kita. Juga timbulnya masalah-masalah sosial oleh kehadiran perangkat teknologi seperti TV, Internet, VCD, dll.
Dari berbagai kasus dan peristiwa pemerkosaan yang terjadi, saya berani menyatakan bahwa kita sering dan sedang terlarut dalam kemabukan teknologi. Bukankan berbagai tindakan pemerkosaan yang terjadi juga merupakan bukti bahwa kita sedang mabuk teknologi? Kehadiran TV, VCD, di satu sisi telah membawa dampak negatif bagi perkembangan kepribadian anak-anak kita. Dalam keadaan mabuk, kita sulit membedakan mana yang baik dan yang buruk, kita bahkan merendahkan diri dan martabat kita. Pemerkosaan oleh pengaruh VCD merupakan bukti kemabukan kita. Kita tidak lagi menghormati pribadi orang lain, tidak bisa mengontrol dan mengendalikan diri. Dalam kemabukan teknologi, kita tidak memiliki kekuatan untuk menyaring aneka tawaran teknologi yang datang ke hadapan kita. Beberapa hal yang berfungsi sebagai filter teknologi seperti agama, pendidikan nilai, kebudayaan, kearifan lokal kita serasa tak sanggup membendung ekses negatif teknologi ini.
Tindakan preventif dan kuratif apakah yang dapat kita buat untuk menghilangkan berbagai tindak pemerkosaan sebagai pengaruh teknologi? Rasanya mencari jalan keluar dan menemukan solusi untuk kasus ini memang boleh dikatakan sia-sia. Karena, kasus yang sama selalu terjadi dan terulang terus. Rupanya kemabukan teknologi masih menguasai nalar dan rasa kita untuk bertindak secara baik dan benar. Tetapi bagi kita yang memiliki komitmen untuk meminimalisir dan mengeliminasi tindak pemerkosaan saya menawarkan beberapa model solusi.
Pertama, memberikan pendidikan nilai dan pendidikan seks dalam keluarga. Orangtua sangat berperan dalam hal ini dengan mengontrol kehidupan anak secara wajar. Bertanggung jawab dalam kebebasan anak-anak. Pendampingan orangtua dalam kehidupan anak-anak sangat perlu. Kedua, hidup dalam abad teknologi kita dituntut untuk melek teknologi. Namun hal ini tidak berarti bahwa kita membiarkan diri diarahkan dan dibentuk oleh kepentingan teknologi. Kita mesti menjadi konsumen teknologi yang sadar dan kritis. Artinya, teknologi tidak boleh mengorbankan kemanusiaan kita. Berbagai ekses adanya TV dan VCD mesti sudah kita antisipasi. Karena itu, kita mesti memperkuat filter penangkal ekses teknologi itu. Kita mesti menjadi orang beragama yang baik, orang berbudaya yang baik. Ketiga, supremasi hukum dalam kasus-kasus seperti ini kelihatannya belum maksimal diterapkan. Hukum belum berfungsi menjera pelaku dan warga masyarakat lainnya. Ini berarti, hukum dalam kaitannya dengan tindak pemerkosaan perlu dipertegas lagi.
Efektivitas penerapan solusi ini sangat tergantung dari apakah kita sedang mabuk teknologi atau tidak? Bila kita mabuk teknologi, anak-anak kita pun mabuk dan akhirnya masyarakat juga mengalami kemabukan yang sama. Dalam kemabukan semacam ini, pemerkosaan selalu akan dilihat sebagai hal yang biasa, suka sama suka, kesalahan pihak korban sendiri. Upaya kita adalah menghilangkan pemerkosaan dari lingkungan kita. Kasus pemerkosaan entah oleh berbagai faktor maupun oleh ekses teknologi semacam TV dan VCD perlu dicermati secara serius dan sungguh-sungguh. Ini adalah tanda dari bencana moral dan kemanusiaan kita. Bila kita tidak serius maka hidup kita akan menjadi tidak aman.

Dimuat di Flores Pos, 19 April 2004




CYBER CULTURE DAN CYBER SEX


Saat ini kita hidup dalam sebuah zaman yang sering disebut sebagai globalisasi. Suatu era di mana telah terjadi proses penyeragaman format budaya, politik, sosial, ekonomi pada masyarakat di belahan dunia manapun. Globalisasi adalah era yang mana jarak, ruang dan waktu tidak lagi membatasi ruang gerak individu untuk menjelajahi setiap sudut bumi yang kita tempati ini dan berinteraksi dengan individu lain dari manapun. Batas-batas geografis telah hilang; dunia bisa dilipat oleh siapapaun yang berkepentingan dengannya.
Tak dapat disangkal, bahwa globalisasai telah merombak dan membawa manusia pada kehidupan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Hidup penuh dengan kemudahan-kemudahan berkat terciptanya ragam teknologi canggih. Pertumbuhan ekonomi setiap negara meningkat. Semua pemimpin dunia bisa bersatu dan bekerja sama membangun sebuah narasi besar peradaban yakni kemajuan. Namun dibalik itu semua, globalisasi juga menyimpan ironi tersendiri. Globalisasi yang dibesarkan dalam buaian kapitalisme, ternyata juga membuat manusia kehilangan makna kualitas hidupnya. Rietzer (2006), menyebut kondisi saat ini penuh dengan waktu, tidak manusiawi (kejam) dan hancurnya kearifan lokal di seluruh penjuru dunia.”Globalisasai is Nothing”, kutuk Rietzer.
Kapitalisme global, telah melahirkan masyarakat yang terjebak dalam arus budaya pasar, yang selalu mendasarkan pada logika jual beli pada setiap aktivitasnya dan mengkonsumsi apapun yang ditawarkan pasar. Jean Paul Baudillard (2005) menyebut masyarakat seperti ini dengan masyarakat konsumen (consumer society), sementara Teodore W Adorno menyebutnya lebih lugas, sebagai masyarakat komoditas. Istilah konsumen dan komoditi sendiri sudah menyiratkan pada suatu mekanisme jual beli barang dagangan yang pasti tujuan akhirnya adalah mencari keuntungan.
Pada masyarakat komoditas, semua hal yang menyangkut kehidupan manusia dikomodifikasikan agar bisa dijual; pendidikan, hiburan, olahraga, informasi, kesehatan, kepribadian, penampilan, ilusi, halusinasi, fantasi, hasrat, seks sampai kematian. Semuanya menjadi barang dagangan (komoditi) yang diciptakan untuk perputaran dan akumulasi kapital sebesar-besarnya (Pilliang, 1999:44). Persoalan seks juga tidak luput dari jamahan tangan rakus kapitalisme. Seks dikomodifikasi sehingga muncul industrialisasi seks dalam berbagai macam bentuknya, baik di media massa maupun dalam masyarakat. Seks menjadi barang yang begitu mudah dijamah, dikonsumsi oleh siapapun yang ingin mengkonsumsinya, dengan hanya menyediakan beberapa lembar rupiah.
Dalam media massa, komodifikasi seks menemukan tempatnya yang sempurna untuk mengafirmasikan diri melalui tayangan televisi, media massa cetak maupun tekhnologi mobile yakni handphone dan dunia cyber seperti televisi dan internet. Bahkan dalam dunia cyber khususnya internet, seks telah mempunyai daya tawar tinggi yang mampu menyedot ribuan orang yang berkeinginan untuk mecicipinya, karena berbagai keunggulannya seperti aman, murah, dan selalu terbarukan (up to date), dan tentu saja tidak terbatas ruang dan waktu.
Munculnya teknology cyber, sejatinya adalah untuk menjembatani dan melayani manusia kontemporer dalam saling tukar informasi. Awal mula kehadirannya ibarat oase di padang pasir, yang bisa memuaskan kebutuhan manusia akan informai, baik antar daerah dalam suatu negara (domestik) maupun antar negara (internasional). Teknologi cyber telah banyak membantu pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik karen aksesibilitasnya dalam proses transaksi dan tukar menukar informasi. Cyber culture bahkan bisa dianalogikan sebagai Juggernaut (meminjam istilahnya Giddens) lokomotif raksasa yang bisa menghancurkan siapa saja yang tidak sanggup mengendalikannya. Kita akan tergilas olehnya, mau tidak mau, sadar atau tidak, jika kita buta informasi.
Pada perkembangan selanjutnya, perkembangan teknologi cyber memunculkan cyber culture yang menjadi alat dominan kapitalis untuk menjual berbagai produknya, termasuk seks. Para pemilik modal mengerti betul bahwa seks dilahirkan dari sisi biologis, sehingga ketika direkayasa akan menjadi sebuah kebutuhan yang selalu dicari manusia. Kondisi inilah yang pada tahap selanjutnya melahirkan situs-situs porno di internet, bacaan-bacaan cabul dan chatting sex online di internet yang memang bertugas untuk memusnahkn dahaga manusia akan seks.
Cyber sex, seperti terlihat dari namanya, adalah kegiatan virtual, rekaan, ciptaan yang bukan sesungguhnya. Dominannya teknologi virtual (cyberspace), bukan tanpa sebab. Ia menunjukkan keunggulan yang tidak bisa diciptakan teknologi informasi lainnya. Audio, visual, kebaruan, permainan identitas, keterlibatan dan lain-lain semua disediakan cyber space. Kita bisa menjadi pemain dunia maya, bukan hanya penonton. Dalam cyber sex, khususnya ketika melakukan chatting online, permainan identitas memegang peranan penting. Cyber sex sangat memungkinkan pemakainya untuk menggunakan identitas apapaun yang diinginkannya, meski tidak sesuai dengan kenyataan yang melekat pada dirinya. Seseorang bisa dengan mudahnya mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan (Antaraiksa, 1999). Seseorang yang buruk rupa pun bisa menjelmakan dirinya seperti David Bechkam, karena sifat anonimitasnya dalam cyber sex.
Ketika melakukan cyber sex, seseorang melampiaskan fantasi-fantasi seksualnya secara bebas, gamblang dan vulgar. Karena bersifat fantasional, maka apapun yang terjadi sekali lagi adalah bukan kenyataan (unreal). Fantasi-fantasinya bahkan bisa melebihi kenyataan yang sesungguhnya, karena bisa dilakukan oleh siapapun termasuk orang yang “tidak mengerti” seks sekalipun. Realitas yang terjadi di ruang chating adalah realitas semu, realitas buatan atau dalam bahasa Baudilard disebut sebagai sebuah simualkrum (kenyataan semu) / hyper realitas (Rietzer, 2003). Meskipun demikian, para pecandu cyber sex menikmati semuanya sebagai sesuatu yang nyata.
Hyper realitas dapat mengaburkan antara duni nyata dan dunia bukan sungguhan (realitas semu). Para pelaku cyber sex, tidak mampu lagi membedakan kebenaran kenyataaan dan kebenaran semu. Mereka terjebak dalam kehidupan sosial baru dalam dunia cyber, dunia sosial yang pasrah menerima pelampiasan sebesar apapaun hasrat yang ingin ditumpahkan para pelaku cyber sex. Contoh konkrit dari hal ini adalah banyaknya kasus perceraian suami isteri yang telah membina rumah tangganya selama belasan bahkan puluhan tahun hanya karena beberapa bulan melakukan perselingkuhan dengan internet (cyber affair), melalui cyber sex. Cyber space, khususny internet, ternyata telah mampu membunuh manusia dari dunia, dan menguburnya dalam-dalam sebagai zombie di ruang maya (Hadi, 2005). Dari kondisi ini bisa dikatakan bahwa manusia berada dalam perbudakan teknologi. Teknologi yang diciptakan untuk membantu manusia, justru berbalik memperbudak manusia sebagai penciptanya.
Perbudakan manusia oleh teknologi, sebenarnya telah diprediksi jauh-jauh hari oleh seorang teoritikus dari sekolah Frankfrut generasi pertama, yakni Herbert Marcuse. Dalam bukunya One Dimensioan Man, Marcuse menjelaskan bahwa teknologi dapat mengancam eksistensi kehidupan manusia, karena teknologi dapat menjajah manusia dengan dalih mempermudah segala urusan manusia. Ketika teknologi menjadi agama baru manusia modern, masyarakat pun menjadi sangat tergantung dan diperbudak teknologi. Rasionalitas teknologi membuat manusia berciri satu dimensi yakni manusia yang kehilangan daya kritisnya dan tidak sadar atas imperialisme yang sedang menimpa dirinya. Kehidupan berjalan mekanis tanpa ada kesadaran reflektif. Semua memuja satu dimensi, peradaban dan kemajuan tanpa mempelihatkan dimensi lainnya. Kondisi inilah yang pada akhirnya akan membuat kapitalisme menjadi langgeng. Dan satu hal yang membuatnya demikian adalah teknologi. Teknologi telah membawa manusi ke arah irrasionalitas.
Ulrich Beck mengungkapkan zaman ini sebagai zaman penuh risiko. Semakin maju peradaban, maka risiko yang dihadapi semakin tinggi. Ia mencontohkan tentang energi nuklir yang sekarang dikuasai, tapi bisa mengancam kehidupan manusia sewaktu-waktu. Jika ada orang gila yang menyalahgunakan nuklir, maka sekali pencet tombol, lenyaplah dunia ini. Hal ini pula yang mendatangkan siasat-siasat untuk meminimalisir risiko itu dan menghilangkannya. Cyber sex diyakini minim risiko, karena hanya bermain fantasi dan situs porno tidak mengganggu orang lain. Aman, tidak akan tertular penyakit seks karena tidak bersentuhan langsung. Risiko kecil, rahasia bisa dijamin dan lain-lain.
Namun benarkah demikian. Ternyata risiko yang harus dihadapi pelaku cyber sex bukan langsung dari cyber-nya tapi dari efek-efek sosial yang ditimbulkannya. Pertama, seperti telah diungkapkan di atas, risiko kehilangan sentuhan dunia nyata, asosial karena lebih menyukai dunia yang unreal, realita semu daripada kenyataan sesungguhnya. Kasus perceraian yang disinggung di atas adalah contohnya. Hubungan kita dengan orang-orang terdekat yang kita cintai bisa renggang. Kedua, kecanduan. Kecanduan internet bisa sama efeknya seperti kecanduan obat bius. Kegagalan menjalani hidup, cerai, belajar jeblok, kerja amburadul, rutinitas dalam dunia nyata terganggu. Ketiga, kontrol teknologi. Dengan semakin canggihnya teknologi, maka anonimitas menjadi sebuah hal yang nisbi. Perangkat teknologi yang sekarang muncul bisa melacak di mana posisi seseorang berada sehingga suatu saat mungkin akan ada orang yang datang ke rumah kita untuk meminta sesuatu akibat dari apa yang telah dilakukan dalam dunia cyber. Risiko yang terakhir adalah ekonomi membengak, terutama bagi yang ke warnet (warung internet).
Keterkaitan antara teknologi dengan kehidupan manusia ternyata menyimpan ambivalensi sendiri. Adanya cyber culture yang tercermin dalam cyber sex mempunyai efek luar biasa dalam kenyataan sosial dan banyak merubah pola-pola kehidupan manusia yang telah mapan. Kita di antara tawaran cyber culture dengan menu cyber sex-nya harus terus terjaga agar menjadi manusia yang rasional, sadar, dan beradab. Hidup di dalam dunia yang kian mudah oleh pertolongan teknologi canggih ini ternyata membuat kita kian sulit mempertahankan nilai-nilai kehidupan itu. Kiranya cyber culture dan cyber sex tidak memasung rasionalitas kita.



SEX APPEAL DAN INDUSTRI MEDIA MASSA


Daya tarik seks termasuk masalah yang berkaitan dengan seksualitas nampaknya kurang banyak mendapat perhatian secara ilmiah dari para pemikir sampai saat Sigmund Freud mengemukakan teori psikoanalisa. Teori ini, pada awal pemikirannya, antara lain mengasumsikan bahwa semua neurosis disebabkan oleh represi seks. Setelah Freud, beberapa pemikir lain yang kemudian juga mengemukakan pemikirannya mengenai seksualitas adalah Claude Levi Strauss dan Michel Foucault (Gunawan, 2000, hal. 5). Terlepas dari masalah keilmiahan dalam pembahasan mengenai daya tarik seks dan masalah seksualitas, ia memang dapat dikatakan sebagai suatu misteri atau teka-teki dalam masyarakat. Termasuk mengenai daya tarik seks yang melekat pada masalah seksualitas.
Melihat kenyataan bahwa masalah seks selalu akan menjadi masalah yang up to date, maka dapat dipahami jika seks kemudian memiliki nilai komersial yang tinggi, yang akhirnya dieksploitasi oleh para produsen di berbagai bidang. Maraknya isu pornografi pada saat maraknya tabloid-tabloid politik pasca Orde Baru dan reformasi merupakan bukti nyata bahwa seks tidak pernah susut daya jualnya. Tabloid serta majalah-majalah hiburan yang menjadikan seks dan gosip sebagai andalannya banyak dibeli, terutama ketika masyarakat sudah mulai jenuh dengan berita-berita politik yang melelahkan karena tak kunjung ada perbaikan. Tabloid-tabloitd itu muncul dengan kuantitas yang tinggi namun dengan kualitas yang dipertanyakan (kalau tidak bisa dibilang rendah). Lihat saja tabloid pendatang baru TOP, MoP, Harmonis, Desah, KISS, TRAgedi, Liberty dan Pengakuan. Pemain lama yang berkecimpung di area ini pun nampaknya makin ekstrim setelah sebelumnya tampil malu-malu dan membungkus dirinya dengan jargon seni seperti Popular, Matra, JakartaJakarta, dan Pos Film.
Terlepas dari apakah yang ditayangkan di media itu termasuk seni atau bukan, namun muatan pornografi tentunya merupakan produksi yang membangkitkan gairah seks. Jika terus-menerus dikonsumsi maka mau tidak mau konsumen membutuhkan penyaluran, di mana penyaluran tersebut tidak hanya terbatas pada satu macam saja. Ada orang yang bisa menahan diri, sebagian lagi melakukan fantasi seks, dan sisanya mungkin saja melakukan masturbasi. Namun di masyarakat komoditas seperti sekarang ini, apa pun dapat disediakan. Ada insdustri yang memang melayani dan menjajah orang-orang yang butuh penyaluran seks. Dengan produk barang dan atau jasanya, indsutri ini melayani masyarakat yang membutuhkan penyaluran dalam berbagai skala kebutuhan. Mulai dari skala penyaluran untuk melihat yang erotis sampai penyaluran untuk melakukan hubungan intim yang menyimpang.
Seks juga kerap diartikan secara sempit, yaitu hanya persetubuhan semata. Padahal lebih dari itu, persetubuhan sendiri merupakan bagian dari sex acts. Sex acts dibedakan menjadi tiga macam (Gunawan, 2000, hal. 18), yaitu; Pertama, seks yang bertujuan sebagai kegiatan untuk memiliki keturunan atau anak (sex as procreational). Kedua, seks untuk sekedar mencari kesenangan (just for fun atau sex as recreational). Ketiga, seks sebagai bentuk pengungkapan penyatuan rasa cinta atau rasa lainnya (sex as relational). Sedangkan bentuk perilaku lain yang lebih luas seperti cara berpakaian yang seronok, gerak-gerik atau ekspresi wajah yang erotis atau menggoda, membaca majalah porno dengan gambar-gambar telanjangnya, serta bentuk-bentuk perasaan terhadap lawan jenis, adalah sexual behavior atau perilaku seksual secara umum. Posisi daya tarik seks (sex appeal) dalam hal ini adalah tentu saja sebagai pemacu dalam proses awal berlangsungnya segala sex acts dan sex behavior yang disebutkan tadi.
Baik sex acts maupun sex behavior beserta sex appeal yang menyertainya tentu saja tidak terlepas dari ikatan ekonomi-politik dalam masyarakat. Lebih khusus lagi, kapitalisme yang menanamkan gaya hidup konsumtivisme dan hedonisme. Situasi serta tekanan dari kapitalisme ini tergambar pada petikan dialog interaktif antara Asia Carera dengan fansnya yang dilakukan di internet pada bulan Desember 1997. Asia Carera sendiri adalah seorang bintang film porno yang populer. Carera pernah berkuliah selama dua tahun di Rutgers University jurusan Bisnis.
Dari dialog ini tersirat bahwa Carera mengakui bahwa pornografi sudah menjadi industri yang besar. Industri yang dapat memberikan akses untuk mendapatkan hidup senang. Perubahan di dalam menyikapi seks pun ikut mendorong maraknya industri ini. Secara seksual mungkin telah banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Sudah banyak tabu-tabu yang didobrak sehingga hubungan seks, misalnya, dapat dengan bebas diinterpretasikan dan dipraktekkan. Misalnya: Keperawanan/keperjakaan atau virginitas bukan lagi sebagai hal yang sakral, yang mutlak harus dipertahankan hingga tiba saatnya diserahkan kepada suami atau istri; Hubungan seks tidak saja diartikan sebagai ekspresi cinta seorang suami kepada isterinya dan sebaliknya isteri kepada suaminya, tetapi juga kepada semua orang yang dianggap layak menerima limpahan ekspresi tersebut. Apapun statusnya. Dengan apapun balasannya.
Ini semua mengindikasikan lahirnya masyarakat baru yang bersifat hedonis, konsumtif dan materialistis. Hedonis karena masyarakat ini mengejar kenikmatan dunia melalui seks tanpa memperhatikan batas dan arah; konsumtif karena kenikmatan seks ini dicari dengan pola yang sama ketika orang berbelanja kebutuhan barang dengan boros; dan materialistis karena ukuran kenikmatan seks diukur dengan angka-angka tertentu. Semakin tinggi uang yang dikeluarkan maka kenimatan yang didapat pun akan semakin tinggi, dan pada gilirannya eksistensi manusia pun dinilai dari materi.
Erich Fromm menggambarkan karakter masyarakat kapitalis ini sebagai “masyarakat yang memandang dunia sebagai suatu objek besar bagi selera makan kita, merupakan sebuah apel besar, botol minuman besar, payudara besar; dan kita adalah penghisapnya yang selamanya tak pernah puas”. (Gunawan, 2000, hlm. 141). Seperti inilah perilaku manusia modern saat ini. Kenikmatan merupakan hal utama yang dikejar. Untuk itu berbagai teknik guna mencapai kenikmatan sebesar-besarnya terus dipelajari serta dicari. Ini juga terjadi pada masalah seks. Pada soal seks, tekniklah yang kemudian diprioritaskan. Persetubuhan menjadi semata-mata soal teknik, sebagaimana yang terjadi pada produksi. Pemecahan masalah yang sifatnya teknis menjadi kunci keberhasilan sebuah industri. Konsumerisme serta materialisme, di lain pihak, membuat hubungan antar manusia menjadi sangat terfokus pada hubungan ekonomis belaka. Manusia, dengan demikian, dalam konteks ini telah menyerupai barang. Seks dalam relasi sosial-ekonominya dengan demikian terjebak dalam konstruksi sosial baru yang bernama kapitalisme. Dan dalam hal ini, media massa mengambil peran penting.
Berbagai penggambaran daya tarik seks pada diri manusia yang disajikan oleh media massa memang banyak mengarah kepada bagaimana manusia harus ‘menerima’ apabila mereka dikonsumsi oleh sesamanya, termasuk dikonsumsi untuk kepentingan libido. Dikonsumsinya manusia sebagai pemuas libido, dalam hal ini melalui mata, dapat dibuktikan dengan menjamurnya media pornografi.
Ekonomi kapitalisme mutakhir tampaknya telah mengarahkan manusia untuk menggunakan ‘tubuh’ dan ‘hasrat’ sebagai titik sentral komoditi, yang dapat disebut sebagai ‘ekonomi libido’. Kapitalisme ‘membebaskan’ tubuh perempuan dari ‘tanda-tanda’ serta ‘identitas tradisionalnya seperti tabu, etiket, adapt, moral, dan spiritual, dan ‘memenjarakannya’ di dalam ‘hutan rimba tanda-tanda’ yang diciptakannya sendiri sebagai bagian dari ekonomi politik kapitalisme. Dengan demikian, tubuh menjadi bagian dari semiotika komoditi kapitalisme yang memperjualbelikan tanda, makna, dan hasratnya.

Konsumtivisme
Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif. Adapun istilah konsumtif adalah perilaku yang boros di dalam pemenuhan barang/jasa. Lebih luas lagi, konsumtif merupakan perilaku berkonsumsi boros dan berlebihan, yang mendahulukan keinginan daripada kebutuhan serta meniadakan skala prioritas. Konsumtif juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Menurut Jean Baudillard; nilai tukar dan nilai guna kini telah berganti dengan nilai simbol atau lambang. Ketika membeli mobil, orang sekaligus membeli simbol kemapanan yang melekat pada mobil tersebut. Ketika membeli baju orang juga membeli kepercayaan diri untuk dirinya.
Konsumtivisme tidak hanya berkaitan dengan proses sosio-psikologis, namun juga berkaitan dengan masalah ekonomi politik. Konsumtivisme diasumsikan sebagai syarat mutlak bagi kelangsungan bisnis status serta gaya hidup. Begitu juga dengan konsumtivisme di Indonesia. Menarik bahwa ternyata hasrat manusia untuk memelihara dan memperbesar sex appeal ternyata mampu mengalahkan kerelaan untuk menyisihkan materi bagi kepentingan humanis seperti yang diuraikan diatas. Tentunya ini pun tidak lepas dari campur tangan industri kapitalis dalam menanamkan konsumtivisme dan hedonisme. Tak ada satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dijual atau dikomersialkan. Jean Paul Lyotard, seorang tokoh post modernisme, mengenai hal ini mengemukakan bahwa setiap bagian tubuh yang dapat menghasilkan kekuatan libido dapat dipertukarkan dengan uang.
Dalam ekonomi-politik hasrat, sifat-sifat rasionalitas ekonomi dikendalikan oleh beberapa sifat irasionalitas hasrat atau keinginan libido (dalam bahasa Freud). Ketika kreativitas ekonomi dikuasai dorongan hasrat dan sensualitas, yang tercipta adalah sebuah ”budaya ekonomi”, yang dipenuhi berbagai strategi penciptaan ilusi sensualitas, sebagai cara untuk mendominasi selera (taste), aspirasi, dan keinginan masyarakat dieksploitasinya. Sensualitas dijadikan kendaraan ekonomi dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan histeria massa (mass hysteria) sebagai cara mempertahankan kedinamisan ekonomi. Akibatnya, apa yang beroperasi di balik aktivitas ekonomi adalah semacam ”teknokrasi sensualitas” (technocracy of sensuality)—di dalamnya nilai-nilai budaya ekonomi ditopengi tanda-tanda sensualitas, yang menciptakan semacam ”erotisasi kebudayaan”. Berbagai bentuk khayalan lewat voyeurisme diciptakan, yang mengondisikan orang memuja ”citra tubuh”.
Kapitalisme ini sedikit banyak mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap seksualitas. Seks menjadi barang yang biasa, dan dibicarakan secara terbuka. Pada perkembangannya media berada dalam konteks kebebasan pers sebagai produk reformasi yang berlangsung di Indonesia pasca rezim Orde Baru yang jatuh pada bulan Mei 1998. Pornografi pun menjadi marak di media. Irwan M. Hindayani, seperti yang dikuti oleh Harian Republika (4/7/1999) mengemukakan bahwa kebebasan pers menjadi masalah utama yang menyebabkan penerbit maupun pihak terkait seenaknya memuat berita dan gambar yang mengarah kepada pornografi. Untuk kita yang penting adalah menjadi pembaca media yang kritis dan sadar. Kiranya dengan kekritisan dan kesadaran itu kita tidak menjadi korban teknokrasi sensualitas walau media massa kita kerap menjadikan sex appeal sebagai strategi mendulang keuntungan.



JURNALISME POSITIF


Dunia media Prancis beberapa dasawarsa lalu pernah dihebohkan dengan pemberitaan skandal seks Presiden Francois Mitterand. Majalah Paris Match yang mempublikasikan skandal itu mendapat banyak kecaman dari publik karena berani menampilkan foto Presiden Francois Mitterand bersama putri gelapnya, Mazerine. Bagi pers Perancis yang cenderung melindungi wilayah-wilayah kehidupan privat pemimpinnya, tindakan Paris Match adalah sebuah keterlaluan. Ini berbeda dengan tradisi pers di Inggris atau Amerika yang justru mempunyai tradisi menelanjangi kehidupan para politisinya sampai benar-benar bugil.
Pers Perancis melihat tidak adanya korelasi langsung antara kehidupan seksual para politisi dengan kredibilitas kepemimpinannya. Kebijakan pers Perancis dalam hal ini menolak cara berpikir yang menganggap sebuah policy (kebijakan pemerintah) juga dibuat di atas ranjang. Dengan dasar ini, extramarital affair para politisi seakan dianggap hanya sebagai ‘dosa kecil’ yang yang tak perlu dirisaukan oleh pers Perancis. Sebaliknya mereka sangat risau dan peduli terhadap dosa-dosa besar seperti penggelapan uang rakyat, nepotisme, korupsi dan kebobrokan-kebobrokan politik lainnya. Pembongkaran-pembongkaran skandal macam itulah yang bagi pers Perancis urgen untuk diekspos.
Karena itulah, harian konsevatif Prancis, Le Figaro mengecam ulah majalah Paris Match sebagai bentuk “jurnalisme sampah”. Kecaman senada juga datang dari harian France-Soir dan Le Monde yang berpegang teguh pada tradisi not to give a damn about sex scandals pemimpin mereka. Bagi mereka para politisi tetap punya hak untuk sebuah kehidupan pribadi sebagai sebuah secret garden yang tak perlu diutak-atik. Barulah bila pemimpin itu melakukan skandal keuangan, lepas dari apakah skandal itu berawal dari sebuah skandal seks atau tidak, pers Prancis akan bertindak. Dalam kasus semacam itu, mereka punya kekuatan dan kebebasan yang sama dengan pers Barat pada umumnya.
Bagaimana dengan pers kita? Sebagai salah satu kekuatan kontrol di masyarakat, pers kita telah memainkan peran sosial kontrolnya secara baik. Berbagai skandal politik dan persoalan sosial kemasyarakatan diangkat ke permukaan untuk dikaji, dibuka, dicari jalan keluarnya, ditelanjangi dan dibereskan. Bahkan, skandal seks para politisi dan pemimpin menjadi berita yang empuk untuk dipublikasikan dan cenderung menjadi headline pada surat kabar-surat kabar tertentu. Berita-berita semacam itu diyakini mempunyai nilai jual yang berdampak pada meningkatnya oplah harian media massa bersangkutan. Ini sangat ditunjang oleh animo membaca masyarakat pada berita-berita semacam itu, apalagi skandal itu terjadi pada diri politisi dan pemimpin di wilayah sendiri.
Kepedulian pers terhadap persoalan semacam itu memang tidak ada salahnya. Kehadirannya sebagai institusi kritik dan kontrol sangat dibutuhkan masyarakat untuk menjernihkan segala persoalan yang ada dalam masyarakat. Karena itu, peran pers dalam menelanjangi skandal seksual para pemimpin dan politisi bisa membuka mata masyarakat melihat siapa sebenarnya para politisi dan pemimpinnya. Kehidupan seksual bisa menjadi sebuah indikator moral. Sedikit isu skandal saja dapat mengganjal langkah seorang pemimpin. Kita tentu masih ingat bagaimana Presiden Amerika Bill Clinton nyaris tersandung ketika dihebohkan punya affair dengan Monica Lewinsky. Hal serupa juga terjadi ketika Bupati Flotim, Simon Hayon dihebohkan oleh pemberitaan memiliki anak di luar perkawinannya saat ini. Sebagai kontrol sosial, hal seperti ini bisa diterima. Demikian juga bila itu dipakai sebagai indikator moral. Kehidupan seksual yang lurus bisa disebabkan oleh adanya nilai kesetiaan, kejujuran, tanggung jawab dan integritas pribadi. Nilai-nilai inilah yang dituntut dari seorang ayah sebagai kepala keluarga untuk mewujudkan keluarga bahagia yang utuh, solid dan sejahtera. Bila nilai-nilai kemudian dijadikan syarat untuk menjamin kredibilitas kepemimpinan seorang politisi, maka pilihan menjadikan seks sebagai indikator moral mempunyai dasar yang kuat.
Walau demikian, tak dapat dimungkiri bahwa kerapkali pemberitaan itu dibesar-besarkan oleh pers itu sendiri dengan tujuan mendulang untung dari bom berita semacam itu. Belum lagi kalau pemberitaan itu tidak sesuai fakta atau tidak diperoleh berdasarkan penerapan standar jurnalistik yang akurat, melainkan semata-mata berdasarkan jurnalisme negatif, yakni jurnalisme yang menyuguhkan berita-berita tentang peristiwa dan pendapat dari sisi negatif. Dengan keyakinan bahwa “bad news is good news”, penganut jurnalisme negatif melihat berbagai masalah dari sisi negatif semata dan menyajikannya secara negatif pula. Acapkali penyajian berita mengabaikan kaidah jurnalistik. Jurnalisme negatif memang menghasilkan judul-judul tulisan ‘eye catching’, menyolok mata dan merangsang minat untuk membaca.
Daya pikat jurnalisme seperti ini memang kerap dimanfaatkan oleh media massa untuk meraup untung. Berita-berita seputar kejahatan seseorang, skandal seks, gosip-gosip seputar privasi tokoh tertentu menjadi menu-menu menarik yang diburu dan dipertonton ke hadapan publik. Padahal suguhan berbagai hal negatif itu bisa membuat pembaca tertekan, apatis, tak mampu melihat realitas hidup yang sesungguhnya dan pesimis menghadap masa depan. Jurnalisme negatif merugikan para pihak yang menjadi objek berita (kalau berita itu tidak benar dan tidak memberi ruang cover both sides) dan bisa berdampak buruk terhadap dunia usaha, termasuk institusi pers. Jurnalisme negatif menyenangkan pihak tertentu, tapi merugikan banyak orang bahkan mengancam peradaban dan kehidupan manusia.
Ada semacam keyakinan pada para wartawan dan editor bahwa negatif approach semisal pembaritaan skandal seksual di atas mampu menghasilkan berita yang disukai publik pembacanya. Semua berita yang disajikan menyeramkan dan membunuh karakter seseorang, seakan-akan masa depan tidak lagi memberi harapan dan orang-orang yang disoroti tidak bisa mengubah hidupnya. Jurnalisme negatif ini sanggup membentuk opini masyarakat seakan-akan kehancuran manusia sudah di depan mata, manusia tidak mempunyai sisi positif dan membutakan mata publik pembaca untuk melihat realitas dunia hidup yang sesungguhnya penuh warna. Kasus Mitterand, Bill Clinton, Simon Hayon misalnya menjadi bukti bahwa mereka tidak selalu melakukan hal-hal negatif. Ada perubahan dalam diri dan ada aspek positif dalam hidup mereka yang berguna bagi begitu banyak orang.
Pada saat ini, urgen bagi kita berbicara soal jurnalisme positif yang menawarkan perspektif baru dalam pemberitaan. Dalam pandangan jurnalisme positif, berita yang bagus tak mesti berasal dari berita yang buruk yang dikemas secara vulgar. Hal positif bisa menjadi berita yang bagus pula. “Good news is good news”. Bahkan dari berita yang buruk pun bisa ditampilkan sisi positif yang bermanfaat bagi pembaca. Jurnalisme positif tidak sekadar menyajikan berita apa adanya. Berita dalam jurnalisme positif digarap sesuai kaidah jurnalistik, dilihat dari berbagai sisi (multi-angles), diolah dari berbagai sumber (multi-sources), disuguhkan secara lengkap, mendalam dan santun. Jadi dalam hal ini, sebuah berita yang menghebohkan misalnya tidak saja dilemparkan begitu saja ke ruang publik karena menarik dan disenangi pembaca, tetapi berita-berita itu harus ditakar dalam standar jurnalisme yang ketat; cover both sides, cover multi sides, check and rechek, trial by the press (tidak mengadili atau menghakimi).
Berita dalam jurnalisme positif juga menyajikan informasi yang berguna bagi pembaca untuk mengantisipasi sesuatu yang bakal terjadi pada masa mendatang. Dengan menonjolkan sisi positif dan menawarkan alternatif pemecahan, berita dalam jurnalisme positif mampu membangkitkan optimisme dan perilaku positif pada diri pembaca. Dengan menerapkan jurnalisme positif, media massa kita bisa terhindar dari kecenderungan jurnalisme sampah sebagaimana diuraikan pada awal tulisan ini.
Jurnalisme positif dengan demikian adalah konsep pemikiran tentang bagaimana aktivitas jurnalistik dijalankan dengan baik dan benar sesuai kaidah jurnalistik dan asas kemanusiaan agar berita yang disajikan tidak saja objektif dan bermakna, tetapi juga menumbuhkan optimisme dan perilaku positif pada pembaca. Ini tidak berarti bahwa upaya menumbuhkan jurnalisme positif mengabaikan fungsi kritik dan kontrol dari media massa. Fungsi-fungsi vital itu tetap melekat, bahkan harus dengan memperhatikan sisi kemanusiaan, objektivitas dan membangkitkan optimisme.
Berita yang sesuai asas kemanusiaan adalah berita yang menghargai dimensi manusia dan kemanusiaan. Menghormati harkat manusia. Selain itu, mengeritik bukan untuk membunuh, melecehkan, menghancurkan melainkan untuk perbaikan dan meningkatkan kualitas manusia. Juga menjunjung tinggi kebenaran dan peradaban manusia. Jurnalisme positif juga mengutamakan berita-berita yang objektif yakni tidak menyajikan berita yang belum jelas kebenarannya agar tidak terjebak pada berita bohong; tidak memanipulasi, memutarbalikkan fakta dan memelintir fakta, tidak menutup masalah yang terjadi, tidak mencampuri opini dan fakta, berimbang dan tidak memihak, menampilkan masalah secara lengkap dari berbagai sisi (multi-angles) dan berbagia sumber (multi-sources).
Pada sisi lain, jurnalisme positif juga terikat pada publikasi berita yang bermakna dan menumbuhkan optimisme serta perilaku positif. Berita yang bermakna adalah berita yang membantu pembaca memahami persoalan yang diberitakan dalam konteks isu besar yang dihadapi pembaca, memenuhi kebutuhan pembaca, membantu pembaca memecahkan persoalan sehari-hari dan mengantisipasi masa akan datang. Sedangkan berita yang menumbuhkan optimisme pembaca adalah menyajikan berita dengan bahasa yang santun, menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu sarkastik, bombastis dan bahkan hiperbol. Mengembangkan sisi positif dari peristiwa yang ditampilkan tanpa ada upaya cover up atau menutup-nutupi fakta yang sebenarnya. Mengembangkan pemikiran positif dalam setiap penulisan berita dan menonjolkan aspek positif dari suatu masalah yang diangkat, menampilkan success story dari seseorang dan solusi untuk menghadapi masa mendatang. Selain 5W + 1H (who, what, when, where, why dan how), jurnalisme positif juga menekankan WN (what next). Melalui jurnalisme model ini, publikasi media massa adalah sebuah lahan pembelajaran yang positif bagi pembaca. Dan yang lebih penting lagi, pembaca dapat belajar banyak hal positif dari peristiwa buruk/negatif yang ditampilkan. Jika jurnalisme model ini masih menjadi idealisme, maka tugas pers adalah membumikannya.


Dimuat di Timor Express, Juni 2007


DI BALIK PEMBLOKIRAN “FLORES POS”


Kaget, heran, gelisah bercampur baur dalam benak saya tatkala membaca Flores Pos edisi Sabtu, 18 Pebruari 2006 halaman pertama pada pojok kanan atas. “Kami mohon maaf kepada segenap pelanggan dan pembaca setia Flores Pos di wilayah Ngada, Manggarai, dan Manggarai Barat atas belum tibanya Koran Flores Pos edisi Jumat (17/2) di tangan Anda. Koran kesayangan Anda ini diblokir oleh sekelompok orang di Bajawa yang menyebut diri keluarga besar Nikolaus Dopo (Keluarga Jerebuu).”
Perasaan campur baur di atas terus bercokol hingga saat saya membuat tulisan ini. Kaget karena mengatasnamakan Nikolaus Dopo, sekelompok orang ini nekad mengadakan aksi blokir. Hal yang langka terjadi apalagi dalam iklim reformasi dan transparansi informasi seperti saat ini. Heran karena nama seorang pembesar di Kabupaten Ngada yang nota bene mitra kerja pers dipertaruhkan demi mendongkrak prestasi dan mungkin reputasi yang mulai melorot. Gelisah sebab tindakan sekelompok orang ini termasuk kategori aksi “main hakim’ sendiri terhadap pers publik. Sebuah aksi yang mengingatkan kita pada cara-cara orde baru mengekang kebebasan pers dengan melakukan pembredelan terhadap koran-koran yang tidak sepaham dan sejalan dengan keinginan penguasa.
Mencermati pemberitaan Flores Pos tentang aksi pembredelan ini, saya mendapatkan kesan yang begitu sederhana tentang duduk persoalannya. Flores Pos diblokir demi pemulihan nama baik Wabup Niko Dopo yang namanya ditulis salah pada keterangan foto yang pernah dimuat Flores Pos edisi 26 Januari 2006. Namun, menyadari kekeliruan ini maka pada edisi 21 Januari, di halaman yang sama dengan posisi yang sama, redaksi menurunkan foto yang sama disertai ralat keterangan foto dan permohonan maaf kepada pihak yang namanya ditulis salah. Flores Pos telah menempuh mekanisme yang benar seturut aturan dunia pers, yakni menurunkan ralat dan menyampaikan permohonan maaf. Lantas apa hubungannya Flores Pos dengan upacara adat siwo sapu (pemulihan nama baik) Wabup Niko Dopo dengan sekian banyak persyaratan yang harus dipenuhi? Terkesan aneh. Karena yang berurusan sebenarnya adalah Niko Dopo bukan keluarganya, sukunya, tim suksesnya. Ketidakpuasan itu mesti diproses sesuai mekanisme hukum (sebagaimana biasa disampaikan oleh pejabat-pejabat publik sendiri), bukan mekanisme jalan pintas, mekanisme otot, mekanisme preman, mekanisme main hakim sendiri. Pertanyaan kita: ada apa di balik semuanya ini?

Main Hakim Sendiri
Cara-cara penyelesaian masalah sebagaimana ditunjukkan oleh sekelompok orang yang terkait sebagai keluarga, suku atau tim sukses Niko Dopo di atas jelas-jelas merupakan tindakan main hakim sendiri. Suatu tindakan yang semestinya ditabukan dalam iklim hidup berdemokrasi dan reformasi hukum saat ini. Supremasi hukum mesti ditegakkan, bukannya diabaikan dan dilangkahkan sebagaimana nyata dalam tindakan di atas. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pola-pola pendekatan orde baru yang selalu dicaci maki karena tak menampakan jiwa demokratis dan mengekang kebebasan masih menjadi bagian dari pola laku dan pola sikap masyarakat kita. Orde baru dibenci karena tokoh-tokohnya, tetapi dicintai karena aksi dan ideologinya yang memuaskan hasrat kepentingan-kepentingan tertentu.
Sejarah pers di Indonesia lebih banyak menunjukkan wajah yang retak dan terpecah. Wajah pers tak pernah semulus wajah para artis yang diberitakan, digosipkan dan didekati para wartawan dengan begitu mudahnya. Wajah pers di Indonesia buram oleh berbagai kooptasi, intervensi, terror bahkan pembunuhan wartawan. Nadi hidup pers diputuskan oleh “allah” yang adalah instruksi pembredelan. Aksi-aksi semacam ini tidak dengan sendirinya berakhir setelah rezim orde baru itu tumbang. Buktinya, cara-cara sekelompok orang memblokir Flores Pos adalah bagian dari pola-pola pendekatan orde baru, pendekatan yang lebih bernuansa intimidasi, tekanan, ancaman. Aksi seperti ini memang telah mencederai supremasi hukum khususnya peraturan yang berkaitan dengan dunia pers.
Mengapa persoalan ini tidak ditanggapi sesuai mekanisme hukum yang berlaku? Ada beberapa alasan: pertama, orang tidak mengerti hukum (mekanisme seturut aturan dunia pers). Orang yang bermain hakim sendiri biasanya merupakan orang yang tidak menghormati hukum. Dan orang-orang seperti ini butuh penyadaran hukum. Dalam konteks persoalan ini, sangat disesalkan bahwa ada orang-orang mengerti (yang menyebut diri tim sukses), namun tidak mengerti hukum. Mereka terlarut dalam penyelesaian persoalan bergaya premanisme. Kehadiran orang-orang mengerti ini tidak membawa terang bagi warga masyarakat yang masih kabur tentang aturan hukum yang berlaku, malah spirit premanisme dapat terpicu oleh kehadiran mereka. Kedua, orang-orang ini apatis terhadap hukum yang berlaku. Mereka sebenarnya paham hukum (paham tentang aturan dunia pers), tetapi berlaku seolah-olah tidak pernah tahu. Alasannya, di belakang mereka ada orang-orang besar yang memberikan jaminan, yang merasa kebakaran jenggot dan karena itu mau mempertaruhkan apa saja asalkan luapan kekesalan terpuaskan. Ketiga, aksi blokir ini mau menampakkan arogansi sekelompok orang yang merasa dekat dengan penguasa. Arogansi cenderung melekat pada orang-orang yang berkuasa atau dekat dengan penguasa. Arogansi itu ditunjukkan dalam pernyataan bahwa mereka akan melakukan pemblokiran peredaran Flores Pos di Ngada dan Manggarai sampai tuntutan mereka dipenuhi. Selain itu, pemaksaan terhadap kepala biro Flores Pos Bajawa untuk membuat surat pernyataan yang isinya antara lain untuk menghentikan segala aktivitas biro Flores Pos di Ngada sampai sampai tuntutan keluarga Niko Dopo terpenuhi. Arogansi yang nyata dalam bentuk intimidasi dan pemaksaan ini merupakan musuh utama reformasi dan demokrasi. Sayang, bahwa di tengah derasnya arus reformasi hukum dan penegakkan demokrasi di tanah air ini masih ada orang-orang yang menjadi musuh dalam selimut, duri dalam daging bagi demokrasi dan hukum.

Kambing Hitam
Mengapa tuntutan untuk membuat upacara pemulihan nama baik Niko Dopo selaku Wabup begitu menguat sehingga melahirkan aksi pemblokiran Flores Pos? Padahal seturut aturan dunia pers, Flores Pos telah menyampaikan ralat, permohonan maaf dan menurunkan penulisan yang benar. Lalu mengapa masih tak puas? Mengapa tak disampaikan melalui jalur hokum yang semestinya? Analisis saya sampai pada scape-goat theory (teori kambing hitam).
Ketika Roma dilanda api yang menghanguskannya, sejarah mencatat waktu itu kaisar Nero pada abad-abad pertama masehi sedang mementaskan drama besar, pertunjukkan gladiator dan baca puisi untuk membungkus muslihat politisnya dan menarik simpati rakyat. Drama di panggung senantiasa dibuat untuk alibi bahwa Nero tak bersalah, sekaligus untuk bungkus manipulasi politis yang telah dia rencanakan. Apa itu? Keadaan tak stabil dan sulit ekonomis Romawi perlu “kambing hitam” untuk mengalihkan kesibukan dan perhatian rakyat dan karena itu dikambinghitamkanlah orang-orang Kristiani sebagai pembakar kota Roma sementara dengan asyiknya sang Nero membaca puisi di altar panggung muslihat politisnya.
Rene Girard menjelaskan teori kambing hitam secara politis dengan mengaitkannya pada upacara korban dan mekanisme korban agama-agama asli. Secara psikologis orang butuh “outlef”, pelampiasan kekecewaan, kekesalan yang sesungguhnya berasal dari rasa tak mampu menanggungjawabi perbuatannya sendiri lalu dicarikannya pelemparannya ke luar mekanisme korban orang lain atau proyeksi binatang lain hingga puas. Ciri mekanisme korban kambing hitam ini adalah pemuncakan pelampiasan kesal dalam bentuk kekerasan dan si kambing hitamlah yang dijadikan “tumbal”, ramai-ramai diganyang sebagai musuh bersama sehingga setelah ritual pelampiasan tuntas dilaksanakan, lalu keadaan teratur didapat kembali. Ini teori kambing hitam sebagaimana dalam buku Langkah-langkah Peradaban-nya Mudji Sutrisno.
Bagaimana dalam konteks pemblokiran Flores Pos ini? Apakah Flores Pos sedang dijadikan kambing hitam? Walau pada posisi ini Flores Pos telah bertindak sesuai mekanisme dunia pers, tetapi ia tetap juga dinilai bersalah dan dituntut secara hukum adat. Flores Pos adalah kambing hitam bagi upaya pengalihan sorotan publik bagi orang-orang yang sedang dilindungi kelompok Niko Dopo. Dengan aksi main hakim sendiri ini, sorotan publik terarah ke kasus pemblokiran Flores Pos. Dengan demikian, kelompok ini bisa menyusun strategi baru dan mempengaruhi opini publik tentang orang yang dilindungi sebagai pihak yang tidak bersalah, sebagai pihak yang mampu dan berkualitas dan bisa melaksanakan tanggung jawab publik. Flores Pos menjadi kambing karena orang-orang yang melakukan aksi blokir ini sedang mencari “tumbal” bagi petaka demi petaka yang dialami kelompoknya, “tumbal” bagi kemerosotan reputasi dan kepercayaan publik pada orang-orang yang menjadi bagian dari kelompok ini. Dan kekerasan yang diakibatkan oleh aksi pemblokiran ini merupakan bagian dari aksi pengkambinghitaman yang diterima Flores Pos. Yang sedang dijadikan binatang korban bagi pelampiasan kekesalan kelompok pemblokir adalah Flores Pos, bukan satu ekor kerbau, satu ekor babi, moke dan beras. Kalau tidak dijadikan kambing hitam, mengapa persoalan ini tidak direspons sesuai mekanisme hukum, tetapi secara anarkis.
Kalau persoalan ini dicermati, toh ada banyak kekeliruan seperti salah penulisan nama, penempelan foto yang tidak sengaja dibuat berbagai media massa termasuk Flores Pos. Tetapi, mengapa pihak lain memaklumi setelah media massa bersangkutan menyampaikan ralat, permohonan maaf dan perbaikan? Lalu orang-orang yang menyebut diri sebagai keluarga Niko Dopo butuh pemulihan nama baik secara adat setelah sebelumnya melakukan aksi blokir. Mesti perlu dibedakan pemulihan nama baik secara adat dan secara hukum. Flores Pos sedang berjalan dalam koridor hukum dan peraturan dunia pers tentang pemulihan nama baik bagi siapa saja yang namanya salah ditulis. Pihak-pihak yang merasa dirugikan semestinya menuntut Flores Pos juga melalui mekanisme dan aturan hukum yang berlaku. Dalam tataran hukum, semuanya akan dinilai dan diputuskan, pihak mana yang salah dan mana yang benar. Bukannya bermain hakim sendiri lalu mempersalahkan pihak lain tanpa melalui mekanisme yang semestinya berlaku jadi dan dijadikan acuan. Di balik aksi pemblokiran Flores Pos terkuak berbagai fakta degradasi nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. Reformasi hukum belum menjiwai dan meresap sampai ke sanubari masyarakat kita. Reformasi hukum masih cenderung bermain-main pada tataran konsep, belum mengakar dalam jiwa masyarakat tatkala masih banyak orang yang kekurangan kesadaran hukumnya. Belum lagi cederanya hak-hak para pelanggan yang membutuhkan informasi, hiburan, yang disajikan Flores Pos. Pemblokiran ini memang memakan banyak korban, termasuk korban yang menjadi kambing hitam.
Betapa pentingnya pers bagi manusia dewasa ini. Sampai-sampai Thomas Jefferson lebih memilih pers tanpa pemerintahan daripada pemerintahan tanpa pers. “Jika disuruh memilih antara pemerintahan tanpa pers dan pers tanpa pemerintahan, maka tanpa ragu saya akan memilih yang terakhir”, kata Jefferson. Flores Pos sebagai salah satu media massa yang tengah menghidupi model pers publik menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyejukkan konsumen dengan referensi humanisme dan mengembangkan metode jurnalisme perdamaian (peace journalism), sedang berjalan dalam arah ini. Namun, dalam proses humanisasi itu kita terhenyak saat masih ada kelompok-kelompok orang yang berupaya mencederai humanitas. Flores Pos mesti maju terus. Ini tanur pemurnian karaktermu sebagai pers yang berjiwa universal, publik dan kritis.

Dimuat di Flores Pos, 25 Pebruari 2006





“PLAYBOY” DAN KEGELISAHAN KITA


Gelisah. Inilah citarasa sebagian elemen masyarakat Indonesia terhadap rencana penerbitan majalah Playboy di Indonesia. Kegelisahan yang mengisi hari-hari di bulan pertama tahun 2006 ini sungguh beralasan. Sebagaimana diketahui bahwa majalah Playboy merupakan majalah yang diterbitkan dan beredar di negeri Paman Sam, sebuah majalah yang bermenu khas sajian-sajian porno, erotis dan mengumbar daya tarik seksual. Majalah berlambang kelinci ini dilarang dan dikecam rencana penerbitannya karena dapat merusak nilai-nilai ketimuran yang masih begitu kuat dipegang teguh bangsa ini. Kegelisahan bangsa ini memang mendasar. Betapa tidak, bangsa yang babak belur dilanda krisis multi-dimensi ini sebentar lagi akan bertambah krisis moralnya besar-besaran jika majalah Playboy diizinkan untuk terbit.
Ada banyak reaksi yang muncul baik oleh lembaga-lembaga maupun pribadi-pribadi tertentu. Misalnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan mengadakan demonstrasi jika majalah Playboy diberi izin untuk diterbitkan di Indonesia (Pos Kupang, 19/1/2006). Alasan mereka, media ini sangat jelas membuka peluang kebebasan seks (free-sex) yang justru menghancurkan karakter bangsa dan sangat berbau pornografi. Reaksi lain datang dari Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault. Menurutnya, majalah ini dapat merusak moral generasi muda. Apapun isi majalah yang akan diterbitkan di Indonesia itu, citra majalah ini sebagai majalah nudis sudah lekat, karena itu segera mungkin dicegah peredarannya. Bahkan ketua umum DPP PAN Soetrisno Bachir memerintahkan seluruh anggota fraksinya di DPR untuk menolak semua bentuk penerbitan berbau pornografi dan pornoaksi (Timex, 23/1/1006).
Beberapa artis, figur yang sering dihubung-hubungkan dengan pornoaksi mempunyai tanggapan yang pada hakikatnya menolak kehadiran majalah ini. Anne J. Cotto misalnya berpikir bahwa majalah Playboy tidak cocok dengan kehidupan bangsa Indonesia. Selain karena menampilkan gambar-gambar yang keras, tetapi juga karena tampilan yang disuguhkan tidak memiliki unsur seni sama sekali. Baginya, akan banyak hal negatif yang muncul dengan kehadiran majalah ini (Timex, 23/1/1006). Yuni Shara berpendapat senada. Baginya, majalah ini mempunyai image sebagai majalah porno. Ia bahkan tidak respek terhadap kehadiran majalah ini yang bisa berdampak langsung terhadap nilai-nilai ketimuran (Pos Kupang, 23/1/2006). Seirama dengan keduanya, Sarah Azhari menilai gambar yang ditampilkan majalah ini harus sesuai dengan budaya bangsa, misalnya tidak menampilkan gambar-gambar wania telanjang (Timex, 23/1/2006). Masih ada begitu banyak reaksi dan respon yang tidak sempat terekam. Beberapa reaksi yang diangkat dalam tulisan ini menunjukkan bahwa ada gelombang kegelisahan yang tengah mengoncangkan biduk kehidupan anak-anak bangsa. Apakah kegelisah mereka menjadi kegelisahan kita juga?
Manusia dan kebertubuhannya telah menjadi komoditas yang laris manis dalam perusahan industri tubuh global dewasa ini. Tubuh manusa dieksploitasi, direkayasa, ditambah dan dikurangi hanya untuk memenuhi pangsa pasar industri yang satu ini. Industri ini memang sangat menjanjikan karena menyentuh selera citarasa manusia melalui suguhan sex appeal-nya. Prospek bisnis industri tubuh global menguntungkan ketika bisnis ini dilemparkan ke pasaran melalui berbagai media komunikasi yang sampai saat ini begitu menguasai manusia dan kepentingannya. Industri tubuh global nyata melalui format rekayasa tubuh seperti operasi plastik, penggunaan silikon, operasi kulit, hidung, pemasangan berbagai aksesoris di bagian-bagian tubuh tertentu, pengurangan bagian-bagian tubuh yang tidak artistik. Kriteria pasar menjadi prioritas. Dengan ini, manusia sebenarnya tidak lagi menjadi pemilik tubuh dan kebertubuhannya. Manusia menjadi teralienasi dari diri dan tubuhnya kerena otomatis diri terlebur dalam tata aturan dan kepentingan pasar. Orang mesti menjadikan dirinya seperi si A atau si B agar bisa memenuhi selera pasar dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya.
Eksploitasi tubuh juga terjadi secara besar-besaran dalam era industri tubuh global saat ini. Tubuh manusia dipajang di mana-mana, ditempel di sana sini, ditampilkan dalam berbagai kemasan iklan media televisi. Yang menarik bahwa tampilan itu dirancang seminimalis mungkin. Orang ditampilkan dalam busana yang minim, menampilkan lekak-lekuk tubuh secara transparan, lebih vulgar dan bahkan nudis. Sampai pada tingkat tertentu, tubuh manusia masuk dalam kategori produk pornografi dan pornoaksi.
Majalah Playboy yang dipersoalkan rencana penerbitannya di Indonesia justru menjadi mesin industri tubuh global yang dapat menyebabkan dekadensi moralitas anak-anak bangsa ini. Playboy dengan image-nya sebagai majalah porno menampilkan manusia dan kebertubuhannya secara sangat minimalis dan nudis. Playboy adalah manivestasi industri tubuh global yang berkutat pada persoalan tampilan tubuh manusia laki-laki dan wanita (kebanyakan wanita) secara vulgar. Tubuh manusia dieksploitasi demi mereguk keuntungan bisnis besar-besaran. Tubuh manusia adalah pajangan yang paling, indah, menarik dan menantang apalagi ditampilkan dalam keadaan bugil. Untuk urusan semacam ini, hemat saya siapa saja berani merogoh koceknya hanya untuk mendapatkan kepuasan citarasa seksual.
Pada tataran ini, majalah Playboy yang mau dihadirkan di Indonesia adalah sebuh model tirani tubuh yang baru. Tirani di mana tubuh manusia kehilangan keluhurannya, kehilangan jati dirinya, kehilangan nilainya. Tubuh takluk di bawah hegemoni pasar, hegemoni teknik rekayasa. Selanjutnya, hal-hal yang melekat dalam kebertubuhan manusia yang kita kenal sebagai pribadi, diri, individu, ego, kehilangan makna dan mengalami kehampaan arti. Lantas, di manakah citra manusia sebagai insan berakal, berbudi, berakhlak ditempatkan? Ketika manusia kehilangan harga diri, inti diri dan pribadinya, maka pada saat itulah manusia telah diperlakukan sebagai binatang. Manusia hanyalah instrumen dari kepentingan-kepentingan bisnis dan finansial. Saat di mana manusia diperalat adalah saat-saat kegelapan dalam derap peradaban manusia.

Kegelisahan yang telat?
Kegelisahan berbagai elemen bangsa terhadap rencana penerbitan majalah Playboy dapat diterima untuk konteks ke-Indonesia-an kita. Kegelisahan ini memang harus ada dan mesti terus menyala membakar tanur harapan. Tetapi, telatkah kegelisahan itu? Kalau anak-anak bangsa ini mau konsisten dengan usaha memperbaiki moral bangsa, maka kegelisahan itu seharusnya suda ada dari dulu. Situasi saat ini menggambarkan moralitas bangsa yang terhempas ke titik nol. Ini bukan saja oleh bakal hadirnya Playboy tetapi mesti diakui bahwa sudah ada banyak produk industri pornografi dan pornoaksi yang hidup dan berkembang di Indonesia yang menodai moralitas itu. Tidak adil memang kalau kita memvonis Playboy yang masih dalam perencanaan untuk diterbitkan, tetapi di lain pihak kita membiarkan berbagai substansi dalam media atau alat komunikasi lain menyampaikan gagasan-gagasan mengeksploitasi seksual, kecabulan dan atau erotika atau membiarkan perbuatan eksploitasi seksual, kecabulan dan erotika di depan umum.
Ada banyak produk industri tubuh global yang sebenarnya tengah menjalani proyek berjudul dekadensi moral di tanah air kita. Mengapa kita tidak gelisah seperti kita menggelisahkan Playboy? Kepingan-kepingan CD blue film beredar dengan bebas di pasaran dan siapa saja dapat mendapatkannya. Rumah-rumah bordil tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, entah yang diorganisir maupun yang sporadis. Erotika ditampilkan melalui iklan-iklan televisi terutama melalui eksploitasi tubuh perempuan. Media massa kita yang kerap menampilkan dan melukiskan adegan-adegan seksual/percabulan tanpa seleksi bahasa. Dunia cyber space, yang nyata dalam internet juga menawarkan petualangan seksual yang menantang. Semuanya ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan moral bangsa, moral generasi muda dan di satu sisi justru berlawanan dengan budaya ketimuran kita. Banyak tindak kriminal yang dipicu oleh industri tubuh global ini. Yang sangat nyata adalah tindak pemerkosaan, percabulan, perselingkuhan yang ujung-ujungnya terjadi setelah orang mengkonsumsi menu-menu vulgar, erotis, nudis sajian televisi, internet, bluefilm, majalah-majalah porno. Tetapi, kita sepertinya tidak gelisah. Apakah karena kita memang menjadi bagian dari industri tubuh global? Atauhkah karena kita telah kehilangan spirit kegelisahan?
Untuk memperjuangkan kebenaran, menegakkan kebaikan, mengejar harmoni tidak pernah ada kata terlambat. Sama seperti usaha kita menata, membenah dan menjaga moralitas bangsa. Belum terlambat bagi kita untuk mencegah dan mengatasi berbagai fenomen pornografi dan pornoaksi di tanah air. Kegelisahan kita mesti dibarengi usaha untuk mengembalikan moralitas bangsa, nilai-nilai ketimuran kita ke singgasannya. Tentang kegelisahan, kita perlu belajar dari sesepuh filsafat, Socrates. Ia menelorkan ajaran kepada para pengikutnya agar menjadi seperti “lalat-lalat liar”. Artinya, mesti menjadi seperti lalat yang tidak mapan, tetapi selalu bergerak ke sana ke mari membuat orang tidak tenang, tidak nyaman, selalu membuat orang-orang gelisah.
Dalam pemikiran yang positif, kita mesti menjadi agen yang bisa menggelisahkan diri, menggelisahkan orang lain, menggelisahkan lingkungan yang mungkin telah lelap oleh kemapanan, oleh pembiaran, oleh kenyamanan, oleh budaya permisif. Dalam kasus Playboy, kegelisahan kita mesti bertumpu pada katastrofa moralitas kemanusiaan yang akan terjadi kalau saja rencana penerbitannya terealisir, suatu kegelisahan yang dipicu oleh akumulasi berbagai krisis yang selama ini terjadi akibat menyebarnya produk industri tubuh global. Kegelisahan itu mesti membawa kita pada suatu sikap menolak segala bentuk pronografi dan pornoaksi yang dihadirkan oleh berbagai media komunikasi massa.
Pesatnya penyebarannya produk industri tubuh global yang melanda negeri ini sangat dimungkinkan oleh lemahnya daya kuasa hukum untuk mencegahnya. Sampai saat ini pun kita belum memiliki perundang-perundangan yang paten yang mengatur soal pornografi dan pornoaksi. Celah-celah inilah yang dimanfaatkan oleh pebisnis industri tubuh global untuk merambah Indonesia. Kita masih berharap banyak pada filter ketimuran kita untuk mencegah meluasnya produk industri tubuh global. Namun, sejauh manakah efektivitasnya? Nilai-nilai luhur ketimuran kita pun perlahan-lahan terkikis pengaruh budaya Barat. Kita sebenarnya telah terseret imbas perkembangan teknologi yang bereferensi pada model dan pengaruh budaya Barat. Selain itu, pesatnya perkembangan industri tubuh global juga dipengaruhi oleh batasan yang kurang jelas tentang apa itu pornografi atau pornoaksi, hal-hal mana yang termasuk di dalam batasan itu juga belum jelas. Kekaburan inilah yang melahirkan proses pembiaran terus-menerus sehingga lama-kelamaan menjadi pola tindak dan pola sikap.
Dahsyatnya pengaruh yang ditimbulkan oleh industri tubuh global, khususnya dalam proses dekadensi moral dan pembunuhan karakter anak-anak bangsa ini menyadarkan para pengambil kebijakan publik untuk menggodok dan merancang UU Antiporno, yang hingga saat ini masih dalam proses pembahasan di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat. Harapan kita agar RUU Antiporno ini bisa mengakomodir seluruh kepentingan anak bangsa dalam mencegah dan mengatasi berbagai penyakit sosial yang disebabkan oleh produk industri tubuh global. Kiranya, Playboy yang mengelisahkan kita itu, menjadi awal yang baik bagi kita untuk gelisah karena setiap bentuk pornografi dan pornoaksi yang marak meriah hadir di kota dan kampung halaman kita.

Dimuat di Buletin Wadas, Pebruari 2006




JURNALISME BERMARTABAT


Pada tanggal 9 Desember 2006, di Ende dideklarasikan Perhimpunan Wartawan Flores (PWF). Ini rupanya menjadi berita gembira bagi para insan pers se-Flores dan insan pers di mana saja bahwa melalui perhimpunan semacam itu diharapkan mutu jurnalisme semakin lebih baik. Yang menarik adalah pada Anggaran Dasar (AD) PWF tertulis: “PWF berlambangkan burung merpati, pena dan buku dengan warna dasar biru yang dikombinasikan dengan tulisan Perhimpunan Wartawan Flores.” Tidak ada penjelasan lanjut tentang makna lambang itu. Membaca itu, saya hanya bisa bertanya mengapa merpati? Mengapa pena? Mengapa buku?
Burung merpati adalah sejenis unggas yang banyak dipelihara orang-orang saat ini. Terlepas dari identifikasi fisiknya, burung merpati banyak dipakai sebagai lambang pembawa kabar baik. Konon pada zaman di mana sarana transportasi belum selancar sekarang, orang bisa memanfaatkan burung merpati untuk mengantar surat yang diikat pada kakinya. Lebih jauh dari itu, dalam keyakinan iman agama Katolik, burung merpati adalah simbol kehadiran Roh Kudus, Roh yang membawa penghiburan, kabar baik, dan Roh kebenaran.
Mengapa merpati? Pers dan pegiat pers hemat saya mempunyai obsesi untuk menjadi merpati yang bisa membawa kabar baik ke mana saja. Insan pers mesti berpedoman pada semangat dan nilai-nilai luhur kemanusiaan, keadilan dan kebenaran. Pegiat pers mesti menjadi merpati yang tulus dalam tugas jurnalistiknya, harus pula menjadi figur yang mendatangkan kebaikan melalui kabar baik yang dihasilkannya. Mereka harus tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. Ini akan membantu meningkatkan mutu jurnalisme kita saat ini.
Mengapa pena? Senjata utama seorang jurnalis adalah pena. Dengan pena insan pers menjalankan tugasnya, menulis, menulis dan terus menulis. Lary Brown pernah menulis: “Tidak ada orang yang dilahirkan untuk jadi penulis. Menulis merupakan keterampilan yang harus dipelajarai. Anda harus menulis sekian kata sebelum bisa menulis sesuatu yang layak diterbitkan.” Dan salah satu cara untuk menjadi penulis adalah menulislah hari ini. Insan pers adalah orang yang kerjanya menulis berita. Setiap hari ia menulis.
Dengan pena, insan pers mesti menulis yang benar, yang berbobot, yang sesuai kenyataan. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism, yang diterjemahkan oleh Yusi A Parcanon menjadi Sembilan Elemen Jurnalisme menulis, yang harus dilakukan oleh seorang insan pers adalah: kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi, jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan, menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat, jurnalisme harus berupaya keras membuat hal yang penting, menarik dan relevan, menyajikan berita komprehensif dan proporsional, dan praktisi jurnalisme harus mengikuti hati nurani mereka.
Pena adalah senjata insan pers. Pena itu akan jadi pisau cukur yang terasah bila ia digunakan untuk mencelakakan orang lain. Namun, pena itu akan jadi berkat bila darinya mengalirlah kabar baik, ketulusan dan keberpihakan pada 9 elemen di atas.
Mengapa buku? Buku harus menjadi makanan seorang penulis. Buku adalah dunianya penulis. Sebagai wartawan, membaca buku adalah sebuah keharusan. Keterampilan menulis berita, kemampuan menguasai metode jurnalisme dan berbagai perkembangan terkahir tentang jurnalisme bisa diperoleh melalui buku bacaan. Apa jadinya kalau seorang insan pers tidak menghidupi budaya baca? Mungkin kata-kata Ahmadi Sofyan ada benarnya. “Kalau tidak pernah membaca, kalau tidak pernah mencintai sastra, kalau tidak pernah mencintai bahasa, jangan pernah jadi penulis. Ikut saja audisi menyanyi dan jadilah selebritis.”
Untuk membangun mutu jurnalisme yang semakin baik, pers mesti menjadi pers pejuang dan wartawan pejuang. Insan pers saat ini perlu belajar dari pers pada masa perjuangan dulu. Pers yang ada saat ini menjadi pers independen. Buanglah prinsip kebebasan hanya untuk kebebasan. Insan pers diingatkan agar tetap menjadi merpati, pembawa kabar baik yang kritis (mungkin perlu jadi ular supaya cerdik). Menulislah dengan penuh tanggung jawab, dengan kebebasan nurani, bukan kebebasan menulis tanpa metode jurnalistik yang akurat.
Pers saat ini tengah menghadapi fenomen ‘wartawan amplop’. Wartawan model ini telah kehilangan komitmen dan tanggung jawabnya sebagai pencari kebenaran. Ini juga fakta ketika kita mendengar ada wartawan jadi calo proyek, wartawan suka peras, wartawan jadi humas pemda, wartawan plat merah. Insan pers mesti senantiasa menghidupkan sinyal etika dan tanggung jawab profesi serta etika jurnalisme dalam dirinya. Fenomen-fenomen di atas hanya bias ditangkal apabila setiap insan pers menyadari dirinya sebagai penyuara kebenaran dan keadilan, orang yang asosial, demikian kata Andreas Harsono, direktur Lembaga Pantau. Itu artinya pers hadir tanpa plat kepentingan selain kepentingan kebenaran dan keadilan.
Pers dalam teori libertarian adalah The Fourth Estate (pilar kekuasaan keempat). Pers menjadi watchdog (anjing pemantau) dari kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tapi ingat, pers bukan seksi humas pemerintah. Kalau seperti itu tak ada lagi ketajaman pisau kritis. Wartawan harus mempunyai kepribadian yang kuat. Wartawan harus punya etika dan tanggung jawab personal, sebuah panduan moral. Untuk itu, mereka harus mempunyai wawasan pengetahuan yang memadai dan setia pada profesi.
Pers atau jurnalisme yang bermartabat adalah jurnalisme yang konsisten melayani kepentingan publik. Peran universal pers sejalan dengan peran yang dimainkan pemerintah, melayani kepentingan publik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ada benang merah antara pers dan pemerintah. Dalam kancah politik, pers kerap berfungsi sebagai filter komunikasi politik antara elit politik dan rakyat. Pers juga adalah wahana penting untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Untuk menyajikan aspirasi rakyat yang bermutu, insan pers harus berkualitas. Independensinya harus dijaga dan profesionalismenya harus dikembangkan. Caranya, wartawan mesti banyak baca buku, banyak turun ke lapangan, kembangkan pengetahuan jurnalisme melalui pelatihan.
Menuju jurnalisme yang bermartabat adalah sebuah proses panjang. Namun, itu hanya dimungkinkan bila pers dan insan pers mulai saat ini menyadari tugasnya sebagai penyuara kebenaran dan pembela keadilan. Martabat jurnalisme adalah harga teramat mahal ketika ia tetap teguh berdiri pada poros independesi dan profesionalismenya.


Dimuat di Timex, Maret 2007



PERS, PROPAGANDA DAN DEMOKRASI


Noam Chomsky bukanlah nama yang asing bagi para peminat kajian kontemporer. Ia dikenal sebagai pemikir terkemuka yang independen dan memiliki kemampuan analitis yang sangat tajam. Salah satu karyanya diterjemahkan Nurhady Sirimorok ke dalam bahasa Indonesia berjudul Kuasa Media. Buku yang berjudul asli The Spectacular Achievements of Propaganda berkisah bagaimana para penguasa yang sebenarnya memiliki tujuan kontraproduktif dengan keinginan publik/rakyat dapat terus melanggengkan kekuasaan bagai pejuang rakyat.
Kesuksesan W.Wilson memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1916 adalah salah satu contohnya. Kondisi rakyat Amerika pada saat itu sangat anti perang dan merasa tidak ada alasan untuk terlibat dalam perang Eropa. Sementara itu, Wilson memiliki andil dalam perang itu. Wilson akhirnya membentuk komisi propaganda resmi pemerintah, Crell Commision. Dalam waktu enam bulan, tim ini berhasil mengubah populasi anti perang menjadi massa yang histeris dan haus perang, yang bernafsu untuk menghapus semua yang berbau Jerman. Alasan utama mereka ke medan tempur adalah untuk menyelamatkan dunia.
Kisah di atas menunjukkan bahwa rekayasa opini publik melalui media sanggup menggelorakan kebencian masyarakat. Sama seperti pasca tragedi WTC tahun 2002 lalu. Amerika mempropagandakan perang melawan terorisme dan memojokkan Irak, Afganistan sebagai dapur teroris. Rekayasa opini publik pun terjadi dan publik pada umumnya membenarkan bahwa perang Amerika atas Afgansitan dan Irak memang mempunyai alasan menyelamatkan dunia dari terorisme.
Pada titik inilah Chomski menunjukkan kepada kita bahwa media massa juga dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh dalam perebutan makna. Siapa yang berhasil membangun citra (image) akan mendapatkan legitimasi publik seperti yang mereka inginkan, atau sebaliknya. Chomski benar. Fakta yang muncul di media massa tidak sepenuhnya sama dengan fakta yang sebenarnya. Fakta di media massa hanyalah hasil rekonstruksi dan olahan para awak di meja-meja redaksi. Walaupun mereka telah bekerja dengan menerapkan teknik-teknik jurnalistik yang presisi, tetapi tetap saja kita tidak dapat mengatakan apa yang mereka tulis adalah fakta yang sebenarnya. Selalu saja ada kekurangan dalam setiap sudut pandang dan rekonstruksi peristiwa dan fakta sebenarnya ke dalam fakta media.
Ini menjadi salah satu tantangan dan godaan untuk kehidupan pers dan media massa kita saat ini. Acapkali pers hadir sebagai alat propaganda untuk kepentingan tertentu. Pengutamaan pencitraan figur-figur tertentu untuk kepentingan politis misalnya menjadikan media kita tidak bebas dari kepentingan politis, yang justru di sisi lain media itu sendiri melawan fitrahnya sebagai sarana demokrasi yang bebas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Ketika pers masuk dalam misi propaganda entah itu propaganda politik, ekonomi, agama, budaya, maka pers semacam itu berlawanan dengan asas pers yang digariskan dalam UU RI No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, pasal 2, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Di negara ini yang dunia persnya menjamur pasca bom reformasi meledak, pers hadir sebagai jalan ketiga mewujudkan demokrasi. Namun, jalan yang dilalui itu acapkali menyesatkan ketika ‘kebebasan’ diterjemahkan sebagai bebas menulis apa saja, bebas berbicara apa saja, bebas merekayasa apa saja. Akibatnya ada pers yang hidup hanya dari upaya merekayasa fakta-fakta dan menyesatkan opini publik. Biasanya pers semacam ini tidak bertahan lama, namun dampaknya sangat membahayakan kehidupan masyarakat yang mengonsumsi menu-menu pers itu.
Pertanyaan kita saat ini adalah apakah pers yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum itu betul-betul mentahtakan rakyat sebagai “demos” yang “kratein”, rakyat yang memerintah, yang berdaulat? Apakah wajah pers kita adalah wajah rakyat yang memerintah? Apakah pers kita mempunyai opsi yang jelas berpihak pada kepentingan rakyat kecil?
Walter Lippman, pemuka wartawan Amerika dan teoritis demokrasi liberal yang terkenal mengungkapkan teori ‘revolusi seni berdemokrasi’ yang dapat digunakan untuk membuat suatu ‘persetujuan buatan’, yaitu mengadakan persetujuan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh pihak publik dengan menggunakan teknik propaganda. Lippman menganggap ini sebagai gagasan yang penting karena ‘kepentingan bersama dapat mengecoh pemikiran publik’. Teori ini menegaskan bahwa hanya segelintir elit, masyarakat intelek yang dapat memahami kepentingan bersama yang dapat ‘mengecoh publik’.
Lippman menegaskan bahwa dalam keadaan di mana demokrasi berfungsi dengan baik, selalu terdapat dua kelas masyarakat. Pertama, kelas masyarakat yang memegang peran aktif dalam menjalankan hubungan-hubungan umum. Mereka adalah kelas para ahli, yang menganalisis, mengambil keputusan dan menjalankan segala hal di bidang politik, ekonomi dan sistem ideologi. Mereka secara presentasi hanya sedikit. Kedua, ‘orang lain’ itu, yang tidak termasuk kelompok kecil, adalah mayoritas besar dari populasi. Merekalah yang dibaptis Lippman sebagai ‘kawanan pandir’.
Dengan demikian, ada dua ‘fungsi’ dalam demokrasi. Pertama, kelas para ahli, penguasa, memegang peran eksekutif, yang merencanakan dan memahami kepentingan bersama. Kedua, kawanan pandir, mempunyai fungsi dalam demokrasi. Menurut Lippman, fungsi mereka adalah menjadi ‘pemirsa’, bukan sebagai ‘pemain’ dalam pekerjaan tadi. Bukan hanya itu, mereka juga dapat diizinkan untuk meminjamkan kekuatannya kepada salah seorang anggota kelas para ahli, itulah disebut Pemilu, dan setelah itu mereka harus mundur lagi dan kembali menjadi ‘penonton’.
Teori Lippman tentang kelas dan fungsi masyarakat dalam demokrasi menjadi cermin di mana pers kita berkaca. Pemberitaan pers kita yang memberi ruang begitu luas pada aspek politik, ekonomi, yang terkait dengan pelaku-pelaku di dalamnya (kelas eksekutif, legislatif) di satu sisi menenggelamkan ‘kedaulatan’ rakyat kecil. Kita bisa lihat sendiri, halaman demi halaman koran kita menyoroti tokoh-tokoh politik, petinggi negara, provinsi, kabupaten, para selebritis. Porsi untuk pemberitaan yang berkaitan dengan ‘keringat dan perjuangan’ rakyat kecil begitu kecil. Bagaimana rakyat berjuang untuk mempertahankan hidup di tengah panas berkepanjangan dan hama mewabah tak banyak dilukiskan. Tetapi, pernyataan seorang pejabat pemerintahan tentang hama, bantuan untuk rakyat, kerap dipublikasikan. Ketokohan pejabat ditonjolkan, dan pada titik ini media/pers tidak lain daripada seksi humas pemerintah.
Lippman benar ketika dalam situasi ini, pers kita sering ‘mengistirahatkan’ rakyat dari pentas demokrasi. Rakyat hanyalah pemirsa demokrasi yang dikuasai para elit politik. Rakyat baru mendapat sorotan ketika pejabat mengunjunginya, itupun mendapat jatah di nomor buntut urutan pemberitaan setelah figur dan pernyataan pejabat ini dan itu. Pers kita berciri elitis bukan populis. Dengan ini, kita sebenarnya tengah melestarikan ‘kawanan pandir’ dalam keterbelakangannya, kebodohannya, ketertutupannya dan ketidaktahuannya.
Keberpihakan pers pada rakyat sebagai ‘pemerintah demokrasi’ itu mesti jelas dalam suara-suara yang ditampilkan. Pers mesti menjadi suara rakyat yang tak bersuara. Pers adalah penyambung lidah rakyat. Pers adalah corong aspirasi rakyat. Ini hanya dimungkinkan apabila pekerja pers itu merekonstruksi fakta seobjektif mungkin dan mengatakan yang sebenarnya. Pekerja pers mempunyai tanggung jawab besar dalam mentahtakan lagi rakyat pada singgasana ‘demos-kratein’, meruntuhkan dominasi kelas penguasa dalam hegemoni kata-kata dan pernyataan.
Rakyat sudah saatnya dihadirkan sebagai ‘pemain’ dalam pentas demokrasi ini, bukan sekedar pemirsa. Ini juga menjadi tugas dan tanggung jawab pers. Sebagaimana amanat pasal 6 UU Pers tentang peranan pers, diantaranya memenuhi hak masyarakat untuk tahu, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dengan fungsi pendidikannya, pers mesti menjadi wahana konsientisasi rakyat. Rakyat diberi ruang untuk berbicara, untuk mengeritik, untuk berpendapat. Rakyat mesti jadi ‘pemain’ yang sebenarnya.
Dalam ruang demokrasi yang ada saat ini, pers hadir sebagai lembaga sosial dengan tujuan-tujuan yang luhur. Namun, dalam kolom yang sama, pers kerap menunjukkan perwajahannya dalam propaganda-propaganda terbuka maupun terselubung oleh mereka yang mempunyai kepentingan untuk menguasai kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Rakyat dijejali dengan propaganda dan rekayasa opini. Kebenaran yang seutuhnya kerap tak pernah sampai ke hadapan rakyat. Pun untuk kebenaran yang menjadi keyakinan rakyat itu sendiri. Tugas pers adalah meluruskan kebenaran yang terbelokkan, meluruskan bahasa yang dimanipulasi, meluruskan opini yang direkayasa, meluruskan fakta yang dipelintir.
Konfusius (1551-479) mempunyai kebijakan yang diwariskan untuk meluruskan bahasa. “Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan (juga ditulis) bukanlah apa yang dimaksudkan; jika apa yang dikatakan (juga ditulis) bukan yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat tetaplah tidak diperbuat. Jika tetap tidak diperbuat, moral dan seni merosot, keadilan pun akan tidak jelas arahnya. Jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya akan dapat termangu dalam kebingungan yang tidak tertolong. Maka tidaklah boleh ada kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatakan (juga ditulis). Inilah yang paling penting di atas segala-galanya.


Dimuat di Flores Pos, 7 Pebruari 2007



INDUSTRI TUBUH GLOBAL


Kurang lebih empat tahun lalu di Inggris ada kontoversi menyusul pemberitaan tentang seorang ibu yang hendak memberi hadiah ulang tahun berupa operasi pembesaran payudara bagi anak gadisnya yang berumur 17 tahun. Mereka yang kontra menyatakan bahwa hadiah itu tidak mendidik untuk remaja seusia itu. Sementara si ibu dan para pendukungnya berkeras bahwa operasi itu akan menambah kepercayaan diri anak gadisnya dalam pergaulan zaman ini yang diamini oleh anak gadisnya itu. Pembelaan ibu ini kurang lebih akan muncul juga dari orang-orang yang menghabiskan puluhan bahkan ratusan juga rupiah untuk sekadar tampak lebih indah dipandang. Mereka ingin memperbaiki penampilan supaya lebih lincah bergaul, lebih sukses, lebih berbahagia. Inilah salah satu pergaulan yang ditimbulkan oleh industri tubuh yang mengglobal dewasa ini. Akibat lanjut adalah tubuh manusia dengan sendirinya menempati status yang berbeda-beda. Ia adalah obyek estetis: dicat, diberi pakaian, dicukuri, dilobangi, dicabuti; obyek politis: dilatih, didisiplinkan, disiksa, dikurung, dipotong-potong; obyek ekonomis: dieksploitas, diberi makan, direproduksi; dan obyek seksual: digoda, dilecehkan, direproduksi.
Tidak berhenti pada kenyataan seperti di atas, dunia hidup kita sehari-hari tampil sebagai teks hidup yang secara transparan menyajikan data ekses negatif industri tubuh global-tubuh hedonis. Salah satu dari sekian banyak ekses itu adalah kasus perkosaan atau pelecehan seksual. Hal ini terjadi ketika tubuh telah menjadi obyek seksual semata. Berita-berita koran, informasi media elektronik hampir setiap hari menyajikan kasus perkosaan atau pelecehan seksual dengan wanita sebagai korbannya, entah nenek, wanita dewasa, gadis, maupun anak-anak kecil.
Anehnya, peristiwa seperti ini terus terjadi saat peristiwa lain dengan substansi sama sedang diproses secara hukum. Para pelaku rupanya tidak jera. Entah oleh berbagai motif dan alasan, yang menjadi sasaran pelampiasan nafsu birahi ini adalah kaum wanita. Kaum wanita dan tubuhnya dijadikan instrumen alat percobaan, kelinci eksperimen demi tersalurnya libido kaum lelaki. Tubuh perempuan menjadi obyek semata. Mengapa peristiwa pemerkosaan ini selalu terulang dan terus terjadi di berbagai tempat? Apakah karena lemahnya supremasi hukum di negeri ini dalam menjerat pelaku pemerkosaan? Apakah karena hukum mengakomodir kepentingan dan atau berpihak pada korban. Atau mungkin karena proses hukumnya lama dan tidak menjera para pelaku? Inilah sekian banyak kemungkinan yang selalu terbuka bagi kemungkinan yang lain. Dalam tulisan ini, saya hanya memfokuskan diri pada upaya mencari relasi antara adanya industri tubuh global dengan berbagai kasus perkosaan yang terjadi selama ini.
Pemerkosaan atau pelecehan seksual bersentuhan dan berkontak langsung dengan tubuh perempuan sebagai korban. Perempuan dan kebertubuhannya telah diposisikan sebagai barang, alat yang mesti ditaklukkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan libido lelaki. Pada tataran ini, secara tak disadari telah terjadi suatu pergeseran yang signifikan dari melihat tubuh perempuan sebagai suatu realitas ekstistensial yang berpribadi, bermartabat, berderajat, yang seharusnya dihormati, dihargai menuju sebuah cara pandang baru yang melihat tubuh perempuan sebagai tubuh hedonis semata. Sebagai tubuh hedonis, keberadaan tubuh justru dilihat sebagai yang memberi kenikmatan, kesenangan seksual, membangkitkan fantasi seksual, serta kepuasan libido. Dalam kacamata ini, tubuh perempuan diposisikan sebagai instrumen, alat, barang, benda, yang boleh dinikmati, dieksploitasi demi kepentingan pelaku pemerkosaan.
Produk utama industri tubuh global adalah tubuh manusia terutama tubuh kaum perempuan. Dalam situasi demikian, tubuh telah menjadi komoditas yang harus dipersiapkan demi ‘nilai jual’ tertentu. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan kosmetik gencar mencecar tubuh dengan produk yang seolah-olah harus diterima dan dipakai kalau orang ingin agar tubuhnya diterima oleh publik. Budaya selebriti menyediakan contoh seperti apa tubuh itu mesti ditampilkan. Belum lagi membanjirnya produk kecantikan/kedokteran yang dapat terjangkau masyarakat lapisan bawah dengan harga murah seperti suntikan silikon, dan berbagai produk lainnya.
Industri tubuh global yang pangsanya meluas di pasaran dewasa ini betul-betul memanfaatkan tubuh perempuan sebagai komoditi dan produk unggulan. Lihat saja, industri ini gencar mengeksploitasi kemolekan tubuh perempuan, memajang kepolosan dan ketelanjangan tubuh perempuan dalam gambar dan lukisan di etalase-etalase supermarket, mall, hingga kios-kios kecil, dalam iklan-iklan televisi, dalam lembaran-lembaran majalah dewasa hingga majalah porno. Tubuh perempuan dikomersialisasi dalam kepingan-kepingan CD blue, dalam aneka model pornoaksi dan pornografi. Hal semacam ini diperparah lagi ketika kaum perempuan yang cenderung dijadikan korban itu kurang menyadari kebertubuhannya. Artinya bahwa pengaruh industri tubuh global menyeret pola pikiran (mindset) mereka pada model berpikir hedonis mengadopsi gaya hidup metropolis-selebritis. Kaum perempuan serta-merta mesti mengenakan rok mini bahkan super mini agar up to date. Model baju pun kian mini-minian. Bagian- bagian tubuh yang dulunya ditutup-tutupi perlahan-lahan mulai disingkap dan ditonjolkan. Anggota-anggota tubuh diberi aksesoris agar kian estetis. Tidak puas telinga dan jari orang mulai melubangi pusar, hidung dan lidah untuk diberi anting.
Tubuh yang sejak Maurice Merleau-Ponty dengan filsafat fenomenologinya mendapat perhatian besar perlahan-lahan mengalami devaluasi. Ponty dalam kajian filosofis dan psikologisnya melihat tubuh sebagai subyek dari kesadaran manusia itu sendiri atas kebertubuhannya. Terkait dengan tubuh kaum perempuan, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi obyektivitas martabat kebertubuhan perempuan. Dengan tidak lagi memposisikan tubuh perempuan sebagai subyek kesadarannya, keberadaannya, maka kemurnian dan keluhuran tubuh perempuan sebagai insan ciptaan Tuhan ternoda dan terluka.
Industri tubuh global kini merasuki dunia kita hingga ke pelosok-pelosok desa melalui kehadiran alat-alat hiburan seperti televisi dan VCD yang bisa disalah gunakan untuk memenuhi hasrat seksual kaum remaja dan kaum muda kita. Pemerkosaan yang marak terjadi akhir-akhir ini mencemaskan kita. Soalnya, sementara kita berusaha mencari jalan keluar dan solusi untuk mencegah dan menghilangkan perilaku bejat ini, industri tubuh global di satu pihak pun gencar menawarkan berbagai produk menarik dengan memanfaatkan dan mengeksploitasi tubuh seperti melalui gambar-gambar porno, tingkah laku porno yang bisa memicu tindak pemerkosaan.
Setelah kebertubuhan manusia khususnya kaum perempuan babak-belur oleh industri tubuh hedonis, saya merasa perlu mengajak pembaca sekalian untuk melihat lebih jauh mengenai makna tubuh secara teologis. Inilah filter pertama yang saya pikir bisa menahan dan meredam laju industri tubuh hedonis. Tubuh teologis mengumandangkan semboyan ini ‘marilah mengakrabi tubuh’. Tubuh teologis menyingkap satu hal bahwa manusia dan tubuhnya merupakan ciptaan Tuhan. Karena itu, dengan mengakrabi tubuh kita bisa berjumpa dengan Tuhan. Melalui tubuh, kita berelasi dengan Tuhan. Kalau begitu, tindakan yang merendahkan tubuh merupakan tindakan yang melukai keberadaan Tuhan yang hadir dalam tubuh mereka yang menjadi korban. Pemerkosaan merupakan kegagalan manusia dalam mengenal, mencintai dan mengakrabi Tuhan dalam kebertubuhan orang lain. Allah menyapa manusia melalui tubuhnya karena tubuh bukanlah entitas terpisah dari manusia, melainkan karena manusia adalah makhluk yang utuh. Gagasan melihat tubuh secara teologis mengajak kita untuk menghargai dan menghormati tubuh orang lain. Kaum perempuan mesti dihargai dengan seluruh keberadaan tubuhnya dan kemanusiaannya. Jika demikian maka pemerkosaan sebenarnya tidak perlu terjadi.
Filter kedua yang perlu diperhatikan dalam mengantisipasi dan membendung arus deras industri tubuh hedonis adalah memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anak kita. Konsili Vatikan II dalam Deklarasi Tentang Pendidikan Kristiani (No.1) mengatakan bahwa anak-anak muda perlu mendapat pendidikan seksualitas yang positif dan bijaksana. Orangtua dan para pendidik memiliki tugas berat dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak-anak. Sejauhmana efektivitasnya kedua filter ini, semuanya kembali kepada kita. Dalam pergulatan dengan tubuhnya, Yohanes Climacus, seorang teolog abad ke-7 berseru mengenai tubuhnya, ‘Tubuhku adalah penolongku dan musuhku, pembantuku dan seteruku, pelindungku dan pengkhianatku’. Marilah kita tetap berjaga-jaga agar tidak terseret arus industri tubuh hidonis.


Dimuat di Pos Kupang, 6 Agustus 2005