Tuesday, April 1, 2008

Wacana Sosial Politik


MEMPERTIMBANGKAN SIKAP
APATIS DALAM DIRI KAUM ELITE POLITIK
(Flores Pos, 20/11/2002)


Getar-getar kelabu tragedi WTC (11/9/2001) yang lalu masih membekas dalam relung kalbu tatkala ledakan bom mengguncang Pulau Bali (12/10). Mata kita dan mata dunia pun berpaling ke sana. Bukan lagi di negeri Paman Sam nan jauh di sana, tetapi di bumi pertiwi tercinta ini. Peristiwa ini bukanlah suatu khayalan, melainkan suatu realitas yang sedang dihadapi bangsa kita. Ada indikasi kuat bahwa aksi pengeboman ini merupakan bagian dari skenario jaringan terorisme internasional. Jika benar, maka hal ini merupakan preseden buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan human ternoda. Semuanya sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya boleh jadi bersikap apatis.
Apatis, sebuah kata bernuasa minus dan sering kita dengar. Apatis berarti masa bodoh, tidak peduli, cuek, malas tahu. Apatis menegasikan suatu kehadiran subjek dan pengaruh lain di luar aku. Hanya ‘aku’ yang ada, yang benar, yang harus dipercayai. Di luar ‘aku’ adalah palsu, bohong, tidak penting, provokatif. Aku yang apartis menjadikan bumi paradise sebagai tumbal. Pulau Bali bersimbah darah korban ‘politik apatis’. Sesuatu yang bisa kucegah dengan kuasaku, bicaraku kalau aku jujur dengan hati nuraniku, menerima dari dan aku yang lain. Namun karena gengsi, jabatan dan apa saja yang sudah kuucapkan, maka demi ‘pembenaran’ subjektif, aku membiarkan semuanya terjadi. Aku tidak peduli sebab bukan menyangkut kepentinganku. Sikap apatis adalah jalan terbaik.
Kini dan di sini kita hanya bisa bermain-main dengan ‘pengandaian-pengandaian’. Seandainya kata ‘apatis’ tidak menjadi milik dan terminus teknis yang lumrah bagi para elite politik, maka tragedi Bali tidak bakal terjadi. Andaikata para elite politik kita tidak tertular sindrom apatis, tentu saja peringatan negara lain tentang jaringan terorisme di Indonesia bisa disikapi. Seandainya suara-suara yang berteriak tentang perlunya UU antiteroris tidak dibungkam dengan politik uang, maka negara punya kekuatan untuk melindungi diri dari aksi terorisme dan memiliki dasar hukum bagi tindakan pemberantasannya. Andaikata “justifikasi apatisme” tentang tiadanya jaringan terorisme di Indonesia tidak keluar dari mulut penguasa, maka aparat keamaan mungkin saja tidak terlena dan tidak terkejut ketika terjadi bom Bali. Sikap apatis para elite politik terhadap peringatan dan penyampaian luar negeri berkaitan dengan invansi terorisme di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa akar apatisme sungguh tertanam dalam di Indonesia dan juga dalam sanubari para elite sehingga jeritan rakyat kecil dianggap sepi.
Hidup ini adalah suatu realitas, bukan dalil pengandaian di bawah payung utopia. Kita tentu tidak ingin tinggal dalam dunia khayalan. Namun pengandian-pengandaian di atas merupakan jeritan hati anak-anak negeri terhadap para penyelenggara negara, kaum elite politik, yang begitu apatis terhadap hal-hal yang menghancurkan, membinasakan dan menciptakan iklim kekacauan dan anarkis yaitu terorisme.
Penyesalan biasanya datang terlambat. Tetapi untuk besok, penyesalan itu belum terlambat. Penyesalan tragedi Bali merupakan pelajaran berharga yang harus dicamkan. Penyesalan itu membawa kita kepada suatu proses pemaknaan yakni:
Pertama, terorisme bukan suatu utopia. Dia ada di depan kita bagai “bom waktu” yang setiap saat siap meledak dan menghancurkan kita.
Kedua, apatisme politikus tentang ketiadaan jaringan terorisme di Indonesia hanya isapan jempol belaka. Bukti sudah ada dan para elite politik harus berjiwa besar menerima masukan dari pihak lain sekaligus menerima bantuan internasional pasca-tragedi Bali. Bukan sebaliknya kita mengkambinghitamkan negara lain.
Ketiga, untuk elite politik di tingkat pusat dan daerah harus sadar bahwa Anda dipilih bukan bersikap apatis, melainkan peka penanggapi jeritan rakyat.
Keempat, tragedi Bali sebagai bahan pelajaran bagi perlunya kerendahan hati untuk mengakui kelemahan dan kekurangan serta berjiwa besar untuk mengakui kelebihan negara lain.
Tragedi Bali adalah suatu tragedi kematian yang menghancurkan peradaban manusia. Karena itu, mari kita membangun sikap yang terbuka dan peka serta selalu waspada sebab jaringan terorisme di sekitar kita.


KAPET MBAY ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
(Flores Pos, 22/10/2003)


Bukan merupakan suatu hal yang baru bila kita bertutur tentang Kapet Mbay. Ia sudah lumrah bagi mulut dan bibir kaum birokrat serta elitis. Ia menjadi populer justru karena dililiti persoalan yang tak kunjung habis. Kehadirannya menimbulkan problem yang penuh turbulensi dan fluktuasi dalam pengalaman dan pandangan masyarakat. Kapet Mbay pada satu sisi justru menjadi sesuatu yang asing bagi telinga kaum awam (masyarakat akar rumput). Sebuah paradoks pembangunan Kapet yang mungkin tidak dirasakan oleh para pembuat kebijakan tetapi sungguh dialami oleh masyarakat sendiri. Masyarakat yang menjadi subyek pengembangan Kapet, sasaran utama dalam visi, misi dan strategi pengembangannya justru merasa teralienasi bahkan tidak tahu-menahu mengenai Kapet. Lantas, apa yang bisa kita harapkan dari Kapet Mbay sebagai “tanah terjanji” bagi dambaan masyarakat “padang gurun” yang dililiti kemiskinan, keterbelakangan dan ketakberdayaan?
Kebijakan penerapan Kapet di KTI dilakukan dengan Keppres 89/1996 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres 150/2000. Mbay sebagai salah satu kawasan andalan di NTT ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu dengan Keppres 15/1998 dengan visi, misi, strategi pengembangan dan langkah-langkah operasional yang strategis. Semuanya demi mewujudkan Kapet Mbay sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis agrobisnis, agroindustri dan pariwisata untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Karena memiliki visi yang teramat luhur itu, maka Kapet lalu dilihat sebagai prime mover pengembangan wilayah. Di atas kertas memang nampak adanya berbagai program dan kebijakan yang bagus dan menarik yang berkaitan dengan pengembangan Kapet. Tentu semuanya menjanjikan harapan yang indah, namun, lain ceritanya bila kita berada di lapangan. Kapet Mbay, kebanggaan kita masyarakat NTT dan Ngada khususnya justru selalu dililiti persoalan dan disinyalir tetap berjalan di tempat, padahal ia kini telah berusia kurang lebih lima tahun. Apa yang sudah terjadi di Kapet Mbay selama lima tahun ini? Menjawab pertanyaan ini bagaikan menguraikan benang-benang kusut. Kita boleh bertanya: apa kerja BP Kapet Mbay selama lima tahun ini? Manakah sikap proaktif dan respons masyarakat terhadap pengembangan Kapet ini? Apa peranan Pemerintah Daerah Ngada dalam merealisasikan Kapet Mbay? Adakah kerja sama kondusif antara ketiga aktor pembangunan Kapet Mbay ini?
Pada tanggal 18 Juli 2003 yang lalu, saya sempat mengikuti seminar yang diorganisir oleh IGMAS (Ikatan Generasi Muda Mahasiswa Aesesa) Kupang di Mbay. Hadir dalam seminar ini unsur pemerintah, BP Kapet Mbay, para tokoh adat, tokoh masyarakat, aktivis LSM, cendekiawan dan masyarakat umumnya. Tema seminar adalah “Prospek Pengembangan Kapet Mbay Dalam Menghadapi AFTA 2003”. Sejenak merefleksikan makna tema seminar ini, yang muncul dalam mesin berpikirku adalah sebuah pesimisme. Alasannya sederhana saja, dalam usianya yang kelima Kapet Mbay masih berbicara tentang prospek atau masih mencari-cari bentuk idealnya. Hemat saya, berbicara tentang prospek berarti berbicara tentang idealisme. Apa yang mau kita capai melalui Kapet Mbay untuk masa mendatang. Prospek berarti pula harapan apa atau cita-cita tentang apa yang mau diraih dalam pengembangan Kapet Mbay di masa depan. Sesungguhnya yang terpenting adalah melihat dan mengevaluasi apa yang telah dibuat dan direalisasikan BP Kapet Mbay dalam pengelolaan Kapet Mbay selama lima tahun silam. Apa gunanya kita berbicara dan merancang masa depan tanpa mendasarkan diri pada kenyataan hari ini dan pengalaman hari kemarin? Aneh memang. Seolah-olah kita sengaja melupakan masa lalu dan masa kini Kapet Mbay yang penuh persoalan dan ketidakpastian. Mana mungkin kita membangun prospek dan dengan basis yang rapuh akibat hempasan berbagai gelombang persoalan? Asumsi seperti ini justru mendapat justifikasi dalam forum diskusi seminar bersangkutan. Yang terjadi saat itu adalah semacam sebuah pengadilan massa terhadap pemerintah dan BP Kapet Mbay. BP Kapet diadili dengan pertanyaan yang berkisar seputar persoalan Kapet Mbay. Manakah kerja BP Kapet dalam waktu yang relatif lama dengan dana sekian banyak jika dibandingkan dengan kenyataan di lapangan. Ini berarti telah terjadi mis management dalam mengurus Kapet Mbay. Salah siapa? Pengadilan massa dalam seminar itu mengindikasikan bahwa ada gap antara masyarakat dengan BP Kapet dan pemerintah. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari penyumbatan dan peredaman aspirasi dan aliran pemikiran masyarakat selama ini.
Bukannya mempersalahkan BP Kapet Mbay dan Pemda setempat serta membenarkan asumsi masyarakat. Tetapi dari fakta yang berkembang di lapangan dan dari pembicaraan selama seminar, saya dapat mengemukakan beberapa hal yang menjadi kendala dalam pengelolaan Kapet Mbay: pertama, patut saya mengucapkan terima kasih atas kinerja BP Kapet Mbay selama ini. BP Kapet telah bekerja maksimal, sejauh kesanggupan dan kemampuan dengan segala sasaran dan dana yang banyak tersedia walau hanya menuai hasil seperti sekarang ini. Ucapan terima kasih ini sangat beralasan karena mereka telah merumuskan langkah-langkah operasional Kapet Mbay dan mungkin sudah menjalankannya bahkan hingga kelelahan seperti melakukan promosi core business kepada investor, membuat pagelaran temu bisnis dengan pengusaha lokal dan nasional, mengikuti berbagai investment Roadshow, melobi investor-investor bermodal besar, melakukan rapat-rapat koordinasi dengan berbagai instansi sektoral di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten, memfasilitasi perizinan investasi. Walaupun akhirnya kita harus puas dengan fakta bahwa sampai saat ini jumlah investor yang berminat untuk berinvestasi di Kapet Mbay ada 44, dan 12 diantaranya telah menandatangani MoU, dan ternyata baru 4 investor yang sementara dalam proses merealisasikan investasinya. Inilah hasil bekerja selama lima tahun. Kelelahan para pengelola akibat jam terbang yang tinggi dalam pesawat atau mobil kita maklumi. Tapi, apakah mereka memaklumi dan menyadari kelelahan masyarakat yang menanti dengan penuh harap akan kehidupan yang lebih baik dengan hadirnya Kapet Mbay? Kedua, memahami alasan BP Kapet bahwa investor enggan menginventasikan modalnya di Kapet Mbay karena tidak didukung oleh sarana dan prasarana vital seperti jalan raya, listrik, air minum, telepon yang memadai (memprihatinkan). Pertanyaan saya, bila fakta di lapangan sudah demikian, mengapa BP Kapet berani melobi para investor? Hal ini merupakan sebuah logika pembangunan Kapet yang terbalik. Sebuah bentuk penghamburan uang negara. Program pembangunan yang gegabah. Seandainya dana yang banyak itu digunakan untuk pembangunan sarana fisik dan non-fisik yang mendukung pengembangan Kapet Mbay tentu saja ada manfaatnya. Kita boleh berani mengundang investor kalau saja kita sudah mempersiapkan diri baik fisik maupun sumber daya manusianya. Ketiga, salah satu keengganan para investor menanam modalnya di Kapet Mbay adalah persoalan tanah. Hal ini berkaitan langsung dengan masyarakat. Di satu pihak ada benarnya, namun saya berpikir keadaan yang mengkondisikan masyarakat mempertahankan haknya atau tanah adalah juga kegagalan BP Kapet dalam mensosialisasikan Kapet Mbay kepada masyarakat. Sebuah ironi bahwa kita sudah berani berbicara tentang prospek Kapet Mbay menyongsong AFTA 2003, sementara masyarakat sendiri masih bingung dan pusing berpikir tentang apa dan bagaimana Kapet Mbay itu. Lebih memprihatinkan lagi bahwa dalam usianya yang kesekian BP Kapet belum melakukan sesuatu yang berati untuk masyarakat. Kapet ini belum memberikan pengaruh nyata yang menyentuh kebutuhan masyarakat di wilayah Kapet. Rupanya BP Kapet lebih senang melobi investor di tingkat pusat maupun manca negara ketimbang turba ke masyarakat arus bawah untuk mengadakan sosialisasi dan menindaklanjutinya.
Dalam persoalan Kapet Mbay, masyarakat selalu menjadi kambing hitam. Di sana tengah terjadi upaya saling mempersalahkan. Namun, dalam teori kambing hitam biasanya yang kecil, lemah, tak berkuasa dan tak berdaya adalah mereka yang biasa dipersalahkan. Masyarakatlah yang selalu menjadi korban. Mereka menjadi korban janji-janji manis, korban keangkuhan para birokrat dan elitis yang enggan turba, korban akibat dosa para penguasa yang hanya mencari untung bagi dirinya sendiri dari sebuah proyek negara. Masyarakat Kapet adalah kormod (korban mode) para BP Kapet yang suka pelesir hingga mancanegara dengan uang negara. Pada tataran ini, sebenarnya pemerintah dan BP Kapet perlu berterus terang dan mengakui bahwa kegagalan Kapet Mbay adalah akibat penerapan logika pembangunan yang terbalik. Sikap keterbukaan ini perlu demi kontinuitas dan sustainabilitas Kapet Mbay. Mungkinkah ini terjadi di Kapet Mbay?







POLITIK KEPEDULIAN SOSIAL
(Kado buat penyaksian profetis Romo Frans Amanue, Pr
Oleh : Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 3/11/2003)


Pada hari Senin 24 Maret 1980, tersiarlah berita yang menggemparkan dunia dan mengejutkan banyak orang. Oscar Arnulfo Romero, Uskup Agung Ibu Kota San Salvador di Amerika Tengah, ditembak mati oleh pembunuh bayaran ketika sedang mempersembahkan ekaristi di sebuah rumah sakit kanker. Apa motif pembunuhan itu? Ada dugaan kuat bahwa pembunuhan itu berkaitan dengan suatu pertanyaan yang dilontarkan dua puluh empat jam sebelumnya. Waktu itu Uskup Romero menyerukan kepada tentara agar tidak mematuhi perintah untuk menghabisi rakyat sipil yang tidak bersenjata sebab perintah ini bertentangan dengan perintah Allah. Akibatnya, Uskup Romero dituduh mendalangi pemberontakan tentara dan akhirnya ia dibunuh. Inilah akhir yang tragis dari kehidupan seorang pembela kebenaran dan keadilan, sahabat kaum miskin dan tertindas.
Apa yang terjadi pada lebih dari dua dasawarsa lalu kini terulang lagi dalam kasus yang dialami Romo Frans Amanue, Pr. Memang ia tidak dibunuh seperti nasib yang menimpa Uskup Romero, tetapi ia sekarang justru sedang mengalami pembunuhan tidak langsung oleh penguasa setempat yang menuduhnya memfitanh, mencemarkan nama baiknya. Walaupun lokus dan masanya berbeda namun substansi persoalan tetap sama yakni karena concern pada kebenaran, keadilan, dan bisikan nurani, Romo Frans akhirnya digugat, diseret ke pengadilan. Sampai pada titik ini, kita perlu mempertimbangkan beberapa pertanyaan ini : Apakah yang harus dilakukan oleh kaum imam-religius ketika ia hidup dalam suatu struktur kekuasaan yang menindas, membungkam dan membohongi rakyat? Apakah melulu berkotbah tentang cinta kasih, pengampunan, keadilan, kebenaran dan keutamaan-keutamaan lain tanpa down to the earth, terlibat secara konkrit dalam perjuangan semacam itu? Sejauh manakah tanggung jawab etis mereka dalam situasi politik aktual?
Persoalan yang dialami Uskup Romero dan Romo Frans dalam arti tertentu telah menyeret mereka ke dalam medan pergulatan politik. Keterlibatan seorang imam religius dalam ranah politik selalu saja mengundang reaksi pro-kontra. Lantas kita bertanya, sikap apakah yang seharusnya diambil dalam hal ini? Apakah Romo Frans sudah menyeleweng dari tugas mewartakan injil, membimbing dan mempersatukan umat Allah? “Kalau anda bertanya kepada saya, mengapa Gereja berjuang melawan dosa, maka saya akan menjawab sebabnya adalah bahwa dewa kuasa dipuja dan bahwa kita mempunyai “itikad politis” untuk menghapus dosa. Uang dan modal dituntut secara egoistis demi kepentingan sendiri sehingga mengabaikan mereka yang mati kelaparan, kemiskinan, dan menderita, demikian kata Uskup Romero dalam salah satu kotbahnya. Saya yakin bahwa tindakan dan sikap yang diambil Romo Frans merupakan sebuah pencerminan sikap Yesus, Sang revolusioner tanpa granat dan peluru. Yesus beralih menuju tapal batas kaum miskin dan menderita. Jika keterlibatan Yesus terhadap rakyat kecil dan tertindas mempunyai akibat-akibat politis, maka para pengikut-Nya pun tak dapat menutup mata dan “cuci tangan” terhadap persoalan politik. Sebagai seorang gembala umat, Romo Frans tak mungkin diam. Sebab diam tak selamanya emas. Martin Luther King pernah berkata There comes a time when silence is betrayal (ada saatnya ketika diam adalah sebuah pengkhianatan). Bersikap diam terhadap situasi khaos dan absurd yang dialami masyarakat adalah pengingkaran keluhuran sekeping nurani dan suatu konspirasi dengan tirani. Diam adalah pengkhianatan atas kesadaran akan martabat dan nilai kemanusiaan. Romo Frans mengambil sikap sebaliknya. Bersuara! Berani menyuarakan aspirasi batin dan membela kepentingan kaum periferi-voiceless. Suara dan pernyataannya merupakan representasi dari begitu banyak suara lain yang tak mampu bersuara karena takut, cemas, dan gelisah pada keangkuhan, dan ketidakpedulian penguasa setempat. Sikap suci tangan terhadap politik adalah naif dan merupakan mekanisme penipuan diri.
Boleh jadi aksi yang dilakukan Romo Frans telah melahirkan stigmatisasi bahwa ia telah terlibat “politik praktis”, suatu hal yang tidak boleh terjadi dalam hidup seorang imam-religius. Mengkritisi persoalan ini, saya menyetir apa yang diuraikan J. Soedjati Djiwandono”, ….. partisipasi dalam kehidupan politik dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk. Orang dapat berpolitik praktis dengan ikut serta dalam usaha memperoleh kekuasaan politik. Hal ini dapat dilakukan baik untuk dirinya sendiri, mambantu orang lain atau partai yang didukungnya sesuai aturan main. Berpolitik praktis juga dapat dilakukan di luar lembaga negara/lembaga demokrasi bila mereka tidak menjawabi aspirasi dan akseptasi masyarakat/kelompok tertentu”. Sebuah sentilan kecil, apakah esensi politik praktis itu? Bila membedah term praktis, maka sifat dan arti yang sepadan adalah nyata, terlibat aktif, dan bergerak. Ini mengandaikan ada “politik teoritis” yang diam, kaku, pasif dan statis. Namun, ini bukan padanannya. Apakah ada? Apakah mungkin? Pada hemat saya, entah memperoleh kekuasaan secara langsung atau tidak, politik itu selalu praktis, berelasi dengan hal-hal yang praktis, nyata, terlibat, dalam persoalan massa dan berubah seturut zaman. Perbedaan politik praktis dan teoritis adalah sesuatu yang nirmakna. Ini adalah sebuah kontradiksi an sich. Sebab manusia yang dikelompokkan sebagai yang bukan praktisi politik adalah pemerhati sosial politik dalam masyarakat. Mereka pun adalah praktisi. Mereka bukan teoritis politik. Bila ingin membedakan politik dalam masyarakat maka pembedaan yang tepat menurut tujuan dan metodenya adalah politik kekuasaan dan politik kepedulian sosial. Politik kekuasaan berurusan dengan teknik dan organisasi untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya. Sedangkan mereka yang tidak terlibat dalam percaturan politik kekuasaan menghayati politik sebagai kepedulian sosial, sebuah tanggung jawab moral atas situasi masyarakat yang dihadapinya.
Sejauh manakah sikap imam-religius terhadap politik? Justru Nyerere (mantan Presiden Tanzania) mengungkapkan, “Kalau Gereja tidak secara aktif menentang struktur-struktur sosial dan organisasi-organsisasi ekonomis yang mentakdirkan manusia menjadi miskin, terhina, dan takluk, maka Gereja tak akan berarti lagi bagi manusia dan agama Kristen akan menyusut menjadi momok yang hanya mengesankan para penakut”. Sebuah ekspresi pernyataan yang menantang. Mengisyaratkan suatu sikap politis yang mesti bersikap terbuka terhadap situasi penindasan dan ketidakadilan yang terjadi. Ini berarti bahwa pewartaan kabar keselamatan mesti menyentuh situasi riil masyarakat yang disertai kesaksian dan keterlibatan nyata sekalipun berimplikasi politis. Mereka menyadari bahwa sikap cuci tangan terhadap politik yang berarti pro bonum commune adalah sebuah ilusi belaka. Mereka tidak mempunyai pilihan untuk berpolitik atau tidak berpolitik. Satu-satunya opsi adalah tujuan dan arah dari sikap politis adalah sikap yang sangat berbahaya karena menutup mata dan bahkan mengelabui keadaan masyarakat. Suatu blindness yang memungkinkan Gereja diperalat dan dituntun ke mana saja.
Romo Frans telah dan sedang memulai penyaksian profetisnya. Pernyataan dan sikap politisnya semata-mata untuk kepentingan semua orang, bukan untuk popularitas dan prestise dirinya sebagai pahlawan. Romo Frans konsekuen dalam menjalankan peran profeetisnya. Ia telah bersuara dan berjuang membebaskan nurani penguasa dari penyaliban oleh kepentingan diri dan kelompok. Teladan dan sikap politisnya perlu diteladani dalam situasi kebobrokan penguasa kita dewasa ini. Rakyat dan umat kita dewasa ini perlu diberdayakan terlebih menyangkut hak-hak politiknya yang hilang dan diabaikan penguasa. Sebagai manusia yang mencintai kebenaran, kita perlu mengupayakan praksis konsientisasi dalam masyarakat. Budaya bisu (silent culture), intimidasi, teror, depolitisasi dan spiral pembungkaman lainnya perlu disingkap. Masyarakat harus disadari bahwa ketidakadilan, penindasan, penipuan, pembohongan, korupsi adalah hal-hal yang nyata dan bukan rekaan fiktif belaka. Manakah opsi politis kita?



MEMBUDAYAKAN KRITIK
Oleh : Isidorus Lilijawa
(Expo NTT, 24-31/3/2006)



Beberapa saat lalu, kita mungkin kaget tatkala Wapres Jusuf Klla marah besar karena pembacaan puisi Prof. Winarno Suracmad pada HUT PGRI yang ke-60 di Solo. Kita juga heran ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang boleh dibilang sebagai pemimpin yang arig dan mempunyai kesabaran yang tinggi menjadi berang menghadapi berbagai kritikan atas kebijakan kepemimpinannya belakangan ini. Kritikan terkadang sangat menusuk perasaan dan merontokkan kokohnya rasionalitas. Sehingga orang merasa mesti mara dan berusaha dengan segala cara membentangi diri dari kritikan. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kritikan itu memang perlu bagi berjalannya suatu roda pemerintahan. Kritikan itu harus lahir dalam sebuah negara yang membaptis diri sebagai negara demokrasi. Demokrasi tanpa kritik adalah demokrasi semu. Pemerintahan tanpa kritik adalah pemerintahan yang bercorak otoriter.
Kritik adalah pesan komunikasi. Kritik bertujuan mengkritisi kebijakan atau tindakan seseorang atau lembaga baik formal maupun non formal sehingga bisa dilihat apakah tindakan itu sesuai dengan prosedur dan tata aturan yang berlaku atau justru penyimpangan dari ketentuan-ketentuan baku. Benar kata Presiden SBY, jika mau mengkritik, hendaknya disampaikan secara obyektif dan jernih. Tetapi sulit menilai sebuah kejujuran, juga tak mudah menetapkan sebuah masakah berdasarkan sudut pandang obyektif atau subyektif. Sejernih-jernihnya memandang apalagi menyikapi masalah, pasti ada perbedaan pandangan antara satu dan lain orang atau lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya. Di sinilah kita memerlukan kearifan dalam memahami kritik seabgao proses komuniaksi. Sebagai feedback atas pesan komunikasi, kritik menjadi back atas pesan komunikasi, kritik menjadi perlu bagi dinamika berbangsa dan bernegara. Saat ada perasaan tidak nyaman atas kebijakan pemerintah, lahirlah ketidaknyamanan. Dengan demikian lahirlah kritik. Jadi, kritik tidak lahir secara tiba-tiba, selalu ada persoalan yang mendahuluinya, yang butuh dikritisi, ditata ulang, direvisi lagi.

Adakah Budaya kritik?
Hanya segelintir orang saja yang bisa memainkan kritiknya secara terbuka, sebagaimana aksi baca puisi sang profesor di atas. Kebanyakan orang takut memberikan kritikaan, apalagi kepada atasan langsung. Kritik ditabukan karena bisa berakibat fatal: Pada nasib dan pekerjaan atau kelangsungan hidup. Orang yang mencari aman biasanya tidak merasakan kritik sebagai kebutuhan. Lebih baik diam sambil menikmati kenyamanan. Kebanyakan kita meniru pila ini. Bahkan tak jarang para anggota dewan yang adalah wakil rakyat kita yang semestinya berperan sebagao pengontrol, pengawas, (pengeritik) pemerintah lebih sering mencari posisi aman. Daya kritisnya luntur saat berhadapan dengan penguasa. Untuk apa mengontrol dan mengeritik jalannya pemerintah kalau kedudukan itu telah diraih dengan segala kemudahannya? Bisa-bisa terjadilah apa yang sekarang sering disebut “perselingkuhan politik”. Lembaga eksekutif berselingkuh dengan legislatif, maka lahirlah anak KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Adakah budaya kritik dalam kehidupan nasyarakat kita? Bila ditelusuri ke belakang, kritik sering ditabukan dalam masyarakat. Seorang anak tidak boleh mengeritik orang tuanya. Seorang pelajar dilarang mengeritik gurunya. Seorang mahasiswa tidak baik kalau mengeritik dosennya. Seorang pegawai menjadi kikuk kalau mengeritik atasannya. Alasanya, yang dibuat oleh orang tua, guru, dosen atasan adalah benar. Dan karena benar, maka mesti ditaati tanpa diskusi, keadaan ‘society’ yang lebih ‘gemeinschaft’ (kolektif dengan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, harmoni bersama), arus kritik seringkali diabaikan dan ditabukan karena akan merusak tatanan kebersamaan itu. Pola laku yang lebih ‘gessellinschaft’ (martabat: manusia dijunjung tinggi karena ia manusia) lebih sering dibangkucadangkan. Harmono bersama menjadi tujuan walaupun untuk itu mesti mengorbankan banyak hal termasuk gairah dan hasrat untuk mengeritik karena ada sesuai yang tidak beres yang perlu dikeritik. Di sinilah kita sering menjumpai ideologisasi (perilaku membela sebuah ide/pandangan dengan pembenaran-pembenaran khas Indonosia, kita orang timur, semangat kekeluargaan, bicara sebagai bapak-anak, kita bicara baik-baik dll), tetapi hanya dipakai untuk kedok pelangsungan kepentingan politis si penguasa sendiri dalam melanggengkan kekuasaanya. Ideologisasi ini mengalami pencanggian persuasive budaya rekayasa yang mendominasi dan membekukan daya kritis apabila ia berada dalam sebuah kultur budaya yang tidak terbuka. Pencanggihan persuasive yang mengiring sikap dan pikiran kritis ‘society’ secara ‘sophisticated’ disebut Antoniio Gramsci sebagai proses hegemoni yang dilakukan penguasa untuk meninabobokan ‘society’ hingga tumpullah daya kritis mereka (Mudji Sutrisno, Langkah-langkah Peradaban).
Georgy Lucaks melihat budaya persuasif ini sebagai proses reifikasi (sengaja membuat jalur kultural yang membius hingga menumpulkan kesadaran kritis masyarakatnya). Daya kritis yang meledak-ledak akan mudah ditumpulkan oleh pesona mammon, jabatan dan materi. Penguasa biasanya pandai menjinakkan orang-orang yang kritis dan vokal dengan berbagai cara mulai dari metode persuasif hingga menggunakan kekerasan (coersif-apparatus). Ada beberapa fenomena yang kelihatan ketika penumpulan kesadaran kritis itu tengah berlangsung: pertama, ekspresi ketidakberdayaan yang menggejala manakala menghadapi KKNnya, penguasa, birokrasi. Kita lebih memilih diam, mengamankan posisi, ya apa boleh buat!
Kedua, reifikasi menyeruak dalam model pendidikan, sistem rekayasa social politis yang tidak toleran atau yang membungkam secara halus dan kasar artikulasi-artikulasi kesadaran kritis dalam berbeda pendapat. Menyimak fakta ini, Lucaks menawarkan resep penghancur reifikasi yakni melalui proses-proses ‘sekolah’. Paulo Freire mengedepankan konsep ‘konsientisasi’. Apakah telah dan sedang menjadi bagian dari pembelajaran kita dalam menghidupi budaya kritik?

Hak untuk tahu
Kritik adalah bagian dari dinamika hidup demokrasi. Dengan kritik masyarakat diharapkan berpartisipasi dalam menjaga keutuhan demokrasi. Tanpa kritik demokrasi berubah menjadi tirani. Karena itu, kritik yang dimatikan akan menghambat demokrasi. Alasannya, pertama, kritik itu berciri dialektis, artinya baik oleh tanggung jawab si pelaku kritik maupun kebesaran hati si penerima kritik. Proses kritik memberi sintesis perbaikan atau penyempurnaan untik proses bernegara. Dialektika, dialog adalah bagian dari demokrasi. Di sana bukanlah dominasi kekuasaan yang menentukan tetapi kebenaran yang diraih setelah menjalani proses antitese. Kedua, keberanian untuk melakukan konflik argumentative secara terbuka sehingga secara rasional dihasilkan kemenangan bagi yang paling mampu mempertanggungjawabkan argumennya berdasarkan fakta, pembuktian, penelitian, penalaran, dan bukan berdasarkan intimidasi kekuasaan atau penakut-nakutan dengan menggunakan tangan besi atau tangan senjata. Pertanggungjawaban argumen secara rasional adalah prinsip demokrasi yang sejati. Demokrasi tidak dibangun di atas kultur irasionalitas (fenomena sakralisasi demokrasi) yang pada akhirnya hanya menjadi kedok dan topeng bagi manipulasi dan aksi buruk penguasa.
Mengkritik adalah bagian dari dinamika komunikasi demokrasi dan komunikasi yang transparan menjadi syarat terwujudnya pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, pejabat negara maupun pemerintahan tidak harus alergi terhadap kritikan yang datang dari masyarakat jika ingin menjadikan negara ini lebih baik maju dari atau menjadikan lembaga pemerintahan bersih dari unsur-unsur destruktif. Seharusnya, para pemimpin kala dikritik tak perlu resah menanggapi kritikan. Justru seharusnya berterima kasih atas kritikan dan berempati kepada yang mengkritik. Terima kasih karena kebijakannya direspons dan memahami perasaan (empati) sekaligus refleksi batin mengapa pemerintah/kepemimpinan saya harus dikritik. Tidak perlu merasa kebakaran jenggot kalau kritik itu memang benar dan sesuai dengan fakta yang tengah dihidupi. Sepedas dan setajam apa pun hendaknya menuju tatanan pemerintah berbangsa dan bernegara yang lebih sempurna.
Kritik juga harus dipahami sebagai sebuah respons rakyat dan program serta tindakan nyata pemerintahnya. Pemerintah yang baik harus memberikan hak bagi rakyatnya untuk tahu (right to know). Pemerintah tentunya memerlukan masukan dari rakyatnya tentang persoalan yang dihadapinya. Jika ada guru dengan puisi bermakna kritis, jangan dikikis. Jika ada warga mengkritik dengan menjelekan bangsa sendiri dan mengagungkan bangsa lain, mestinya dikaji secara lebih mendalam. Kita paham, pekerjaan rumah SBY-JK amatlah berat. Tugas para pemimpin kita pun tidak ringan dalam geliat dunia yang terus berubah ini. Di tengah krisis kepercayaan multidimensi sangat dibutuhkan keberanian bersikap dan bertindak. Segala kritik hendaknya menjadi bagian dari masukan untuk mendorong terciptanya sebuah keputusan dan kebijakan yang menguntungkan semua pihak. Orang-orang yang menjadi sasaran kritik tak perlu marah resah, dan gelisah atas pedasnya sebuah kritikan. Dalam dunia komunikasi politik, mendengarkan adalah bagian terpenting yang harus dilakukan. Dengarkan suara mereka, dengarkan surat rakyat secara cermat, karena suara rakyat sejatinya adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei). Dampak lanjutan dari mendengarkan adalah berikan penjelasan secara jujur, memberikan informasi yang obyektif dan menanggapi kritikan dengan kepala dingin dan jernih. Adalah kewajiban dan merupakan sebuah keharusan bagi penguasa/para pemimpin agar memenuhi hak rakyat untuk tahu. Dengan komunikasi yang transparan, rakyat dan semua komponen pelaku kritik menjadi tahu kebijakan seperti apa yang ditempuh pemerintah selanjutnya dan apa yang harus dibuat untuk memperbaiki kondisi sebelumnya.


MEMBANGKITKAN MEMORIA PASSIONIS
(Catatan Kecil Mengenang Hari Pahlawan)
Oleh : Isidorus Lilijawa
(Pos Kupang, 11/11/2005)


Sebagai kontinuitas sejarah, setiap tahun kita memperingati hari pahlawan tepatnya setiap tanggal 10 Nopember. Memperingati dan mengenangkan momentum hari pahlawan bisa berbeda tampilannya dari tahun ke tahun, namun unsur kontinuitasnya tetap sama yakni momentum ini mesti diperingati karena bernilai historis. Kelaziman yang oleh perputaran waktu menjadi kemestian akan menghantar kita pada sebuah kebiasaan. Kita biasa memperingati hari pahlawan setiap tahun. Kebiasaan ini tanpa disadari mematikan proses pemaknaan yang kontekstual. Akhirnya, hari pahlawan dirayakan hanya sebagai sebuah moment yang mau tak mau mesti diperingati, karena memang sudah demikian dalam catatan sejarah bangsa kita, sudah terekam baik dalam ingatan kolektif kita. Apakah aspek kontinuitas ini dapat dipatahkan? Hemat saya, momen hari pahlawan tahun ini mesti menjadi momen diskontinuitas sejarah. Artinya, proses peringatan dan pengenangan hari pahlawan mesti diberi arti baru. Makna yang hendak dibangun adalah menghidupkan kultur anamnetis dengan membangkitkan memeria passionis.
Bertolak dari konsep di atas, mengenangkan dan memperingati hari pahlawan ternyata tidak cukup dengan seremonial apel bendera. Jasa-jasa para pahlawan tidak tuntas terbayar dengan mengabadikan nama mereka pada berbagai jalan dan lorong-lorong kota. Juga tidak dengan penganugerahan begitu banyak piagam penghargaan dan medali penghormatan yang disepuh emas dan perak. Begitu banyaknya patung para pahlawan bangsa maupun penjasa tanah air yang berdiri di pusat maupun sudut kota belumlah berarti jika patung-patung tersebut hanya menjadi momen masa lalu. Sebuah masa yang bagi kebanyakan orang saat ini tertalu jauh untuk dipikirkan dan tak penting untuk direnugkan. Apa artinya sebuah patung mendiang Gubernur NTT El Tari (sambil memegang anakan tanaman) yang berdiri di halaman kantor Gubernur NTT jika yang dilihat adalah sisa-sisa kejayaan masa lalu tanpa upaya membangkitkan makna untuk kekinian dengan menanam dan terus menanam pohon sebanyak mungkin?
Pada tataran ini, yang mesti dibicarakan berkaitan dengan memperingati hari pahlawan adalah nilai-nilai kepahlawanan bukan tampilan fisik yang terpatri dalam patung-patung, medali, nama-nama jalan yang mungkin mulai rapuh, pudar, tak terawat dan bahkan terlupakan. Berbicara mengenai nilai-nilai kepahlawanan, maka defenisi arti pahlawan mesti dipahami. Pahlawan dalam konteks masyarakat Yunani adalah orang-orang yang bertahan hingga akhir. Pahlawan dalam konteks ini bukan saja mereka yang gugur di medan perang, tetapi siapa saja yang membuat kehidupan menjadi lebih berarti karena ketahanan dan ketekunan, kesetiaan, konsistensi, keteguhan komitmen berhadapan dengan begitu banyak tantangan hidup. Nilai-nilai ini bisa menjadi nilai-nilai kehidupan. Untuk sebuah bonum commune bila ada upaya pengenangan kembali. Upaya kita saat ini adalah mengangkat nilai-nilai itu dari lumpur sejarah. Membebaskannya dari beban sejarah dengan memori yang tercerahkan.

Memorial passionis
Adalah Walter Benjamin yang merumuskan teori ingatan yakni memorial passionis (ingatan akan penderitaan). Teori ini membantu manusia modern menyadari pentingnya ingatan bagi kesadaran politisnya. Tanpa ingatan itu, manusia hanya akan menjadi seperi robot: seorang makhluk yang inteligens tetapi tanpa patos dan moral. Ingatan selalu berkaitan dengan masa lalu. Sebagai masa lalu, ia terbuka terbuka terhadap masa kini dan masa depan. Kedudukan masa kini dan masa lalu itu sama pentinya. Dalam arti tertentu, kekinian adalah tempat untuk mengkonstruksikan kembali sejarah. Secara umum setiap masa lalu adalah sumber berbagai inspirasi dan daya kekuatan bagi masa sekarang. Tapi secara khusus ‘ada masa lalu tertentu’ yang mempunyai daya dan inpirasi yang luar biasa bagi masa kini, yakni masa lalu dari mereka yang menderita dan tertindas. Jadi masa lalu adalah inspirasi dan daya bagi perjuangan masa kini. Jika masa lalu, tepatnya masa lalu mereka yang menderita dan tertindas beserta isinya ‘ditarik’ kemasa kini maka terjadilah apa yang oleh Benjamin disebut sebagai ‘penyelamatan masa lalu’. Penyelamatan ini hanya bisa terjadi oleh penjungkir balikkan masa kini.
Untuk menerobos kepekatan penderitaan masa lalu, kita membutuhkan ingatan. Terhadap pengelaman masa lampau, spontan orang dituntut pertama-tama untuk menggunakan ingatannya lebih daripada pikiran dan pengetahuannya. Dalam filsafat plato, anamnesis (ingatan) adalah pengertian pokok untuk menerangkan proses pengetahuan manusia. Di tengah kemacetan rasionalitas manusia dan di tengah ketertindasan manusia sebagai subyek pengetahuan. Benjamin ingin mengembangkan sebuah epistemologi baru, yakni epistemologi ingatan.
Memahami sejarah dengan ingatan berarti memahami sejarah sebagai sesuatu yang mempunyai relevansi bagi subyek yang mengingatnya di masa kini. Dan sejauh ingatan itu menyangkut penderitaan di masa lampau, maka penderitaan itu adalah peristiwa yang membutuhkan kompensasi serta penyelesaian di masa sekarang. Ingatan menjadikan penderitaan masa lalu ‘terbuka’ bagi penyelematan. Ingatan bukan sekedar ‘jembatan’ untuk menyambungkan diri pada masa lampau. Ingatan adalah pengetahuan yang paling sesuai untuk mengaktualisasikan masa lalu yakni masa lalu mereka yang menderita.

Hari Pahlawan dan memorial Passinis
Mencari titik temu antara peringatan hari pahlawan dan memorial passionis adalah sebuah kemestian untuk menjadikan pengenangan hari pahlawan lebih bermakna. Mengingat hari pahlawan, serta merta seluruh budaya memori mengantar kita pada nostalgia pada berpuluh-puluh tahun silam. Pertempuran 10 November di Surabaya dan pekik pertempuran yang dikumandangkan Bung Tomo hanyalah salah satu tonggak dari serpihan-serpihan tonggak sejarah lain bagai penamaan hari pahlawan. Artinya, pahlawan dalam konteks ini tidak saja dibatasi pada mereka yang gugur di medan demi membela negara kesatuan Republik Indonesia atau mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan penjajah. Masih ada begitu banyak orang yang disebut pahlawan karena peran dan perjuangannya bagi kebaikan banyak orang. Para pahlawan anonim inilah yang selalu ini jauh dari ingatan kolektif kita sebagai satu bangsa. Kita oleh tekanan sistem dan kekuasaan tertentu sering mengalami fenomen ‘ hilangnya pengalaman’.
Benjamin melihat bahwa kehilangan pengalaman ini sebagai sebuah fakta sosialogis. Ia beranggapan bahwa kita semua disingkirkan dari perspektif integratif atas yang lampau ‘yang lampau’ dan ‘yang sekarang’. Kehilangan pengalaman ini menuntut kita untuk masuk dalam sebuah ziarah pencarian tanpa henti. Ziara demi sebuah ‘nostalgia sadar’ akan mereka (para pahlawan) yang menderita dan disingkirkan masa lampau. Momen hari pahlawan adalah saat yang baik untuk mengenang, mengingat, mencari dan menemukan mereka yang hilang dari memori kita.
Ada pahlawan yang teridentifikasi. Mereka gugur sebagai pemberani di medan laga. Tetapi ada pahlwan yang tersisih. Mereka gugur karena keberaniannya mengobrak-abrik kemampanan. Mereka gugur sebagai orang-orang yang kalah dan menderita demi sebuah harapan kemenangan dan kejayaan kita saat ini. Berusahalah untuk memutar pita memori dan bayangkan ada begitu banyak pejuang kemanusiaan yang ‘dimatikan’ oleh sistem yang otoriter. Ada cukup sastrawan yang diberangus hak hidupnya karena menyuarakan kebenaran melalui karya-karya sastranya. Tokoh-tokoh kritis, pejuang kebenaran dan penyuara keadilan dihantar ke balik jeruji besi dan bungkam dengan berbagai cara. Pramudya Ananta Tour, Munir, Baharudin Lopa, Romo Sandyawan, Uskup Belo, masyarakat Kali Code, warga Bantar Gebang adalah sebagian dari begitu banyaknya figur pahlawan yang ada di negeri ini. Kesakitan, penderitaan, penindasan, dan azab yang mereka alami adalah memori yang penuh selalu dikenang. Walau dalam terminologi penguasa mereka sering disebut pembangkang, pengkhianat, perintang kemapanan, namun jasa dan amal baik mereka, data kritis dan suara kebenaran mereka menepatkan mereka sebagai pahlawan.
Semuanya memang hanya masa lalu. Namun, masa lalu mereka menjadi inspirasi untuk perjuangan begitu banyak orang saat ini. Masa lalu mereka adalah daya picu positif-konstruktif bagi keterlibatan kita saat ini dalam berbagai aspek kehidupan. Membangkitkan memorial passionis adalah upaya untuk mengawetkan berbagai pengalaman pahit masa lalu demi menata sebuah kehidupan yang lebih baik di hari ini. Masa kini adalah saatnya untuk merekonstruksi sejarah. Ini hanya dimungkinkan bila kita ‘melek sejarah’. Kemelekan sejarah hanya dimungkinkan oleh ‘nostalgia sadar’ yang kita miliki. Momentum Hari Pahlawan perlu dipahami dalam bingkai diskontinuitas sejarah. Karena di sana kita sedang berada dalam proses pengawetan sejarah (sejarah yang palsu) yang kontinyu tetapi upaya mematahkan sejarah yang tercipta demi kelanggengan sistem tertentu.
Salah satu pola pematahan sejarah adalah dengan menghidupkan kultur anamnesis. Ini berarti ingatan akan perjuangan, penderitaan dan ketahanan para pahlawan di masa lampau mesti menjadi bagian dari ingatan kolektif maupun ingatan individu kita. Tanpa menghidupkan masa lalu, hidup akan menjadi begitu enteng dan mapan dan kita akan terjaring dalam jaring-jaring idealisme masa depan yang sempit. Membangkitkan memorial passionis akan melecut gairah solidaritas dan keterlibatan kita pada mereka yang menderita dan kalah dalam hamparan hidup ini. Kultur anamnesis yang mau kita hidupkan bukan lagi dalam bentuk pemugaran monumen, peremajaan patung-patung, pemberian nama jalan, penganugerahan berbagai atribut kehormatan. Kultur anamnesis sebagai bagian dari pematahan sejarah tidak lain adalah keterbukaan untuk menggali berbagai nilai kepahlawan yang terpancar dari mereka yang telah gugur sebagai bunga bangsa maupun mereka yang gugur sebagai tokoh-tokoh yang ‘dikalahkan dan dimatikan’ sistem.






TULUS SEPERTI MERPATI, CERDIK SEPERTI ULAR
(Menyoal Etika Politik Pejabat Negara)
Oleh : Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 5/10/2005)


Politik bukanlah suatu bidang yang luput dari berbagai kekerasan, kesalahan, dan manipulasi. Politik sebagai ajang merebut, mempertahankan, dan melanggengkan kekuasaan setidak-tidaknya rentan terhadap berbagai manipulasi yang merugikan kepentingan umum (bonum commune). Karena itu, terhadap politik dikenakan penilaian-penilaian etis dan moral. Lantas, di manakah tempat etika dalam dunia politik?
Politik adalah proses humanisasi kekuasaan selama kekuasaan itu masih dikontrol dan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia. Politik sendiri dinilai secara selektif oleh etika. Etika menolong dan mengawasi politik agar tidak menjadi alat dan hamba kekuasaan, melainkan tetap menjadi mengontrol, tuan, dan regulator suatu kekuasaan. Politik bergerak di bawah payung hukum dan bergerak di atas dasar-dasar argumentatif. Maka upaya politik adalah mempersempit ruang gerak irasionalitas, menyingkapkan yang terselebung, demistifikasi isu-isu melalui klarifikasi dan transparansi. Tanggung jawab publik adalah kredo politik (Amatus Woi, Filsafat Sosial Politik [ms]). Etika politik mesti menjadi nada dasar bagi semua keterlibatan politik masyarakat, secara khusus para pejabat negara yang akhir-akhir ini mendapat begitu banyak sorotan justru karena mengabaikan perspektif etis-moral dalam berpolitik.
Berkaitan dengan relasi antara politik dan etika, Kant menulis, “politik berkata: ‘karena itu jadilah cerdik seperti ular’, namun moral (etika) menambahkan sebagai syarat yang membatasi ‘dan tulus seperti merpati’.” Kant yakin bahwa ular dan merpati dapat hidup berdampingan. Seorang filsuf yang lebih waspada akan menyatakan, ular dan merpati akan berbaring bersama, tetapi merpati akan sulit tidur. Etika politik berjalan dalam semangat ini.
Secara lebih tajam, kita dapat katakan bahwa berpolitik secara etis berarti berlaku tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. Artinya, politik dan etika mestinya berjalan beriringan, saling mengontrol dan mengawasi. Namun, dalam praksisnya, tak jarang terjadi polarisasi yang cukup besar antara politik di satu pihak dan etika di pihak lain. Seringkali para politisi (pejabat negara) berpolitik tanpa etika dan acapkali mereka pun beretika tetapi tak punya taring politis.

Politik tanpa etika
Kinerja politisi banyak mengalami sorotan. Karena itu, orang berasumsi bahwa politik itu kotor. Isme-isme yang disebutkan di bawah ini merupakan sumber politik tanpa etika, yang kerap kali dilakonkan dalam pentas perpolitikan di Indonesia. Imbuan etis apa pun tak banyak gunanya, karena ketumpulan atau kebusukan politik sudah demikian mengotori kebeningan nurani. Andakan perkembangan etis para politisi diukur menurut skema Lawrence Kohlberg, maka akan nampak sebagai berikut:
Pertama, materialisme praktis, verbal, dan ritual. Banyak pejabat negara memang religius dan mengakui peran Tuhan dalam hidup, jadi tidak mengakui materialisme filosofis. Namun, dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup, “etsi Deus non daretur” (seolah-olah Allah memang tidak ada).
Kedua, pragmatisme: verbal, memang sering mengucapkan slogan-slogan yang menjanjikan dan merdu kedengarannya (seperti saat kampanye, saat turba ke kampung-kampung). Namun, dalam kenyataan menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan berlawan dengan semboyan-semboyan yang diucapkan sebelumnya.
Ketiga, oportunisme: obral janji sebelum pelantikan, tetapi kemudian habis-habisan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri tanpa memedulikan kepentingan umum, khususnya nasib rakyat kecil. Inilah logika komersialisasi jabatan, bila jabatan diperjualbelikan, maka pejabat cenderung merebut kembali dana yang telah dikeluarkannya untuk memperoleh jabatan itu, ditambah dengan keuntungan yang diharapkannya.
Keempat, formalisme: tampil memukau seperti tokoh panutan, tetapi hanya secara munafik dan pura-pura tanpa hati nurani yang terusik. Yang penting bukan keyakinan pribadi, melainkan citra baik dalam masyarakat, entah citra itu mencerminkan kebenaran yang de facto ada atau tidak.
Kelima, Positivisme hukum: bukan kebenaran dan keadilan, melainkan kepentingan pribadi dan kelompok yang dijadikan tolak ukur. Bukan argumen melainkan kekuasaan yang menentukan. Hal ini dikukuhkan dengan praktik impunity (dengan memanfaatkan celah-celah hukum, bahkan terang-terangan) dalam penafsiran dan penerapan hukum.

Etika tanpa politik
Hidup kita setiap hari selalu dipertautkan oleh rangkaian nilai etis. Dalam keluarga, masyarakat, hingga dalam kehidupan berbangsa, ada begitu banyak prinsip etis yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahkan sulit dimungkiri bahwa bangsa kita terlampau banyak memproduksi berbagai aturan, hukum dan perudang-udangan dengan maksud agar warganya dapat berlaku etis dan bermoral. Namun, fakta bertutur bahwa seperangkat nilai yang menjiwai tatanan hidup sosial itu sering kehilangan makna karena cuma menjadi deratan huruf mati tanpa penjiwaan dalam aktivitas hidup setiap hari. Ini berarti etika kita melulu individual. Penghayatan nilai-nilai etis itu masih berorientasi pada kepentingan “sang aku”. Aku dan kepentinganku masih menjadi prioritas utama dalam segala proses pengambilan keputusan, dalam setiap kebijakan publik. Hal ini mau menggambarkan kondisi etika tanpa politik. Etika tanpa politik menyata dalam penghayatan nilai-nilai etis yang tidak berorientasi pada kepentingan umum, bonum commune, melainkan melulu individual.
Pola laku para pejabat negara, pejabat pemerintahan, para politis pun tak luput dari kondisi ini. Acap kali mereka kehilangan gairah politis, mengalami disorientasi prinsip-prinsip politik. Setelah memegang jabatan dan kuasa, naluri politik yang mengutamakan kepentingan orang-orang kecil, komitmen politik untuk mengangkat nasib para buruh, para pegawai rendahan, para petani kecil, justru menjadi tumpul. Mereka lebih betah mengurus “ rumah tangganya” sendiri. Toh, kuasa dan jabatan itu sudah ada dalam genggaman. Untuk apa peduli dengan orang lain (kaum voice of the voiceless, “suara kaum tak bersuara”). Pada tataran ini, bukan esensi politik probono publico (untuk kepentingan umum) yang menjadi target dan prioritas pelayanan, melainkan menumbuhkembangkan benih-benih etika individualistis. Apajadinya bila para pejabat negara menjadi apatis dan tidak peduli lagi pada kepentingan rakyat banyak? Fakta ini mesti menyadarkan kita bahwa kekayaan nilai-nilai etis, tradisi etis yang mengalir dalam diri, dan etika hidup bersama jangan dihayati secara sempit dalam ruang batin yang kekecilan, tetapi patut menjadi inspirasi bagi keterlibatan politis. Para pejabat negara mesti terampil berpola laku “tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular” dengan penghayatan politik yang bernada dasar etika dan pengalaman etika yang bernilai komunis. Para pejabat negara yang diharapkan adalah mereka yang tidak saja tulus ataupun cerdik. Karena kalau tulus saja, maka boleh jadi mereka akan menjadi kuda beban dan kuda tunggangan oleh kepentingan-kepentingan individu, kelompok dan golongan. Demikian pun cerdik saja belum cukup. Karena kecerdikan cenderung mengarahkan orang pada upaya manipulasi, pembohongan publik, pemutarbalikan kata fakta tentang kebenaran. Tetapi, ketulusan dan kecerdikan mesti selalu bersama, saling melengkapi dan mengandaikan agar mereka yang tulus tidak mudah dijadikan kuda tunggangan berbagai kepentingan pribadi/kelompok dan mereka yang cerdik tidak berubah menjadi penipu, koruptor dan perekaya problem.
Para pejabat negara mesti terampil berpola laku “tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular” demi penghayatan politik yang bernada dasar etika dan pengalaman etika yang bernilai komunis. Para pejabat negara yang diharapkan adalah mereka yang tidak saja tulus ataupun cerdik. Karena kalau tulus saja, maka boleh jadi mereka akan menjadi kuda beban dan kuda tunggangan oleh kepentingan-kepentingan individu, kelompok, dan golongan. Demikian pun cerdik saja belum cukup. Karena kecerdikan cenderung mengarahkan orang para upaya manipulasi, pembohongan publik, pemutarbalikkan fakta tentang kebenaran. Tetapi, ketulusan dan kecerdikan mesti selalu bersama, saling melengkapi dan mengandaikan agar mereka yang tulus tidak mudah dijadikan kuda tunggangan berbagai kepentingan pribadi/kelompok dan mereka yang cerdik tidak berubah menjadi penipu, koruptor dan perekayasa problem.




POLITIK HATI NURANI DAN HATI NURANI POLITIK
(Catatan Pasca Pilkada)
Oleh : Isidorus Lilijawa
(Pos Kupang, 25/8/2005)

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) di beberapa kabupaten di NTT telah usai. Pilkada telah melewati serangkaian proses yang menyita banyak waktu, tenaga, ongkos dan pengorbanan. Selama proses kampanye setiap paket telah mengumbar program-program unggulannya, menjejali rakyat dengan janji politik yang atraktif dan prospektif. Setelah semua proses itu terlewati, kini tibalah saatnya bagi paket terpilih (bupati dan wakil bupati terpili) untuk merealisasikan semua program kerja, janji-janji dan komitmennya yang sempat mengudara selama proses kampanye itu. Merealisasikan janji bukanlah hal yang mudah apalagi ketika kekuasaan itu sudah berada dalam genggaman. Karena tatkala kuasa itu sudah menjadi milik dan berada dalam genggaman, maka akan ada begitu banyak kepentingan yang mengalir ke sana, akan begitu banyak orang yang merasa berjasa atas kesuksesan itu menuntut imbalannya. Pada titik inilah komitmen sang pemimpin benar-benar diuji: apakah tetap berorientasi pada janji-janji dan kepentingan populis ataukah mengingkari komitmennya dengan menjadikan kuasa itu sebagai sarana meraih sebanyak mungkin harta, kekayaan, dan terlibat dalam praktik KKN?
Sebagai pejabat publik yang terpilih melalui mekanisme politis, para pemimpin daerah ini mempunyai tanggung jawab politik, tanggung jawab untuk kepentingan populis (pro bono publico). Ini berarti kekuasaan yang diperoleh menjadi tanda berkat untuk melayani masyarakat. Kuasa yang diterima mengisyaratkan pertanggung jawaban publik. Kuasa itu milik rakyat, yang dipercayakan kepada para pemimpin daerah untuk mengelolah pemerintahan dan menata kehidupan bersama menjadi lebih baik. Berkaitan dengan itu, hemat saya dalam mengelolah pemerintahan dan mengimplementasikan program-program kerjanya, para pemimpin daerah mesti memperhatikan hal-hal ini.


Politik hati nurani
Dr. Karmel Husein, seorang ahli fisika dan mantar Rektor Universitas Ibrahim, Kairo menulis: “di dalam daya-daya kodrati dan inteleknya manusia masih memiliki hati nurani, suatu percikan terang ilahi. Terang inilah yang menunjukan kebaikan dan kejahatan. Ketika manusia kehilangan hati nurani, tiada sesuatu pun yang lain yang dapat menggantikannya. Karena hati nurani manusia adalah obor dan terang ilahi. Tanpa itu manusia tidak memperoleh bimbingan. Bila manusia tidak memiliki hati nurani sebagai pembimbingnya, maka segala kebajikan akan runtuh dan berubah menjadi kejahatan”.
Apa yang diungkapkan oleh Dr. Karmel ini menjadi bahan refleksi dan pedoman arah dalam bertindak. Hati nurani merupakan guru moral dan instansi tertinggi dalam pengambilan suatu keputusan, terlebih keputusan menyangkut hayat hidup orang banyak, keputusan publik. Ini berarti, setiap tindakan, tutut kata, sikap dan perilaku manusia hendaknya terpancar dari tanur nuraninya. Hati nurani berperan sebagai kategori imperatif. Ia memutuskan apa yang baik dan apa yang buruk. Nurani menuntut orang untuk amar ma’ruf nahi mungkar (melakukan yang baik dan menolak yang jahat). Dari pemahaman tentang nurani ini, kita dapat melihat urgensitas hati nurani dalam politik, khususnya dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik yang berimplikasi pada kepentingan banyak orang. Politik membutuhkan nurani untuk menyingkap keketorannya dan menghalau “kebusukannya”. Hati nurani merupakan “conditio sine qua non dalam proses politik yang bertujuan bonum commune.
Politik hati nurani terlepas dari kerangka politik formal dan politik institusi yang melembaga dalam kehidupan berpolitikan setiap hari. Politik hati nurani berbasiskan pengabdian pada kemanusiaan. Orang yang menjalankan aksi politik ini bergerak atas dasar panggilan kemanusiaan. Ada nuansa spontanitas dalam laku politik semacam ini. Politik hati nurani menyata dalam aneka bentuk kepeduliaan sosial sebagai suatu perjuangan politis. Panggilan nurani dan tanggung jawab politis menuntut sang pemimpin untuk keluar dari kemapaman dirinya sendiri, dari batas-batas diri dan kelompok pendukung, dari ghetto kampung halaman dan keluarga menuju kepentingan lebih banyak orang, kepentingan masyarakat luas.
Hati nurani menjadi syarat mutlak untuk membangun sprit kepemimpinan dewasa ini. Karena sebagaimana kata C Wright Mills, dunia perpolitikan dewasa ini dipenuhi dengan the higher immorality- di mana terjadi konspirasi imoralitas kaum elite yang diyakini merupakan ancaman serius terhadap demokrasi. Mills memakai istilah ini ketika menggambarkan hilangnya kepekaan moral-moral insesibility di kalangan para pejabat publik. Immoralistis itu mencakup penyelenggaraan pemerintahan yang tidak bersih, manipulasi biaya-biaya perjalanan, manipulasi opini publik, korupsi politik dan berbagao praktik ilegal secara sistemik dan terlembaga yang kemudian menodai demokrasi.

Hati nurani politik
Hati nurai politik berkaitan dengan sejauh mana politik membuka diri bagi intervensi nurani dalam seluruh dinamika keberdaannya. Hati nurani politik mengisyaratkan :satu hal yakni sungguh pun politik berkaitan dengan usaha yang mulia memperjuangkan kesejahteraan imim, memajukan masyarakat dan melaksanakan keadilan sosial, namun cara-cara berpolitik kerapkali menghalalkan segala cara. Fakta politik mengidikasi secara jelas bagaimana landasan moral, nilai-nilai luhur, hati nurani, seringkali tidak menjadi perhitungan dalam membuat kebijakan dan aplikasi politik. Orang lebih terpikat dan tergoda dengan berbagai praktik KKN yang menguntungkannya. Untuk menggolkan kepentingannya, mereka boleh saja mengabaikan suara nurani dan suara-suara rakyat yang telah mengantarnya ke tampuk kekuasaan.
Fakta hidup setiap hari menunjukan bagaimana orang berpolitik dengan menghalalkan segala cara. Dunia politik menjadi arena perebutan kekuasaan yang jauh dari itikad baik untuk mengabdi dan melayani. Ketika belum menjadi pemimpin, mereka mengeluarkan suara-suara kritisprofetis terhadap berbagai ketimpangan yang ada. Namun, ketika masuk dalam lingkungan kekuasaan, suara-suara kritis itu perlahan-lahan hilang dan tak lagai bergema. Kekritisan mereka seakan tak berdaya menghadapi empuknya singgasana kekuasaan yang diraih. Dan ini berbahaya. Karena ketika daya kritis itu tumpul, tatkala suara profetis itu terbungkam, komitmen awal mengabdi rakya kecil pun Cuma menjadi masa lampau. Komitmen itu hanya menjadi nostalgia saat berhasil mengelabui rakyat dengan iming-iming dan janji-janji serta program-program yang terkesan spektakuler dan populis. Meminjam istilah Featherstone, dunia perpolitikan kita menjadi dunia ‘seolah-olah’ (virtual reality). Demokrasi katanya nepotisme, praktinya. Divestasim katanya memperkaya kantong pribadi, praktiknya. Menangkap koruptor, katanya – konspirasi dengan pelaku, praktiknya.
Satu hal yang mesti diperhatikan oleh para pemimpin daerah adalah upaya mentahtakan kembali hati nurani pada singgasana terhormatnya sebagai ‘guru moral’, meminjam istilah Henry Newman. Hal ini harus menjadi prioritas mengingat hati nurani senantiasa memastikan pilihannya pada nilai-nilai kebaikan, kejujuran dan kebenaran. Mendengarkan nurani jeli menjadi senjata utama melawan kecenderungan nurani manusiawi yang menarik dan menggoda manusia melakukan berbagai praktik politik tercela. Karena itu, saya menyetujui buah pemikiran Michel Foucalt yang menggagas apa yang disebut political spirituality (kerohanian politik). Politik in se tak dapat melepaskan diri dan jaring-jaring norma etis moral. Moralitas politik harus menyatakan dalam pelayanan, pengabdian dan keberanian menolak koaspirasi yang merugikan rakyat. Kerohanian politik menjadi murni bila ada respek terhadap suara hati. Wahai para pemimpin (bupati/wakil bupati terpilih), rakyat sedang menanti realisasi janji-janji dan program-program kerja anda. Komitmen saat kampanye tak bernilai tanpa realisasi sini kini. Mulailah sekarang dan buktikan bahwa anda memiliki komitmen populis, bukan saya pandai bermain dalam tataran politik wacana.





TRAGEDI PENYALIBAN NURANI
Oleh : Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 23/12/2003)

Peristiwa Sabtu Kelabu 15 November 2003 yang lalu masih membekas di hati seluruh masyarakat pencinta kebenaran dan keadilan. Ada begitu banyak tanggapan, komentar, pendapat, asumsi mengenai peristiwa tersebut dititik dari berbagai sisi. Kebanyakan asumsi mempertanyakan sejauh mana hati nurani para pengambil keputusan dan aparat penegak hukum (hakim dan jaksa) berfungsi. Berbicara mengenai hati nurai dalam peristiwa Larantuka ini memang sangat beralasan sebab seandainya kontrol hati sebagai suara Allah yang mengacu pada kebenaran dan keadilan di dengar serta intuisi nurani masih pekan, maka saya berpikir bahwa tragedi memilukan ini tidak perlu terjadi. Walau hanya merupakan sebuah pengandaian, namun yang mau dikatakan adalah bahwa menempatkan hati nurani pada takhta yang sebenarnya merupakan sebuah keharusan dalam menjalankan roda pemerintahan atau dalam mengambil setiap keputusan yang berimplikasi pada kepentingan umum (pro bono publico).
Berpikir dan merenung pascatragedi 15 November di Larantuka mengantar saya pada sebuah kenyataan mendasar dari peristiwa itu yakni kematian nurani. Yang terjadi dalam aktus di gedung Pengadilan Negeri Larantuka saat itu adalah sebuah aktus penyaliban nurani. Suatu hati rupanya tidak berperan. Keputusan yang dibuat tidak mengabdi pada kepentingan orang-orang tertentu. Dari peristiwa kita melihat bahwa memperjuangkan kebenaran sesungguhnyatidak mudah. Karena kebenaran yang tidak sebenarnya bisa saja dimanipulasi sekian demi pembenaran pihak-pihak tertentu yang jelas-jelas bermasalah dan bermasalah. Kebenaran dalam peristiwa ini takluk dbawah kuasa mamon. Tragedi penyaliban nurani ini sebenarnya mirip dengan apa yang pernah sang Guru Agung Yesus Kristus alami 2000 tahun silam. Dr. Karmel sussin, seorang ahli fisika dan mantan Rektor Universitas Ibrahim Kairo, mengatakan bahwa kejahatan terbesar dalam sejarah dilakukan oleh orang Yahudi dan Romawi karena mereka tidak mengikuti suara hati nuraninya,. Padahal menurutnya hati nurani merupakan suatu kategori imperatif. Apa yang sebenarnya terjadi pada hari jumad Agung?. Pada hari itu orang Yahudi bersekongkol dengan orang-orang Romawi untuk menyalibkan Isa Al-Masih, sehingga wafat-Nya pun dihancurkan. Karena ketika memutuskan untuk menyalibkan Dia, sesungguhnya itu merupakan keputusan untuk menyalibkan hati nurani manusia dan memadamkan terangnya. Mereka tak menyadari bahwa ketika manusia kehilangan hati nurani tiada sesuatu pun yang lain yang dapat menggantikannya. Karena hati nurani manusia adalah obor dan terang Illahi. Tanpa itu manusia tidak memperoleh bimbingan. Bila manusia tak memiliki hati nurani sebagai pembimbingnya maka segala kebajikan akan runtuh dan berubah menjadi kejahatan, intelek akan berubah menjadi kegilaan.
Tragedi penyaliban nurani para peristiwa Sabtu Kelabu 15 November 2003 yang lalu dapat saya bandingkan dengan peritiwa penyaliban norani orang-orang Yahudi dan Romawi. Subtansi persoalannya sama dengan aktual yakni kebenaran dimanupulasi. Yesus dihukum dengan tuduhan palsu bahwa Ia akan mendirikan kerajaan manusiawi yang tertentu saja sangat merugikan dan mengancam kemapanan kuasa kaum Yahudi. Rm. Frans Amanue, Pr. Dihukum karena menolak kebenaran yang dikebiri penguasa setempat. Maka, baik orang-orang Yahudi 2000 tahun lalu maupun para penegak hukum yang terlibat dalam produksi fonis atas Rm. Frans di Larantuka baru-baru ini merupakan oknum-oknum yang beroperasi dalam alur yang sama. Konspirasi antara penguasa dan penegak hukum (hakim, jaksa) merupakan bukti dari kematian nurani itu. Dalam hal ini, kebenaran selalu dikorbankan untuk kepentingan tertentu. Ketika fonis tak berdasarkan fakta itu dijatuhkan, di sana telah terjadi pemutarbalikan fakta kebenaran dan fakta hukum. Kebijaksanaan aparat penegak hukum berubah menjadi ketidakadilan.
No money, no honey. Tanpa uang tak ada kejujuran. Ungkapan ini berlaku dalam dunia peradilan kita. Kekuasaan yang diamanatkan kepada para aparat penegak hukum pun telah dimanfaatkan secara tak profesional. Mereka yang berkuasa akan diperlakukan ‘lain’ dalam hukum ketimbang para penyuara kebenaran, mereka yang hanya berperan sebagai lalat-lalat liar yang mengganggu ketenangan penguasa dengan kontrol sosial dan suara profetisnya. Tatkala uang menjadi tataran dalam mengambil dan menjatuhkan keputusan dalam pengadilan, kita pun mempertanyakan sejauh mana moralitas politik mereka yang terlibat dalam menghasilkan keputusan. Pembungkaman terhadap nurani merupakan tanda dari lemahnya moralitas politik. Ketiadaan moralitas politik terbukti dari begitu mudahnya kebenaran ditukar dengan uang. Pada hal bagi seorang politisi bermoral atau pejabat publik bermoral, menerima uang yang ‘tidak wajar’ merupakan suatu hal yang haram dan tidak diinginkan yang seharunya ditolak.
Pada tataran ini, sangat perlu bila kita kembali pada fungsi kontrol nurani. Michel Founcault, seorang filsuf Prancis menggagas apa yang ia namakan political sprituality (kerohanian politik). Ini berarti bahwa politik tidak begitu saja melepaskan diri dari jaring-jaring norma etis-moral.. Ini berarti bahwa politik tidak begitu saja melepaskan diri dari jaring-jaring norma etis-moral. Kerohanian politik tidak begitu saja melepaskan diri dari jaring-jaring norma etis-moral. Kerohanian politik berarti bahwa urusan politik bukan semata-mata urusan profan, yang terpisah dari hal-hal rohani. Kerohanian politik sangat penting dengan menempatkan hati nurani sebagai instansi tertinggi bila pengambilan keputusan. Karena bisikan nurani merupakan pancaran cahaya Illahi, maka mendengarkan suara hati merupakan prasyarat mutlak dalam membuat setiap keputusan. Kerohanian politik ini teraplikasi dalam penghayatan moralitas politik dan kemauan politik para pejabat politik. Moralitas ini harus menyata dalam pelayanan, pengabdian, tanggung jawab, dan keberanian untuk menolak konspirasi untuk mengorbankan kebenaran dan keadilan serta mengorbankan rakyat sendiri. Kerohanian politik menjadi murni bila masih ada respek dan penghargaan terhadap suara batin. Nurani mestinya ditahtahkan dan diposisikan sebagai raja bijaksana atau ‘guru moral’ mengingat suara hati senantiasa memastikan (menentukan) pilihannya pada nilai-nilai kebaikan, kejujuran dan keadilan. Mendengarkan nurani secara jeli menjadi senjata utama melawan kecenderungan naluri manusiawi yang mudah terlena pada mamon dan tertular penyakit politik uang. Mari kita memaknai tragedi penyaliban nurani 15 November 2003 lalu dengan mentakhatakan kembali nurani pada singgasana kebesarannya, yakni tahta ‘guru moral’.




DEMOKRASI “ZOMBIE”
Oleh : Isidorus Lilijawa
(Dian, 22/8/2004)


Di negara Khatolostiwa ini demokrasi sedang datang bagaikan fajar merekah. Malah merekahnya demokrasi di Indonesia bagaikan suatu keajaban. Seorang wartawan Jerman, Jochean Buchsteiner menyebut kelahiran demokrasi di Indonesia sebagai Asiatische Erlogsstory, kisah sukes di Asia. Apa yang diungkapkan sang jurnalis ini sangat tepat adanya. Bila kita menoleh catatan sejarah, selamat tiga dasawarsa Indonesia bagaikan kamar gelap di Asia Tenggara. Penguasanya adalah diktator militer. Tiba-tiba pecah revormasi dan terjadilah suatu peralihan kekuasaan yang terjadi di luar dugaan banyak orang, berlangsung dengan relatif damai. Sebagaimana penderitaan yang dialami wanita yang hendak melahirkan anaknya, proses kelahiran demokrasi di Indonesia ini pun diwarnai dengan kesakitan, ketegangan, dan kecemasan. Demokrasi adalah “anak yang mahal”. Jalan menuju demokrasi merupakan rute yang paling sulit dilalui sekaligus membutuhkan biaya tiket yang mahal. Mungkinkah kini bayi demokrasi itu telah dan sedang kita besarkan, dewasakan dengan asupan makanan kehidupan demokrasi yang bergizi?
Pemenang hadiah nobel untuk ilmu ekonomi tahun 1998 Amartya Sen pernah ditanya pendapatnya tentang perkembangan di dunia yang dianggapnya terpenting selama dua milenium. Ia menjawab bahwa sistem demokrasi adalah perubahan yang paling fundamental. Bagi Amartya Sen, kelaparan, kekerasan terjadi karena demokrasi tidak berjalan. Kebebasan berbicara dibungkam dan sistem multi partainya tidak berfungsi. Kelaparan bukan oleh kekerungan makanan tetapi oleh kekurangan demokrasi dan kemiskinan bukan disebabkan oleh kekurangan penghasilan (lack of in come) tetapi oleh kekurangan kemampuan (lack of capabilities) yang tidak dikembangkan justru oleh kurangnya demokrasi. Seperti keyakinan Amartya Sen, kita percaya bahwa demokrasi masih sangat kita butuhkan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran di Indonesia. Namun, apakah keyakinan itu nyata dalam apliksi praktis hidup berdemokrasi kita? Rm. Mangungwijaya pernah menanyai seorang mahasiswa Amerika : Apa artinya peristiwa pemilu presiden USA? Fun, Just for fun jawabnya. Bukan ekspresi demokrasi? Manabisa demokrasi, praktis hanya bisa memilih antara dua partai yang itu-itu saja. Wah, kalau itu kurannya, Indonesia tentu lebih demokratis dari USA. Tidak ada negara yang demokratis, ujarnya skeptis. Pertanyaan untuk kita: apakah dengan sistem multi partai yang kita miliki, Indonesia telah sungguh menjadi sebuah negara yang demokratis? Pertanyaan lanjut, apakah di Indonesia demokrasi itu masih mungkin? Maksudnya demokrasi dalam pengertian asli yakni pemerintahan atau sistem pengambilan keputusan, penataan negara, tidak oleh a happy few sedangkan a servile second tinggal menelan apa yang diputuskan dari atas, tetapi oleh rakyat.
Demokrasi di Indonesia sering diwarnai oleh sejumlah ‘dagelan politik’, tingkat eksentrik dan jenaka para penguasa di atas panggung politik. Momen politik keseharian mempertontonkan badut-badut politik yang bersandiwara untuk mencari kepentingan sendiri atas nama demokrasi. Demokrasi bukan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tetapi pemerintahan yang mengajimatkan kesaktian kata demokrasi sebagai mantra untuk menikmati demokrasi. Kata demokrasi mengalami sakralisasi seperti frasa pembangunan pada waktu yang lalu yang dijadikan basis dan batu loncatan untuk melakukan eksploitasi, pemerasan dan penaklukan terhadap rakyat. Paul Treanor (2001), telah menulis tentang why democracy is wrong, di mana berujar bahwa demokrasi dapat menjadi sebuah kebohongan salah satu ketika ia dimitoskan dan didewakan. Sakralisasi demokrasi ini menyata dalam paradoks kedaulatan rakyat yang terjadi di Indonesia. Paradoks ini diwarnai oleh dua arus berbeda yang datang dari arah yang sama, pertama, arus penguatan otoritas elit dan birokrasi, terutama yang diperlihatkan oleh ekstensifikasi tapal batas kekuasaan kalangan elite politik. Dalam posisi seperti ini, rakyat justru diperlakukan sebagai objek penderita. Kedua, arus penyempitan ruang partisipasi masyarakat. Adanya pembatasan kebebasan rakyat dalam berorganisasi, bersuara dan berpendapat merupakan bukti minimnya partisipasi rakyat dalam mengaktualisasikan hak-hak politiknya sebagai pencerminan sikap demokrasi. Dua arus ini hemat saya merupakan suatu ancaman yang sangat serius bagi kelangsungan hidup bangsa yang bersendikan pada konsep kedaulatan rakyat. Konsep kedaulatan rakyat bukan berarti sempitnya ruang gerak rakyat dan meluasnya dominasi pejabat publik tetapi harus sebaliknya. Secara teoritis suatu kekuasaan pasti akan senantiasa menebarkan kotrol untuk melanggengkan kekuasaan. Kontrol tersebut bahkan bersifat ideologis sehingga rakyat ‘ditundukkan’ tanpa harus menggunakan coersif appanis. Semua praktik kontrol ini didasarkan pada asumsi bahwa state merupakan institusi tunggal yang mempunyai hak mengatur dan mengendalikan rakyat atau pemegang kapling ruang sosial politik yang ada. Dalam situasi demikian, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi justru berada dalam posisi bergaining politik yang sangat lemah bahkan cenderung dilemahkan dan direndahkan. Dalam konteks inilah pembicaan tentang demokrasi menjadi begitu penting dan mendesak. Agenda demokrasi secara prinsip adalah mengembalikan kedaulatan rakyat sehingga terjadi proses negoisasi yang proposional, simetri dan adanya pembatasan mekanisme kekuasaan yang jelas.
Sebagai kata Dr. Daniel Sparinga, sistem demokrasi kita menghasilkan demokrasi zombie karena ada badan tidak punya jiwa. Untuk mengembalikan demokrasi perlu diberi roh, nilai dan etika. Demokrasi yang kita bangun tidak boleh dilepaspisahkan dari ajaran nilai dan etikanya. Dalam hal ini bisa kita katakan bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem atau struktur saja tidak cukup.
Demokrasi itu mesti menjadi bagian dari hidup dan kehidupan kita. Ia mesti terlebur dalam pola laku dan pola tindak yang kaya nilai, moralitas, etika dan roh. Demokrasi mesti menjadi tradisi. Bahwa secara normatis, prinsip-prinsip demokrasi itu teraplikasi dalam perudang-udangan yang ada boleh dilihat sebagai satu kemajuan yang signifikan, namun apakah dalam implementasinya telah terjamin suatu format demokratisasi yang konkrit.
Demokrasi zombie ini mesti diganti dengan hidup, yang akrab, yang memiliki roh kerakyatan, memiliki etika dan nilai-nilai hidup, praksis hidup berbangsa dan bernegara kita memantulkan kondisi demokrasi yang berat sebelah, mengutamakan struktur dari pada substansi. Demokrasi Cuma menjadi suatu slogan kosong sebuah kebanggaan hampa.
Ketika masih ada korupsi, pelecahan hak-hak asasi masyarakat, kecurangan pemilu, kesenjangan yang besar antara kaya dan miskin, eksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan pribadi, penindasan terhadap rakyat Aceh, para bupati menjadi raja-raja baru yang feodal dan lorup perselingkuhan legislatif dan eksekutif pembungkaman suara-suara kritis, hukum memihak mereka yang berduit, hak-hak rakyat diberangsur, adakah nilai demokrasinya di sana? Rupanya terlalu dini kita menyematkan kebanggaan hampa pada arti sebuah negara demokrasi.




TIBO, CS DAN HUKUMAN YANG USANG
Oleh : Isidorus Lilijawa
(Timex, 7/9/2006)

Gelombang protes segenap komponen masyarakat berkaitan dengan eksekusi mati Tibo, cs terus mengalir. Fenomen ini menegaskan bahwa hukuman mati bukanlah sebuah hukuman hukuman yang perlu diterima Tibo, cs. Aksi penolakan dan berbagai gelombang protes itu menyadarkan kita bahwa hukuman mati bukanlah sebuah harga mati. Hukuman mati perlu dipertimbangkan dalam bingkai humanitas universal. Ia perlu didiskusikan dan bahkan mesti ditiadakan. Hukuman mati telah diwacanakan di banyak negara oleh para ahli hukum, filsuf, teolog dan para ilmuwan sosial bahkan aktual dalam perbincangan masyarakat awam di warung-warung kopi hingga pangkalan-pangkalan ojek. Toh, pertanyaan pokok tetap sama: apakah hukuman mati dibolehkan? Apakah hukuman mati itu perlu? Apakah Tibo, cs pantas dihukum mati?
Rekan Jejak Hukuman Mati
Hukuman mati sudah dikenal pada zaman umat Ibrani Kuno, dengan apa yang disebut Lex talionis, yakni suatu kerugian harus ditebus dengan denda atau retribusi yang sama nilainya. Dalam bahasa sehari-hari esensi hukum ini adalah mata ganti mata, gigi ganti gigi. Dalam umat Ibrani kuno itu., hukum ini disebut juga hukum Hammurabi, karena hukum I tu diberlakukan pada masa pemerintahan Raja Hammurabi. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukumam mati adalah zinah, penghinaan terhadap Tuhan, mengutuk ayah atau ibu, melakukan incest, pemerkosaan, pelanggaran hukum hari Sabath dan praktik sihir. Cara eksekusi yang paling lazim adalah si tertuduh dirajam atau dilempari bati sampai mati. Dalam dunia Yunani kuno pun dikenal hukuman mati. Socrates, misalnya dieksekusi mati dengan minum semangkok racun atas tuduhan bahwa ia mempraktikkan agama baru. Hukuman Romawi pun mengenal hukuman mati. Tapi dengan hukuman mati dimengerti tidak saja sumsum supplicium (kematian), melainkan juga jenis-jenis hukuman yang mempengaruhi secara serius status (caput) warga negara, misalnya pembuangan atau pengasingan.
Di Inggris dalam abad ke-13, semua jenis kejahatan tanpa pandang bulu diancam dengan hukuman mati, kecuali kecurangan ringan dan pencurian barang-barang yang tak seberapa merugikan. Menjelang akhir abad ke-18, antara lain di bawah pengaruh Gereja dan pemikiran filsafat Bentham tentang hukuman, jenis kejahatan dengan ancaman hukuman mati semakin dikurangi. Dalam tahun 1838, hanya pembunuhan dan pengkhianatan pada raja dan negara diancam hukuman mati. Inggris menghapus hukuman mati pada tahun 1965. selain Inggris banyak negara telah menghapus hukuman mati sebagai pidana pokok. Argentina tahun 1921, Australia (di empat negara bagian) tahun 1922-1968, Austria tahun 1950, Belanda tahun 1870, Belgia tahun 1867, Israel tahun 1954, Vatikan tahun 1969. Pada tahun 1976, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa hukuman mati tidak merupakan suatu “hukuman yang kejam dan tidak biasa” (cruel and unusial punishment). Sampai sekarang masih beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang belum menghapus hukuman mati. Ancaman hukuman mati pun hanya diberikan kepada para pembunuh berencana. Cara eksekusi yang biasa dipakai adalah electrocution, eksekusi di kursi listrik. Di Asia Tenggara, Malaysia, Singapura, dan Indonesia, terkenal sebagai negara-negara yang masih melaksanakan hukuman mati.

Hukum yang Usang
Di negara kita Indonesia, hukuman mati diakui oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 140 (3) yang menyatakan : “Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun”. Sedangkan pasal 340 berbunyi : barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Pasal-pasal tentang pidana mati tersebut dan juga seluruh KUHP, sebenarnya merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch-Indie yang diberlakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda (Indonesia) sejak tahun 1918. padahal di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1970. Lantas, ada apa dengan hukuman Indonesia? Indonesia masih memakai produk hukum yang telah usang. Lebih gawat lagi, Indonesia yang telah masuk sebagai salah satu negara yang mengakui ratifikasi PBB mengenai HAM, kok masih menerapkan hukuman mati. Sangat kontradiktoris. Di satu pihak negara berkewajiban menghormati HAM dan menegakkan demokratisasi HAM di negeri ini, di lain pihak negara mencaplok hak hidup warganya dengan hukuman mati. Aneh kan?
Diskursus tentang hukuman mati di Indonesia mulai merebak dalam ruang publik ketika Kusni Kasdut dan Hengky Tupanawael menjalani eksekusi pidana mati. Ada yang menyetujui bahwa penjahat semacam itu patut dihukum mati. Tetapi sebagian masyarakat justru mempertanyakan dasar pembenaran hukuman tersebut yang tidak memberikan kesempatan kepada penjahat untuk berubah menjadi manusia yang baik. Reaksi masyarakat tersulut lagi ketika pada akhir tahun 1987, di Krawang Jawa Barat, dua terpidana mati yakni Liong Wie Tong (Lazarus), 52 tahun dan Tan Tian Tjoen, 63 tahun dieksekusi mati. Perdebatan dan reaksi sengit muncul dari berbagai kalangan. Hukuman mati dinilai tidak adil dan tidak manusiawi, karena eksekusi dilaksanakan sesudah kedua terpidana mendekam dalam penjara selama 25 tahun. Apalagi selama masa tahanan itu mereka telah memperlihatkan perilaku yang benar-benar bertobat dan ingin menjadi manusia yang baik. Kita ingat terpidana mati asal Kupang, Gerson Pandie, dkk yang berbeda tahun silam mengalami hal yang sama, dieksekusi mati setelah belasan tahun mendekam dalam penjara. Satu dua tahun terakhir ini, figur Tibo,cs menjadi topik yang aktual berkaitan dengan hukuman mati yang segera dijalaninya. Protes masyarakat sangat keras terdengar di mana-mana karena dalam kasus hukuman ini, Tibo, cs dikenakan tuduhan palsu atas berbagai aksi pembunuhan yang melibatkan mereka. Sementara, Tibo, cs tetap berkeyakinan pada kebenaran bahwa mereka tidak membunuh. Bahkan mereka mengajukan novum (saksi-saksi baru) yang harus diteliti lagi oleh pihak pengadilan dan membeberkan 16 nama pelaku yang sebenarnya terlibat dalam kerusuhan Poso. Kesaksian mereka tak didengar, dan Tibo, cs tetap dijerat dengan pasal hukuman mati. Aneh memang, tetapi itulah hukum Indonesia yang takluk pada kepentingan politik, ekonomi dan SARA orang-orang yang berkuasa dan berkapital.
Diskusi kaum Abolisionis Hidup dalam budaya yang memberikan penghargaan tinggi terhadap hidup dan martabat manusia menjadikan hukuman mati sebagai hal yang kontroversial. Betapa tidak, dalam hukuman yang sama dipatok baik larangan untuk membunuh maupun perintah hukuman mati. Kaum abolisionis mewakili kelompok orang-orang yang menolak hukuman mati karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Landasan pikir mereka, pertama, hukuman mati tidak dibenarkan karena bertentangan dengan hak untuk hidup, yaitu suatu hak yang fundamental, absolute, dan luhur yang dimiliki oleh setiap manusia dan karena itu harus dihargai bahkan pada seorang pembunuh. Kedua, melawan klaim proposionalitas yang dianut kaum retributivis, kaum abolisionis berpendapat bahwa dalam kasus pembunuhan, proposionalitas dan keadilan tidak mesti berarti harus ada hukuman mati, karena kehidupan dua orang bisa sama sekali berbeda menurut berbagai faktor penting, seperti umur, kondisi tubuh, status sosial, dll. Klaim retributivisme tentang kesamaan nilai manusia sebagai dasar prinsip proposionalitas semestinya mengenal batas tertentu. Ketiga, argumen yang paling furdamental dari kaum abolisionis melawan hukuman berdasar atas keyakinan tentang keluhuran atau kesucian hidup (the sanctity of life). Keluhuran hidup dipahami; Pertama, hidup itu berasal dari Allah pencipta dan manusia tak berhak mencabutnya. Kedua, keluhuran hidup adalah hak untuk hidup dan hak atas kehidupan yang dilindungi. Ketiga, keluhuran hidup berarti adanya muatan nilai yang bermakna intrinsic, tak terbatas, tak terbandingkan. Bagi kaum abolisionis, hukuman mati sama sekali bertentangan dengan pengakuan terhadap keluhuran nilai hidup manisia.

Vonis Tibo,cs dan Sikap Kita
Eksekusi mati terhadap Tibo,cs tetap tidak dapat dibenarkan sekalipun ditinjau dari sudut pandang utilitarianisme yang melihat hukuman itu sebagai model penjeraan maupun retribusivisme yang melihat hukuman yang adil bagi seorang pembunuh. Sebelum Tibo,cs benar-benar diproses sesuai hukum yang seadil-adilnya, hukum yang sebenar-benarnya, hukum yang murni tanpa dibalut kepentingan politik, kapital dan harga diri, maka eksekuti mati terhadap Tibo,cs adalah sebuah penyesatan dan pembohongan hukum, sebuah penistaan negara terhadap hak hidup manusia. Eksekusi mati terhadap Tibo,cs bukanlah jawaban bagi kebutuhan rasa keamanan masyarakat yang terganggu. Justru rasa kenyamanan masyarakat terganggu dengan vonis hukuman mati itu. Tibo,cs bukanlah orang yang bersalah. Ada novum dan 16 orang pelaku baru yang perlu diusut. Tibo,cs hanyalah saksi, bukan pelaku. Dengan adanya, vonis mati terhadap Tibo,cs adalah bentuk perhilangan nyawa para saksi kunci. Vonis mati ini tidak melahirkan efek penjeraan orang-orang yang tak bersalah. Karena Tibo,cs adalah bagian dari the innocent, dan masyarakat yang tak bersalah justru dilukai rasa keadilannya. Dalam koteks teori retributivisme, hukuman mati bukanlah hukuman yang adil dan proposional bagi Tibo,cs. Hukuman mati bukanlah retribusi yang layak dari kejahatan mereka. Karena proses pengadilan masih harus terus berjalan untuk membuktikan kebenaran saksi dan bukti baru sendiri memproses para pelaku yang baru. Tibo,cs dikenakan stereotipe penjahat dan pembunuh oleh sistem hukum yang diabolis, padahal mereka jelas tak bermasalah. Karena itu, nilai hidup Tibo,cs sebagai subjek yang bebas dan otonom harus diakui dan dilindungi, bukan malah dijadikan sebagai kambing hitam.
Sikap kita terhadap eksekusi mati Tibo,cs menjadi jelas yakni menolak eksekusi ini. Nilai yang diperjuangkan adalah keluhuran dan kesucian hidup. Tibo,cs sebagai orang-orang yang tak bermasalah mesti mendapat perlakuan yang adil secara hukum. Rasa kemanusiaan kita tergugah oleh perlakuan hukum yang tak manusiawi ini. Karena itu, sudah saatnya hukuman mati di negara ini dihapus, karena hanyalah sisa-sisa usang produk hukum kolonial Belanda yang tak terpakai lagi. Negara kita memiliki pancasila yang mengutamakan penghormatan terhadap Tuhan sebagai sumber hidup, penghargaan terhadap manusia sebagai insan yang bermartabat. Mengapa perilaku hukum kita jauh dari pengalaman dan penghayatan pancasila ini? Jawaban yang jelas mesti terungkap bahwa tidak perlu dad hukuman mati bagi Tibo,cs. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang sengaja dijadikan kambing kurban dalam sebuah proyek kepentingan.



PEMIMPIN DAN ISME- ISME
(Catatan Untuk Para Pemimpin Di Negeri Ini)
Oleh Isidorus Lilijawa
(Timex, 11/9/2006)


Menjadi pemimpin adalah idaman setiap orang. Kita mungkin saja pernah bermimpi menjadi pemimpin yang hebat, pemimpin yang disegani semua orang, pemimpin yang beribawa, pemimpin yang bermoral dan pemimpin yang sukses menyejahterakan rakyatnya. Kisah sukses adalah akhir bahagia dari kiprah seorang pemimipin. Karena itu, kita tentu tidak ingin bermimpi menjadi seorang pemimpin yang gagal, pemimpin yang otoriter, pemimpin yang ditinggalkan pengikutnya, pemimpin yang korup, pemimpin yang mengakhiri sisa hidupnya dalam pejara. Ini mimpi-mimpi kita. Namun, dalam kenyataan setiap hari, kursi kepemimpinan, tanpak kekuasaan tidak begitu mudah menjadi bagian dari mimpi-mimpi itu. Jangan heran bila ada orang yang cenderung memakai jalur pintas, jalan kotor seperti intrik, teror, uang suap, manipulasi suara, neko-neko demi meraih jabatan atau posisi tertentu. Menjadi pemimpin saat ini memang tidak mudah. Apalagi menjadi pemimpin yang bermoral, pemimpin yang jujur, adil dan benar. Moralitas kepemimpinan menjadi catatan tersendiri yang perlu terus dipertanyakan dari para pemimpin kita saat ini, dalam level mana pun.
Berbicara mengenai pemimpin tak dapat lepaspisahkan dari moralitas. Moralitas adalah modal dasar kepemimpinan. Moralitas kepemimpinan mesti melekat dalam diri seorang pemimpin dan menjadi bagian dari pola laku, sikap, tutur kata, dalam keseluruhan hidupnya. Kita memang acapkali terkecoh dengan moralitas artifisial, moralitas dadakan yang ditampilkan para calon pemimpin dan pemimpin. Orang akan berjuang menunjukan diri sebagai orang yang bermoral, rapi menutupi cacat celanya, tampil sok peduli sesama selama dia berjuang untuk memperoleh kursi pemimpin atau tampuk kekuasaan dan jabatan tertentu. Setelah sukses meraih jabatan, moralitas pun sirna. Keaslian mulai muncul sebagai orang-orang yang bermasalahan, orang yang pernuh intrik busuk dalam hidupnya. Tidak heran bahwa moralitas palsu sering menjadi trade mark orang-orang yang merebut kursi kepemimpinan dan tampak kekuasaan. Moralitas pun dengannya bisa menjadi mejadi bahan tertawaan, semacam topeng yang dikenakan saat menampilkan sebuah aksi pantomim si atas pentas. Ia hanya berfungsi menutupi keaslian dari para pelakunya. Moralitas pun hampir mempermainkan peran yan sama, hanya sebagai topeng yang menutupi kemunafikan dan kebobrokan diri para pemimpin itu.
Mencari sosok pemimpin yang bermoral dalam masyarakat saat memang sulit. Para pemimpin kita, orang-orang yang sedang berjuang menjadi pemimpin atau memperoleh jabatan tertentu selalu mengikuti kecendurungan beberapsa isme berikut ini. Pertama, verbalisme. Para calon pemimpin dan pemimpin biasanya adalah orang-orang yang pintar beretorika, pandai bermain dengan kata-kata. Pemaparan visi dan misinya meyakinkan. Apa lagi ditunjang oleh penampilan yang kalem, neces, terkesan populis. Pilihan kata pun menarik dan mempesona. Ada yang berkata : do you want change, that’s me. Siapa yang ingin perubahan, pilihlah saya. Ternyata setelah dipilih dan menduduki kursi kepemimpinan, hanya kemunduran yang menjadi prestasinya. Lembaga yang dipimpinannya menjadi tak terurus dan terkontrol. Nama besar lembaga perlahan-lahan redup karena berbagai perubahan ala sang pemimpin yang sok tahu semuanya. Orang-orang yang mesti dilayani pun terabaikan dan selalu merasa tidak tenang. Pemimpin model ini memang pintar berkata-kata, namun sulut merealisasikan kata-katanya menjadi sebuah berkat bagi orang-orang yang dilayaninya. Kedua, pragmanism. Para pemimpin biasanya berpikir dari aspek prakmatis, menguntungkan atau tidak untuk kepentingannya bukan untuk kepentingan rakyat banyak. Aspek lain dari prakmatisme adalah seorang pemimpin suka bermain dengan slogan-slogan. Ada pemimpin yang setelah dilantik langsung menempelkan slogannya di mana-mana, seperti: Action pseaks louder than words. Do your best! (Tindakan berbicara lebih kuat daripada kata-kata. Lakukan yang terbaik). Slogan untuk siapa? Karena sang pemimpin lebih sering keluar daerah, dan lebih banyak berkata-kata tanpa aksi nyata di lapangan. Jadi slogan itu tak mewakili apa yang dibuatnya. Slogan itu mesti berbunyi, words speak louder than action. Pemimpin model ini banyak melakukan inkonsistensi. Ketiga, materialisme. Orang-orang yang sedang berjuang menjadi pemimpin atau menduduki jabatan tertentu, biasanya menghibur rakyat dengan retorika bahwa apabila ia menjadi pemimpin, maka kebutuhan rakyat akan diutamakan, kepentingan rakyat didahulukan. Namun, setelah menjadi pemimpin, mereka berubah menjadi orang-orang yang sangat materialis. Bahkan bantuan jatah rakyat pun masuk kantong pribadi. Materi menjadi orientasi, karena itu tidak heran kalau selam menjabat kuasa tertentu, mereka juga mulai mengumpul dan menumpuk materi di mana-mana. Para pemimpin model ini cenderung masuk dalam lingkaran materialisme praktis, mereka percaya Tuhan tetapi mendewakan materi. Meraka mengkotbahkan cinta kasih, tetapi sangat sinis dan sarkastis bahkan mematikan motivasi hidup orang-orang yang dilayaninya.
Selain itu, isme lain lagi yang kerap dipraktikkan para pemimpin kita saat ini adalah sombong-isme. Menjadi pemimpin merupakan suatu prestasi dan kebanggaan tersendiri. Hal ini tak jarang menimbulkan rasa sombong dan angkuh dalam diri sang pemimpin tentang kehebatannya, reputasinya prestasinya. Kesombongan dengan dirinya sendirinya menempatkan orang lain sebagai pihak yang tak ada apa-apanya, pihak yang tak berdaya. Ada pemimpin yang tak bergelar akademik tertentu, S2, S3 misalnya, keangkuhan intelektual sering mewarnai pola pelayanannya. Karena itu, apa yang disabdakan dan dikatakannya adalah benar dan tidak perlu diganggu gugat. Bahkan buku pedoman, panduan kerja, memori pejabat sebelumnya tak digubris karena ia begitu yakin bahwa gelarnya sanggup mengatasi segala-galanya. Para pemimpin model ini banyak kali gagal menyentuh realitas masyarakat yang dilayani. Dia bisa membayangkan kebutuhan masyarakat tanpa perlu turba dan berada dekat dengan rakyat. Ini keliru karena tak jarang kebutuhan pribadi dan kelompok sang pemimpin atau pejabatlah yang menjadi tolak ukur sebuah desain program, bukan kebutuhan masyarakat. Isme lain lagi adalah otoritarianisme. Secara psikologis, para pemimpin otoriter adalah orang-orang yang bermasalah dengan masa lalunya. Pemimpin model ini, masa lalunya diwarnai infferioritas, luka-luka batin dalam interaksi sosial yang tidak disembuhkan. Karena itu, mendapatkan kuasa dan jabatan adalah sebuah keinginan besar untuk membalas masa lalunya yang tidak menyenangkan. Senjata utama saat pemimpin adalah intimidasi, teror, ancaman agar orang-orang yang dilayani, bawahannya menjadi takut dan taat. Ada pemimpin yang suka mengancam, seperti ’saya pecat kau’! Ancaman-ancaman ini mematikan motivasi kerja dan membuat sesama menjadi tidak nyaman. Pemimpin model ini tidak berhasil menciptakan kenyamanan bekerja di lingkungannya dan mendidik bawahannya untuk bersifat munafik.
Isme-isme di atas menghambat pertumbuhan dan perkembangan moralitas seorang pemimpin. Bisa juga terjadi bahwa isme-isme itu adalah hasil dari pelaksanaan kerja seorang pemimpin yang moralitasnya minus atau bermoralitas topeng. Lakon para pemimpin kita dipentas politik dan pemerintah kerap mempertontonkan adegan buramnya moralitas dalam praksis kepemimpinan. Menyingkapi hal ini, kita mesti mencari sebuah model pemecahan, membantu para pemimpin kita menjalani tugas dan fungsinya secara bertanggung jawab. Ada banyak teori tentang kepemimpina. Ada begitu banyak buku membahas tentang kepemimpinan. Ada banyak diskusi, seminar, pelatihan, training tentang kepemimpinan. Namun, semuanya itu menjadi tak bermakna jika moralitas sebagai modal dasar kepemimpinan tidak tertanam dalam diri setiap kita yang menjadi pemimpin. Moralitas tidak dipinjamkan dari orang lain, tidak juga ditrasfer dari buku-buku dan teori-teori. Moralitas adalah modal dasar yang kita sendiri miliki dalam diri sendiri. Artinya, pelatihan-pelatihan kepemimpinan, buku-buku dan teori-teori tentang kepemimpinan sifatnya membantu menyegarkan kuntum-kuntum moralitas yang memang sudah ada dari diri. Dasar moralitas kita, bonum faciendum, malum vitandum (lakukan yang baik, hindarkan yang jahat) mesti mendarah daging dengan eksistensi kita. Buku-buku dan teori-teori hanya membahas ulang apa yang sudah ada dalam diri kita.
Untuk memperkuat moralitas para pemimpin, mereka perlu berjalan pulang menemukan semangat/spirit yang memotivasi pola kepemimpinan itu. Pertama, spirit kepemimpinan sebagai gembala. Seorang gembala adalah dia yang mengenal domba-dombanya secara baik, seorang gembala berani menyerahkan nyawanya demi domba-dombanya dan seorang gembala selalu mencari domba yang tersesat Para pemimpin adalah gembala. Tugas mereka sebenarnya menyerupai tugas para gembala. Apakah para pemimpin kita telah berperan sebagai gembala yang baik bagi domba-dombanya? Ataukah justru para pemimpin itu menjadi serigala berbulu domba bagi domba-domba lainnya. Kedua, spirit kepemimpinan sebagai pelayan. Seorang pelayan adalah dia yang mengosongkan diri, rendah hati, suka membantu dan memperhatikan kebutuhan sesama. Banyak kali para pemimpin kita menyabut dirinya sebagai pelayan masyarakat, pengabdi rakyat. Sudah sejauh manakah hal itu terbukti? Justru sebaliknya para pemimpin itu bertingkah sebagai majikan, the big boss, orang harus dilayani. Kasihan rakyat kecil, dianggunkan dalam kata-kata namun ditindas dalam tindakan para pemimpin mereka. Ketiga, spirit kepemimpinan sebagai pengurus ruang tangga adalah orang yang mengawasi tata tertib rumah tangga, aturan dan kesepakatan dalam suatu komunitas. Sebagai pengurus rumah tangga, ia bertindak sebagai pelayan bukannya sebagai pemilik dan atau majikan. Kekuatan seorang pengurus rumah tangga adalah perpaduan antara sifat bijaksana dan bisa dipercaya. Para pemimpin kita adalah pengurus rumah tangga dalam konteks dan skope tertentu. Apakah mereka tampil sebagai pelayan? Apakah mereka bijaksana dan bisa dipercaya? Kisah pemimpin kita memang lain. Instansi dan kantor yang dipimpinnya dibuat seperti perusahaan pribadi. Jelas bahwa unsur KKN-nya kental di situ. Keputusannya sering membingungkan dan merugikan, tetapi seorang big boss tabu untuk dipersalahkan. Maka, lahirlah kambing hitam-kambing hitam dalam diri orang-orang kecil dan tak berdaya.


FERMENTUM MUNDI
Oleh Isidorus Lilijawa
(Pos Kupang, 8/7/2006)


Kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari umat manusia, karena menurut Aristoteles, ’Manusia pada hakikatnya dalah makhluk politik; sudah menjadi pembawaannya hidup dalam satu polis.’ Hanya dalam polis manusia dapat mencapai nilai moral yang paling tinggi. Di luar polis, manusia menjadi subhuman (binatang luas) atau superhuman (Tuhan). Karena itu, mau tidak mau manusia mesti berpolitik dan terlibat dalam urusan-urusan politik. Membedah keterlibatan politik itulah yang diwacanakan oleh kelompok diskusi fermentum mundi (bagi dunia) yang dikoordinir oleh Dr. Frans Rengga, pada hari Jumat, 26 Mei 2006 yang lalu.
Diskusi yang digelar di kampus Unika Widya Mandira itu menghadirkan Rm Dr. Octovianus Naif, Pr, sebagai pembicara utama dengan tema ’Kaum Awam Katolik Menginjili Politik’, … Rengka selaku moderator dan para insan politik dari kalangan akademisi, aktivitas organisasi kepemudaan, praktisi LSM, dan aktor-aktor politik NTT. Tema yang disungguhkan sangat menarik,tidak saja sekadar sebagai sebuah upaya pembongkaran akumulasi pengetahuan teoritis tentang politik, tetapi lebih dalam lagi sebagai sebuah bentuk…, evaluasi, otokritik dan konsientisasi para awam Katolik berkaitan dengan peran politisnya di tengah dunia ini. Tulisan ini merupakan sebuah upaya penampakan kembali ide-ide terlepas yang terjaring selama diskusi dan memunculkan kembali buah-buah pikir pembicara utama dalam diskusi itu.


Politik itu Baik
Sebagaimana telah dikatakan pada awal tulisan ini. Manusia dan politik merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Manusia adalah insan politik. Politik berguna untuk menata kehidupan publik menuju tujuan akhirnya yakni kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin. Politik itu baik karena tujuan politik baik. Politik bertujuan menyelenggarakan bonum commune (kepentingan umum, kesejahteraan bersama) yang berarti: memfasilitasi manusia untuk mengusahakan apa yang dibutuhkannya untuk hidup layak secara manusiawi. Hidup layak manusiawi berarti kemudahan untuk memenuhi kebutuhan wajar untuk dapat hidup yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Ini tidak saja diukur menurut pemenuhan kebutuhan pokok melainkan kebutuhan untuk berkembang lebih lanjut. Memenuhi kebutuhan berarti dapat memenuhi hak-haknya yang asasi, karena berbagai kebutuhan adalah mutlak, artinya harus dipenuhi kalau tidak akan timbul gangguan berat dan bahkan kematian. Hidup sesuai dengan martabat manusia tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan, apalagi sesaat, tetapi juga segala yang perlu atau bermanfaat untuk berkembang.
Sesuai dengan term asalinya dalam bahasa Yunani, politik bersal dari kewarganegaraan; politikos yang berarti kewarganegaraan; politeia yang berarti penduduk warga negara; politis berarti kota atau negara. Negara atau kota adalah ho koinonia politike persekutuan hidup politis. Politik juga dikaitkan dengan istilah politeke tekhme yang artinya seni atau keterampilan menata kota atau negara sedemikian rupa sehingga kehidupan warga dalam polis itu damai sejahtera. Dalam upaya menata kota inilah politik membutuhkan legitimasi dari saluran kekuasaan tertentu. Secara horisontal, kuasa politik itu berasal dari rakyat, mendapat legitimasi rakyat: pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Maksud penyerahan kuasa dari rakyat kepada pemimpin terpilih adalah melayani rakyat. Secara vertikal, kuasa politik itu berasal dari Allah: ’Engkau tidak mempunyai kuasa sedikit pun atas diriku. Jikalau kuasa itu tidak diberikan dari atas’ (Yoh 19:11). Santu Paulus berpendapat bahwa setiap kuasa datang dari Allah sehingga kepatuhan kepada pemerintah itu adalah baik (bdk Rom 13:1-7). Dengannya, kuasa politik adalah suatu realitas luhur sebab asalnya dari Allah dan menyumbang kebaikan bagi umat manusia. Kuasa politik menemukan justifikasinya hanya dalam pelayanan mewujudkan bonum comunune dalam berbagai dimensi kehidupan (Gaudiaum et Spes 74).

Politik jadi ’Omong kosong’
Makna dan tujuan politik yang luhur, seringkali ternoda oleh berbagai tindakan manusia dalam praksis politik. Berbagai aksi anti-perikemanusiaan dan anti- nilai-nilai moral dilakoni oleh para elite politik sebagai sehingga politik pun dipahami sebagai sesuatu yang “omong kosong”, “putar balik”. Lord Action dalam adegiumnya yang termashur pernah berkata : “Power tend to corrupt, absolutely power tend to corrupt absolutely”, artinya siapa yang berkuasa, maka dia akan mendapatkan peluang untuk berkorupsi sebenar kekuasaanya sendiri. Korupsi kekuasaan memang sedang terjadi di dalam tubuh pemerintahaan, birokrasi, institusi wakil rakyat bahkan dalam tubuh institusi keagamaan. Prinsip pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat hanyalah berarti bahwa rakyat menyerahkan tongkat kekuasaan kepada orang-orang tertentu dan tongkat kekuasaan itu akan terpotong atau dibelokkan oleh tangan orang terpilih demi interese pribadinya dan rakyat yang menyerahkan kekuasaan itu hanya menuai air mata derita.
Politik menjadi rusak tidak saja oleh virus money politics, tetapi terlebih oleh keretakan mentalitas pelakon-pelakon politik itu sendiri. Ada ateisme praktis: secara verbal dan ritual banyak pemimpin mengakui adanya Tuhan dalam hidup, tetapi dalam kenyataan sehari-hari sepertinya mereka menganggap Tuhan tidak ada. “Etsi Deus non daretur”. Ada pragmatis mereka sering mengucapkan janji-janji manis dan slogan-slogan yang kedengarannya berirama populis, tetapi setelah kuasa direngkuh mereka justru menderita penyakit “lupa ingatan” pada semua janji-janji itu. Ada formalisme : penampilan seakan-akan tokoh teladan, punya hati kebapak-ibuan bagi rakyat, namun itu Cuma tebar pesona, pura-pura baik tetapi sebenarnya tak punya nurani bagi kepentingan rakyat.
Keadaban politik pun ternoda oleh sederatan kebohongan politik. Bahkan alam negara kita yang mengaku demokratis ini, dapur-dapur kebohongan masih terus berasap memproduksi berbagai kebohongan. Menurut Machiavelli, hanya kebohongan saja yang memungkinkan “orang-orang nomor satu” merebut dan mempertahankan kuasa politik. “Kebajikan” menurut Machiavelli adalah tahu mengambil keuntungan dari kesempatan istimewa dan tahu menggunakan sarana-sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan tanpa perlu mempertimbangkan dimensi etis moral sebab yang penting adalah hasil. Bagaimana hukum bisa tegakkan bila elit politiknya secara terang-terangan berbohong dan sudah terbiasa berbohong kepada publik?

Awam Katolik Menginjili Politik
Realitas yang terbentang di hadapan kita, yang sangat kasat mata dalam keseharian kita adalah pernodaan-pernodaan terhadap keluhuran politik. Jalan menuju bonum commune menjadi semakin sulit ditempuh dan dicapai karena jalan yang bernama politik telah salah arah dan ….dibelokkan sesuai keinginan pemegang tongkat kuasa. Tak dapat dipungkiri bahwa ada awam Katolik yang terlibat dalam politik kekuasaan. Lantas pertanyakan yang muncul adalah : Pertama: apakah kaum awam Katolik ini bergiat dalam memperjuangkan nasib rakyat yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan jalan politik, jalan menuju bonum commune? Kedua: apakah kaum awam Katolik sadar bahwa politik telah berbelok dari tujuan aslinya yang luhur dan berjuang untuk mengembalikan citra politik sebagai sesuatu yang baik dan luhur? Ketiga, apakah kaum awam Katolik berani mengijili politik dengan mengikis habis korupsi kuasa, menata memperbaiki mentalitas berpolitik dan menyingkap kebohongan publik yang sedang merajalela?
Perlibatan diri kaum awam Katolik dalam ranah politik adalah aplikasi iman Katolik. Iman dan politik saling berkaitan. Jika iman dihayati secara koheren, iman akan terungkap dalam tatanan politis, sementara politik merupakan salah satu dari bidang-bidang tempat di mana buah-buah iman harus dibuktinya. Menginjili politik berarti membawa politik pulang kepada harkat dan martabat manusia, kepada harapan akan transformasi segala sesuatu menurut aspirasi dan nilai-nilai paling tinggi dalam suatu masyarakat. Tak dapat disangkal bawah dalam konfrontasi dengan politik, kaum awam Katolik mengalami krisis makna. Budaya koruptif, konsumerisme, kehilangan etos kerja, rendahnya spirit pengorbanan, konspirasi politik, telah memberikan kesan bahwa dunia yang benar dan adil adalah sebuah utopia, suatu yang berada dalam zona nihilisme nilai. Awam Katolik berada di persimpangan makna hidupnya; berjuang melawan arus, berenang sambil berusaha membelokkan arus atau membiarkan diri terbawa arus korupsi kuasa.
Konfrontasi dengan politik memetakan potret kaum awam Katolik zaman ini. Kelompok pertama, kaum awak Katolik yang jauh dari gereja. Mereka mengaku diri sebagai orang Katolik tetapi itu hanya sekadar tambahan saja pada “identitas diri”. Faktor-faktor penyebab jauhnya mereka dari gereja adalah konsumerisme, hedonisme dan situasi sosial politik yang tak becus. Kelompok kedua, kaum awam Katolik yang aktif dalam practice . kelompok ini memang aktif dalam praktik hidup keagamaan, namun praktik hidup keagamaan itu hanyalah sebuah kebiasaan sosial dan ritual saja, malah hanya ikut ramai saja. Kesadaran untuk mencari nilai-nilai Kerajaan Allah sangat terbatas. Kelompok ketiga, kaum awam Katolik yang punya komitmen pada iman dan nilai-nilai etis moral ajaran iman Kristiani. Kelompok kecil ini menjadi harapan utama gereja. Kelompok kecil ini adalah fermentum mundi, garam dan terang dunia. Bagi mereka iman adalah karunia Tuhan. Iman menuntut perbuatan nyata. Mereka konsisten dengan iman, giat dalam karya-karya apostolis, aktif dalam kegiatan social dan politik sesuai dengan inspirasi imannya. Kelompok ini tampil sebagai prophetos yang mengkritisi situasi sosial yang diwarnai oleh sinting kuasa, gila uang dan mengong harta. Melalui cara yang wajar (bahkan tak wajar) kaum awam Katolik berjuang untuk mewujudkan pembebasan dan kebebasan manusiawi.

Menjadi Fermentum mundi
Setiap orang Katolik dituntut untuk menjadi fermentum mundi (ragi dunia) dalam konteks kehidupan dunia dewasa ini. Ragi memang kecil, tetapi sangat berperan besar dalam mengembangkan adonan roti. Kaum awam Katolik dengannya tidak perlu merasa kecil dalam konstelasi kehidupan politik bangsa ini, tetapi berjuang dan berusaha mengembangkan adonan politik dengan nilai-nilai injili sehingga menghasilkan roti bonum commune yang menyejahterakan dan memakmurkan banyak orang. Bagaimana menjadi fermentum mundi? Kaum awam Katolik yang diharapkan mampu mengijili politik atau menjadi fermentum mundi adalah mereka yang berkomitmen pada iman dan moral kristiani, dalam hal: pertama, mereka untuk berpandangan bahwa kuasa itu harus diwujudkan dalam semangat kasih. Di mana ada kasih segalanya bisa baik, di mana ketiadaan kasih segalanya bisa buruk. Kuasa kasih itu menolong, menghidupkan, membebaskan. Kedua, mereka yang tak kehilangan harapan dan menjadi pembawa harapan. Mereka terus berjuang walau mendapat banyak tantangan dan tidak menyerah pada tawaran duniawi yang menyesatkan seperti kuasa, jabatan, mammon hasil konspirasi. Ketiga, untuk menjadi ragi dunia, kaum awam Katolik harus mengutamakan kesejahteraan banyak orang. Mereka berkarya supaya orang-orang yang dilayani menjadi sejahtera. Mereka tidak saja mempromosikan “peradaban kesejahteraan tetapi juga memperjuangan peradaban cinta kasih”. Keempat, kaum awam Katolik yang berkomitmen pada iman dan moral adalah mereka yang memiliki rasa solidaritas tanpa batas. Mereka memperlakukan solidaritas tanpa batas. Mereka memperlakukan solidaritas sebagai kebersamaan dalam sama beruntung dan berkorban, senasib dan sepenanggungan. Kelima, untuk menjadi fermentum mundi kaum awam Katolik mesti berjiwa demokratis, mampu menghargai dan menghormati hak bebas orang lain.
Keterlibatan politis kaum awam Katolik seringkali dipicu oleh kesadarannya sendiri tentang tanggung jawab politisnya sebagai seorang beriman Katolik. Keterlibatan politis ini sangat ditentukan oleh kadar imannya kepara Kristus. Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium menyatakan bahwa dalam perkara duniawi mana pun orang Kristen wajib dibimbing oleh hati nurani kristiani mereka. Hal ini berarti secara pribadi politikus kristen dituntut untuk menjalankan peran dan tugas di tengah masyarakat berdasarkan tuntutan hati nurani dan iman secara bebas tanpa pamrih pribadi, jujur, penuh dedikasi, serta selalu dibimbing oleh cahaya Injil. Jadi, bukan karena daya tarik kekuasaan yang menggoda atau oleh interese-interese kepentingan politik sesaat. Politik mempunyai relasi yang erat dengan agama. Inilah keterbukaan politik terhadap berbagai instansi di luar dirinya. Agama mempunyai perannya tersediri dalam hubungan dengan politik : sebagai sumber cita-cita tentang manusia sebagai makhluk bermartabat, sebagai daya moral untuk melaksanakan segala sesuatu menuju perwujudan dan pengakuan martabat tersebut serta sebagai instansi moral untuk mendampingi dan mengingatkan politik akan tujuannya. Berdasarkan peranan agama ini, kaum awam Katolik sebagai agen-agen pewarta mempunyai tugas yang luhur terhadap politik. Tugas ini berkaitan dengan upaya mencegah dan mengontrol pembiasan politik dari tujuannya.
Politik sebagai sarana untuk mencapai bonum commune sering memanipulasi untuk pemenuhan kepentingan pribadi dan kelompok. Kaum awam Katolik harus tampil sebagai figur pengudus politik. Ia berkewajiban menyucikan, memurnikan segala praktik politik yang kotor ini. Sesuai dengan landasan agama yang diimaninya, kaum awam Katolik harus tampil sebagai ‘agen moral’ yang selalu mengingatkan politik akan tujuannya. Kaum awam Katolik menginjili politik haruslah orang yang senantiasa belajar untuk melek politik. Kaum awam Katolik yang menginjili politik adalah ‘pakar penderitaan rakyat’, pemerhati nasib rakyat kecil dan menjadi ‘nabi’ bagi mereka yang tidak memiliki ‘apa dan siapa’ di bumi fana ini. Kita awam Katolik yang ‘tahu banyak’ haruslah juga mampu ‘berbuat banyak’ dalam percaturan politik di berbagai medan pengabdian. Viva Fermentum Mundi!!!


Adam Air
Isidorus Lilijawa
(Dian, 14 Januari 2007)

Mama Lauren, paranormal kondang yang prediksinya hampir tak pernah meleset meramal bahwa tahun 2007 bencana akan lebih parah. “Berita buruknya ada pada alam, gunung meletus, gempa bumi, kecelakaan laut dan udara akan terjadi. Karena itu masyarakat harus hati-hati.” Ramalannya tergenapi. Tahun 2007 diawali dengan tragedi yang memilukan. Eforia sukacita menyambut tahun yang baru, redup, suram dan gelap seketika mendengar kabar hilangnya pesawat Adam Air dalam penerbangan dari Bandara Juanda, Surabaya menuju Bandara Sam Ratulangi, Manado.
Berbagai upaya pencarian dilakukan. Namun, hingga saat ini Adam Air tetaplah sebuah misteri. Bantuan negara tetangga, Singapura dan negara polisi dunia, Amerika Serikat, direspons baik. Tetapi, Adam Air tetap tak berbekas. Kecanggihan teknologi bahkan kekuatan supranatural dikerahkan. Ada perang besar-besaran untuk menemukan burung besi Adam Air di daratan dan perairan Sulawesi. Namun, tirai misterinya tak tersibak. Bencana memang masih akrab dengan kita. Bahkan untuk tahun ini ia menjadi begitu intim dengan kehidupan kita.
Hilangnya Adam Air yang mengakibatkan jatuhnya 90-an korban jiwa sangat menyakitkan bagi anggota keluarga korban. Menjadi pukulan mahadahsyat bagi orang-orang yang bergelut dalam perusahan maskapai penerbangan ini dan mencoreng wajah penerbangan di Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu dimaknai dari peristiwa hilangnya Adam Air.
Pertama, kematian itu adalah bagian dari kehidupan kita. Ke-90-an penghuni Adam Air tidak pernah membayangkan bahwa penerbangan tanggal 1 Januari 2007 adalah lintasan sejarah hidupnya yang terakhir. Kematian itu begitu dekat dan kedatangannya tak terhindarkan. Sukacita tahun baru 2007 yang akan terbagi pada sanak saudara pupus dalam penerbangan tak bertepi itu. Ini berarti bahwa kita mesti selalu mempersiapkan saat-saat kematian kita. Itu hanya bisa dengan memaknai hidup ini dengan kebaikan dan cinta. Saat kematian memang kejam. Kedatangannya tak diundang dan tak pergi walau ditolak. Hodie mihi cras tibi (Hari ini saya, besok engkau). Peristiwa ini jadi pelajaran untuk kita yang masih menghela nafas pun untuk kegeraman dan kecemasan seputar peristiwa itu.
Kedua, human error. Ada pepatah Latin berbunyi Erare humanum est (kesalahan adalah manusiawi). Kesalahan itu khas manusia. Tak ada manusia yang tak bersalah dan bahkan mempersalahkan. Karena itu, kesalahan yang dibuat pada dasarnya bisa dipahami sejauh masih dalam batas-batas kemanusiaan. Namun, human error dalam hilangnya Adam Air adalah kecerobohan. Hal seperti ini tidak perlu terjadi karena ketatnya pengawasan terhadap pesawat dan lintas penerbangan. Setiap sebelum terbang, pesawat dicek dan ricek, sampai benar-benar siap untuk terbang. Pilot dan kru pesawat pun dikondisikan layak untuk penerbangan itu. Namun, tatkala Adam Air hilang dan orang mulai menyoroti aspek human error, semestinya ada sesuatu yang tidak beres atau ada tahap yang tidak terkontrol sebelum penerbangan. Ini berarti pihak maskapai penerbangan Adam Air harus bertanggung jawab. Human error dan kemanusiaan kita kerap kali dijadikan tameng untuk menghindari begitu banyak tuntutan. Tetapi, sebagai orang-orang yang profesional, risiko human error mesti ditekan sekecil mungkin. Untuk kita, persiapan, antisipasi, kewaspadaan, kematangan, sebelum melakukan sesuatu harus diperhatikan. Ini demi mencegah agar kita tidak jatuh dalam arus human error murahan yang artinya kecerobohan dan ketololan.
Ketiga, technical defect. Menurut Kapten Rendy Sasmita, instruktur terbang dan pilot senior pada sebuah maskapai penerbangan swasta di Jakarta, hilangnya pesawat milik PT AdamSky Connection Airlines-Jakarta itu terkait dengan techical defect (kerusakan teknis pada pesawat) pada sistem kemudi pesawat Adam Air. Ini artinya, pesawat itu sebenarnya tidak layak terbang. Kalau dilihat ke belakang, Adam Air termasuk salah satu maskapai penerbangan bertarif murah (low cost carrier). Penerapan tarif murah ini ada risikonya. Perang tarif murah tiket pesawat terbang mengakibatkan pengetatan biaya perawatan pesawat dan berbuntut tingginya risiko keselamatan. Pada titik ini, pertimbangan bisnis mengalahkan pertimbangan kehidupan. Orang tidak terlalu berpikir banyak tentang keselamatan penumpang, asalkan tiket terjual habis dan uang pun mengalir. Nyawa manusia bisa dilelang begitu murah dengan lembaran-lembaran rupiah harga tiket. Dunia dewasa ini penuh kalkulasi. Yang jelas keuntungan mesti diraih bahkan sebanyak-banyaknya. Tanpa serius memikirkan keselamatan manusia. Terkait dengan kerusakan teknis ini, patut diakui bahwa pesawat-pesawat yang beroperasi di tanah air adalah ‘besi tua’ yang kebanyakan ‘bekas’ dan telah uzur usianya. Negara tetangga, Singapura sangat ketat memperhatikan usia pesawat di negara itu. Usia pesawat yang boleh terbang sampai lima tahun enam bulan. Setelah itu siap dijual. Bagi mereka keselamatan penumpang adalah hal yang utama dan harus diutamakan. Untuk kita di Indonesia, nyawa manusia masih bisa ditawar-tawar. Lihat saja, penumpang kapal laut dan feri melebihi daya angkut atau angkutan-angkutan darat mempertontonkan harga nyawa manusia pada atap-atap bis atau truk.
Keempat, hilangnya Adam Air melahirkan fenomen menarik. Dunia supranatural berperan untuk mengatasi kebuntuan cakrawala rasionalitas teknologi. Mungkin ada yang sempat menyaksikan Ki Joko Bodo, paranormal ternama ‘beraksi’ menemukan titik jatuhnya Adam Air. Dengan dupa yang terus berasap, beberapa persembahan, ia mencoba memasuki dimensi lain kehidupan untuk menyelami pekatnya misteri hidup itu. Dan melalui televisi ia menuturkan bahwa Adam Air tidak berada di darat dan juga di laut. Ia berada pada suatu dimensi lain yang tidak bisa dipantau mata manusia, ia berada di awan-awan. Apakah kita percaya kata paranormal ini? Soal percaya atau tidak, itu urusan lain. Yan mau saya katakan adalah rancunya rasionalitas kita saat ini. Hal-hal yang irasional justru menjadi bagian dari rasionalitas kita. Begitu banyak dukun dikerahkan. Ini adalah tontotan gratis untuk harga rasionalitas kita. Mengapa kita tidak benahi kinerja departemen perhubungan. Mengapa kita tidak ubah sistem penerbangan dan perekrutan tenaga-tenaga penerbang? Mengapa kita tidak godok aturan trasnportasi, darat, laut dan udara yang berpihak pada kehidupan dan kemanusiaan dan bukan semata-mata bisnis? Mengapa kita justru sibuk mencari paranormal?
Adam Air masih belum ditemukan. Namun, kita telah menemukan banyak nilai yang perlu dimankai dari hilangnya Adam Air. Kita mungkin tidak permah bermimpi untuk naik pesawat dan meninggal karena kecelakaan pesawat. Tetapi, kematian itu datang pada setiap saat, pada situasi apa saja. Kita masih menumpang kapal laut, kendaraan bermotor. Cek dan ricek sebelum jalan serta utamakan keselamatan daripada uang. Ingat petuah Mama Lauren. Lagu karangan Pasha dari group Ungu perlu kita maknai: “Andai kutahu, kapan tiba ajalku. Ku akan memohon, Tuhan tolong panjangkan umurku…Andai kutahu kapan tiba masaku. Ku akan memohon Tuhan jangan Kau ambil nyawaku…” Andai kita tahu, maka mengenang Adam Air adalah mengenang kecerobohan kita. Sama artinya dengan belajar dari kecorobohan itu untuk tidak ceroboh lagi.



Gerilya Politik
Isidorus Lilijawa
(Dian, 28 Januari 2007)

Tahun 2008 nanti, masyarakat Nusa Tenggara Timur akan mengadakan perhelatan demokrasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung untuk pertama kalinya. Satu dua tahun ke depan, ada beberapa kabupaten yang akan menyelenggarakan pemilihan bupati dan wakil bupati secara langsung. Momentum pilkadal memang menarik, apalagi untuk daerah-daerah yang baru pertama kali menyelenggarakannya. Disebut menarik karena ketokohan dan figur seorang calon gubernur/calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati ditentukan oleh rakyat, ditakar oleh rakyat dan secara transparan dinilai oleh rakyat.
Pada momen-momen seperti ini, rakyat betul-betul ditahtakan sebagai ‘tuan besar’ yang butuh disembah, didatangi, disanjung, dilayani, dihibur, diberi janji-janji, disumbangi. Daya tawar politik rakyat begitu besar, sampai-sampai ke pelosok-pelosok wilayahnya pun seorang calon pemimpin itu berani pergi dan menawarkan harga ketokohannya. Tidak saja rakyat. Para calon pemimpin yang bersaing dalam pilkadal ini pun pandai-panda memanfaatkan momen, menerapkan strategi taktis mendulang dukungan rakyat, mulai rajin-rajin turba bertemu rakyat. Kedekatan dengan rakyat sebagai konstituen betul-betul dirapatkan jaraknya. Saya menyebut masa-masa jelang pilkadal sebagai masa-masa gerilya politik.

Akhir-akhir ini, menjelang pilkadal gubernur dan wakil gubernur NTT tahun 2008 dan pilkadal di beberapa kabupaten, rakyat sering dikunjungi tamu-tamu istimewa. Ada yang berwajah lama, ada wajah baru. Ada juga putera daerah (ana tana) yang lama bertugas di daerah lain, sekarang sudah sering-sering mampir ke kampung halaman sendiri. Kedatangan mereka tidak sendiri. Selain ada rombongan, katakan sebagai tim sukses, kedatangan mereka juga selalu disertai ‘sesuatu’ untuk rakyat di mana mereka kunjungi.
Momen kehadiran mereka pun beragam. Ada yang mengisi waktu reses, daripada duduk-duduk di senayan atau menghirup kotornya udara Jakarta, lebih baik pulang kampung, kunjungi konstituen di daerah-daerah. Selain dapat udara segar di pojok-pojok kampung, juga menunjukkan tampang kepada rakyat agar dikenal dan tentu saja diharapkan untuk disayangi saat pilkadal.
Yang masih aktif sebagai pejabat pemerintahan dan politisi, volume kunjungan kerja ke daerah-daerah meningkat dan terkesan padat. Acara di Timor dan di Flores bisa diikuti dalam sehari. Ini tidak soal. Asalkan ada kesempatan. Bahkan undangan-undangan yang butuh kehadiran mereka, direspons dengan sangat hebat. Mulai dengan acara peresmian gedung barulah, pesta gerejalah, wisudalah, pesta adatlah. Semuanya rugi kalau dilewati begitu saja. Karena pada saat-saat itu ada kerumunan massa, dan ini kesempatan terbaik untuk menjual program dan menawarkan diri, walau pandai-pandai membungkusnya dengan berbagai cara. Itu toh urusan tim sukses.
Kedatangan calon-calon pemimpin ini biasanya mengendarai kendaraan parpolnya. Maka konsolidasi-konsolidasi di tingat anak cabang, cabang, ranting, anak ranting marak digalakkan. Mereka juga aktif membangun diskusi dengan kelompok-kelompok strategis yang mempunyai akses cukup besar kepada rakyat, juga diskusi dengan berbagai organisasi yang pernah mendewasakannya. Rupa-rupa momen, rupa-rupa cara digunakan. Sangat menarik bila kita amati perilaku para calon pemimpin ini akhir-akhir ini.
Ada yang datang seperti sinterklas, bagi-bagi sumbangan beretiket kepedulian sosial seperti obat, beras, dll. Ada juga yang datang, tetapi diam-diam, tidak memberikan apa-apa, tetapi menawarkan janji-janji dan posisi-posisi tertentu kalau nantinya ia sukses. Ada juga yang datang dengan kerendahan hati, mengatakan apa adanya. Tidak ada apa-apanya, hanya komitmen untuk mengabdi. Tetapi, ujung-ujungnya tetap ada sesuatu yang dititipkan pada rakyat.
Apa artinya semuanya ini? Saya menyebut masa-masa ini adalah masa-masa gerilya politik. Setiap calon pemimpin berkejaran dengan waktu, bersaing dengan sesama calon pemimpin lainnya merebut hati rakyat. Saya gunakan kata merebut, karena untuk menaklukan hati raykat, mereka bisa menggunakan beberapa cara seperti merebut dengan melumpuhkannya. Pelumpuhan hati rakyat terjadi ketika, aksi saling tatap dengan rakyat di mana saja tidak membangun kesadaran politik rakyat. Rakyat justru dijejali dengan janji-janji manis, dilumpuhkan nalar kritisnya dengan bantuan-bantuan kemanusiaan. Merebut hati rakyat juga dibuat dengan membuka selubung-selubung pekat yang membuat rakyat tidak mengerti hak-hak politiknya. Ini berarti terjadi aksi konsientisasi, penyadaran hak-hak politik rakyat.
Gejala ini adalah gerilya politik karena proses kampanye yang diisyaratkan oleh KPU masih jauh-jauh hari. Susah memang kalau gejala seperti ini disebut mencuri start, karena susah untuk membuktikannya. Pengalaman bangsa Indonesia terbilang sukses dengan pola perjuangan gerilya dalam melawan penjajah. Kekuatan senjata-senjata modern milik penjajah tak sanggup melawan aksi gerilya pejuang-pejuang Indonesia. Menurut saya, hal itu dimungkinkan oleh kejelasan siapa musuh bangsa yang sebenarnya.
Tetapi, bergerilya politik seperti sekarang ini butuh kejelian dan kecermatan. Karena tak ada musuh. Malah rakyat dijadikan sahabat, diagung-agungkan. Toh saya tetap berpikir bahwa dalam konteks gerilya ini, setiap calon pemimpin ingin keluar sebagai pemenang. Dan untuk itulah, mesti ada yang dikalahkan. Siapa yang mau dikalahkan? Hemat saya, yang mau dikalahkan adalah kekritisan rakyat, kejelian rakyat, hak-hak politik rakyat. Kepolosan orang-orang akar rumput akan dimanfaatkan oleh setiap calon pemimpim untuk menaklukannya. Untuk itu, rakyat mesti terjaga. Rakyat tidak boleh terlelap dalam aksi gerilya politik ini. Mesti ada perlawanan dari rakyat. Apa wujudnya? Jangan mudah terbuai iming-iming, gairahkan daya kritis, nyalakan pelita nurani.

Rakyat Jangan Tidur
Dalam situasi ‘perang’ gerilya politik ini, yang bisa dibuat rakyat agar tidak terlelap dalam jargon-jargon politik para calon pemimpin, tidak nyenyak dalam karung-karung beras dan dos-dos obat sumbangan, tidak terbuai dalam ‘ketokohan’ mereka adalah dengan menerapkan standar etika politik.
Perkembangan etis para politisi dengan demikian dapat dianalisis, ditakar dengan menggunakan kriteria-kriteria ini. Rakyat sendiri bisa menilai orang-orang yang telah mereka pilih dalam berbagai perhelatan demokrasi. Rakyat bisa menggunakannya untuk menilai siapa saja yang datang ‘menjual’ program dan tampangnya demi pilkada nanti. Pertama, materialisme praktis. Ciri-ciri para pemimpin dan calon pemimpin model ini adalah mereka yang selalu menyebut-nyebut nama Tuhan dalam setiap kunjungannya. Menampilkan diri betul-betul sebagai orang yang beragama dan begitu peduli dengan urusan-urusan agama. Mereka tak segan-segan menyumbang sesuatu untuk gereja, untuk mesjid. Mereka selalu berada dan dekat dengan lingkaran kaum agamawan seperti di rumah-rumah biara, pesantren-pesantren. Rakyat jangan cepat percaya. Kenapa? Sebab dalam kenyataan sehari-hari tak jarang mereka hidup ‘etsi Deus non daretur’ (Seoalah-olah Allah memang tidak ada).
Kedua, pragmatisme. Para pemimpin dan calon pemimpin model ini biasanya pintar mengucapkan slogan-slogan. Pandai membangkitkan gairah dan membakar semangat massa. Mereka pintar bicara dan bisa membuat rakyat senang sesaat. Tidak hanya bicara, mereka juga memberikan sesuatu yang membuat rakyat melonjak kegirangan. Jangan cepat percaya. Karena dalam kenyataan mereka cenderung menggunakan jalan pintas hanya untuk urusan perut dan keluarganya sendiri, tanpa ingat sumpah jabatan dan janji kepada rakyat.
Ketiga, oportunisme. Para pemimpin dan calon pemimpin model ini biasanya pintar mengobral janji-janji. Mereka bisa membuat rakyat kenyang makan janji. Di sana janji, di sini janji. Rakyat jangan lupa. Orang yang suka obral janji, biasanya adalah orang yang paling tak menepati janji. Lalu mereka cari alasan untuk meredam amarah rakyat. Tetapi, kuasa sudah ada dalam genggamannya. Karena itu, hati-hati menjatuhkan pilihan pada orang-orang model ini. Mereka bisa memberikan sumbangan begitu banyak dengan pertimbangan setelah jadi pemimpin, mereka akan korupsi untuk tutup utang-utangnya saat pergi merayu rakyat.
Keempat, formalisme. Orang-orang model ini biasanya santun, tampil penuh percaya diri, tampil memukau seperti tokoh panutan. Kalau dalam Kitab Suci mereka ini tipe orang-orang Farisi. Mereka suka berbuat baik supaya dilihat orang. Hati-hatilah memilih orang-orang bertipe ini. Karena tak segan-segan mereka bisa menjual rakyat demi kepentingan pribadinya. Mereka ini seperti kubur yang bagian luarnya dilabur putih, tetapi di dalamnya penuh tulang-belulang.
Kelima, positivisme hukum. Orang-orang model ini pandai memanfaatkan celah-celah hukum. Walau sudah terbukti bersalah, tetapi karena punya banyak uang dan bisa membeli aparat hukum, mereka bisa bebas dari tuntutan hukum. Mereka akan berlaku seperti orang-orang yang bersih. Padahal jejak-jejak masa lalu mereka berbicara cukup jelas tentang siapa dirinya. Rakyat jangan terbuai dengan penamilan mereka saat ini. Perlu melihat, membaca, mendengar tentang sesuatu berkaitan dengan masa lalu mereka. Pertobatan boleh ada, tetapi pertobatan yang tidak jujur hanyalah topeng untuk mengulang jejak masa lalu.
Pilkadal gubernur dan wakil gubernur NTT masih satu tahun lebih. Pilkadal di beberapa kabupaten juga masih cukup lama. Namun, perang gerilya politik telah dimulai saat sekarang. Rakyat mesti sadari hal ini. Dirinya, keluarganya, kampungnya, daerahnya tengah menjadi medan perang gerilya politik calon-calon pemimpin dengan kendaraan parpol yang berbeda-beda. Jangan bingung walau kedatangan mereka dan pembicaraan mereka kerap membingungkan. Pasang mata, pasang telinga, buka hati, buka kepala menyikapi setiap kunjungan tamu-tamu istimewa itu. Analisislah dengan kriteria di atas. Berusahalah agar tidak kalah sebelum bertempur di hari H (pilkadal nanti). Selamat berjaga, kiranya tidak tidur lelap jelang pilkadal.


PUSAT STUDI KEMISKINAN
(Sebuah apresiasi ide Gubernur NTT)
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Timex, 16/9/2006)

Beberapa saat lalu ketika memberikan kuliah umum di Universitas Nusa Cendana Kupang, Gubernur NTT, Piet A. Tallo menggulirkan sebuah ide bernas yang menganjurkan agar Undana memikirkan suatu pusat studi kemiskinan di NTT. Ide ini memang menarik untuk diwacanakan dalam kontek ke-NTT-an kita. Hal yang menarik adalah bahwa kita diberi kesempatan untuk membuat sendiri sebuah studi tentang kemiskinan kita, kemiskinan orang-orang NTT. Jika selama ini, kriteria kemiskinan, standar kemiskinan, yang diterapkan di NTT diteropong dari luar, dipelajari dan dianalisis oleh yang bukan orang NTT, maka pendirian pusat studi kemiskinan ini adalah sebuah pembalikan atau arus balik atas semuanya itu. Kita diberi kesempatan untuk menentukan standar dan kriteria kemiskinan kita. Ini penting karena selama ini klasifikasi NTT sebagai salah satu daerah miskin di Indonesia, justru dibuat berdasarkan data-data statistik di atas kertas. Tak pernah ada suatu studi yang intens dan serius tentang kemiskinan di NTT. Membedah kemiskinan di NTT bukanlah hal yang begitu mudah dengan begitu saja menerjemahkan angka-angka statistik. Ada faktor lain yang saling terkait dengan fakta kemiskinan itu, seperti kultur, adat kebiasaan dan kekerabatan. Inilah yang perlu dikaji lebih jauh. Dan hemat saya, Undana telah menerima kepercayaan itu dan bisa memberikan yang terbaik untuk NTT.

Beragam Pendekatan
Diskursus tentang kemiskinan bisa dibedah dari berbagai macam sudut pandang. Kemiskinan menjadi salah satu problem yang menyedot banyak perhatian warga dunia ini. Untuk konteks Indonesia yang nota bene adalah salah satu negara miskin di dunia, wacana tentang kemiskinan tidak pernah surut dari pembicaraan dan desain program pemerintah. Kemiskinan adalah sebuah fakta sosial di Indonesia. Kemiskinan telah menjadi masalah bangsa ini sejak ia didirikan dan entah sampai kapan. Dan saat ini pun kita sedang berada dalam problem yang sama, kemiskinan. Untuk ukuran NTT, stereotip sebagai propinsi miskin memang santer terdengar. Kadang kita bertanya, atas dasar apa orang-orang NTT disebut miskin. Apa betul orang-orang NTT itu miskin? Dalam hal ini, kita bisa melihat perbandingan kemiskinan itu. Orang NTT disebut miskin tetapi memiliki tanah, rumah, dan bisa mendapat penghasilan walau sedikit. Namun, orang miskin di Pulau Jawa adalah orang-orang yang tidak punya rumah, tidak memiliki tanah, hidup sebagai pengemis, hidup di kolong jembatan. Pertanyaan kita, mana yang lebih miskin: orang NTT atau orang di Pulau Jawa? Pertanyaan lanjutan, toh mengapa orang-orang NTT mesti mencari kerja di Pulau Jawa? Kan di sana banyak orang-orang miskinnya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sebuah lingkaran setan yang jawabannya kompleks, sebagaimana wajah kemiskinan itu memang kompleks. Mungkin ini menjadi salah satu tugas dari lembaga studi kemiskinan untuk mencari dan menemukan jawabannya.
Kemiskinan itu kompleks. Bukan saja soal ada tidaknya makanan, pakaian atau rumah. Geraldine Fraser Moleketi secara gamblang mengungkapkan bahwa poverty is about lack of access, lack of power, lack of income and resources to make choices and take advantage of opportunities. In other words, poverty is not just about those who are poor in terms of income. It affects everybody, not just those who are its victims. The entire society suffers from the loss of people’s creativity and potential. Karena kemiskinan itu sangat kompleks, maka untuk membedahnya kita mesti menggunakan beragam pendekatan. Mungkin saja secara material orang NTT mengalami kekurangan. Namun, secara spiritual boleh jadi orang-orang NTT itu kaya. Dengannya, mengatakan bahwa suatu daerah itu miskin, bisa jadi dibutuhkan kehati-hatian dan data yang akurat serta identifikasi yang clara et distinca. Dalam tinjauan ilmu sosial misalnya, masalah kemiskinan diteropong dari dua lensa yakni lensa mikro dan makro. Lensa mikro melihat kemiskinan yang dialami oleh individu dan kelompok masyarakat sebagai akibat ketidakadilan secara konkrit. Sedangkan lensa makro melihat masalah yang dialami oleh individu maupun kelompok masyarakat sebagai akibat ketidakadilan yang meliputi seluruh lapisan masyarakat. Pada level ini, kemiskinan diartikan dari dua aspek yakni kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif. Kemiskinan mutlak berarti kebutuhan primer yang tak terpenuhi seperti sandang, pangan dan papan. Sedangkan kemiskinan relatif berarti kemiskinan yang terjadi karena ketidakadilan dalam pembagian pendapatan nasional, pembagian kue pembangunan, jurang yang tajam antara kaya – miskin, desa dan kota, Jawa dan luar Jawa. Dalam aspek teologi, dikenal kemiskinan material dan spiritual. Kemiskinan material berarti miskin secara ekonomis, sosial dan politik. Sedangkan miskin secara spiritual berarti situasi orang-orang yang jauh dari Kerajaan Allah.
Masih ada begitu banyak pendekatan untuk membedah dan mengidentifikasi masalah kemiskinan. Pendekatan-pendekatan ini sangat perlu demi mendapatkan identifikasi yang jelas terhadap masalah kemiskinan. Di NTT misalnya, orang-orang akan berjuang untuk memenuhi tuntutan adat (urusan belis) walaupun untuk itu mereka harus berutang. Hal ini mengakibatkan pemborosan dan tentu saja berdampak langsung pada kemiskinan. Namun, tidak serta merta hal-hal ini dilihat sebagai faktor yang memiskinkan orang-orang NTT. Toh, ada kepuasan lain, kelegaan batin ketika tuntutan itu terpenuhi. Inilah yang mesti diperhitungkan juga dalam studi mengenai kemiskinan orang-orang NTT. Seperti yang disampaikan Gubernur NTT dalam kuliah umum di Undana, bahwa kemiskinan di NTT terkait dengan faktor pendidikan, hemat saya hal ini tepat karena faktor rendahnya SDM bisa menjadi pemicu kemiskinan di NTT. Pertanyaan mengapa orang-orang NTT kurang bergiat dalam menuntut ilmu dan menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah sebuah pertanyaan yang perlu dijawab oleh kita semua. Tidak saja menjadi tugas pusat studi kemiskinan.
Kemiskinan tidak saja berelasi dengan rendahnya tingkat pendidikan. Lebih jauh, kemiskinan kita merupakan bukti dari tidak berjalannya demokratisasi yang dicita-citakan bersama. Pemenang hadiah nobel untuk ilmu ekonomi tahun 1998, Amartya Sen pernah ditanya pendapatnya tentang perkembangan dunia yang dianggapnya terpenting selama dua milenium. Ia menjawab bahwa sistem demokrasi adalah perubahan yang paling fundamental. Bagi Amartya Sen, kelaparan, kesengsaraan, kemiskinan terjadi karena demokrasi tidak berjalan. Kelaparan bukan oleh kekurangan makanan tetapi oleh kekurangan demokrasi dan kemiskinan bukan disebabkan oleh kekurangan penghasilan (lack of income) tetapi oleh kekurangan kemampuan (lack of capabilities) yang tidak dikembangkan justru oleh kurangya demokrasi. Apakah kemiskinan kita di NTT juga dipicu oleh kurangnya demokrasi itu? Bisa benar. Konteks kita di NTT menampilkan fakta morat-maritnya demokrasi itu berjalan. NTT masih penuh dengan persoalan demokrasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, rendahnya komitmen penegakkan hukum, kekerasan terhadap perempuan, neko-neko, konspirasi, perselingkuhan politis, dll. Hal-hal ini jelas berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan rakyat kecil. Rakyat cenderung menjadi korban kebijakan pemerintah yang menguntungkan pihak-pihak tertentu (para pengusaha, pejabat, misalnya). Dengannya, fakta kemiskinan kita di NTT juga kompleks. Dan pusat kajian kemiskinan tentunya perlu didukung untuk menguak berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan kita di NTT. Memang tidak mudah, tapi harus dimulai.

Memahami NTT dengan hati
Salah satu publikasi mengenai abstraksi pemikiran Gubernur NTT, Piet A. Tallo diberi judul “Memahami NTT dengan Hati”. Hemat saya, ini juga menjadi pemikiran brilian gubernur yang berusaha meneropong persoalan pembangunan NTT dengan hati dan dari hati. Kita tahu bahwa ada logika hati. Hati memiliki alasan-alasannya sendiri yang tidak dikenal oleh akal (le coeur a ses raisons le raison ne connait point). Ini berarti bahwa akal budi sendiri tak mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang segala hal. Hati nurani mampu memberikan pemahaman yang lebih baik berkaitan dengan pendekatan-pendekatan pribadi, wilayah moral dan religiositas. Persoalan pembangunan di NTT mesti juga dipandang dengan hati. Ketika derap pembangunan bersentuhan dengan keaslian tradisi, religiositas alami masyarakat, maka mau tidak mau kita mesti menggunakan logika hati. Kegagalan pembangunan di NTT selama ini bisa jadi karena kita terlalu mengagungkan daya akal, ekspansi kognitif. Segala program pembangunan didesain dalam takaran cerebral. Sehingga ketika diimplementasikan terjadilah kebuntuan di lapangan justru karena derap pembangunan itu mulai memasuki wilayah religiositas masyarakat yang semestinya butuh pendekatan hati; dari hati ke hati.
Meneropong kemiskinan di NTT pun butuh sentuhan hati. Mungkin inilah yang mesti ditampilkan dari pusat studi kemiskinan NTT. Memang ada kontradiksi dalam memahami hal ini. Karena sebuah studi jelas-jelas menggunakan pendekatan ilmiah dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan menggunakan rumusan-rumusan baku ilmiah. Bagaimana mungkin memadukan studi kemiskinan dengan logika hati. Toh keduanya berada dalam cakupan wilayah yang berbeda. Namun, untuk melihat kemiskinan NTT, para peneliti memang butuh logika hati. Berbagai pendekatan ilmiah rasional perlu dipadu dengan pendekatan hati. Karena konteks ke-NTT-an kita membutuhkannya. Realitas kemiskinan di NTT tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kultur dan tradisi yang tercakup dalam religiositas. Untuk masuk wilayah inilah logika hati sangat diperlukan. Kemiskinan masyarakat NTT perlu mendapat sentuhan hati. Hanya dengan itu, kita akan bisa memiliki definisi sendiri, kriteria sendiri dan standar sendiri tentang sejauh mana orang-orang NTT itu miskin. Jadi pemahaman tentang kemiskinan NTT tidak perlu diimpor dari luar daerah. Ia mesti menjadi kesadaran dan keterjagaan orang-orang NTT sendiri.
Dalam kaitannya dengan pusat studi kemiskinan ini, hal yang mesti diperhatikan juga adalah kegemaran segelintir orang atau lembaga untuk menjual kemiskinan rakyat NTT. Kemiskinan sebagai realitas sosial kerap dikomersialisasi untuk mendatangkan dana yang acapkali salah sasar. Artinya, kemiskinan rakyat dipotret, dijadikan proposal dan dikirim ke lembaga-lembaga donor. Namun, dana untuk rehabilitasi atas kemiskinan itu dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri atau lembaga dan rakyat hanya diberi uang penghibur. Hal ini memang menjadi keprihatinan kita orang-orang NTT. Apakah kita sadar bahwa kemiskinan kita telah dan sering dijual? Pusat studi kemiskinan tentu mempunyai tugas yang tidak ringan. Ia mesti menjadi pusat informasi yang disertai data-data akurat tentang fakta kemiskinan di NTT. Sebagai pusat informasi, maka pusat studi kemiskinan ini bisa menjadi referensi bagi siapa saja yang membutuhkan data dan angka tentang kemiskinan di NTT. Hal ini sangat membantu pihak-pihak pengambil keputusan untuk menyikapi kemiskinan di NTT secara tepat sasar dengan pendekatan-pendekatan yang bijaksana. Pusat studi kemiskinan ini walau masih menjadi wacana, perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan masyarakat NTT. Semuanya ini demi meminimalisir proses pemiskinan yang kerap terjadi di wilayah NTT ini. Proficiat untuk Undana yang telah dipercayakan untuk memikirkan dan memulai pusat kajian kemiskinan ini. Kiranya pada saatnya, kemiskinann NTT bisa dipertanggungjawabkan dan orang-orang NTT bisa dilepaskan dari lingkaran setan kemiskinan.



Korupsi, Solidaritas dan Karitas

Oleh: Isidorus Lilijawa
(Dian, 28 Januari 2007)


Gerbang tahun 2007 telah dibuka dan kita pun tengah melangkah menyusuri hari-harinya, namun, ada kisah yang belum selesai dengan berakhirnya waktu 2006. Untuk konteks kita di NTT, kisah-kisah itu terekam dalam catatan akhir tahun yang diangkat beberapa media jelang pergantian tahun. Salah satu kisah yang tak pernah selesai dari penuturan kita adalah kisah merajanya korupsi di daerah kita. Korupsi tidak bisa hanya dijadikan kenangan semata. Korupsi adalah kisah yang butuh penuturan ulang, butuh penyelidikan secara cermat dan butuh penanganan yang serius di tahun baru ini.
Surat Kabar Pos Kupang (28/12/2006) dalam catatan akhir tahun 2006 menulis tentang penanganan korupsi yang terseok-seok. “Berapa penghasilan resmi pejabat pemerintah dan anggota dewan sehingga kebanyakan dari mereka memiliki mobil senilai ratusan juta rupiah, punya rumah mewah bahkan lebih dari satu, punya tabungan di sejumlah bank? Jika dicermati, tidak sedikit dari mereka hanya bermodalkan jabatan. Namun mereka ini sukar sekali disentuh proses hukum dan kalaupun ada proses hukumnya terkatung-katung.”
Data yang bersumber dari PIAR menyajikan jumlah kasus korupsi yang diproses di NTT. TTU 2, Manggarai 3, Belu 3, Ngada 3, Ende 4, Alor 4, TTS 5, Kab. Kupang 6, Kota Kupang 7, Popinsi NTT 8, Sikka 9, Rote Ndao 10, Flotim 11. Bagaimana kasus-kasus korupsi di NTT ditangani? Penanganan kasus korupsi di NTT nampaknya kurang bergairah. Ada sejumlah kasus yang berhasil ditangani, tetapi lebih banyak yang tersendat dengan berbagai alas an. Begitu banyak kasus yang melibatkan sejumlah ‘orang besar’ di daerah ini mengendap bertahun-tahun di tangan penyidik. Aparat penegak hukum seperti jaksa, polisi dan hakim yang diharapkan menjadi ujung tombak penegakan hokum, ternyata menjadi bagian dari masalah penegakan hukum dan terlibat sejumlah kasus KKN.
Solidaritas adalah sebuah prinsip yang sangat urgen dalam menata kehidupan bersama menjadi sebuah bonum commune. Tanpa solidaritas, kebersamaan yang kita bangun, kesatuan yang kita hayati hanyalah kebersamaan dan kesatuan yang semu. Solidaritas ibarat lem yang merekatlekatkan sendi-sendi keberbedaan kita. Kita memang berbeda tetapi solidaritas membuat kita tidak dibeda-bedakan.
Ini secuil teori tentang solidaritas. Bagaimana praksis solidaritas di kalangan masyarakat NTT dalam memerangi korupsi? Berbicara tentang solidaritas sebenarnya kita berbicara tentang nilai yang sifatnya praksis. Tak cukup menghidupi solidaritas dalam tataran ide-ide atau konsep. Solidaritas secara sederhana nyata dalam perilaku hidup kita di tengah masyarakat. Kita biasa saling menolong, memperhatikan, mendukung, melindungi.
Memerangi korupsi butuh solidaritas. Tugas itu tidak hanya menjadi tugas para aparat penegak hukum, jaksa, hakim dan polisi. Memerangi korupsi adalah tugas seluruh rakyat NTT. Caranya, masyarakat mendukung kinerja aparat penegak hukum dengan memberikan informasi, data-data yang menunjang demi terselesainya proses itu. Aparat penegak hukum pun mesti bekerja secara bertanggung jawab, bekerja secara profesional. Orang-orang yang terlibat korupsi mesti diberi sanksi social, agar ia merasa diri sebagai orang yang bersalah dan mempertanggungjawabkan kesalahannya.
Solidaritas dalam memerangi kemiskinan kerap melahirkan solidaritas palsu. Artinya, ketika mammon (uang, materi) berbicara, maka orang pun mulai takut berbicara tentang korupsi. Para koruptor biasanya pintar. Uang yang mereka korup cenderung dibagi-bagi kepada ‘sesama’-nya sebagai uang ‘tutup mulut’. Uang ini adalah uang ‘solidaritas palsu’. Mengapa banyak kasus korupsi di NTT mengendap bertahun-tahun dan akhirnya menguap begitu saja? Salah satunya karena para penyidik mengalami sindrom status konflik. Mereka merasa tak pantas membongkar kasus itu karena sama halnya membongkar aib diri sendiri. Ujung-ujungnya mereka juga mendapat ‘jatah’ dari ‘jarahan’ hasil korupsi itu. Bahkan upaya memerangi korupsi telah bergeser menjadi lahan mengais keuntungan.
Pos Kupang (28/12) menulis: kasus sarkes yang sudah diributkan sejak tahun 2003 lalu, hingga saat ini baru satu orang yang divonis, sementara yang lainnya hanya bertahan pada status tersangka. Begitu juga kasus korupsi dana APBD yang melibatkan sejumlah anggota DPRD di beberapa kabupaten/kota. Bahkan kasus korupsi yang melibatkan Bupati Kupang, Drs.IAM, sudah ada tanda-tanda mau di-SP3. Solidaritas kita memerangi korupsi sebagai penyakit sosial mengalami kebuntuhan tatkala kita masih kuat menghidupi budaya primordial. Para koruptor malah dilindungi, diselamatkan karena mereka orang sekampung, seasal, sekeluarga, yang pernah berjasa untuk orang-orang tertentu.
Korupsi bisa diperangi dengan karitas yang merupakan nilai luhur yang mesti dimiliki oleh setiap orang. Karitas adalah cinta kasih, kemurahan hati, kebaikan. Dengan karitas kita dapat menghadirkan sang kebaikan tertinggi. Karitas adalah hal yang niscaya untuk sebuah solidaritas sosial politik. Tidak mungkin kita mengupayakan kesetiakawanan tanpa cinta. Solidaritas tanpa karitas adalah solidaritas palsu. Sebaliknya, karitas tanpa solidaritas adalah karitas semu. Sudah saatnya kita memerangi korupsi dengan cinta, bukan dengan terpaksa atau setengah hati. Karitas membawa kita menuju upaya saling menghormati satu sama lain. Membangun NTT dalam cinta berarti membangun NTT dengan hati, bukan untuk perhitungan-perhitungan tertentu. Disparitas sosial politik di NTT adalah peluang yang baik untuk menanam benih-benih cinta. Kita mulai menjalin kerja sama internal maupun eksternal dengan pihak-pihak lain untuk memerangi korupsi. Untuk itu, nilai-nilai luhur kearifan lokal yang ada dalam budaya kita mesti digali dan dikembangkan dalam pergaulan setiap hari.
Apakah kita masih bangga menyebut diri orang beragama, orang yang menghayati cinta ketika pada saat yang sama kita adalah koruptor-koruptor itu? Apakah kita masih bangga dengan predikasi orang beriman jika aksi korupsi di depan mata tak pernah kita gubris? Karitas, cinta kasih kita sebagai orang-orang beriman, mesti terpantul pula dari perilaku sosial kita.



Politik Kuasa dan Politik Peduli
Oleh Isidorus Lilijawa
(Dian, 18 Februari 2007)

Akhir-akhir ini sorotan publik dan media terarah pada wajah parlemen kita. Itu semua berawal dari PP 37 Tahun 2006 tentang dana operasional dan tunjangan komunikasi intensif pimpinan dan anggota dewan. Kekuasaan mereka sebagai wakil rakyat memungkinkan mereka mendapatkan dana seperti itu. Namun, apakah mereka masih memiliki kepedulian terhadap rakyat kecil yang merasa dilecehkan oleh aliran dana sebesar itu yang dialokasikan dari APBD?
Pada titik ini, kita perlu mengetahui kategorisasi politik menurut kepentingannya. Politik kekuasaan berhubungan dengan teknik dan organisasi untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya. Politik kekuasaan ini ditempuh melalui saluran lembaga-lembaga demokrasi seperti lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif, partai-partai politik. Yang menjadi tujuan mereka adalah kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat diperoleh baik secara halal atau tidak halal, legal ataupun ilegal.
Y.B. Mangunwijaya mendefinisikan politik kekuasaan sebagai salah satu bentuk politik yang disamakan dengan permainan kotor, najis, penuh intrik busuk, tidak bermoral dan bahkan jahat. Politik ini bertujuan untuk kesejahteraan pribadi atau golongan tertentu dan kerap kali terimplementasi dalam cara-cara tidak halal. Para politikus sering menggunakan kuasa, pangkat dan jabatan yang dimilikinya secara sewenang-wenang untuk memperkaya dirinya.
Apa yang dikatakan Romo Mangun di atas, pada satu pihak memang benar karena sesuai dengan fakta yang tersaji dalam pentas politik keseharian. Namun, di pihak lain kita juga mesti memahami bahwa politik pada dasarnya dan dari tujuannya adalah baik adanya. Politik kekuasaan juga bertujuan baik bila mereka yang terlibat di dalamnya sungguh menghayati politik secara etis dan bermoral untuk bonum commune.
Kita sendiri menyaksikan sudah sejauh mana kesejahteraan bersama, kebaikan umum diperhatikan dan terselenggara berkat adanya politik kekuasaan yang dijalankan oleh para pemimpin yang bertanggung jawab. Mereka terjun ke dalam pentas politik kekuasaan bukan karena ‘gila kuasa’, tetapi karena panggilan kemanusiaan dan kepedulian sosial untuk memberikan pelayanan dan pengabdian yang terbaik kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga politik kekuasaan. Jadi, yang negatif bukan politik tetapi tingkah laku dan sikap para politikus.
Pada tataran lain, politik kepedulian sosial merupakan politik yang tidak terlibat dan atau melibatkan diri dalam politik kekuasaan, tidak turut bermain dalam percaturan politik kekuasaan tetapi menghayati politik sebagai tanggung jawab serta panggilan kemanusiaan dan kewarganegaraan. Orang yang terlibat dalam politik kepedulian sosial tidak berorientasi pada upaya memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya. Politik kepedulian sosial dibedakan dari politik kekuasaan berdasarkan motivasi dan sarana-sarana politis yang digunakan.
Motivasi politik kekuasaan adalah kekuasaan demi kekuasaan. Sedangkan motivasi politik kepedulian sosial adalah memanfaatkan segala kemungkinan untuk kebaikan bersama. Berdasarkan sarana, politik kekuasaan terepresentasi dalam lembaga-lembaga politis seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai-partai politik. Politik kepedulian sosial bergerak di luar lembaga-lembaga itu dengan mengusahakan kebaikan bersama melalui jalur informal seperti advokasi, fungsi kritik dan kontrol, pemberdayaan serta penyadaran masyarakat, dll. Politik kepedulian sosial dapat dijalankan dalam pentas politik kekuasaan bila orang-orang yang terlibat di dalamnya termotivasi oleh panggilan kemanusian dan kepedulian sosial bagi kepentingan banyak orang
Politik kepedulian sosial adalah politik yang didasarkan atas cita rasa kemanusiaan. Politik dalam pengertian ini dipahami sebagai segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum, jasmani dan rohani. Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa memandang siapa dan golongan, partai, ras, agama atau ideologi tertentu.
Menurut Y.B. Mangunwijaya, politik kepedulian sosial adalah politik dalam dimensi moral (dan iman), yang mana mengusahakan tata hidup bersama dengan menanamkan kerukunan dan persaudaraan, memupuk kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualisme, maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest.
Para wakil rakyat kita mesti memiliki politik kepedulian sosial dalam cakupan wilayah politik kekuasaannya. Sebagai representasi rakyat, wakil rakyat kita diharapkan lebih menumpahkan kepeduliannya kepada rakyat bukan kekuasaannya. Kuasa itu hanyalah sarana untuk lebih peduli pada rakyat. Kiranya, politik peduli jadi bagian dari keberadaan wakil rakyat, bukan semata-mata politik kuasa.



Pemimpin Nagekeo, Populis-Visioner
Oleh Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 5 Maret 2007)

Kabupaten Nagekeo sebentar lagi akan diresmikan menjadi kabupaten otonom. Persiapan menyambut peresmian itu tidak kalah gencarnya dengan persiapan mencari pemimpin untuk kabupaten baru itu dan persiapan menjodohkan para calon pemimpin dalam paket-paket tertentu. Nama para calon pemimpin boleh jadi telah beredar di kalangan masyarakat. Ini sangat dimungkinkan oleh aksi gerilya politik yang dijalankan tim suksesnya. Pada sisi lain, masyarakat Nagekeo pun ternyata mempunyai tugas yang tidak ringan. Bagaimana menyaring semua figur pemimpin yang namanya mulai santer terdengar, bagaimana secara kritis menilai figur-figur itu dan bagaimana dengan penuh kesadaran menjatuhkan pilihan pada figur tertentu saat pilkadal nanti.
Masyarakat Nagekeo mesti dibantu untuk menentukan pilihan. Untuk itu, mesti ada kriteria yang dibangun bagi siapa saja yang mau maju sebagai pemimpin Nagekeo. Dengan kriteria-kriteria yang mengkonteks, diharapkan masyarakat Nagekeo pada akhirnya memiliki pemimpin yang populis dan visioner. Pemimpin yang peduli rakyat dan kepentingan rakyat serta mempunyai visi brilian tidak saja untuk Kabupaten Nagekeo saat ini, tetapi Kabupaten Nagekeo 5 atau 10 tahun mendatang.
Diskusi bulanan Dian/Flores Pos tentang “Mengisi Daerah Baru”, Sabtu (27/1) lalu sedikitnya telah membangun beberapa kriteria bagi para pemimpin Nagekeo. Diantaranya, pemimpin Nagekeo harus bebas virus Indonesia. Virus Indonesia adalah virus kronis yang menyerang sistem pertahanan nurani dan sistem kekebalan batin, yang menyebabkan orang suka korupsi, kolusi, nepotisme. Virus ini bisa mematikan sistem demokrasi kerakyatan, menumpulkan senjata moral dan etika politik. Calon pemimpin Nagekeo haruslah mereka yang bebas virus ini. Rakyat Nagekeo bisa mengkritisinya dari rekam jejak perjalanan sang calon pemimpin di level birokrasi pemerintahan, organisasi politik maupun kemasyarakatan. Virus Indonesia itu nyata dalam perselingkuhan politik legislatif dan eksekutif, perselingkuhan proyek birokrat dan kontraktor, perselingkuhan hukum pejabat dengan aparat penegak hukum. Bisa jadi para calon pemimpin itu pernah berada di dalam sistem itu dan tertular virus yang sama.
Kriteria lain, calon pemimpin Nagekeo adalah orang mempunyai ‘roh’ kerakyatan. Itu berarti orang yang peduli pada kepentingan rakyat, bukan dalam retorika dan dalam tataran teori saja. Yang utama adalah dalam tindakan, tutur kata yang membangun, sikap keramahan yang merangkul rakyat kecil. Bagaimana misalnya mereka (para pemimpin) itu memperlakukan orang Nanganumba di Aesesa dan orang Riti di Nangaroro atau orang Wudu di Boawae tanpa membeda-bedakan dari latar belakang mana mereka berasal. Daniel Sparingga dalam suatu wawancara dengan Kompas pernah mengatakan, sistem demokrasi kita menghasilkan demokrasi zombie karena ada badan tetapi tak punya jiwa. Sistem demokrasi model ini melahirkan para birokrat zombie, para legislatif zombie, para aparat hukum zombie. Mereka memang punya raga, tetapi jiwanya, rohnya ‘mati’ terlindas kepentingan diri dan kelompok, mati tergilas uang politik dan birahi selingkuh politik.
Terkait roh kerakyatan dan keramahan ini saya terkesan pada gebrakan duet Bupati dan Wakil Bupati Flores Timur, Simon Hayon dan Yosni Herin. Mereka merampingkan struktur birokrasi Flotim yang kegemukan dan menghemat anggaran Rp6 miliar setahun yang digunakan untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan rakyat. Mereka membalikan posisi 65 persen untuk belanja rutin dan 35 persen untuk belanja pembangunan rakyat menjadi 65 persen untuk belanja pembangunan rakyat dan 35 persen untuk belanja rutin. Mereka menembus kabut feodalisme yang memperlakukan pejabat sebagai ‘benda sakral’, sehingga banyak watchdog (yang namanya Pol PP atau Satpam) harus mengitarinya, menjaganya, mengawalinya ke mana saja mereka pergi. Mereka datang, duduk dan makan minum bersama rakyat tanpa sekat, tanpa batas. Seragam boleh berbeda, namun itu bukan tembok pembatas. Mereka betul tahu apa artinya pemimpin rakyat; bagian dari rakyat, saudara rakyat dan primus inter pares (yang pertama dari rakyat), yang harus berjuang untuk rakyat, pahlawan rakyat.
Calon pemimpin Kabupaten Nagekeo nantinya bukanlah bagian dari barisan ‘laskar lapar’. Para ‘laskar lapar’ itu melihat daerah pemekaran baru sebagai arena untuk mendapatkan jabatan baru, kapling baru untuk proyek baru. Daerah baru bisa menjadi peluang untuk meraih kekuasan setelah sekian lama mereka ‘lapar’ kuasa. Rakyat Nagekeo boleh melihat sendiri begitu banyak ‘orang besar’ Nagekeo pulang kampung setelah bertahun-tahun mengabdi di daerah lain. Berhati-hatilah kalau mereka bagian dari ‘laskar lapar’ itu. Orang yang terindikasi ‘laskar lapar’ adalah mereka yang lapar kuasa, lapar modal, lapar jabatan. Setelah sekian lama tidak memangku jabatan atau menjadi korban dari mergernya beberapa instansi di daerah induk atau daerah lain, mereka akan ramai-ramai hijrah ke daerah baru mengedepankan isu primordial ‘ata kita’ dan berusaha menggeser atau membatasi peran ‘ata mai’.
Tanggal 8 Desember 2006 lalu, warga Nagekeo menumpahkan kegembiraannya setelah DPR RI dalam sidang paripurna mengesahkan pembentukan beberapa kabupaten baru di Indonesia, termasuk Nagekeo. Kegembiraan itu beralasan karena rakyat diberi pengertian bahwa pemekaran daerah dalam bingkai otonomi daerah bertujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat dan itu berarti rakyat cepat disejahterakan. Apa betul demikian? Dalam nuansa kegembiraan atas restu DPR RI itu, rakyat Nagekeo tetap menderita karena hasil panen yang bakal tidak diperoleh akibat panas panjang ini. Rakyat masih susah memenuhi kebutuhan hidupnya karena harga-harga barang di pasar yang terus melonjak. Rakyat tetap miskin karena akses ekonomi dan pendidikan mereka tetap merunduk. Namun, berita ‘restunya’ DPR RI itu adalah kado terindah buat para ‘laskar lapar’. Mereka mulai sibuk kalkulasi ‘doi’ yang bakal diterima tiap bulan setelah menduduki kursi panas birokrasi Nagekeo. Mereka mulai incar di posisi mana akan berlabuh. Mereka juga mulai mencari siapa mangsa berikutnya demi ‘rasa kenyang’ dan ‘rasa senang’ sendiri.
Orang yang mau menjadi pemimpin untuk Kabupaten Nagekeo mesti berani membuat perampingan struktur gemuk dan memilih para pejabat struktural berdasarkan profesionalismenya bukan faktor like dan dislike apalagi terjerat tali primordialisme. Ini memang butuh keberanian agar struktur birokrasi bukanlah kumpulan orang-orang yang pandai beretorika tapi miskin skil atau bahkan kumpulan para penganggur terselubung. Contoh nyata sudah dibuat duet pemimpin Kabupaten Flores Timur, Simon-Yosni. Memang ada risiko dibenci dan dicerca, tetapi itu lebih mulia daripada menelantarkan rakyat yang tetap miskin karena sebagian anggaran daerah hanya untuk menghidupi struktur gemuk itu.
Pemimpin Nagekeo mestilah orang yang bervisi. Segenap potensi yang ada di wilayah Kabupaten Nagekeo mesti diberdayakan semaksimal mungkin. Ini butuh kejelian dan kecermatan untuk membaca keunggulan daerah. Karakteristik daerah Nagekeo baik dari aspek sosial budaya, sumber daya alam dan sumber daya manusianya mesti menjadi modal untuk mengembangkan Nagekeo menjadi lebih baik. Untuk ini, kita perlu belajar dari daerah lain yang sudah lebih maju, salah satunya daerah Gorontalo.
Gorontalo di bawah kepemimpinan Gubernur Fadel Muhammad dan Wagub Gusnar Ismail menjadi kota agropolitan. Gorontalo identik dengan jagung dan kini padi, komoditas pertanian yang mencuatkan provinsi ini sebagai sentra baru lumbung beras nasional. Memilih fokus pada pengembangan agropolitan adalah sebuah langkah berani di saat banyak provinsi berlomba-lomba masuk dunia industri dan jasa untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Gorontalo mempunyai puluhan komoditas pertanian hortikultura yang potensial seperti kelapa, cengkeh, padi, jagung, kedelai, kacang tanah, tebu. Tak mungkin mengembangkan seluruhnya bersamaan. Harus ada pilihan, agar bisa mempunyai keunggulan komparatif sekaligus kompetitif. Fadel Muhammad percaya teori school of commodities, fokus ke satu komoditi unggulan, sangat pas diterapkan di Gorontalo.
Fadel Muhammad yakin konsep trickle down effect, menciptakan kelompok usaha besar untuk menjadi lokomotif pembangunan, yang menjadi konsep pembangunan saat ini dan pernah menjadi ‘konsep jitu’ dalam pengembangan Kapet Mbay beberapa saat lalu, tak akan terwujud. Tak ada rembesan seperti yang diharapkan. Akibatnya masyarakat tetap berkutat di pinggiran. Ketika mulai memimpin, ia memilih konsep pembangunan yang melibatkan masyarakat secara luas dan langsung, dengan keunggulan lokal. Ia kembangkan lima nilai di lingkungan birokrasi pemerintah daerah Gorontalo, yaitu inovasi, menghargai upaya menciptakan kebaruan berkesinambungan agar yang dilakukan terus meningkat kualitas dan manfaatnya; Teamwork, keyakinan bahwa upaya pencapaian tujuan bersama akan lebih berhasil bila dilakukan bersama; Trustworthiness, keyakinan bahwa sikap saling percaya dapat memelihara kredibilitas; Speed, kecepatan mencapai tujuan dan mengejar ketertinggalan; Kesejahteraan, terpenuhinya kebutuhan rohani dan fisik secara berimbang.
Implikasinya, sejak tahun 2002 pemerintah Gorontalo telah merancang dan melaksanakan tiga program, yaitu ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, dan pengembangan komoditi unggulan berbasis jagung. Hasilnya sangat menggembirakan. Awalnya produksi jagung rakyat 1,5-2 ton/tahun. Sekarang mencapai 8 ton/tahun. Indikator yang mudah untuk melihat kemajuan masyarakat adalah jumlah yang pergi haji. Jika dulu paling banyak hanya 200-300 calon jemaah haji asal Gorontalo per tahun, pada musim haji 2005 telah mencapai 1.000 calon jemaah haji.
Kabupaten Nagekeo belum apa-apa, diresmikan pun belum. Namun, apa yang dibuat pemimpin di Gorontalo perlu menjadi bahan pembelajaran bagi para calon pemimpin di Nagekeo nantinya. Percaya pada potensi unggulan lokal adalah kuncinya. Di Mbay ada persawahan, lahan peternakan. Di Mauponggo dan Boawae ada komoditi pertanian dan perkebunan. Begitu pula di Nangaroro. Belum lagi potensi kelautan Nagekeo yang sangat kaya. Semua potensi itu mau diapakan, tergantung pada visi seorang pemimpin yang benar-benar populis. Untuk Kabupaten Nagekeo, pengembangan program agropolitan bisa menjadi prioritas. Tidak perlu terpaku pada jargon trickle down effect, mulailah dengan potensi unggulan lokal. Karena itu, seorang pemimpin mesti memiliki pengetahuan yang jelas tentang pemetaan potensi daerahnya, punya analisis SWOT untuk setiap potensi unggulan dan memahami teori school of commodities.
Mencari pemimpin Nagekeo yang populis dan visioner memang tidak mudah di tengah begitu banyaknya calon pemimpin yang bakal bersaing merebut kursi kepemimpinan di sana juga dengan retorika yang populis dan visioner Hanya saja, untuk pemimpin yang bakal memimpin Nagekeo, hemat saya konsep populis dan visioner itu terlebur dalam budaya kewirausahaan dalam pemerintahan, yaitu pemerintahan yang berwawasan, berbudaya kewirausahaan dan berperilaku kewirausahaan. Mereka harus mengerti bagaimana memanfaatkan potensi yang ada, menggalinya serta memasarkannya untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, transformasi mindset birokratik menjadi mindset entrepreneurial melalui pengembangan entrepreneurial culture di lingkungan pemerintahan atau sektor publik mutlak dilakukan.




Tambang Nggolonio dan Kecemasan Masyarakat
Oleh Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 10 April 2007)

Sebuah langkah maju telah dirintis Pemkab Ngada melalui proyek pertambangan biji besi di Nggolonio. Proyek yang dipercayakan kepada investor PT Lisindo itu diharapkan bisa mempercepat laju kesejahteraan masyarakat pemilik lokasi tambang, masyarakat sekitar pertambangan dan masyarakat Ngada umumnya. Masyarakat adat suku Towak, suku Toring dan suku Nggolonio mungkin sedang merenda mimpi dengan hadirnya pertambangan di daerah mereka, di depan mata mereka sendiri. Kehadiran tambang ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap pembangunan di wilayah pantura Ngada, yang selama beberapa dasawarsa sebelumnya hanyalah menjadi daerah pinggiran dalam proyek pembangunan di Ngada.
Politik pertambangan yang sedang dijalankan Pemkab Ngada, dalam hal ini dinas pertambangan adalah hal yang baik untuk kemajuan wilayah pantura itu. Mengapa politik pertambangan? Pertambangan diyakini menjadi cara, jalan, untuk meraih bonum commune bagi warga tiga suku di atas dan warga Ngada seluruhnya. Sebagai sebuah wujud politik, pertambangan dengan demikian tidak bisa dilepaspisahkan dari etika pertambangan. Ini sudah menyangkut wilayah moral. Bicara tentang pertambangan adalah juga bicara tentang moralitas pertambangan. Baik buruknya kehadiran pertambangan bagi hayat hidup warga di sekitarnya dan keharmonisan ekologis. Pertanyaan kita, apakah tambang di Nggolonio itu sudah melewati tahap pengujian etis dalam mekanisme etika pertambangan?
Patut disadari bahwa memvonis lebih awal kegagalan proyek pertambangan di Nggolonio adalah hal yang kurang bijak. Toh, tambang di Nggolonio belum apa-apa. Namun, membiarkan sesuatu yang tidak baik bakal terjadi karena hadirnya pertambangan dan terlebih karena pencederaan terhadap etika pertambangan adalah hal yang sangat busuk. Berbagai fenomen sedang menunjukkan hal itu. Sederhananya, tambang di Nggolonio itu memang belum apa-apa tetapi sudah apa-apa.
Pertengahan Maret 2007, saya melintasi daerah pertambangan itu. Jalan menuju lokasi pertambangan sudah terbuka lebar. Begitu pula jalan menuju pelabuhan laut. Beberapa kendaraan proyek hilir mudik. Ada kegembiraan dalam hati karena tak lama lagi daerah kami yang sunyi senyap itu, yang irama hariannya adalah kicauan burung, embikan kambing dan domba, lenguhan sapid an teriakan penggembala di bawah terpaan mentari panas bakal ramai. Tentu akan dibangun sarana prasarana penunjang yang memudahkan aktivitas masyarakat dan bisa jadi mendongkrak geliat perekonomian masyarakat kecil di situ. Aliran kegembiraan perlahan terhenti ketika di Lengkosambi orang-orang muda bicara tentang bagaimana mau kerja di situ kalau para pekerjanya banyak didatangkan dari luar daerah. Perjumpaan dengan tokoh-tokoh suku Toring mempertegas kecemasan tentang janji Pemkab yang belum lunas soal kompensasi commodity development dan royalty.
Kecemasan masyarakat terkait tambang di Nggolonio itu kembali tersingkap dalam berita Flores Pos, Kamis (5/4) hal.4 berjudul “Pemda Abaikan Kesepakatan dengan Warga”. Dalam berita itu tertulis beberapa kecemasan warga yang terlontar dalam aksi protes warga pemilik tanah di lokasi tambang biji besi Desa Nggolonio. Kecemasan itu antara lain soal tenaga kerja seperti pengemudi dan satpam, juga soal kompensasi commodity development dan royalty. Ini bukan masalah kecil. Pengabaian hal-hal yang mencemaskan ini akan sangat menentukan keberlanjutan pertambangan di Nggolonio dan tentu saja akan menimbulkan bencana kemanusiaan, petaka ekologis yang tidak sedikit. Itu berarti, politik pertambangan sudah keluar dari jalurnya. Dan pertambangan menjadi sumber petaka bagi masyarakat bukan berkat seperti mimpi-mimpi indah para warga.
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari kehadiran pertambangan ini. Ada tahap yang dilangkahi Pemda Ngada dan ada janji yang diingkari. Artinya, Pemda kelihatan tidak sungguh-sungguh menjadikan tambang ini sebagai tambang kesejahtaraan rakyat pantura. Sebaliknya, tambang ini dijadikan proyek untuk mendapatkan keuntungan finansial bagi pihak-pihak tertentu.
Saya sepakat dengan pendapat anggota dewan Sil Yewa yang menyatakan bahwa reaksi masyarakat Nggolonio terhadap pertambangan biji besi di daerah mereka adalah dampak dari proses yang tidak matang. Pemda tidak melakukan sosialisasi rencana tambang ini dengan baik. Lagi-lagi masalah sosialisasi. Mengapa tahap yang penting ini tidak ditempuh secara baik? Sosialisasi dari kata socius (Latin) artinya teman, society (Inggris) masyarakat. Sosialisasi berarti menjadikan sesuatu itu teman, dekat, akrab, memasyarakat. Ini penting agar keberadaan sesuatu tidak mencurigakan dan menimbulkan prasangka apalagi sesuatu itu adalah hal yang menyangkut hayat hidup orang banyak.
Sosialisasi tambang biji besi di Nggolonio berarti menjelaskan kepada masyarakat mengenai rencana pertambangan itu. Sederhananya metode 5W1H (apa yang mau ditambang, untuk apa, oleh siapa, kapan ditambang dan sampai kapan, mengapa ditambang di situ, di lokasi mana ada bahan tambang dan bagaimana proses pertambangan itu). Kalau ada niat baik dari Pemda, maka tugas sosialisasi ini tidak berat. Rakyat kecil tidak butuh penjelasan ilmiah dan pemetaan grafis berteknik tinggi. Mereka butuh penjelasan sederhana dalam acara ngampong namat (omong-omong). Warga sangat peka terhadap apa yang disebut xenophobia (ketakutan terhadap hal-hal asing). Mereka tentu merasa asing terhadap orang asing yang sudah ada di lokasi pertambangan, menolak sesuatu yang datang dari luar yang tidak diketahui namun sudah mulai bekerja diam-diam di tanah milik mereka.
Masyarakat berhak untuk tahu segala hal berkaitan dengan pertambangan itu. Karena pertambangan itu ada di wilayah mereka dan tujuan pertambangan itu untuk kesejahteraan mereka. Hak warga inilah yang tidak dipenuhi pengelola tambang dalam hal ini dinas pertambangan Ngada. Yang jusru aneh, memorandum of understanding (MoU) ditandatangani sebelum sosialisasi dan semua tetek bengek menyangkut pertambanan menjadi jelas. Akibatnya, lahir protes setelah MoU ditandatangani karena Pemda tidak memenuhi janjinya. Ini kan bagian dari pembodohan masyarakat.
Mengapa kita selalu kecolongan dalam hal sosialisasi? Dinas pertambangan Ngada yang ada saat ini, PT Lisindo investor tambang saat ini adalah pelaku untuk pertambangan biji besi di bukit Mbopok Riung beberapa saat lalu. Polanya sama. Tanpa sosialisasi. Warga Riung kaget ketika peralatan berat mulai bekerja di lahan mereka. Alih-alih, argumentasi dinas pertambangan adalah PT Lisindo sedang melakukan penelitian. Kok penelitian seperti tamu yang tak diundang, biblisnya pencuri di tengah malam. Datang diam-diam dan dengan begitu banyak peralatan berat mulai beraktivitas. Ini kan aneh. Ongkosnya memang terasa. Ada disparitas antar suku-suku di Riung saat itu. Tatanan lokal goyah karena politik uang berjalan. Beri uang di suku sana, minta legitimasi dari suku sini. Etika pertambangan tidak berjalan. Protes warga melalui forum PERISAI (Persekutuan Riung Sariwu) dan tekanan DPRD Ngada membatalkan tambang itu.
Hal yang sama sedang terjadi di Nggolonio. Warga masyarakat adat dijanjikan untuk duduk bersama Pemda dan investor membahas kompensasi commodity development, royalty, dan tenaga kerja 2 minggu setelah penyerahan tanah kepada Pemda Ngada. Masyarakat tunggu. Kesepakatan tidak jalan. Aktivitas di lapangan sudah jalan. Apa arti semuanya ini?
Persoalan tenaga kerja menjadi salah satu hal yang diprotes warga di Nggolonio. Ini tidak berarti warga setempat harus diterima bekerja di situ. Tetapi standar tenaga kerja PT Lisindo mesti disosialisasikan kepada warga setempat. Agar warga tahu bagian mana yang butuh profesionalisme dan keahlian yang butuh tenaga dari luar. Namun itu tidak berarti tidak ada ruang partisipasi kerja bagi warga setempat. Ruang kerja itu mesti dibuka agar warga setempat tidak menjadi penonton dan penganggur di lahan mereka sendiri. Ini butuh kebijakan. Dan sangat dimungkinkan oleh sosialisasi. Manajemen perekrutan tenaga kerja yang tidak arif akan menimbulkan ekses. Lahir sentimen antara “orang kita” (ata nggite) dengan “orang luar” (ata pe’ang). Orang Nggolonio, orang Lengkosambi, orang Ngada dengan dengan orang Jawa, misalnya. Eksesnya bisa mempengaruhi proses kerja di pertambangan itu. Ujung-ujungnya lahirlah konflik. Ketidaksigapan Pemda mengatasi hal ini menyebabkan lahirnya potensi konflik di tempat penambangan.
Salah satu hal yang selalu dibuat berkaitan dengan rencana pertambangan adalah AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan). Apakah sosialisasi AMDAL sudah dibuat dan dipresentasikan oleh dinas pertambangan Ngada? Ini tidak saja soal pertambangan untuk hari ini dan tahun depan, tetapi untuk 20 dan 25 tahun mendatang. Untuk anak dan cucu warga Nggolonio puluhan tahun mendatang. Keharmonisan ekologis mesti diutamakan. Karena itu, harus ada pemetaan yang jelas mengenai alur limbah dari pertambangan itu. Jangan sampai lahan peternakan warga sekitar pertambangan tercemar dan lautan menjadi kolam limbah. Di mana lagi warga Nggolonio beternak kambing, domba, sapi? Di mana lagi warga Nggolonio menangkap ikan, teripang dan nener? Banyak kasus sudah terjadi karena manajemen AMDAL yang asal-asalan. Ingat bencana teluk Buyat, longsoran di Timika, lumpur panas Sidoarjo, kekeringan mata air di Naitapan TTS karena tambang marmer. Ini sedikit contoh dari banyaknya kecerobohan pertambangan karena tidak memperhatikan AMDAL dan aspek ekologis.
Proses pertambangan yang tidak matang tentu melahirkan berbagai kecemasan seperti sudah diuraikan di atas. Warga Nggolonio saat ini sedang cemas setiap kali menatap hamparan bukit yang beberapa saat lagi akan dikeruk. Kecemasan warga ini menunjukkan bahwa mereka tidak mau menjadi korban dari proyek pembangunan yang berlabel ‘untuk kesejahteraan warga’. Lokasi pelabuhan yang menjadi tempat angkut material biji besi untuk diproses selanjutnya bisa menjadi monumen kekalahan orang-orang kecil yang hanya bisa melihat isi tanahnya diangkut dan tidak kembali lagi. Kecemasan menjadi ‘sapi perah’ menghantui warga. Susu dari perbukitan yang mengandung biji besi diperas untuk menggemukkan orang-orang di daerah lain, mengencangkan saku-saku baju dan celana para pejabat dengan uang hasil menukar susu itu. Warga di daerah tambang hanya menjadi sapi-sapi kurus kekurangan gizi dan akhirnya mati sendiri.
Pertambangan biji besi di Nggolonio baru dimulai. Langkah-langkah antispatif masih bisa dibuat. Masih ada waktu untuk duduk bersama masyarakat dan berbicara bersama mengenai kepentingan mereka dalam kaitannya dengan pertambangan itu. Jangan dengar pihak lain di luar ketiga suku, warga masyarakat adat yang menguasai lokasi tambang itu. Datang, duduk dan bicaralah dengan warga di sana. Bukan dengar si A atau si B di Jakarta atau di pusat kekuasaan. Selagi kemiskinan bisa dijual untuk mendulang rupiah, orang bisa menjual daerahnya sendiri. Hal-hal yang mencemaskan yang bisa ditangani sebaikanya dibereskan memang. Jangan biarkan itu menjadi bom waktu yang pada saatnya siap meledak. Kembalikan politik pertambangan itu pada jalur etikanya. Mengapa takut terbuka pada rakyat? Jangan biarkan rakyat cemas.


DPRD, Anak Korek Api dan Kacamata
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 17 Januari 2007)

Penolakan massa terhadap PP 37/2006 terjadi di mana-mana. PMKRI Cabang Ende misalnya dalam aksi di gedung DPRD Ende, Sabtu (13/1) menyerahkan kado kepada anggota DPRD Ende. Kado itu antara lain anak korek api dan kacamata. Anak korek diberikan kepada anggota DPRD Ende agar mereka bisa mengorek telinganya, membersihkan telinganya yang kotor, yang membuat mereka tuli terhadap jeritan dan suara-suara rakyat kecil. Kacamata diserahkan kepada anggota dewan untuk melihat secara jelas kebutuhan dan penderitaan rakyat. Tesisnya jelas, kinerja anggota dewan di daerah ini diwarnai ketulian untuk mendengar dan kebutaan untuk melihat kepentingan dan kebutuhan rakyat. Aksi ini menyoroti PP 37 2006 yang disambut ‘penuh hangat’ oleh kalangan anggota DPRD Ende.
Demam PP 37 2006 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota masih dalam skala panas tinggi. Selepas Jakarta mengeluarkan produk hukum tersebut, DPRD NTT dan Kabupaten se-NTT getol membahas ranperda yang berkaitan dengan kenaikan tunjangan bagi pimpinan dan anggota dewan di wilayah bersangkutan. Betapa tidak. Isi krusial PP 37 2006 adalah penetapan kenaikan gaji ketua dan anggota DPRD sebesar 300 persen dan tunjangan komunikasi intensif 600 persen. Dengan kenaikan itu, maka gaji ketua DPRD Rp22 juta/bulan, sementara gaji anggota DPRD Rp15-18 juta/bulan.
Di pihak lain, rakyat berjuang untuk mempertahankan hidup dengan apa adanya. Tak ada tunjangan maupun jaminan kepastian hasil panen. Naiknya harga-harga barang, yang di satu sisi disebabkan juga oleh naiknya tunjangan anggota dewan ini membuat rakyat semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Rakyat betul-betul terlilit krisis berkepanjangan. Setelah mulai 1 Oktober 2006 lalu, rakyat dihajar naiknya harga BBM, hajaran kian keras dirasakan dengan PP 37 2006 yang memanjakan anggota dewan.
Anak korek api dan kacamata merupakan simbol bahwa wakil rakyat kita saat ini dinilai kurang memiliki sense of crisis, kurang memiliki perasaan bahwa masih banyak rakyat yang miskin, susah dan sengsara di luar gedung dewan. Pedih memang membayangkan para anggota dewan kehilangan perasaan seperti itu. Saya yakin bahwa para wakil rakyat yang sedang bercokol di gedung dewan itu ada yang berasal dari masyarakat lapisan bawah, yang sebenarnya tahu betul situasi dan kondisi masyarakat. Lantas mengapa kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat itu tidak direspons dalam kebijakan-kebijakannya? Apakah ini yang namanya ‘kacang lupa kulit’? Saya kutip apa yang diungkapkan salah seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Manggarai: “Ini bukti bahwa dewan tidak punya hati nurani bagi masyarakat. Memang susah kalau jadi dewan dari sebelumnya tidak punya, dan kemudian menjadi rakus untuk memperkaya diri sendiri” (Flores Pos, 8/5/2006).
Ketiadaan sense of crisis di kalangan anggota dewan melahirkan pertanyaan ini: apakah rakyat yang keliru memilih mereka? Ataukah kualitas pribadi yang serba minus, yang selama masa penjaringan dan kampanye dibungkus rapi seperti kubur yang dilabur putih yang di dalamnya berserakan tulang-belulang? Dengan gencarnya DPRD merespons penetapan ranperda PP 37 2006 di tengah kemiskinan rakyat, maka aspek kualitatif seorang anggota dewan digugat dan dipertanyakan. Apakah para wakil rakyat itu cerdas dan berkualitas? Dengan adanya ‘semangat’ PP 37 2006 ini, masyarakat bisa melihat bahwa stigma 5-D (datang, duduk, dengar, diam duit) itu masih menjadi trend di kalangan wakil rakyat, orang-orang yang dipilihnya. Stigmatisasi ini hanya bisa diretas oleh kecerdasan dan kekritisan para wakil rakyat memperjuangkan kepentingan rakyat. Tanpa itu, kita sebenarnya menyesal mempunyai anggota dewan yang ‘buta krisis’.
Hal lain adalah integritas pribadi, yang mengacu pada perilaku dalam berpolitik yang dimotivasi oleh sikap moral dan cara pandang yang diakui oleh masyarakat dalam kaidah-kaidah umum. Ketiadaan sense of crisis para wakil rakyat itu menggambarkan sejauh mana integritas pribadinya. Menyeruak juga rasa menyesal memiliki wakil rakyat yang ‘buta krisis’-nya berbanding lurus dengan kadar integritas pribadi. Benar apa yang dikatakan Abd rohim Ghazali, Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dalam kata pengantar buku Kapan Badai Akan Berlalu, “….sebenarnya yang tengah terjadi pada bangsa Indonesia adalah sesuatu yang cukup sederhana. Karena pemerintah dan wakil rakyat selalu menanamkan kebohongan, dan masyarakat sudah terbiasa mempercayai kebohongan-kebohongan itu, maka pada saat ini kita tengah menikmati hasil kebohongan yang sudah tumbuh subur. Ketika kebohongan mulai terkuak, ketika masyarakat sadar dengan kebohongan-kebohongan yang dipercayainya, maka yang timbul kemudian adalah krisis kepercayaan.” Memang saat ini tengah terjadi krisis kepercayaan rakyat terhadap wakilnya sendiri akibat proyek kebohongan berbentuk korupsi yang dilegalkan dengan undang-undang.
Dalam konteks ‘semangat’nya wakil rakyat merancang perda untuk meloloskan PP 37 2006 demi naiknya tunjangan dan gaji mereka, kita bisa melihat dengan sangat transparan kepentingan siapa yang mau diperjuangkan. Sungguh naif bahwa ketika masyarakat masih berjuang tertatih-tatih untuk mempertahankan hidup dengan kondisi ekonomi yang lemah lembut, para wakil rakyat justru berusaha mendapatkan tunjangan dan gaji belasan hingga puluhan juta. Para wakil rakyat itu getol memperjuangkan kepentingan diri, kenyamanan keluarga, di saat masih ada begitu banyak rakyat yang hidup miskin, tidak memiliki rumah yang layak dan pantas, menderita penyakit, tertimpa bencana alam, terisolasi, putus sekolah, kekurangan gizi.
Kenyataan yang terjadi di atas menggambarkan bahwa kita sedang menghadapi bencana politik yang mengerikan, berupa semakin besarnya kegagalan dan kekeliruan memilih dan menentukan para wakil rakyat. Para anggota dewan yang adalah produk dapur reformasi dan demokrasi begitu saja melupakan hakikat reformasi dan demokrasi ketika kekuasaan dan wewenang itu berada dalam genggaman mereka. Seperti kata Max Regus, Pr dalam Sketsa Nurani Anak Bangsa “…yang muncul adalah menguatnya kekuatan ‘kontra-demokratisasi’. Salah satu benang merah yang bisa menghubungkan kenyataan ini adalah tampilnya elit politik kita yang kikuk, ringkih, rikuh, tidak adaptif-responsif, dan memiliki akuntabilitas moral yang meresahkan. Akhirnya mereka cenderung destruktif terhadap reformasi. Justru elit politik kita sendiri yang sering memusingkan bangsa Indonesia dan memporakporandakan kalkulasi demokratisasi ke depan.” Dalam bingkai persoalan ini, DPRD kita justru tampil sebagai kekuatan kontra-reformasi. Mereka tidak hadir sebagai problem solver atau agent of change bagi situasi buruk di tengah masyarakat, tetapi justru menjadi bagian dari persoalan (a part of problem) dan pembuat persoalan (problem maker). Kita rupanya memiliki wakil rakyat yang setengah wakil rakyat atau wakil rakyat setengah-setengah.
Apa yang bisa diharapkan dari para wakil rakyat itu selepas mereka menikmati anak korek api dan kacamata? What sorts of person do we want and need to be a politicians? (Manusia macam apakah yang kita harapkan dan butuhkan sebagai politikus?). Yang kita butuhkan adalah figur wakil rakyat yang tahu diri, tahu tempat dan tahu tugas. Artinya, seorang wakil rakyat adalah dia yang berjuang demi kepentingan rakyat, mengutamakan kemaslahatan hidup rakyat banyak dan tidak berpikir serta berjuang untuk kepentingan diri. Wakil rakyat yang populis adalah impian rakyat yang memilihnya. Kondisi wakil rakyat kita saat ini memang sedang sakit. Bisa sakit ingatan, sakit jiwa maupun sakit-sakitan bila berhadapan dengan perjuangan merespons kebutuhan pokok rakyat. Apa yang kita buat?
Pertama, menggagas dan merealisasikan komite etika bagi politikus. Para politisi kita banyak yang sakit dan karena itu dibutuhkan dokter politik. Ada yang tuli, pekak, buta, rabun, pincang. Etika politik dapat menjadi dokter bagi para wakil rakyat itu. Etika politik juga dibutuhkan untuk melindungi hak-hak ‘pasien politik’ yang dalam keadaan tertentu tidak mustahil akan menjadi korban para politikus. Di Amerika Serikat umpamanya, kita mendengar adanya komite etika (Ethics Committee) di parlemen, sehingga jika salah satu anggotanya dinilai melanggar etika politik, maka ia disarankan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota parlemen. Hemat saya, upaya penyembuhan karakter dan moralitas wakil rakyat yang pekak, tuli, buta, rabun itu bukanlah dengan mengadakan studi banding ke daerah-daerah lain yang terindikasi menghambur-hamburkan uang rakyat. Bukan juga dengan menaikkan alokasi dana penunjang kesehatan, penunjang komunikasi. Wakil rakyat kita menderita penyakit lupa ingatan kronis. Obat untuk penyembuhannya ada di tengah-tengah masyarakat. Wakil rakyat yang mau sembuh dari penyakit ini mesti sering turun ke tengah masyarakat, berdialog dari hati ke hati, mendengarkan keluhan dan masukkan dari rakyat serta memperjuangkan aspirasi rakyat. Penyakit lupa ingatan (lupa janji-janji kampanye, lupa komitmen kerakyatan, lupa status) akan hilang bila memoria passionis, ingatan pada penderitaan orang-orang kecil, masyarakat periferi yang mengharapkan perbaikan nasibnya pada eksistensi wakil rakyat yang dipilihnya selalu terbangun dalam setiap rutinitas wakil rakyat.
Kedua, menciptakan clean governance. Wakil rakyat adalah rekan kerja pemerintah dan keduanya mempunyai tujuan akhir yakni mencipatakan kesejahteraan rakyat. Pasca reformasi, berbagai elemen masyarakat mendesak agar lembaga pemerintahan dibersihkan dari tikus-tikus kantor. Sudah menjadi fakta bahwa lembaga pemerintahan ternoda oleh praktik korupsi, kolusi, nepotisme, pengkhianatan janji-janji, pembohongan publik dan konspirasi politik. Karena itu, tugas wakil rakyat adalah mengawali kinerja pemerintah agar selalu bersih. Wakil rakyat berperan seperti ‘anjing penjaga’ yang selalu menggonggong setiap kebijakan pemerintah yang tidak populis. Tetapi, ideal seperti ini rupanya sulit diimplementasikan ketika institusi wakil rakyat sendiri dijadikan sarang penyamun. Maka langkah yang bisa dibuat adalah pembersihan institusi (clean institution). Pembersihan institusi wakil rakyat mesti mulai dari diri sendiri. Jangan hanya tahu mengkritik pemerintah, tetapi diri sendiri tak terurus. Fungsi kritik wakil rakyat tak bergema dan mengena karena mereka sering menikmati orgasme ‘perselingkuhan politik’ bersama aparat pemerintahan dan penegak hukum.
Ketiga, meningkatkan political will para politikus. Kemauan politik wakil rakyat kita sering mengalami fluktuasi, tergantung amplop. Pihak yang berani menyediaka jaminan materi akan diperjuangkan kepentingannya ketimbang pihak-pihak yang tak punya apa-apa (rakyat miskin dan menderita). Kemauan politik wakil rakyat mesti ditingkatkan dengan upaya mempelajari fungsi dan makna eksistensinya di tengah kehidupan rakyat. Persoalan penggelembungan dana misalnya terjadi karena lemahnya kemauan politik wakil rakyat terhadap kepentingan rakyat. Jika political will itu kuat, maka saya yakin wakil rakyat kita akan seperti Yohanes Pembaptis yang membawa orang menuju jalan keselamatan, berani mengeritik segala kebobrokan termasuk kebejatan Herodes, dan tidak berusaha mendapat keuntungan apa-apa dari tugas perutusannya. Dia tetaplah figur sederhana, tidak mengejar kemewahan seperti wakil rakyat saat ini.
Keempat, membumikan religious ethics. Wakil rakyat kita semuanya orang beriman, orang beragama. Bahkan kutipan-kutipan biblis sering terdengar dari ucapannya. Menjadi orang beriman, orang beragama tidak cukup dengan mengikuti berbagai ritus keagamaan atau menyebut-nyebut kutipan biblis. Yang perlu dibuat adalah bagaimana makna keimanan itu dipraktikan dalam pelaksanaan tugas setiap hari. Para wakil rakyat mengerti banyak tentang cinta kasih, pelayanan, pengorbanan, rendah hati yang adalah buah-buah iman. Namun, yang dipraktikan justru kebobrokan, ingat diri, angkuh. Masih pantaskah menyebut diri orang beragama? Etika hidup beragama harus menjadi rambu-rambu dalam arena pengabdian dan pelayanan bagi rakyat. Nilai-nilai keimanan mesti ditampakkan tidak saja dalam bahasa retoris-verbal tetapi terlebih dalam praksis nyata memperjuangkan kepentingan rakyat.
Betul bahwa wakil rakyat kita tidak sempurna, sebagaimana kita manusia adalah makhluk tidak sempurna (errare humanum est). Tetapi, jangan memperbesar ketidaksempurnaan itu karena kelalaian pribadi, ketulian dan kebutaan membaca kebutuhan rakyat, dan tumpulnya tanggung jawab politik. Kiranya wakil rakyat kita tidak terus-menerus pekak dan buta terhadap krisis rakyat. Manfaatkan anak korek api bukan untuk membakar nasib rakyat tetapi untuk membersihkan telinga sehingga lebih jernih mendengar suara rakyat. Kenakan kacamata bukan untuk ‘gagah-gagahan’ atau malah tidur-tiduran tetapi untuk melihat kebutuhan dan kepentingan rakyat.



Stand There!
(Untuk Para Pastor yang Menolak Tambang di Lembata)
Oleh Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 24 Mei 2007)

Daniel Berrigan, seorang imam Yesuit di Amerika pernah berseru-seru seperti Yohanes di padang gurun: “Don’t just do something. Stand there! (Jangan hanya berbuat sesuatu. Ambillah sikap!). Berrigan adalah sosok imam yang peduli pada realitas masyarakatnya dan karena itu berusaha mewujudkan sikap politik kepedulian sosialnya terhadap warga yang menderita dan ditindas. Berrigan hidup dalan situasi di mana ada pertentangan antara ras (putih-hitam), dehumanisasi oleh industri (pekerja jadi alat). Ia berteriak supaya para imam mempunyai sikap yang jelas terhadap persoalan yang ada di depan mata. Stand-nya itu bukan tanpa risiko. Ia dibenci oleh penguasa, dinilai miring oleh rekan-rekan se-hirarki. Namun, ia jalan terus. Sendiri pun tak apa, asalkan demi kebenaran dan keadilan.
Media massa kita akhir-akhir ini secara terus-menerus menyoroti persoalan rencana pertambangan emas di Lembata. Pemerintah Lembata yakin bahwa kehadiran Merukh Enterprices yang akan mengelola pertambangan di Lembata itu sanggup mensejahterakan rakyat. Dalam kacamata pemerintah, kesejahteraan hanya terwujud melalui usaha pertambangan itu. Rupanya segala potensi menuju kesejahteraan tak ada jika tanpa melalui pertambangan itu. Karena itu, dalam sosialisasi kepada masyarakat di kecamatan-kecamatan (Omesuri, Buyasuri dan Lebatukan) corong pemerintah menggaungkan kesejahteraan. Dampak lain dari penambangan itu seperti dampak ekologis, dampak psikologis, dampak KKN) ditekan sekecil mungkin. Retorika demi kemajuan daerah; percepatan pembangunan, kesejahteraan digemakan bertalu-talu. Dalam hal retorika ini, pemerintah Lembatan patut diacungkan jempol.
Setelah rakyat dibingungkan dengan retorika dan rencana pemerintah ini, sesudah pihak lembaga swadaya masyarakat kerepotan menghadapi rencana pemerintah yang maju tak gentar itu, sebuah kekuatan bergerak ke medan pergulatan itu. Para pastor sedekenat Lembata sepakat menolak tambang emas dan tembaga di Kedang (Kecamatan Omesuri dan Buyasuri) dan Kecamatan Lebatukan. Tanggal 10 Mei lalu, kesepakatan itu lahir setelah sekian lama ada segelintir imam yang ‘bergerak’ sendiri-sendiri dan yang lainnya berdiam diri. Hemat saya, diamnya para pastor itu selama ini adalah diam yang kritis. Dalam diam mereka menganalisis berbagai dampak pertambangan, mendengar keluhan dan jeritan umat, mengamati kepongahan dan busung dadanya pemerintah (top-down dominan). Setelah ada timing yang pas, mereka pun beraksi. Itulah stand para imam di Lembata terhadap rencana pertambangan pemerintah.
Keberpihakan para pastor itu terhadap situasi ketidakadilan dan pembodohan yang dialami rakyat adalah hal yang tepat dan strategis. Setelah cukup membaca situasi umat, mengambil sikap adalah hal yang mutlak perlu. Kalau ada yang merasa kebakaran jenggot dengan aksi para pastor itu, maka itu hanyalah sebuah kekonyolan. Kehadiran dan keberadaan para pastor adalah untuk menjadi “pastor bonus” (gembala yang baik). Apakah gembala yang baik tega melihat kawanannya yang tercerai-berai karena datangnya serigala? Pastor bonus punya tugas mulia, membawa kawanan ke sumber air yang jernih dan rerumputan yang menghijau. Karena itu, mengapa diam kalau penambangan emas dan tembaga itu akan menghasilkan tulang belulang bagi umat Lembata kelak? Mengapa tidak mengambil sikap menolak jika penambangan itu tidak membawa rakyat pada negeri yang kaya susu dan madunya?
Keterlibatan politis kepedulian sosial para imam seperti itu bukan tanpa dasar. Dalam Perjanjian Lama, nuansa politis sangat kental dalam pewartaan para nabi. Mereka adalah insan Firman yang melontarkan kritik politik. Mereka terlibat dalam pergulatan dan pertanyaan bangsa dalam mencari pemecahan-pemecahan politik atas persoalan yang dihadapi. Dalam Perjanjian Baru, Yesus tampil sebagai tokoh yang sangat peka terhadap situasi penindasan yang dialami umat. Ia mengkritik para raja dan penguasa karena dengan intrik busuk menguasai bawahan dan umat kebanyakan. Sinode para uskup tahun 1971 menghasilkan sebuah dokumen yang disebut Iustitia in Mundo. Salah satu butinya berbunyi, “Perjuangan demi keadilan dan partisipasi dalam usaha perubahan dunia menurut kami merupakan bagian konstitutif dari pewartaan Injil - atau dengan kata lain – dari tugas perutusan Gereja untuk penebusan umat manusia dan untuk membebaskannya dari segala situasi penindasan.” Secara lebih jelas, Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Gaudium et Spes, kalimat pertama menulis: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga (GS 1).”
Beberapa pendasaran di atas hemat saya menegaskan bahwa para imam mempunyai tugas dan kepedulian politis pada nasib dan situasi yang dialami umatnya. Kalau memang rencana penambangan itu melahirkan duka, kecemasan warga di Kecamatan Omesuri, Buyasuri, Lebatukan yang akan kehilangan lahan, nafkah, rumah, kearifan lokal dan kepastian hidup dan warga Lembata di mana saja yang takut ‘kehilangan’ pulau kecil itu, mengapa tidak ditolak? Suara dan perjuangan Pater Marselinus Vande Raring, SVD dan rekan-rekan pastor sedekenat Lembata itu sudah benar. Teruskan dan setialah sampai akhir bersama umat.
Kesepakatan yang dibuat para pastor sedekenat Lembata menolak rencana penambangan disusul dengan sosialisasi di paroki masing-masing. Ini penting agar umat bisa memahami secara jelas begitu banyak informasi berkaitan dengan usaha pertambangan emas dan tembaga itu. Sosialisasi yang dibuat di paroki-paroki itu mesti menjadi sosialisasi yang mencerahkan, membuka kesadaran kritis , membangkitkan pengetahuan. Sosialisasi itu mesti sampai pada pemahaman umat tentang apa itu MoU (memorandum of understanding), berapa banyak kandungan emas dan tembaga di perut Lembata, apa dampak ekologis, apa keuntungan bagi umat/rakyat, apa kerugian yang mencemaskan. Sosialisasi yang tulus ini adalah upaya kritis untuk melawan sosialisasi busuk dari corong pemerintah. Sudah lazim sosialisasi model pemerintah itu hanyalah upaya meminta rakyat melegitimasi keputusan pemerintah. Mereka sudah urus semuanya secara diam-diam dan rakyat tak perlu repot karena itu urusan pemerintah yang seolah-olah pro bono publico dan mengusung bonum commune. Sosialisasi itu dibuat hanya untuk meyakinkan rakyat dengan segudang susu dan madu yang bakal dikecap, dan sedikit atau bahkan tidak sama sekali berkisah tentang tulang belulang yang bakal diterima puluhan tahun kemudian setelah isi perut Lembata diobrak-abrik dan diobok-obok industri pertambangan.
Kalau pemerintah Lembata akan mendapat sumbangan kendaraan gratis dari Merukh Enterprices dalam memuluskan aksi sosialisasinya dan memperlancar rencana pertambangan, para pastor sedekenat Lembata tidak perlu berkecil hati. Lebih baik berseru emas dan perak tidak ada pada kami. Tetapi, demi kebenaran dan keadilan, bersama umat kami akan menolak pertambangan sampai akhir. Sampai rakyat secara sadar dan kritis mengatakan saatnya sudah tiba untuk usaha penambangan itu. Kan tidak perlu saat ini. Lima puluh tahun kemudian juga tak soal. Asalkan rakyat duduk semeja bersama investor bicara soal MoU. Tanpa mendapat hibah gratis, para pastor sekalian tak perlu cemas. Anda memiliki umat. Asisten Setda Lembata, Lukas Witak Lipataman bilang begini: “Orang pasti pikir mereka sudah beli kita e. Belum apa-apa su jual kita. Tapi kalau orang mau beri kita?” (FP,18/5). Semoga bukan bagian politik balas jasa kan?
Tentang stand there! Jauh-jauh hari Uskup Oscar Romero sudah memberi teladan kepada para pastor. “Kalau anda bertanya kepada saya, mengapa Gereja berjuang melawan dosa, maka saya akan menjawab: sebabnya adalah bahwa dewa kuasa dipuja dan bahwa kita mempunyai ‘itikad politis’ untuk menghapus dosa. Uang dan modal dituntut secara egoistis demi kepentingan sendiri sehingga mengabaikan mereka yang mati kelaparan, yang miskin dan menderita.” Demikianlah tegas Uskup Romero dalam salah satu khotbahnya.
Apa yang mendorong Uskup Romero bertindak begitu berani tanpa takut sedikit pun pada penguasa setempat? Ia tergugah oleh nasib umatnya yang menderita dan akhirnya mengalami suatu metanoia total, bukan saja dalam sanubarinya tetapi justru diaplikasikan dalam tindakan konkrit. Bercermin pada pribadi Yesus, Sang Revolusianer tanpa granat dan peluru, ia beralih menuju tapal batas kaum miskin dan tertindas, suatu keberpihakan total dalam semangat Injil. Kalau keterlibatan Yesus terhadap rakyat kecil dan tertindas mempunyai implikasi politis, maka para pengikut-Nya pun tak dapat mencuci tangan dan menutup mata terhadap persoalan politik. Uskup Romero telah menempuh jalan ini. Ia menjadi corong dan pengeras suara bagi suara-suara kaum tak bersuara. Sikap cuci tangan terhadap politik yang sering dibuat oleh kaum imam adalah hal yang naïf.
Kaum imam dituntut untuk menghidupi spiritualitas injili yang kokoh kuat dan menjalankan tugas profetis Gereja yang kritis-kreatif. Secara kritis mereka harus menyuarakan penderitaan rakyat dan mengecam pihak yang bertanggung jawab atas penderitaan itu. Selanjutnya tugas kreatif adalah melibatkan diri dalam mengatasi kemelaratan dan penindasan secara nyata dan positif. Perjuangan ini tidak berorientasi pada kekuasaan dan jabatan pemerintahan tetapi lebih karena tanggung jawab moral-etis pada panggilan profetis-politis yang menyangkut kehidupan masyarakat luas.
Julius Nyerere (mantan Presiden Tanzania) mengungkapkan, “Kalau Gereja tidak secara aktif menentang struktur-struktur sosial dan organisasi-organisasi ekonomis yang mentakdirkan manusia menjadi miskin, terhina dan takhluk, maka Gereja tak akan berarti lagi bagi manusia dan agama Kristen akan menyusut menjadi momok yang hanya mengesankan para penakut.” Ini sebuah ekspresi yang menantang. Kaum imam mesti bersikap terbuka terhadap situasi penindasan dan ketidakadilan yang terjadi. Ini berarti bahwa pewartaan kabar keselamatan mesti menyentuh situasi riil masyarakat yang disertai kesaksian dan keterlibatan nyata sekalipun berimplikasi politis. Mereka mesti menyadari bahwa sikap ‘cuci tangan’ terhadap politik adalah sebuah ilusi belaka. Mereka tidak mempunyai pilihan untuk berpolitik dan tidak berpolitik. Hanya satu: Stand There!
Para pastor di Lembata sudah melakukan sesuatu yang “bonum” berhadapan dengan rencana penambangan yang “malum” dari pemerintah setempat. Kiranya tidak sampai di situ. Sangat diharapkan dan dinanti-nanti bila para pastor di mana saja masih mempunyai dan merasakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan yang dialami umatnya. Di Ngada ada penambangan biji besi di Nggolonio yang entah sudah sampai di mana dan menyisakan kasak kusuk di tengah masyarakat. Di Ende bangkai Nusa Damai masih menghiasi kolam labuh Ipi Ende, yang membawa banyak petaka untuk rakyat. Juga berbagai persoalan krusial yang ada di Flotim, Sikka, Ruteng dan Labuan Bajo. Kalau saja para pastor bersuara dan bersama umat mengambil “stand” untuk menyikapi persoalan-persoalan itu, maka masalah yang ada tidak berlarut-larut. Don’t just do something. Stand there!

O Sacerdos
Isidorus Lilijawa
(Dian, 21 Januari 2007)

Lengkapnya, O Sacerdos, qui es tu? (Hai Imam, siapakah engkau?). Tanggal 15 Januari 2007, Serikat Sabda Allah (SVD) merayakan pesta pendiri serikat, Santo Arnoldus Janssen. Santo Arnoldus yang dikenal sangat prinsipil ini telah mendirikan tiga konggregasi misi Steyl yakni Serikat Sabda Allah (SVD), Suster Abdi Roh Kudus (SSpS) dan Suster Adorasi Abadi (SSpSAP). Sebagai serikat religius misioner, SVD telah mengirim para misionarisnya ke segenap penjuru dunia untuk berkarya dan bekerja di tengah-tengah umat dan menjadikan mereka murid-Nya.
Perayaan Santo Arnoldus ini perlu dimaknai dengan mempertanyakan kembali jati diri dan eksistensi para imam itu sendiri. Hai imam, siapakah engkau? Tentang imam, Dokumen Konsili Vatikan II “Presbyterorum Ordinis” sudah membahas semuanya secara jelas dan terarah. Sangat menarik bila pertanyaan di atas dijawab dalam kacamata lain.
Adalah Ayu Utami, penulis novel Saman yang berkisah tentang Romo Wis dalam novel itu. Figur Romo Wis digambarkan sebagai orang yang tidak setuju pada ketidakadilan yang dialami warga Lubukrantau ketika harga karet mereka jatuh begitu murah sehingga tak selalu cukup untuk membeli satu kilo beras. Romo Wis adalah dia yang berani bentrok dengan pastor kepalanya Pater Westenberg karena lebih peduli pada tugas profetis dalam kehidupan riil umat daripada bersemayam dalam program kultis-parokial saja. Romo Wis adalah dia yang merasa tak bisa tidur setelah pergi ke dusun Lubukrantau. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyaman dan makan rantangan yang lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika hanya berdoa.
Sacerdos dalam konsep Ayu dipahami dalam beberapa hal. Pertama, sacerdos adalah voice of the voiceless. Keterlibatan Romo Wis dalam kehidupan orang-orang kecil, para petani karet yang miskin menjadikannya bagian dari kehidupan mereka. Ia tampil sebagai penyambung lidah rakyat yang menderita. Ia melawan arus pembungkaman ala penguasa dengan memberdayakan kesadaran rakyat kecil untuk berani bersuara atas apa yang terjadi pada diri mereka. Ia meluruskan aforisme Wittgenstein “tentang apa yang tidak dapat dikatakan, seseorang harus diam” dengan “tentang apa yang tidak dapat dikatakan, seseorang harus berbicara” (where there of one can not spek, there of one must speak).
Kedua, menurut Ayu, sacerdos adalah nabi. Dalam pemikiran popular nabi mempunyai peranan ganda. Pertama, ia mewartakan masa depan dan kedua atas nama Allah ia menyampaikan berkat atau kutuk bagi manusia seluruhnya. Sacerdos mesti menghayati peran kenabian dalam arti menegakan keadilan dan berpihak pada orang-orang kecil. Selain itu, mesti berani mengkritik verbalisme. Romo Wis berani mematahkan sabda penguasa yang menakutkan rakyat. Ia juga berani mendobrak kemapanan tembok hirarki yang bersikap ‘cuci tangan’ terhadap persoalan orang-orang kecil, kaum miskin dan teritindas. Ia mengeritik verbalisme hirarki yang cenderung bermain-main dengan konsep dan teori tanpa terjun langsung dalam praksis di tengah umat. Verbalisme itu hidup dalam kotbah-kotbah, namun sulit menyentuh dan mecicipi langsung kuah penderitaan umat.
Ketiga, sacerdos adalah pelaku politik karena kodratnya adalah zoon politikhon. Keterlibatan politis Romo Wis dalam kehidupan orang-orang kecil mengindikasikan bahwa politik bukanlah barang kotor dan najis. Politik juga bukan hanya menjadi urusan pemerintah dan kaum awam. Romo Wis mengikis batu karang mitos politik praktis yang menegaskan bahwa kaum imam dilarang terlibat di dalam urusan-urusan politik atau hirarki Gereja sebaiknya menghindarkan diri dari tindakan yang berkonsekuensi politis. Keterlibatan politis Romo Wis menggugat keengganan hirarki Gereja untuk tanggap dan terlibat dalam urusan-urusan politik demi kepentingan bersama.
Apakah para sacerdos kita saat ini telah berusaha dan menjadi orang dalam tiga kategori di atas? Ada yang sudah seperti itu, namun ada yang baru mulai mencoba lalu takut dan ada yang sama sekali enggan. Memang kasur empuk dan makan rantangan lebih nikmat daripada bale-bale dan ubi hutan. Mobil mewah lebih berkesan daripada berjalan kaki. Itu wajah lain para pastor kita saat ini. Suka kumpul-kumpul keluarga, urus keluarga, bukan rahasia lagi. Tumpuk kekayaan bukan masalah lagi. Ketaksejalanan kotbah dan praksis bukan tak wajar lagi. Mudah-mudahan para sacerdos kita saat ini kembali ke karakter dasar keimaman, tidak melulu sakramen, tidak melulu sak semen. Jadi imam yang sakramen dan sak semen, begitu kata orang kampung.
Kisah Romo Wis berakhir lain. Ia mengundurkan diri dari jabatan imamatnya bukan karena skandal (scandalum: batu sandungan), seperti fenomen sacerdos kita saat ini, yang acapkali menjadi batu sandungan bagi umat. Sikapnya merupakan suatu kritik internal terhadap hirarki Gereja yang katanya lebih berpihak pada kaum miskin dan menderita (preferential option for the poor). Pengunduran dirinya merupakan kritik bagi ideologisasi yang menyimpang berkaitan dengan keberadaan hirarki yang cenderung melihat keterlibatan politik sebagai penjerumusan diri dalam medan yang kotor dan penuh intrik. Padahal politik tidak selalu demikian.
Ini pesannya untuk kita: “Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan Gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyaman dan makan rantangan yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika hanya berdoa (Saman, 81). Melengkapi pesan Romo Wis, sahabat sevisinya Kierkegaard pernah meracik ‘sambal’ ini untuk para imam. “Para imam dan Gereja tidak lagi mewartakan Injil Kristen, tetapi mewartakan pesan kemapanan dan kegembiraan semu. Mereka mencari “kehidupan” yang mapan bagi diri mereka sendiri dan Gereja memberi mereka rasa aman, penghargaan dan kedudukan dalam masyarakat. Para imam dan Gereja “mempermainkan Allah” dengan mewartakan sesuatu yang sama sekali asing bagi Kristianitas Perjanjian Baru.” (Kierkegaard: 2001, 104). Santo Arnoldus Janssen, doakanlah imam-imam kami.




Menanti Muhamad Yunus di Ilin Medo
(Ruang diskusi untuk Jacob J. Herin)
Oleh Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 20/11/2006)

Dalam opini berjudul Strategi Memerangi Kemiskinan – Belajar dari Muhamad Yunus Peraih Nobel Perdamaian 2006 - yang dimuat Flores Pos, Senin (13/11), saudara Jacob J. Herin sebagai salah seorang anggota Komsos (Komisi Sosial) Keuskupan Maumere telah membuka cakrawala pembaca bagaimana menyusun strategi memerangi kemiskinan. Syukur bahwa masih ada orang yang mempunyai mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan hati untuk memberi perhatian terhadap persoalan besar bangsa ini yakni kemiskinan.
Dalam opini itu, saudara Jacob memaparkan faktor-faktor yang menjadikan bangsa Indonesia terkapar karena kemiskinan. Memang tak bijak mempersalahkan IMF dan bank dunia sebagai biang keladi kemiskinan karena dana bantuan luar negeri banyak dikorup para pejabat di Indonesia. Banyak lembaran rupiah yang masuk kantong pribadi dan rekening pribadi para pejabat. Akibatnya utang menumpuk sekitar 80 miliar.
Saudara Jacob membuka kesadaran pembaca tentang peran plus yang harus dimainkan para agamawan, yang menurut Jacob tak ambil pusing terhadap masalah kemiskinan. Lalu, globalisasi diangkat sebagai kekuatan yang berdampak negatif dalam menciptakan kemiskinan di dunia. Dan saudara Jacob menulis “Gereja sebaiknya merancang program pastoral yang utuh-menyeluruh. Program semacam itu akan membantu keluarga-keluarga miskin.”
Strategi memerangi kemiskinan yang diulas Saudara Jacob berujung pada sebuah pembelajaran terhadap Muhamad Yunus penerima hadiah Nobel Perdamaian 2006. Yunus adalah orang yang selalu gelisah dengan gelar doktor ekonominya di tengah kemiskinan ekonomi warga Bangladesh. Kegelisahan itulah yang memotivasinya mencari jalan keluar membantu dan memberdayakan kelompok miskin di negaranya dengan mendirikan Grameen Bank (Bank desa).
Membaca dan merenung opini saudara Jacob, ada kerinduan yang menggebu-gebu dalam diri saya. Mungkinkah Muhamad Yunus itu bisa lahir di Indonesia, di NTT, di Flores, di Sikka, dan khususnya di Ilin Medo? Yah, seandainya hadir Muhamad Yusuf di Ilin Medo Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, maka penderitaan warga di sana karena kekurangan stok pangan (kelaparan) bisa teratasi. Akankah hadir Muhamad Yunus itu dari Kabupaten Sikka sendiri, dari Keuskupan Maumere sendiri?
Flores Pos edisi Senin (6/11) pada headline menulis “Warga Sikka Mengonsumsi Ubi Hutan”. Warga Ilin Medo mengonsumsi ubi hutan karena persediaan makanan telah habis. Penyebabnya adalah produksi jambu mete menurun drastis tahun ini, gagal panen, hama dan penyakit menyerang tanaman. Flores Pos edisi Kamis (9/11) masih menulis berita headline dengan judul “Bupati Disuguhi Makanan Ubi Hutan”. “Bupati Sikka Alexander Longginus dan rombongan disuguhi makanan olahan ubi hutan atau magar dalam bahasa setempat oleh warga Ilin Medo, Kecamatan Talibura yang telah mengonsumsi ubi hutan karena tidak adanya persediaan makanan.” Bupati mengatakan, kalau masyarakat mengonsumis ubi hutan bukanlah pratanda bahwa masyarakat kehabisan stok makanan. “Ubi hutan telah dijadikan warga sebagai sebagai salah satu makanan alternatif. Makanan ini sangat enak. Saya telah menikmatinya,” kata bupati. Menurut Kepala Desa, masyarakat mengonsumsi ubi hutan selain karena stok makanan habis, juga karena tuntutan adat.
Sehari setelahnya, Flores Pos edisi Jumad (10/11) kembali menulis headline dengan judul “Wabup Ansar Rera Periksa Lumbung Pangan Warga”. Yang ini dibuat di Kecamatan Mego. Ditemukan bahwa stok pangan seperti padi dan jagung telah menipis, masyarakat memakan ubi hutan sebagai alternatif. Masih pada halaman 1 bagian kanan headline tertulis berita dengan judul “Warga Harus Malu Mengaku Kelaparan”. Hal ini disampaikan Bupati Sikka ketika mengunjungi Desa Ilin Medo. “Tidak ada alasan masyarakat menderita kelaparan kalau mereka memanfaatkan maksimal tanah-tanah pertanian mereka dengan menanam jagung ubi kayu, pisang, keladi dan jenis kacang-kacangan.”
Apa yang terjadi di Ilin Medo adalah fakta kelaparan karena kehabisan stok pangan. Ini juga dampak dari kemiskinan. Lalu apa yang dibuat pemerintah? Yang pertama adalah membuat janji. Warga yang mengonsumi ubi dijanjikan akan menerima bantuan setelah didata. Mungkin dalam bentuk beras atau bantuan lainnya, bisa dalam bentuk padat karya. Menarik bahwa di akhir pembicaran dengan warga Ilin Medo, bupati berkata “Jangan hanya mengharapkan bantuan pemerintah”. Kepada siapakah warga yang kelaparan itu mesti mengharapkan bantuan setelah hidup dari kekurangan pun mereka hampir tak bisa?
Saudara Jacob tentu lebih mengetahui situasi warga di Ilin Medo. Apalagi dalam kondisi mudah dijangkau dari Maumere. Kira-kira apa strategi saudara untuk memerangi kemiskinan (kelaparan) yang sedang terjadi di sana? Lebih lanjut, saudara mengibarkan bendera sebagai anggota Komsos (Komisi Sosial) Keuskupan Maumere. Setelah warga diminta jangan berharap bantuan dari pemerintah, apa strategi Komsos sebagai wadah sosial gereja yang berada di luar birokrasi kepemerintahan untuk membuka hati dan memberi perhatian bagi warga yang menderita di sana? Siapakah yang mesti tampil sebagai Muhamad Yunus di Ilin Medo?
Membaca dan memaknai pemberitaan Flores Pos di atas, ada beberapa hal yang perlu dikritisi berkaitan dengan pola kerja pemerintah. Pemerintah daerah Sikka, dalam hal ini Bupati Sikka dan instansi terkait sedang menghidupi budaya eufemisme. Dalam alur budaya ini, segala hal yang nyata dan jelas, yang bobrok, buruk, rusak, hancur, tidak manusiawi akan diungkapkan dengan kata-kata lebih santun untuk memperindah bahasa. Lapar dibilang kekurangan stok pangan, rawan pangan. Makan ubi dipoles dengan makanan alternatif. Bupati mencicipi ubi hanya sesaat, mungkin ubi yang diberikan adalah ubi terbaik dan diolah secara baik. Tetapi ubi jenis yang sama telah meracuni Avelina Katarina ketika dia sedang hamil karena tak cermat mengolahnya. Apakah bupati tak pernah berpikir tentang risiko yang setiap saat mengancam nyawa warganya karena mengonsumi ubi? Budaya eufemisme adalah budaya untuk menyelamatkan muka pemerintah dari sorotan berbagai pihak. Tetapi, warga terus menderita dan kian melarat karena kelaparan.
Saudara Jacob, apa artinya kata-kata Bupati ini, “Warga harus malu mengaku kelaparan”. Apakah kita masih bangga memiliki figur seorang bupati seperti ini? Bupati tidak mendidik masyarakat untuk berterus terang, untuk transparan, untuk berkata ya bila ya dan tidak jika tidak. Warga Ilin Medo itu lapar. Mereka mengaku kelaparan. Mengapa mereka harus malu mengakui itu, apalagi kepada pemerintah yang adalah orang yang mesti bertanggung jawab terhadap hayat hidup mereka? Bupati mungkin merasa wibawanya turun dengan pengakuan warga Ilin Medo. Dia mungkin takut dinilai gagal. Tapi ini fakta, bung. Kata-katanya dengan jelas menunjukkan bahwa Bupati Sikka gagal mengelola pemerintahan yang melayani rakyat kecil. Lalu filosofi Gembira-nya? Apakah warga Ilin Medo mesti bergembira pada saat mereka lapar? Gembira-nya bupati belum menggembirakan warga Ilin Medo. Mereka terus menanti situasi yang membuat mereka gembira.
Ternyata Muhamad Yunus tidak bisa hadir di Ilin Medo dalam diri pemerintah. Lalu kita buat apa? Saya sepakat dengan saudara Jacob bahwa Gereja sebaiknya merancang program pastoral yang utuh-menyeluruh, yang bisa membantu keluarga-keluarga miskin. Hemat saya bukan cuma itu. Gereja juga mesti membantu menyadarkan pemerintah yang mengalami kemiskinan nurani, yang kepekaannya mulai luntur dan yang suka menghidupi budaya eufemisme. Gereja bukan siapa-siapa saudara. Gereja itu kita, persekutuan umat Allah yang sedang berjuang di dunia ini. Kita bersama berjuang untuk mereka di Ilin Medo.
Apakah Muhamad Yunus bisa lahir dari Gereja Keuskupan Maumere? Saya yakin bisa. Saudara Jacob bersama teman-teman di Komsos tentu mempunyai begitu banyak program pemberdayaan umat. Warga Ilin Medo adalah umat Keuskupan Maumere juga. Sangat tepat jika Komsos merancang strategi bagaimana memerangi kelaparan di sana dan bagaimana memerangi ‘kemiskinan nurani’ para pejabat di Sikka. Kelaparan warga Ilin Medo, kemiskinan nurani para pejabat Kabupaten Sikka adalah fakta sosial yang bisa dibedah dan setelah itu diberi obat penyembuhnya. Pemberdayaan dua arah, warga Ilin Medo dan pemerintah Sikka adalah tugas gereja Keuskupan Maumere.
Dalam tulisan saudara Jacob, tertera kritikan terhadap kaum agamawan yang tak ambil pusing tentang kemiskinan. Ini juga menjadi tanggung jawab kita untuk membuat otokritik sekalipun kita berada di dalam institusi yang sama. Gereja mesti memberdayakan dirinya, menjadi garam dan terang dunia. Gereja baru bisa menggarami dan menerangi dunia sekitarnya ketika garam dan terang itu sudah menjadi bagian dari hidup dan penyaksian Gereja. Apa yang dikeluhkan tentang kaum agamawan itu memang benar. Dalam kondisi bagaimana pun miskinnya umat, kaum agamawan masih bisa hidup secara layak. Padahal gembala mesti ikut menderita bersama domba-dombanya. Otokritik ini mesti dibangun terus demi kesaksian hidup yang lebih nyata di tengah kehidupan umat.
Ruang diskusi telah dibuka. Tentu saja banyak strategi yang bisa saudara tawarkan bagi para pembaca sekalian, khususnya warga Kabupaten Sikka. Muhamad Yunus tidak mesti milik warga Bangladesh. Muhamad Yunus itu mesti menjadi bagian dari hidup kita. Apakah Komsos bisa hadir sebagai Muhamad Yunus dalam Gereja Keuskupan Maumere, khususnya bagi warga Ilin Medo? Besar harapan saya demikian.


Ada Apa Dengan Korem?
(Mencermati Argumentasi seputar Rencana Hadirnya)
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 13/12/2006)



Harian Umum Flores Pos dalam beberapa hari ini menunjukkan konsistensinya ‘mengangkat’ wajah masyarakat Mokeobo, Desa Kuru, Kecamatan Kelimutu yang bakal terserang ‘virus’ Korem. Virus yang pada tahun 1999, sempat menggemparkan masyarakat Flores, kini dalam rencana hadir lagi di wilayah garapan warga Mokeobo. Kehadiran Korem ini memang mengundang banyak perdebatan, banyak tanggapan dan banyak analisis atasnya. Di satu sisi ada pihak yang sepakat dengan rencana kehadiran Korem di Desa Kuru, namun di sisi lain, ada pihak-pihak yang secara serius berusaha memerangi virus ini, seperti gencarnya masyarakat saat ini memerangi virus Avian Infulenza alias virus flu burung.
Sejak Jumat (8/12) hingga Senin (11/12), halaman-halaman Flores Pos menyajikan berita seputar rencana kehadiran Korem di Desa Kuru dan berbagai penolakan warga dan elemen masyarakat lainnya. Pada Edisi Jumat (8/12), headline Flores Pos menulis, “Warga Desa Kuru, Ende Tolak Kehadiran Korem”. Sabtu (9/12), pada headline tertulis, “Belum Waktunya Korem Dibentuk di Ende”. Senin (11/12), pada halaman 1 Flores Pos tertulis, “PMKRI Tolak Korem di Ende” dan feature seri 1 berjudul “Siap Mati di Atas Lahan”. Dari pemberitaan-pemberitaan ini, ada beberapa argumentasi yang perlu dicermati.

Vox Populi
Warga Mokeobo, Desa Kuru menolak kehadiran Korem di wilayahnya. Alasan mereka sangat jelas dan masuk akal. Pertama, kehadiran Korem mempersempit lahan garapan warga seluas 24 hektare. Kedua, tanpa kehadiran Korem, kehidupan warga tetap seperti itu. Alasan yang mendasar adalah soal tanah. “Kami hidup sejak dahulu sampai saat ini. Kami dapat bekerja menghasilkan uang dan bisa bayar pajak. Kami tidak mau tanah garapan kami diambil. Kami sudah hidup dengan tanah dan tanaman yang ada”.
Kepala Desa Kuru, Bernadus Mboti bersuara, “Nenek moyang telah mengamanatkan kami agar tanah garapan itu tidak boleh dijual atau digadaikan, tetapi hanya menghidupi anak cucu. Ajaran nenek moyang ini yang kami pegang sampai saat ini. Ghele Wolo, Mosalaki Koe Kolu mengatakan, lahan garapan itu tidak akan diserahkan untuk Korem. Lahan itu hanya untuk dikerjakan dan diwariskan kepada anak cucu.
Argumentasi warga Kuru nun jauh dari sentral Kabupaten Ende itu sangat jelas dan tanpa kepalsuan. Argumentasi ini mewakili sebuah alur kebenaran yang digenggam erat. Mereka berbicara atas nama kebenaran. Itu tanah garapan mereka. Tanah adalah harga diri, tanah adalah kehidupan. Di atas tanah mereka membangun tiang-tiang kehidupan, dengan darah dan keringat mereka menyiapkan kehidupan untuk anak cucunya. Dengan keadaan seperti itu, mereka tetap merasa nyaman. Warga Kuru butuh tanah untuk hidup, bukan butuh Korem. Korem tidak pernah membuat mereka bisa hidup dan menikmati kenyamanan hidup seperti saat sekarang. Tanahlah yang menjamin hidup mereka.
Dengan itu, mendirikan Korem di Kuru adalah seperti menebarkan virus berbahaya yang mematikan bagi warga di sana. Alur berpikirnya, kehadiran Korem tentu menyita lahan garapan warga. Mengambil tanah itu sama dengan membunuh kehidupan warga. Karena tanah adalah hidup. Lalu, warga itu mau di kemanakan? Bagaimana mereka mesti hidup dan membiayai hidupnya? Ini bukan pekerjaan mudah, menyingkirkan mereka dan membiarkan mereka menderita sama halnya dengan membunuh mereka. Apakah alat negara diberi amanat untuk menyingkirkan warganya, yang dalam UUD 1945 dijamin hayat hidupnya?

Damai Sejahtera?
Argumentasi yang disiarkan oleh mereka yang pro kehadiran Korem terkesan mengada-ada. “Alasan kehadiran Korem adalah agar kehidupan warga lebih berkembang, maju, jalan hotmiks, listrik, dan kemajuan lain yang tidak dinikmati oleh masyarakat selama ini.” Sejak kapan Korem hadir sebagai sinterklas yang ‘mendamaisejahterakan’ rakyat? Ini sebuah bentuk penipuan yang sangat jelas. Rakyat Kuru hemat saya tidak sebodoh orang-orang yang menyebarkan alasan ini. Mereka tidak rela hidup mereka ditukar dengan jalan hotmiks, tidak tega menukar lahan hidup dengan penerangan listrik.
Apakah kehadiran Korem akan membawa berkat? Tidak. Korem di Flores adalah trauma. Penolakan yang gencar tahun 1999 tidak mudah hilang tersapu janji-janji dan tipu-tipuan pihak yang mendukung kehadiran Korem saat ini. Pada tingkat kesederhanaan cara berpikir warga Kuru, mereka tahu mana yang benar dan mana yang palsu. Orang-orang yang mendukung Korem dengan alasan seperti di atas sebenarnya sedang mempertontonkan keterbelakangan cara berpikir dan menelanjangi kepalsuan diri sendiri.
Saya justru sangat sepakat dengan suara warga Kuru. Mereka bekerja untuk hidup dan meraih damai sejahtera. Mereka sama sekali tidak percaya kalau Korem akan menghasilkan susu dan madu untuk kehidupan mereka. Yang mereka tahu, Korem itu akan melahirkan azab dan derita untuk hidupnya.
Argumentasi lain yang dikemukakan terkesan dibuat-buat. Kehadiran Korem disebut sebagai salah satu basis bagi pembentukan Provinsi Flores. Anggota DPRD Ende, Agil Parera Ambuwaru, Wilhelmus Wangge dan Djamal Humris di gedung DPRD Ende, Jumat (8/12) setuju dengan rencana kehadiran Korem di Ende. Bapak-bapak yang terhormat ini berbicara mewakili siapa? Apa maksud pernyataan bapak-bapak? Apakah bapak-bapak pernah berpikir dari sudut kepentingan warga Kuru?
Lebih dibuat-buat jika dikatakan bahwa untuk bisa mewujudkan Provinsi Flores, salah satu syaratnya adalah adanya Korem di wilayah ini, seperti dikatakan Wilhelmus Wangge, anggota DPRD Ende itu. Apa korelasinya? Rakyat kecil pun mengerti bahwa Korem bukanlah substasi pembentukan Provinsi Flores. Pembentukan Provinsi Flores dengan agenda pendekatan pelayanan publik kepada rakyat hingga saat ini pun belum jelas ujungnya, tapi bapak menggunakan sesuatu yang tidak jelas untuk menerangkan sesuatu yang lain yang juga tidak jelas landasan pijak pendiriannya. Saya juga baru dengar bahwa syarat pembentukan Provinsi Flores adalah harus ada Korem. Apa ini betul?
Lalu kehadiran Korem pun dikait-kaitkan dengan ancaman penyerobotan wilayah RI, sehingga kehadiran Korem sebagai alat pertahanan negara diperlukan di Ende. Apakah bapak merasa situasi di Ende sudah tidak nyaman, maka butuh kehadiran Korem? Apakah sebagai wakil rakyat bapak sepakat dengan kehadiran Korem yang berisiko menyingkirkan warga Kuru dari lahan garapannya, yang sama dengan menciptakan ketidaknyamanan hidup warga Kuru? Ini memang sisa-sisa pola pikir rezim orde baru yang meniadakan kepentingan minoritas demi kepentingan mayoritas yang justru palsu.

Kesuksesan dan Pengorbanan
Dalam pertemuan bersama masyarakat di Kampung Mudetelo, Desa Kuru, Rabu (6/12), Dandim 1602 Ende, Letkol CZI Gregorius Henu Basworo meminta agar semua pihak menyadari bahwa kesuksesan selalu disertai dengan pengorbanan. Dua sisi yang berbeda itu harus segera diselesaikan. Hemat saya, pendapat ini begitu abstrak untuk takaran cerapan warga Kuru. Siapa yang sukses? Siapa yang harus berkorban? Apakah kehadiran Korem harus dikorbankan demi ‘kesuksesan’ warga Kuru? Ataukah kepentingan hidup warga Kuru harus dikorbankan demi ‘sukses’ eksisnya Korem?
Kalau bapak Dandim bermaksud yang pertama, mengorbankan Korem demi suksesnya kehidupan warga Kuru, saya sangat sepakat dan saya yakin bapaklah pahlawan bagi warga Kuru. Tetapi jika yang dimaksudkan adalah pengorbanan warga Kuru demi hadirnya Korem, maka pernyataan bapak perlu dipertanyakan. Apakah setelah warga Kuru berkorban, mereka akan meraih sukses? Belum tentu. Karena yang harus mereka korbankan adalah hidup mereka sendiri. Mengorbanakan tanah sebagai lahan hidup justru melahirkan aneka azab dan derita. Apakah kita masih tega menyaksikan orang-orang kecil ini berkorban dan mengorbankan hidupnya?
Berdasarkan hal di atas, berbicara tentang kesuksesan dan pengorbanan, itu berbicara tentang nilai. Dalam hirarki nilai-nilai seperti yang diamanatkan sang filsuf nilai, Max Scheler, nilai kehidupan menduduki tempat teratas dan tak tergantikan. Dengan itu, merengkuh kesuksesan ‘sekelompok’ orang dan mengorbankan ‘nilai kehidupan’ warga Kuru jelas tidak dibenarkan. Nilai kenyamanan harus takluk di bawah nilai kehidupan. Apalagi Korem di Ende ini bukan conditio sine qua non. Tetapi tanah, kehidupan, makan, minum, itu imperatif kategoris sifatnya. Dan tak bisa tercerabut begitu saja dengan alasan akal-akalan.

Satu Hati
Perjuangan mempertahankan kehidupan mesti menjadi perjuangan bersama seluruh umat manusia. Perjuangan warga Kuru mempertahan hidupnya harus juga menjadi perjuangan seluruh warga Kabupaten Ende. Pemerintah daerah, wakil rakyat yang karena eksistensi rakyat memperoleh kuasa dan wewenang untuk mengelola kepentingan publik mesti peka menanggapi hal ini. Jangan biarkan ini menjadi api dalam sekam bagi warga Kuru. Apa artinya rintihan mama Rosalia Peri “Siap mati di atas lahan” bagi Pemda dan wakil rakyat Kabupaten Ende? Rintihan itu tidak sekedar kisah pilu orang-orang kecil. Ketajaman intuisi melayani orang kecil, kepekaan komitmen mengabdi rakyat harus dibuktikan.
Persoalan warga Kuru mesti menjadi persoalan bersama segenap komponen masyarakat Kabupaten Ende. Tali kebersamaan inilah yang perlu dililit lebih erat. Tidak perlu setelah ada korban. Saat-saat sekarang ini, warga Kuru sangat menantikan dukungan orang-orang yang masih mempunyai hati dan perhatian terhadap wadah kehidupan mereka. Apa yang sudah diserukan PMKRI sekiranya tidak menjadi seruan di atas kertas saja. Keberpihakan terhadap rakyat yang menjadi komitmen penolakan hadirnya Korem harus diwujudkan. Apa yang dikatakan Frans Yaved, perlu dicermati. Traumatis. Itu kata Frans. Ketakutan masyarakat akan sepak terjang tentara masih melekat apalagi kehadiran itu menyentuh persoalan tanah yang menjadi sumber hidup warga. Rencana pendirian Korem di Kuru harus dilihat lagi.
Pernyataan Mosalaki Mudetelo, Daniel Pia Paku perlu dicermati. Dia menghimbau ana kalo fai walu Desa Kuru untuk tidak terprovokasi pihak yang tidak menghendaki perubahan di Desa Kuru. Ini benar, provokator perlu diwaspadai. Tetapi rumus maling selalu sama, maling berteriak maling. Hemat saya perjuangan warga Kuru murni demi kehidupan. Lantas ada apa di balik perjuangan demi eksisnya Korem di Kuru?

Wartawan Dian/Flores Pos


Politik Itu Seni
Oleh Isidorus Lilijawa
(dimuat di TIMEX, 19 Juni 2007)


Sebuah pentas seni politik baru saja lewat. Warga Kota Kupang selama beberapa saat larut dalam pertunjukkan seni pemilihan walikota dan wakil walikota Kupang. Lima paket calon walikota dan wakil walikota telah mementaskan sebuah live in concert, yang ditonton, diamati, dianalisis dan dinikmati oleh publik Kota Kupang. Masing-masing paket tampil dengan dirigen handalnya, berusaha membius penonton dengan suguhan dan atraksi seni berpolitik yang memikat. Sungguh indah. Di sana kita nikmati arti pergesekan, disharmoni, benturan, kerja sama, negosiasi, harmoni, kepercayaan diri, kerja keras, terima diri, terima kenyataan dan mengakui keunggulan yang lain.
Politik sebagai cara untuk mencapai bonum commune, sarana menuju kemaslahatan hidup masyarakat adalah sebuah pentas seni. Di dalamnya ada para pelakon seni. Dalam Pilkada walikota dan wakil walikota Kupang, pentas seni itu telah dipertontonkan. Sejak proses awal, penentuan paket, pemberian nama paket, gambar-gambar dan tulisan pada baliho, retorika berkampanye, pendekatan-pendekatan, hingga hari H penjoblosan dan penentuan hasil Pilkada, selalu diwarnai oleh seni berpolitik. Dalam tahap-tahap itu, ada seni merancang strategi memenangkan pilihan rakyat, seni membaca situasi, menganalisis fakta, membaca data dan angka demi meraih sebanyak mungkin suara rakyat. Ini tidak saja butuh kejelian otak, namun butuh juga kepekaan rasa.
Paket Alfa, Jonex, Jeriko-Jodea, Djibel, Dan-Dan adalah pelakon seni itu. Nama paket saja perlu didesain seindah dan seseni mungkin demi memenangkan ingatan rakyat pada sebuah nama dan tentunya pada isi dari label nama itu. Politik itu seni karena di dalamnya ada kolaborasi antara kepandaian, keterampilan, keberuntungan, kebetulan yang berujung pada formulasi mengelola yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang tidak bisa menjadi bisa. Kalkulasi politik itu bukan kalkulasi matematis atau eksatis. Walau politik juga adalah permainan matematis-eksatis, namun hasilnya tidak selalu seperti itu. Karena kepastian dalam politik adalah kemungkinan. Dalam wilayah abu-abu ini 1 + 1 tidak selalu berarti 2. Karena itu, kalkulasi politik mesti juga merupakan kolaborasi kalkulasi cerebral, sensus, kebutuhan, situasi, data, fakta dari masyarakat yang menjadi pemilihnya.
Pentas seni suksesi walikota dan wakil walikota mengerucut pada hasil yang diraih paket-paket itu. Dan-Dan unggul dengan perolehan suara 26,48 persen, Jeriko-Jodea 21,47 persen, Alfa 21,23 persen, Jonex 16,09 persen, dan Djibel 14,73 persen menempati nomor buntut. Euforia massa pendukung masing-masing paket pun tak terhindarkan. Sebagai massa pendukung paket pemenang; puji dan syukur, kegembiraan, sukacita, senyum ceria adalah bagian dari diri mereka di hari-hari ini. Untuk pendukung pasangan paket yang kalah; kekecewaan, amarah, duka, gugatan, komplain, mencari kambing hitam menjadi ungkapan yang keluar dari mulut mereka di hari-hari ini. Salahnya di mana? Apalagi terlampau banyak cost politik yang dikeluarkan untuk memenangi pilkada itu. Sekali lagi, politik itu seni. Segala target, strategi dan kepercayaan diri yang ditampilkan dengan indikator survey lembaga tertentu, diusung partai besar, punya pendukung gemuk, laporan menggembirakan dari tim sukses tidak mesti menjadi kenyataan dengan mendulang kemenangan. Artinya apa? Rakyatlah hakim agung itu, yang bebas menentukan siapa yang disukainya. Rakyat pasti tahu siapa yang bakal dipilihnya, siapa yang bisa dan siapa yang hanya gagah-gagahan. Toh hasilnya sudah jelas bukan. Dan inilah satu sisi dari seninya berpolitik. Di wilayah abu-abu itu segala hal menjadi mungkin.
Politik sebagai seni meretas jalan menuju ruang kebaikan bersama penuh dengan kisi-kisi seni. Aroma seni itu sudah jauh-jauh hari diungkapkan para filsuf Yunani. Pada zaman Yunani klasik kata politike senantiasa disanding dengan kata techne, yang berarti teknik atau seni. Arti dasar politik adalah upaya pengelolaan bangsa dan masyarakat. Arti semacam ini selalu dimengerti sebagai kepandaian, seni, dan teknik mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat atau kelompok. Ia merupakan seni mengelola suatu kemungkinan menjadi efektif, posibilitas menjadi realitas. Menurut Otto von Bismark politik bukanlah suatu pengetahuan atau teori. Politik merupakan kepandaian membuat pilihan dan memenangkan suatu pilihan dari begitu banyak kemungkinan untuk mencapai suatu perjuangan.
Politik dalam arti tertentu juga dimengerti sebagai perilaku, tindakan pemerintah, parlemen, partai dan organisasi untuk meraih suatu tujuan, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan bernegara dan untuk mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam bingkai ini, politik dipahami sebagai sikap dan langkah hidup yang taktis, penuh perhitungan untuk mencapai suatu tujuan secara maksimal dan efektif. Politik merupakan daya upaya atau strategi untuk mendapat kekuasaan secara legitim. Politik berkaitan dengan semua kegiatan yang mempengaruhi atau mencapai pembagian kekuasaan. Ia berkaitan langsung dengan pemerintahan, partai politik dengan program dan penampilannya yang berusaha memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan.
Memang betul bila dirangkai dengan fakta saat ini bahwa politik adalah upaya mengelola posibilitas menjadi realitas sekaligus kepandaian membuat pilihan dan memenangkan suatu pilihan dari begitu banyak kemungkinan untuk mencapai suatu perjuangan. Kepandaian menentukan siapa yang bersanding dalam satu paket, siapa-siapa yang menjadi tim sukses, strategi apa untuk memenangi pilkada dengan biaya murah, retorika apa yang perlu diumbar untuk menarik massa, isu-isu apa yang perlu dimainkan yang menggugah sensus massa. Tanpa memperhatikan hal-hal ini, mustahil tampuk kemenangan bakal diraih. Hemat saya Dan-Dan telah secara jeli menerapkan strategi taktis; murah namun populis; dicerca namun melahirkan harapan; diganjal macam-macam tetapi tenang menghadapinya.
Sering opini massa terbentuk bahwa paket yang punya banyak uang tentu bisa memenangi perhelatan pilkada atau suksesi dalam level manapun. Karena uang bisa membeli suara. Uang bisa membereskan segalanya. No money, no honey begitu keyakinan mereka yang empunya uang. Uang banyak bisa membeli kejujuran orang untuk memilih apa yang dikehendaki sang pemilik uang. Namun, hati-hati bung. Politik itu tetap seni. Uang ya uang, namun pilihan nanti dulu. Malah ada yang memanfaatkan momen pilkada untuk mengumpulkan uang dari berbagai paket. Suatu keberuntungan kan. Apalagi ditawarkan dan diberi uang. Apalagi kalau uang itu juga hasil jarahan uang rakyat di sana sini. Rakyat saat ini kian jeli. Diberi ya terima. Soal pilihan kan di tempat pemungutan suara. Ini artinya, indikator bahwa paket yang mengeluarkan cost politik paling banyak bakal mendulang kemenangan tidak selamanya tepat.
Suksesi walikota dan wakil walikota Kupang menyisakan banyak cerita dan kenangan. Pentas seni yang penuh modulasi, dinamika, tempo, tensi tinggi itu serasa teduh lagi saat sang pemenang Dan-Dan mengatakan, “Jangan takut. Saya tak akan dendam. Saya bukan tipe pendendam. Tetapi persoalan hukum akan tetap kita tegakkan, karena saya sudah janji dengan warga kota ini. Kalau saya tak lakukan, saya bisa dimarahi, bahkan bisa diadili.” Ini pernyataan sang pemenang dalam pentas seni politik suksesi. Mudah-mudahan tidak sekadar pernyataan saja. Dan kerendahan hati paket-paket lain untuk menerima kekalahan, seperti komitmen awal “siap menang, siap kalah” adalah sebuah kesenian yang tak terukur nilanya. Pentas seni suksesi telah berujung. Sebuah babak baru pementasan dalam menjalankan roda pemerintahan dan realisasi janji-janji politik sedang dinanti. Dan jangan lupa, bereskan pihak-pihak yang bermasalah dengan hukum agar rakyat tidak terhukum dengan janji-janji politik saat pentas dalam kampanye itu.
Paket pemenang mengusung motto “Bersama Allah Kita Membangun Kota Kupang.” Dan-Dan sedang merancang Kota Kupang sebagai Civita Terrra dan Civita Dei (kerajaan duniawi dan kerajaan Allah). Keindahan motto ini diharapkan tidak saja indah dalam kata-kata dan menyentuh sensus religius massa Kota Kupang. Bagaimana menjadikan Kota Kupang sebagai Kota Allah, Kota Kupang sebagai Kota Kasih, warga Kota Kupang sebagai Warga Kerajaan Allah adalah hal yang utama dari berbagai strategi dan program duet pemenang ini.
Pada akhir sebuah pentas seni, selalu ada komentar dan penilaian atas pementasan itu. Seni berkaitan dengan rasa. Namun, seni juga bisa ditakar dalam cerapan logika. Menilai pentas seni suksesi walikota dan wakil walikota Kupang memang menarik. Tentu saja ada beda rasa, karena politik sebagai seni pun tak bebas dari apa yang disebut penafsiran. Seni berpolitik saat suksesi ini bisa menjadi media pembelajaran untuk proses suksesi lainnya di NTT nanti. Tak lama lagi ada suksesi gubernur dan wakil gubernur. Juga ada beberapa kabupaten yang akan menggelar pilkadal. Apa yang dipelajari?
Pertama, politik adalah seni dan bukan teori semata. Karena berkaitan dengan seni, maka unsur sensus massa perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini sensus massa yang kebanyakan masih menjadi pemilih tradisional dan bukan rasional. Unsur primordial calon dan pemilih juga sangat menentukan. Bagaimana memainkan isu primordial ini adalah hal yang penting untuk diterapkan. Bagaimana pun situasi para pemilih, namun efektivitas memainkan isu sensus primordial, sensus religiosus, emosi massa ini juga bisa menguntungkan paket dalam mendulang suara pemilihnya.
Kedua, kepandaian calon dan tim sukses membaca tanda-tanda zaman. Politik sebagai kepandaian memenangkan pilihan dari berbagai kemungkinan diwarnai oleh kejelian membaca situasi, merespon fakta, mempelajari strategi paket lain dan secara taktis memutuskan apa yang harus dibuat. Tanda-tanda zaman ini antara lain apa kebutuhan massa saat itu, apa yang paling massa sukai. Retorika di sini berperan penting dalam membahasakan bahasa-bahasa kebutuhan itu. Karena itu, peran tim sukses tidak sekadar berkampanye dan bergerilya, tetapi lebih dari itu membuat pendekatan untuk mengetahui hasrat massa. Data dan angka mesti ada. Kepandaian membaca tanda-tanda zaman dan situasi massa itulah yang direspon guna menekan ongkos politik namun efektif menggalang kekuatan massa.
Ketiga, klaim bahwa partai besar punya pendukung banyak dan bisa memenangkan pilkadal semestinya perlu ditelaah lagi. Suskesi walikota dan wakil walikota Kupang telah membuktikannya. Partai besar bukan jaminan memenangkan pilkadal. Yang utama adalah bagaimana mengefektifkan semua jaringan partai yang ada mulai dari pusat hingga daerah dan ranting-ranting. Kemenangan partai-partai kecil di satu sisi dimungkinkan oleh efektifnya semua jaringan yang dimiliki. Dengan jaringan yang ramping tentu kerjanya lebih gesit. Seandainya peluang ini terbaca oleh partai-partai besar, maka tak ada kekecewaan seperti sekarang ini. Satu hal lagi yakni soal uang. Ternyata uang tidak bisa membeli keputusan untuk memilih siapa yang akan dipilih oleh rakyat. Dengan menerima uang, tidak berarti rakyat telah mengikat kontrak politik untuk memilih pasangan tertentu. Rakyat selalu bebas memilih dan memutuskan pilihannya. Apalagi uang yang seperti itu biasanya tidak dipertanggungjawabkan. Ini berarti, bermain-main dengan uang dalam pilkadal ternyata juga tak efektif. Malah sebaliknya, paket-paket yang tak lolos dibuat pusing bagaimana menutup lobang utang demi utang untuk cost politik itu.
Keempat, untuk partai politik, kader partai tidak harus dicalonkan untuk menjadi pimpinan wilayah kalau integritas pribadinya terpecah. Rakyat sangat jeli melihat hal ini. Keterlibatan calon dalam masalah hukum dan berbagai perilaku sosial yang menyimpang akan menjadi catatan tersendiri bagi rakyat dalam memilih. Kader partai yang dipaksakan maju untuk bertarung dengan wajah retak hanya akan menggembos partai itu sendiri. Mesti ada keterbukaan untuk menerima figur dari luar partai yang bonafid, berkualitas dan mampu memimpin. Karena setelah terpilih, para pemimpin bukan lagi berjuang untuk partai tetapi untuk rakyat. Perlu ada keterbukaan untuk meminang figur berkualitas dari partai lain yang dipinggirkan karena kritis terhadap partainya sendiri.
Live in concert politik di NTT bakal ramai lagi dengan adanya suksesi demi suksesi. Politik kita selalu menyenangkan dan berkesan karena hal-hal yang diuraikan di atas. Ingatlah bahwa kalkulasi politik bukan kalkulasi matematis. Di dalam wilayah abu-abu itu, siapa yang pandai membaca tanda-tanda zaman, dialah yang keluar sebagai pemenang. Dan jangan lupa, rakyat tidak begitu mudah dibohongi lagi. Pada saatnya, rakyat akan tampil sebagai hakim yang memutuskan siapa yang akan dipilihnya. Selamat menikmati indahnya seni berpolitik di NTT.



MEWASPADAI TERORISASI
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Flores Pos, 3/10/2006)

Indonesia mendapat banyak pujian dari negara-negara lain pasca tewasnya the demolition man, Dr. Azahari di Vila Nova, Jl. Flamboyan A1/7 Batu – Malang. Betapa tidak, dedengkot teroris ini adalah the most wanted, orang yang paling dicari-cari oleh dunia internasional khususnya Indonesia. Bahkan, untuk siapa saja yang memberikan informasi berkaitan dengan keberadaan Dr. Azahari akan diganjari mamon 1 Miliar. Aplaus dan pujian itu datang bertubi-tubi kepada kepolisian RI setelah 20 orang personil anggota Densus 88/antiteror berhasil menamatkan riwayat si doktor teroris ini. Animo dan gairah masyarakat terhadap keberhasilan ini pun sungguh luar biasa. Masyarakat menyambut gembira berita duka ini walaupun sosok Nurdin M. Top sebagai tangan kanan Dr. Azahari hingga saat ini masih buron.
Hidup harian yang tertindih beban berbagai kebijakan pemerintah yang non populis seakan hilang ketika nuansa euforia kemenangan atas terorisme bergema di mana-mana. Media massa dan media elektronik berperan dalam menggalang antusiasme masyarakat pada keberhasilan ini. Di lain pihak, euforia massa ini beralasan karena akumulasi berbagai aksi terorisme yang tak kunjung henti, yang meresahkan, memilukan, menakuti, mencemaskan, yang menjadikan hidup tidak aman mulai berangsur-angsur hilang dengan tewasnya Dr. Azahari. Akumulasi yang dimulai dari tragedy World Trade Center (WTC) 11 September 2001 di New York, bom Pady’s Kafe di Legian Kuta – Bali 12 Oktober 2002, bom Hotel J.W.Marriot 5 Agustus 2004, dan bom Raja’s Kafe 1 Oktober 2005 lalu melahirkan dendam, amarah dan negative thinking pada apa dan siapa saja yang berkaitan dengan terorisme.

Redefinisi Terorisme
Di balik gebyar kemenangan ini, hemat saya redefinisi atas terorisme mesti dibuat agar kita tidak berlaku seperti maling yang berteriak maling. Redefinisi terorisme mesti diklarifikasi, dipurifikasi sejelas dan sesederhana mungkin (clara et disntincta) agar perspektif dan cakrawala berpikir kita tentang terorisme menjadi objektif. Karena pendekatan diskursif atas terorisme atau pengklaiman atas sebuah tindakan teror menjadikan kata itu tidak netral oleh karena pemahaman dan praktik atasnya berangkat dari pola pikir yang sudah sedemikian terkonstruksi dalam sebuah medan sosial yang juga sudah sebegitu carut-marut dengan berbagai kepentingan ekonomi, sosial, dan politik. Dalam bingkai kepentingan ekonomi, sosial dan politik sebagaimana dimaksud, kita bisa berpaling pada definisi oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) mengenai teror. FBI mendefinisikan teror sebagai suatu penggunaan kekuatan untuk kekerasan yang tak absah menyerang manusia atau barang untuk menakut-nakuti atau memaksa suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau beberapa segmen padanya, demi pencapaian tujuan sosial dan politik (the unlawful use of force or violence against person or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives (Francis, 1988:1 sebagaimana dikutip Max Dae dalam Vox 1/2004: 71).
Pengertian diskursif di atas dapat dipahami dalam dua alur yakni pertama, kekerasan yang tak abash, unlawful use of force, dijadikan dasar untuk mendefinisikan perilaku teror. Pendefinisian ini hendak mengafirmasi sebuah klaim yang sedang bergulir dalam wacana mengenai terorisme, yang dimengerti sebagai senjata orang-orang yang tak kuat (the weapon of the weak). Kedua, sasarannya adalah sebuah pemerintahan dan masyarakat sipil demi pencapaian tujuan sosial dan politik. Pengertian ini hendak menandaskan bahwa terorisme melawan sebuah pemerintahan yang ada dan kalau masyarakat sipil juga disertakan di dalamnya, maka hal itu lebih dimengerti sebagai pengaruh yang harus diterima sebagai konsekuensi atas tindakan membongkar stabilitas yang dibangun dalam tatanan sosial politik tertentu. Perkembangan terorisme tidak saja ditunjukkan dengan aksi teroris di berbagai belahan dunia, tetapi juga dalam pemahaman term terorisme yang bervariasi. PBB misalnya, telah hampir 10 tahun mendiskusikan definisi terorisme. Selama kurun waktu itu terorisme lebih dikaitkan dengan masalah politik. RAND Coopreation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di AS, melalui sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa setiap tindakan kaumn teroris adalah tindakan kriminal.
Konsepsi pemahaman lainnya tentang terorisme adalah pertama, terorisme bukan merupakan bagian dari perang, karena itu harus tetap dianggap sebagai tindakan kriminal, juga dalam situasi berlakunya hukum perang. Akan tetapi, perang dan teror punya kesamaan dalam hal dampak yang diakibatkan, yaitu merenggut korban sipil atau nonkombatan. Kedua, kelompok sipil sering menjadi sasaran utama teroris, maka penyerangan terhadap basis militer tidak dikategorikan sebagai tindakan teroris (Ensiklopedi Nasional, jilid 16, 1994:270). Dr. Paulus Budi Kleden dalam Vox 49/1/2004 tentang terorisme dan peradaban menulis yang disebut sebagai suatu tindakan teroristis adalah tindakan tertutup yang menggunakan kekerasan oleh satu atau lebih orang, dengan tujuan menekan atau memaksa orang atau sekelompok orang di bawah ancaman agar melakukan apa yang dicita-citakan si teroris.

Mewaspadai Terorisasi
Pendefinisian makna terorisme sebagaimana diutarakan di atas merupakan hal yang urgen diketahui oleh kita yang sedang gencar-gencarnya membasmi teroris. Namun, perlu diingat bahwa segala kegiatan, tindakan, aksi yang mendatangkan kekerasan, menimbulkan ketakutan dan kecemasan, mengakibatkan kematian orang lain bisa masuk dalam kategori terorisme. Dengan demikian, hemat saya segala aksi yang beralur necrophilus (pelestarian budaya kematian) sebagai lawan biophilus (budaya kehidupan) adalah bentuk terorisme yang sangat nampak di hadapan kita. Ia tidak tersembunyi, tidak tertutup, tidak dirahasiakan. Teroris berwajah lain selalu sok humanis, tetapi memiliki karakter yang sama dengan jaringan terorisme sungguhan yakni ingat diri dan tak segan-segan mengorbankan hidup orang lain. Inilah fenomen terorisasi, terorisnya berada di sekitar kita, ia nyata dan menjadi bagian dari keseharian kita. Jika teroris dengan teror bomnya mampu mengakibatkan penderitaan fisik, kesengsaraan batin, kehilangan pegangan hidup, kematian mereka yang tak bersalah, maka teroris berwajah lain juga menyengsarakan rakyat, menindas kaum kecil, menyebabkan kematian rakyat kecil dengan kebijakan yang non populis, dengan aksi korupsi-mengkorupsi, penggusuran tanah dan tempat usaha sepihak, manipulasi dana untuk orang kecil, kolusi dan nepotisme untuk meraih jabatan, penggelembungan dana proyek, dll. Kaum teroris berwajah lain ini banyak yang sudah terdeteksi, sudah diketahui catatan hitamnya, namun sulit tersentuh hukum, sekalipun jika Densus 88/antiteror dikerahkan. Teroris wajah lain ini pandai berkelit, licik, lihai. Mereka tidak perlu bersembunyi di pelosok-pelosok kota, menyamar dan operasi plastik dengan sekian banyak wajah. Mereka justru hadir dalam kemewahan rumah tinggalnya, dalam mobil-mobil mewah yang terkini. Mereka berada di belakang meja penentu kebijakan, tersurat dalam pangkat dan jabatan tinggi. Bahkan mereka sering menjumpai rakyat kecil yang terhempas hanya sekedar untuk menengok karena setelah itu rakyat itulah yang akan menjadi korban kelicikan mereka.
Dalam surat untuk redaksi Kompas (24/11/2005), Benny Soekono mengungkapkan kegalauan hatinya terhadap fenomen terorisasi dengan menulis: “Mulai 1 Oktober lalu harga BBM naik. Kenaikan itu amat menyengsarakan rakyat karena dampaknya amat luas. Transportasi naik tajam, sembako naik, barang-barang kebutuhan lain pun ikut naik. Tidak hanya itu, kenaikan harga BBM juga ikut menaikkan anggaran kepresidenan 57%, anggaran wakil presiden juga naik 145%, dan tunjangan operasional anggota DPR menjadi Rp. 10 juta per anggota dewan. Kenaikan anggaran presiden dan wakil presiden serta anggota DPR benar-benar “pesta” di atas penderitaan rakyat. Kenaikan harga BBM yang amat mencekik rakyat hanya untuk menyejahterakan anggota dewan, presiden/wakil presiden. Tega nian pejabat menyengsarakan rakyat yang daya belinya kian terpuruk. Seharusnya pemerintah menyejahterakan rakyat terlebih dahulu, baru kemudian para wakil rakyat. Akibat dari kenaikan harga BBM, nelayan tidak bisa melaut, pabrik/perusahaan tenun bangkrut, para buruh susah mengisi perut, rakyat miskin bertambah banyak”.
Kegalauan, ketakutan, kecemasan di atas beralasan karena bahaya kematian kian mengancam pasca kenaikan harga BBM. Orang kecil hampir tak bisa berobat ke rumah sakit. Jatah makan setiap hari pun semakin sulit. Kebijakan yang non populis ini adalah produk para penentu kebijakan yang berkarakter teroristis. Kekerasan cerebral yang dipaksakan kepada rakyat kecil dalam formulasi kebijakan dan perundang-undangan adalah bukti bahwa mereka sedang menggiring rakyat kecil menuju liang kubur. Teroris berwajah lain ini ada di mana-mana, bahkan Indonesia menjadi markas besar yang empuk dan nyaman bagi aksi mereka. Teroris seperti ini biasanya cukup dekat dengan aparat keamanan maupun aparat penegak hukum. Apa jadinya kalau terjadi intimasi relasi antara aparat penegak hukum, aparat keamanan dengan para pelaku terorisme ini? Lihat sendiri para koruptor berkeliaran dalam kemewahan di tengah penderitaan rakyat kecil. Saling melempar tanggung jawab kalau diperiksa itu sudah biasa dan mau tak mau si pelanduklah yang menjadi korban. Fenomen terorisasi, kian nyata pasca kenaikan harga BBM, sebagaimana nampak dalam curhat yang dimuat di Pos Kupang oleh seorang pembaca: "Kenaikan BBM secara tidak langsung 'mempura-pura miskin" orang yang tidak miskin. Ini terlihat waktu mereka datang ambil dana kompensasi subsidi BBM. Ada yang punya HP, pakai perhiasan emas, bibir dipoles lipstik, berpakaian yang menandakan tidak miskin. Kok bisa lolos dapat kartu keterangan miskin? Lagi-lagi kenaikan BBM telah pula menaikkan kesempatan ber-KKN di antara warga yang "ingin jadi miskin" dengan pemerintah desa atau kelurahan (RT, RW, lurah, kepala desa). Pihak yang berwewenang (yang biasanya "sudah kaya") perlu memperhatikan hal ini agar dana kompensasi itu benar-benar diberikan kepada kaum miskin yang benar-benar pula membutuhkannya (081 237 8XX XX)". Curhat sebagai jeritan batin ini menandakan telah terjadi upaya saling memangsa antara mereka yang berkuasa, mereka yang kaya dengan rakyat jelata, rakyat miskin yang semestinya punya jatah. Bukankah ini merupakan buah dari karakter kekerasan, kerakusan, yang dapat mematikan semangat hidup dan kehidupan orang-orang kecil, suatu karakter teroristis. Inilah teroris berwajah lain yang terbungkus dalam jargon dana kompensasi BBM.
Keberhasilan aparat keamanan dalam mengeliminasi jaringan teroris dengan tewasnya Dr. Azahari patut mendapat pujian dan dukungan masyarakat. Tetapi, hal ini belum cukup jika di dalam tubuh bangsa sendiri kita sedang membesarkan dan memelihara begitu banyak teroris berwajah lain, teroris berwajah koruptor, manipulator, teroris yang sukan Ber-KKN ria. Konsolidasi aparat keamanan dan aparat penegak hukum untuk kasus-kasus terorisme jaringan Dr. Azahari perlu didukung dan ditingkatkan . Tetapi, jangan terlena dan 'melupakan' banyak kasus terorisasi lain seperti untuk konteks NTT, korupsi dana SARKES, korupsi dana purnabakti untuk DPRD, kasus rumpon, kasus jalur hijau, kasus PLTS Alor, dll. Kegigihan aparat mesti juga dibuktikan dalam menyelesaikan kasus-kasus ini walaupun untuk itu aparat tidak mendapat jaminan 1 miliar. Tetapi, inilah tanggung jawab politis, tanggung jawab moral untuk jabatan dan kuasa yang mereka terima. Teroris berwajah lain ini mesti segera diberantas, karena bila dibiarkan akan menimbulkan ledakan penderitaan dan kematian orang kecil yang begitu banyak. Tentu tidak sedahsyat aksi bom Bali I-II ataupun bom Marriot, tetapi karakter kejam dan sadisnya sama karena mencederai kemanusiaan dan menodai peradaban serta mengakibatkan penderitaan begitu banyak orang.
Antusiasme masyarakat dan gencarnya aparat keamanan membasmi jaringan terorisme di Indonesia perlu ditingkatkan. Berbagai kebijakan pemerintah berkaitan dengan upaya preventif aksi teroris perlu dilaksanakan melalui berbagai penertiban. Namun, di lain pihak kelesuan kontrol masyarakat untuk membongkar berbagai fenomen terorisasi di lembaga pemerintahan harus dihidupkan lagi. Kegencaran aparat keamanan dan aparat penegak hukum dalam menangani berbagai kasus teroris berwajah lain ini perlu didukung dan mesti lebih serius lagi. Jangan berharap pada jaminan 1 miliar untuk pertanggungjawaban moral jabatan dan kuasa yang diterima. Uang berapa pun besarnya tak dapat menggantikan penderitaan dan kematian rakyat akibat ulah teroris berwajah lain ini. Karena jika tidak, pujian dan sanjungan negara-negara lain terhadap keberhasilan Indonesia membasmi teroris akan menjadi sebuah ironi; "selumbar di mata sesama dapat dilihat, balok dalam mata sendiri tak terlihat".




Menggagas kampanye yang tampil beda
Oleh Isidorus Lilijawa *
(Pos Kupang, 10/3/2004)
GOENAWAN Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya menulis, "Lima tahun sekali, setidak-tidaknya orang-orang penting pada menatap rakyat dengan sedikit lebih cermat. Dan seluruh Indonesia pun dipertautkan lagi... Dalam suatu momen yang agaknya jarang terjadi, mereka seakan-akan secara bergelora merasakan, ke ulu hati, bahwa Indonesia... Indonesia yang besar ini... adalah bagian hidup mereka" ("ah, rakyat!").
Pernyataan ini setidaknya teraktualisasi dalam masa-masa kampanye. Pada momen semacam ini, perhatian partai politik dan aktor politik sungguh berbeda dengan saat-saat sebelumnya. Mereka sering menunjukkan concern yang tidak biasa dan bahkan luar biasa untuk masyarakat. Masyarakat diperhatikan dengan sekian banyak janji yang seolah-olah sungguh-sungguh. Janji yang memikat dan disampaikan dengan retorika yang begitu meyakinkan.
Itulah kampanye. Saat penghamburan janji-janji manis. Kampanye adalah suatu bagian dari keseluruhan proses pemilu yang mesti kita lalui. Membuat wacana tentang kampanye senantiasa mengantar kita pada pergulatan yang intens dengan partai politik peserta pemilu yang akan berkampanye. Politik tanpa kampanye tidak mungkin. Bagi partai dan aktor politik, kampanye merupakan transisi ritual periodis untuk memperkenalkan janji-janji baru kepada masyarakat. Fungsi klasik kampanye adalah upaya meyakinkan pemilih melalui penyampaian visi, misi dan program partai. Kampanye adalah cara memobilisasi pemilih.
Bagi masyarakat, kampanye adalah momen penting pemberi gambaran kemampuan fungsi sistem politik sekaligus menempatkan masyarakat sebagai evaluator proses politik. Arti penting dimensi simbolik kampanye sebagai ritual konstitusional negara demokrasi modern sering dilupakan dalam pendidikan politik di negeri ini. Tak jarang, keluhuran makna kampanye terdegradasi oleh dominasi muatan politis dan interese partai tertentu. Kampanye hanya dimaknai sebagai perjuangan kekuasaan, instrumen propaganda untuk meraih kekuasaan, dan setelah itu rakyat dilupakan dalam penantiannya yang tak berujung.
Haruskah Pemilu 2004 mengulangi praktik kampanye pada pemilu-pemilu sebelumnya, dimana masyarakat melulu diposisikan sebagai obyek dan komoditas politik? Trauma kampanye masa lalu Dalam alur kontinuitas, menggagas kampanye ‘tampil beda’ pada Pemilu 2004 ini tidak mungkin dilepaskan dari pengalaman-pengalaman kampanye sebelumnya. Kampanye orde baru telah menoreh luka sejarah yang menyakitkan. Selama dua dasawarsa terakhir, pemilu telah menjadi instrumen penumpulan kesadaran politik rakyat.
Pada masa orde baru, rakyat menjadi semakin tidak cerdas dalam berpolitik, atau malahan kehilangan sama sekali kesadaran berpolitik. Hasil pemilu sudah diatur sebelumnya. Kampanye cumalah sandiwara yang menyembunyikan kebobrokan dalam berpolitik. Dalam bahasa sarkastis, rezim orde baru telah membuat rakyat menjadi ‘primitif’ karena tiadanya peluang berpolitik. Pemilu telah menjadi instrumen pertanggungjawaban yang kurang sempurna. Rakyat melulu dijadikan obyek politik. Berkembangnya sistem politik yang dibanjiri mitos, kekerasan ideologi dan kepentingan-kepentingan primordialistik menjadikan rakyat bulan-bulanan politik, tanpa pernah menerima dan menikmati hasil-hasilnya dimana janji-jani manisnya pemilu seperti embun yang menguap tatkala mentari senyum.
Mencermati hahikat pemilu, maka seharusnya merupakan saat di mana rakyat dapat mempertajam kesadaran politiknya dan dengan demikian dapat menentukan pilihan politiknya. Pemilu-pemilu orde baru tidak melakukan hal itu. Kampanye-kampanye dalam pemilu hanyalah momen untuk menunjukkan kekuatan. Kampanye adalah proses pembohongan rakyat dengan seribu janji manis dan muluk yang tidak terealisasi pendidikan dan program politik tetapi untuk menonton sandiwara dan menyambungkan agresinya pada gebyar kekuatan yang dipamerkan. Akibatnya, bukan kampanye yang penting melainkan pawai, rasa puas pada sang penyanyi atau pesulap. Apalagi partai merekrut para artis dan selebritis sebagai juru kampanye.
Terjadi pergeseran dari upaya pendidikan politik ke pemuasan rasa sesaat dengan menekan rasio untuk beraksi. Bahkan kampanye semakin menakutkan. Maklum, yang terjadi bukanlah adu program partai untuk mempertajam kesadaran politik dan dengan demikian menjinakkan agresi, melainkan justru penumpukan kesadaran politik yang mengasuh agresi. Kampanye sering diwarnai oleh berbagai tindak kekerasan mulai dari intimidasi sampai teror fisik. Hal ini mengindikasikan bahwa pergesekan kepentingan politik acap kali meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Yang perlu dibuat
Datangnya saat kampanye boleh jadi mencemaskan kita. Trauma kampanye masa lalu bisa sangat mempengaruhi sikap masyarakat dewasa ini. Format Pemilu 2004 yang tampil beda dengan sekian banyak perubahan dalam sistem dan perundang-undangan tidak dengan sendirinya menjamin keberlangsungan kampanye secara damai dan bertanggung jawab. Partai dan aktor politik sering melakukan kesalahan yang sama memperjuangkan keyakinan politik dan pilihan rakyat hanya pada masa kampanye. Berbagai kasus pencurian star kampanye adalah tanda bahwa rakyat sungguh sangat dibutuhkan pada masa-masa seperti ini. Sehingga segala daya upaya beretiket sosial-karitatif pun dibangun demi mendapatkan dukungan masyarakat.
Pemilu 2004 yang demokratis bisa terwujud jika kampanye sebagai bagian dari proses pemilu itu berlangsung aman damai dan bisa memberikan pendidikan serta penyadaran politik kepada rakyat. Untuk itu sebenarnya yang perlu dilakukan adalah memberikan penyadaran politik rakyat sepanjang waktu. Dalam bahasa Max Weber sebagaimana dikutip oleh Eko Prasojo dalam opini Kompas 3 Februari 2004, kampanye politik harus memenuhi kepentingan ideal pemilih. Karena itu, manejemen emosi politik pemilih adalah perjuangan tanpa henti yang berpuncak pada kampanye formal menjelang pemilu. Kunci sukses inilah yang belum dimiliki sebagian besar (kalau tidak semua partai politik di Indonesia). Kampanye sih sebatas retorika politik dan perjuangan kekuasaan. Bukan sebaliknya menjadi penawar dan pemotong dalam upaya mensejahterakan pemilih.
Sukses tidaknya kampanye partai politik akan ditentukan oleh banyak hal. Disamping itu, pilihan politik masyarakat juga amat ditentukan oleh berbagai faktor. Hal ini bisa dimengerti karena pilihan masyarakat tidak berada dalam ruang vakum, tetapi amat ditentukan berbagai kekuatan partikel-partikel ekonomi, politik dan sosial.
Menurut Eko Prasojo (Kompas 3 Februari 2004), informasi dan kampanye parpol harus dimulai dari lingkungan terdekat seorang aktor politik yang sedang memperjuangkan perolehan suara untuk partai dan dirinya. Perjuangan pemilu seorang individu dan partai politik tidak dimenangkan dalam media, dalam daerah pemilihan. Bukan aneka pernyataan politik dan wawancara yang memberi jalan kemenangan perjuangan pemilu, tetapi pertemuan dan pembicaraan intensif dalam waktu lama antara seorang calon legislatif dengan pemilihnya. Karena itu, kontak dan hubungan personal merupakan faktor yang menentukan perjuangan dalam pemilu. Asumsi ini dibangun dari fakta, hanya partai dan aktor politik yang jelas mengetahui kepentingan politik individu dapat berpartisipasi secara aktif dan positif dalam lembaga perwakilan rakyat. Karena itu, mengharap kampanye Pemilu 2004 menjadi ‘beda’ dan ‘lain’ dengan yang sebelumnya jika dan hanya jika pemilih ditempatkan pada titik sentral kepentingan. Olehnya, tema-tema kampanye haruslah merupakan sesuatu yang realistis bukan bombastis, sesuatu yang berdaya guna mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan masyarakat.
Keberpihakan kepada masyarakat adalah keharusan dalam kampanye partai politik. Semakin bertambah kritisnya masyarakat akan menjadi suatu kesulitan bagi partai-partai yang cenderung menjual janji-janji manis. Hanya partai-partai politik yang tetap berkomitmen pada janjinya akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat dalam siklus lima tahunan ini. Sekali lagi, jangan jadikan kampanye pemilu ajang perjuangan kekuasaan yang cenderung melupakan pemilih ketika surat suara selesai dihitung. Situasi pembodohan politik yang ditinggalkan orde baru dan yang hingga kini belum diatasi oleh orde reformasi menjadikan kampanye pada Pemilu 2004 sebagai sebuah momen diskontinuitas terhadapnya.
Tugas partai-partai politik dalam Pemilu 2004 adalah memanggungkan kembali rakyat ke dalam pentas sejarah pembebasan. Tugas itu adalah tugas etis, karena menyangkut perjuangan hak, kebebasan, dan kesadaran manusia untuk menyatakan diri secara politis. Tugas etis ini demikian mendesak karena mengenai penderitaan rakyat akibat pembungkaman dan pembodohan kesadaran politik. Pada tataran inilah kampanye dan Pemilu 2004 haruslah menjadi sarana pembebasan dari penderitaan itu. Jika liberasi rakyat dari penderitaan merupakan titik tolak bagi perjuangan partai-partai, maka Pemilu 2004 tidak boleh dijadikan taruhan (gambling) sejarah. Rakyat dan penderitaannya tidak boleh dipermainkan untuk taruhan. Pemilu 2004 merupakan keharusan sejarah dan kemestian etis yang mutlak perlu untuk reprifikasi demokrasi kita dan demi terbentuknya pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap rakyat sebagai muara kedaulatan.



Di Manakah Teladanmu?
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Timex, 16/12/2006)

Akhi-akhir ini, rakyat seperti gerah mendengar dan menyaksikan merosotnya keteladanan di kalangan para pemimpin bangsa hingga pemimpin daerah. Berbagai fakta menunjukkan bahwa keteladanan itu semakin sunyi, semakin tak tampak dalam diri para pemimpin kita, dalam diri para pejabat publik kita, dalam diri para pemimpin agama kita, dalam diri orang-orang terdidik yang dengan bangga menyebut diri sebagai kaum intelektual, “kaum yang tercerah”, dalam diri para guru yang seharusnya digugu dan ditiru. Keteladanan hilang ketika orang sibuk mengejar kedudukan dan jabatan lalu menghalalkan segala cara. Keteladanan mangkat tatkala virus korupsi, kolusi, nepotisme, primordialisme, menggerogoti para pemimpin kita.
Keteladanan jadi samar-samar ketika para wakil rakyat kita lebih sibuk mengurus proyek kesejahteraan diri dan keluarga, lebih suka molor saat sidang dan tidur saat rapat membahas nasib rakyat. Keteladanan jadi mandul ketika ada guru yang ‘makan’ anak didiknya sendiri. Keteladanan jadi langka saat para pemimpin agama tidak menghidupi apa yang dikotbahkan tetapi berharap umat menghidupi apa yang dikotbahkannya dan bersikap otoriter terhadap bawahannya. Keteladanan telah menjadi krisis bangsa ini. Dan akar dari semua krisis yang menggerogoti bangsa ini adalah krisis keteladanan itu.
Beberapa saat lalu, tepatnya tanggal 2 Desember 2005, warga NTT terhenyak dan kaget oleh peristiwa tertangkapnya lima “Mister Joker”: JM Sitepu (Asisten III Setda NTT), S. Tarigan (mantan anggota TNI/Polri DPRD NTT), J. Silaen (mantan pejabat Timor Timur), Oloan Hutagalung (pejabat PT Jamsostek Kupang), Julan Sinambela (pejabat PLN Kupang). Kelima pejabat dan mantan pejabat ini tertangkap basah ketika sedang berjudi kartu dengan taruhan uang jutaan rupiah. Dari kelima pemain judi ini, polisi menyita dua pak kartu, delapan pak kartu cadangan, serta uang tunai sebesar Rp. 12.970.000,00.
Inilah mental para pejabat kita. Karakter verbalisme menyata di sini. Di hadapan rakyat, bawahan, ataupun atasannya mereka selalu berbicara yang baik-baik, memberi motivasi, tampak berwibawa, tetapi di balik kata-kata itu, di balik sikap itu ada kepalsuan, ada kebohongan, ada kemunafikan. Apa yang mereka buat tidak seperti yang mereka katakan. Mereka berjudi dengan taruhan besar. Mungkin saja nasib rakyat ikut dipertaruhkan dalam perjudian itu. Apa yang mau diteladani oleh masyarakat? Meneladani strategi perjudian? Gaya berjudi? Atau apa? Belum selesai persoalan di Kupang, terdengar lagi berita dari Manggarai. Ada anggota DPR yang kedapatan sedang berjudi. Wakil rakyat memperjuangkan nasib rakyat dengan berjudi? Keterlaluan. Borok-borok kepalsuan terungkap. Berita terakhir yang menghebohkan oknum wakil ketua DPRD Sikka dan beberapa PNS kedapatan berjudi remi. Rakyat memang muak mendengar berita-berita ini.
Untuk mendulang suara dan dukungan rakyat, mereka pintar mengenakan topeng. Mereka bagai si bunglon yang bisa merubah warna kulitnya sesuai warna pohon yang ditempatinya. Pesona kata, figur yang nampak saat kampanye musnah sudah ketika martabat sebagai wakil rakyat dipertaruhkan di atas meja judi. Belum selesai persoalan ini, muncul pula berita seorang guru tega mencicipi kegadisan anak didiknya yang masih di bawah umur. Guru yang semestinya digugu dan ditiru berubah jadi sejahat itu. Keteladanan telah terpojok di titik nol ketika seorang pemimpin perguruan tinggi nekad mempertahankan posisi di tengah bobroknya moralitas pelayanannya kepada para mahasiswa. Wajah bumi NTT memang sarat borok krisis keteladanan.

Figur publik?
Para pejabat publik adalah sekaligus figur publik. Keberadaan mereka tidak dapat dilepaspisahkan dari tanggung jawab publik, karena ada kepercayaan publik yang diberikan kepada mereka. Sebagai orang-orang publik, mereka dituntut untuk senantiasa mempertanggungjawabkan sesuatu secara publik. Karena itu pola kepemimpinan mereka adalah ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Memang benar bahwa secara konseptual, para pemimpin kita, para pejabat publik kita saat ini bisa dibanggakan. Mereka adalah orang-orang terbaik yang dipilih, diangkat, dari sekian banyak orang untuk memimpin suatu instansi, suatu lembaga, suatu sekolah, suatu organisasi. Mereka telah memenuhi sekian banyak persyaratan. Mengikuti fit and proper test, mengikuti seleksi-seleksi tertentu.
Bahkan untuk menambah wawasan, mereka boleh studi banding ke daerah lain, diberi fasilitas dan kemudahan demi meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kepandaian verbal mereka patut diacungi jempol. Retorika dan cara berbahasa sanggup menggugah dan mempesonakan lawan bicara. Penampilannya sungguh menggugah. Tetapi, secara praktis, secara faktual, mereka sulit mengaplikasikan apa yang dikatakan dalam aksi dan perbuatan nyata. Mereka ini seperti orang Farisi yang dikisahkan dalam Kitab Suci. Dari luar kelihatan bagus tetapi hatinya penuh rencana busuk. Mereka bagaikan kubur yang di luar tampak bagus dilapisi batu-batu indah, tetapi di dalamnya penuh tulang-belulang. Penyaksian hidup mereka tidak merupakan jawaban atas konsep-konsep dan apa yang mereka katakan. Kalau begini, maka keteladanan akan semakin sunyi. Karena keteladanan langsung bersentuhan dengan aksi, tindakan, perbuatan, bukan teori, konsep dan verbalisme semata.
Tidak pernah terdengar ajakan, pernyataan dari para pejabat publik, figur-figur publik ini kepada rakyatnya untuk korupsi, kolusi, nepotisme, berjudi, kongkalikong, selingkuh, pemalsuan, dll yang kurang baik. Yang mereka katakan ke mana saja mereka pergi menjumpai rakyatnya adalah kerja keras, rajin, hemat, jujur, tanggung jawab, disiplin, bekerja sama, setia terhadap tugas, perubahan baik, dll yang positif. Tetapi, kebanyakan yang para pejabat publik ini buat adalah apa yang sebaliknya mereka katakan kepada rakyat. Mereka justru terlibat KKN, berjudi, tidak disiplin, tidak jujur (ingat kuitansi kosong, mark up dana), tidak setia (selingkuh jabatan, ingkar janji kepada rakyat, amoral), tidak bertanggung jawab (ada kasus saling lempar tanggung jawab, cari selamat dan korbankan rakyat), kurang mendengar nurani (mencari untung untuk diri dan keluarga dari jabatan yang ada, kurang memihak orang kecil, menampilkan diri sebagai orang ‘seolah-olah’ saleh).
Inilah sebenarnya yang menjadi titik tolak, daya picu berbagai krisis lainnya. Lalu, apa yang bisa diteladani rakyat dari para pemimpin, para pejabat publik model ini? Kahlil Gibran pernah bersyair untuk para penguasa: “Kalian suka sekali membuat undang-undang, tapi lebih senang lagi melanggarnya. Kalian seperti anak-anak dengan asyik dan seriusnya membangun istana pasir di tepi pantai, lalu sambil tertawa gembira menghancurkannya sendiri. Di saat kalian sedang asyik membangun istana pasir, laut menghantarkan lebih banyak lagi pasir ke tepi pantainya. Dan tatkala kalian beramai-ramai meruntuhkan istana yang kalian bangun, laut ikut tertawa bersama kalian.” Figur publik dengan demikian hanya diartikan sebagai orang-orang yang dikenal secara publik, salah satunya karena memangku jabatan publik. Tetapi mereka sebenarnya kurang bertanggung jawab terhadap publik. Karena pertanggungjawaban mereka bukanlah tentang apa yang mereka buat untuk publik tetapi apa yang mereka katakan kepada publik. Para figur publik model ini boleh memiliki jabatan publik tetapi tidak memiliki nurani publik. Sebab, kehadiran mereka bukan membawa terang bagi masyarakat, bukan menjadi garam bagi kehambaran hidup masyarakat, tetapi lebih sering membawa penyesatan. Berbicara tentang pejabat publik kita, perlu banyak berpikir sebelum pada akhirnya kita merasa dilecehkan karena inkonsistensinya.

Krisis sistemik
Krisis keteladanan yang tengah mewabah dalam lingkungan pemerintahan, birokrasi, dunia pendidikan, dan masyarakat itu sendiri merupakan bagian dari krisis sistemik. Krisis sistemik adalah krisis yang terjadi dalam organisasi masyarakat ketika melupakan sisi proses perkembangan individu-individu karena pendidikan dan transformasi masyarakat. Dengan kata lain, sistem itu menjadi macet lantaran tidak mampu lagi menjawabi perkembangan kesadaran kritis individu-individu dalam masyarakat hingga terjadi ketidakpercayaan anggota masyarakat pada sistem itu (Mudji Sutrisno, Sari-Sari Pencerahan: 1997, 49).
Ada dua sebab krisis sistemik ini. Pertama, krisis nilai yang selama ini menjadi pedoman dan acuan hidup bersama tidak lagi menjadi konsensus bersama karena tidak relevan lagi bagi kebutuhan dan hidup masyarakat yang semakin kritis. Contoh tersobeknya hati nurani rakyat kecil yang begitu susah menafkahi hidup di tengah kenaikan harga BBM saat ini, sementara di hadapan mereka terbentang skandal besar di mana sesamanya sendiri (yang kebetulan pejabat publik) bisa memakan uang negara miliaran rupiah untuk mengenyangkan diri dan kepentingannya. Contoh lain, tidak berjalannya pendekatan moralistis. Berbagai ungkapan moral para pemimpin yang meminta simpati rakyat ditanggapi dengan sinis karena para pemimpin itulah yang banyak memakan korban rakyatnya sendiri.
Kedua, sebab dari krisis sistemik ini adalah rontoknya keteladanan. Mengapa? Sebuah sistem sebagai mekanisme pengatur dan penata hidup bersama itu dilegitimasi oleh pembenaran pelaku-pelaku dalam sistem itu. Bila aturan sistem dimanipulasi oleh pemimpin sistem, yang menggunakan posisi maupun kuasanya bukan untuk melayani rakyat tetapi melayani kepentingan diri, maka di sana keteladanan menjadi nol besar. Sejak saat itulah krisis sistemik ini terjadi.
Krisis sistemik, carut-marutnya suatu sistem disebabkan terutama bukan oleh sistem itu sendiri tetapi oleh orang-orang yang berada dalam sistem itu. Para pemimpin sistem adalah orang yang bertanggung jawab atas krisis sistemik ini. Bagaimana menjadikan sistem pemerintahan itu bersih, bebas dari KKN kalau para pemimpin sistem itu sendiri menjadi bagian dari KKN? Untuk itu, perubahan pola laku, pola sikap dan pola tindak manusianya, para pemimpin sistem itulah yang utama bukan perombakan sistem. Karena, toh apapun model sistem itu tetapi jika orang-orangnya tidak dirubah dan mengalami perubahan, maka mubazir juga akibatnya. Akan menjadi tak berguna juga kalau sistem yang baru sebagai kirbat baru terisi oleh orang-orang dengan pola lama sebagai anggur lama yang masam dan kecut. Kebaruan suatu sistem akan sangat ditunjang oleh para pemimpin dan pengelola sistem yang selalu membaharui diri, mau diperbaharui dan butuh pembaharuan. Jika para pejabat publik dan pemimpin kita berjalan dalam semangat ini, dalam alur ini, maka keteladanan bisa lahir lagi.

Perubahan diri
Sebuah goresan sederhana terpatri di kubur seorang uskup Anglikan di Westminster Abbey, London. Goresan itu berbunyi: “di usia belia, saat impian hidupku tanpa batas, saya bertekad mengubah seisi buana jagad. Saya ingin mengubahnya menjadi tempat yang layak dihuni manusia. Ada dunia damai tanpa perang. Tapi, ketika beranjak dewasa, kearifanku menyadari bahwa dunia ternyata tak bisa sama sekali diubah. Saya berpikir biarlah kerinduan itu saya wujudkan sebatas negeriku saja. Saya ingin mengubah tanah airku. Tapi ternyata juga tak bisa. Di sana berkerumun segala kepentingan politik, berbaur menjadi satu dengan keakuan, ketamakan dan korupsi.
Diriku kini menjadi semakin tua dan berpikir cukuplah mengubah keluargaku dan orang-orang terdekat, termasuk mereka yang saya cintai. Namun, hatiku tertunduk sedih, ketika tahu mereka juga tak mungkin diubah. Ketamakan mereka tak kalah besarnya. Dan di usia senja – saat nafasku divonis dokter tak panjang lagi – saya insyaf: saya harus mulai mengubahnya dari diriku sendiri. Dari sini bisa jadi kerinduanku akan terwujud mengubah keluargaku. Dan lewat mereka mungkin baru bisa mengubah negeriku tercinta. Dan siapa tahu kerinduanku menggapai seluruh buana jagad (FH. Pangemanan, Tragedi Peradaban: 1999, 49). Dengan merubah diri, orang bisa mulai menanamkan keteladanan dalam dirinya. Dan dengan keteladanan itu, hidup yang layak dan bermakna akan bisa diraih. Mari menjadi tokoh panutan, tokoh yang bisa diteladani dengan mulai merubah dari diri sendiri.



PETAKA INDONESIA
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Timex, Juli 2007)


Bulan April sampai Mei 2005 yang lalu, saya melakukan “ziarah kemanusiaan” sebagai seorang relawan kemanusiaan untuk korban bencana Aceh dan Nias. Pengalaman mengalami petaka dan berada di daerah petaka memang sungguh menantang. Guncangan gempa bumi dan amukan tsunami membuat bumi Serambi Mekah dan Pulau Nias porak-poranda. Korban jiwa dan materi tak terhitung lagi. Di hadapan kuasa alam, manusia dengan kepongahan teknologinya jadi tak berarti. Jeritan tangis dan deraian air mata menjadi keseharian warga masyarakat. Mereka butuh bantuan, perhatian, bimbingan dan pendampingan. Dan saya merasa tak mampu berbuat banyak memenuhi harapan dan keinginan mereka. Tetapi, upaya menerbitkan harapan untuk sebuah kondisi yang lebih baik terus digemakan dalam perjumpaan dan pertemuan dengan para korban itu. Petaka alam memang sering tak terduga dan diantisipasi.
Namun, penderitaan masyarakat korban bencana alam tidak sampai di situ. Ada bencana baru, namanya bencana moralitas, bencana nurani ketika para pejabat memproyekkan para korban gempa dan tsunami untuk mendapatkan dana tetapi kucuran dana itu tak meresap mengendap sampai ke sasaran. Bencana KKN terjadi lagi di lahan yang sudah porak poranda oleh petaka alam. Banyak pihak yang pendapatannya naik, promosi jabatan meningkat, materi melimpah pasca bencana alam di atas. Para korban bencana yang seharusnya mendapat perhatian utama diabaikan. Mereka meratapi nasib dalam carut-marut tenda-tenda pengungsian. Inikah yang namanya solidaritas?
Kisah di atas hanya sekelumit dari berbagai petaka di tanah air kita. Indonesia menjadi negara yang sangat ditakuti bukan karena luasnya wilayah kepulauannya tetapi karena menjadi “sarang teroris”. Terorisme berkembang biak dengan leluasa sehingga banyak korban berjatuhan. Mentalitas meniadakan yang lain berkecambah dengan suburnya. Orang lain dilihat sebagai musuh yang harus dibereskan. Terorisme jadi topeng ketika orang-orang berjuang atas nama agama memusnahkan sesamanya yang lain. Nilai peradaban jatuh ke titik nol dan kemanusiaan jadi begitu tawar ketika ideologi agama dan golongan dipakai sebagai justifikasi untuk aksi-aksi teror. Katanya negara ini sangat toleran terhadap para pemeluk agamanya, toh agama jadi tirani semacam itu. Katanya negara kita sangat ramah satu terhadap yang lain, tetapi mengapa ada pertumpahan darah terus-menerus?
Petaka sosial politik menjadi menu keseharian hidup berbangsa kita. Korupsi itu sudah biasa malah jadi budaya dan trend saat ini. Indonesia selain terkenal karena sarang teroris internasional juga termashur oleh praktik korupsi para elit politik. Para koruptor begitu lihai sehigga sulit tersentuh hukum. Aneh bin ajaib, orang yang jelas-jelas bersalah karena merugikan uang negara, malah dibebaskan dari jeratan hukum oleh pengadilan. Supremasi hukum kita jadi apa? Perselingkuhan politik sering terjadi di antara kalangan legislatif dan eksekutif. Korbannya adalah rakyat kecil. Perselingkuhan itu melahirkan turunan persoalan yang imbasnya dirasakan dan dialami rakyat. Ketika DPR tak lagi jadi mesin pengontrol pemerintah, bagaimana mungkin kinerja pemerintah bisa efektif dan efisien demi pelayanan kepada masyarakat?
Petaka Indonesia sangat menjamur. Terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Ada yang mentradisi dan membudaya. Bila saja Gabriel Marcel masih hidup, ia akan menertawakan kepongahan, ketamakan, kerakusan, kelicikan, kepalsuan kita manusia-manusia Indonesia. Hal-hal negatif di atas terjadi ketika orang menempatkan ego di atas segala-galanya dan menyangkal keberadaan orang lain dan kepentingannya. Urusan-urusan umum dinomorduakan demi memuluskan pemenuhan kepentingan diri. Menyangkal – apalagi meniadakan sesama – sebenarnya berarti menyangkal diri sendiri. Bila sosok pemikir sekaliber Marcel amat yakin bahwa adanya manusia berarti ada bersama orang lain (exister, c’est coexister), bukankah setiap penyangkalan adalah suatu penghampaan diri sendiri? Suatu penghampaan kepribadian bangsa sendiri? Dan bila ditakar dari sisi ini, bangsa kita tampaknya telah masuk guiness book of records dalam penyangkalan diri. Tak hanya tiada digit yang mampu membilang itu, tapi juga tak ada tempat di bumi ini yang mampu menampung intensitas penyangkalan itu.
Di mana-mana orang saling menyangkal dan bahkan meniadakan. Perangkat hukum tampaknya tak berdaya. Selama orang tak menyadari bahwa peniadaan atas sesama adalah suatu penyangkalan diri sendiri, akan menjadi sia-sia bangsa besar ini membangun jati dirinya. Kita hanya membangun sebuah monumen penyangkalan dan peniadaan versi lain. Bila begitu, peradaban bangsa kita kini sedang bergerak menuju suatu kematian. Mungkin itulah maksudnya ketika Almarhum Paus Yohanes Paulus II mengatakan dunia kita tengah dilanda civilization of death (budaya kematian). Petaka Indonesia memang menghadirkan dan melestarikan budaya kematian itu. Ada begitu banyak orang yang meninggal karena bencana alam yang tak terhindari. Ada yang mati karena ketamakan dan kerakusan orang lain. Ada yang meninggal karena kurang gizi, kekurangan makanan, sebab kesejahteraan tidak pernah menyentuh hidup mereka oleh virus KKN yang terus menggerogoti nurani penguasa. Ada yang menjadi korban akibat pemaksaan ideologi tertentu. Benih-benih budaya kematian memang terus bersemi jika kita tidak pernah melihat dan memperlakukan orang lain sebagai diri kita yang lain, bagian dari kebersamaan kita.
Memperbincangkan petaka Indonesia memang tiada habis-habisnya. Karena sejak awal negara ini senantiasa dililiti aneka persoalan. Negara kita menjadi sebuah bangsa yang sangat problematis. Akumulasi berbagai persoalan menjadikan kita gerah dan kehilangan rasa bangga menjadi warga bangsa ini. Apa yang patut dibanggakan dari tanah air kita ini? Bencana kemanusiaan akrab di telinga kita. Tragedi moral tak putus-putusnya. Petaka sosial politik menjadi bagian dari keseharian kita. Murka alam tak jemu-jemunya melindas bumi pertiwi. Lantas, apa yang perlu kita banggakan lagi? Nonsens!
Harapan! Mungkin hanya ini. Tapi, masih adakah harapan dalam sanubari anak bangsa ini? Berharap pada sesuatu yang tak pernah pasti adalah penantian yang mendera batin dan menyiksa raga. Kita memang tidak bisa berbuat lain kecuali berharap. Mungkinkah memperbaiki bangsa ini hanya dengan berharap? Gabriel Marcel “sang filsuf harapan” menyebut manusia sebagai “insan peziarah” (homo viator). Manusia adalah peziarah karena mencari dan bergumul dengan harapan di tengah penderitaan dunia. Harapan ini menjadi bernilai bagi peziarah karena didasarkan pada kepercayaan atas subjek lain di luar diri dan yang mengatasi dirinya. Subjek lain itu kemudian nyata bagi Marcel yakni sesama manusia dan juga Sesama Lain ber-Pribadi Transenden, yang kita sebut Tuhan. Berharap adalah sebenarnya menaruh kepercayaan pada komunitas manusia sebagai suatu realitas kebersamaan di mana ia sendiri membuka diri dan terarah. Orang yang berharap adalah orang yang membuka diri pada sesamanya sambil membuka diri pada masa depannya sebagai manusia. Inilah nilai profetis harapan. Dan Marcel yakin bahwa “Jalan utama mencapai harapan sejati justru melalui keberhasilan mengatasi rasa putus asa itu sendiri”.
Mengangkat kisah petaka Indonesia ke permukaan bukanlah karena pesimisme akan masa depan bangsa ini, tetapi sebuah upaya mendongkrak optimisme bangsa. Petaka-petaka ini mesti dihadapi, dikelola dan dimaknai sehingga menjadi rahmat atau kairos (saat keselamatan). Indonesia masih mempunyai masa depan karena kita masih mempunyai harapan. Kekuatan komunitas kebersamaan kita dengan sesama dan dengan Tuhan adalah energi yang sanggup mengatasi berbagai petaka di atas. Kita bisa kalau kita mau. Jangan pernah berputus asa, karena harapan sejati teruji dalam kondisi semacam itu. Mari berharap akan prospek Indonesia yang lebih baik dengan berbenah, menata diri, menata moralitas, membenah bangsa, merevisi sistem. Mari kita bangun budaya arus balik, arus melawan budaya kematian. Kita mesti tumbuhkembangkan benih-benih budaya kehidupan (civilization of life) dengan memaknai fakta petaka Indonesia demi sebuah perubahan, perbaikan, penataan baru yang membangun dan menghidupkan.
Harapan kita jadi bermakna bila idealisme menembusi batas-batas teks menuju tapal batas kontekstual. Artinya, tidak cukup ada ide dan konsep yang terpatri dalam ruang cerebral. Ia mesti meng-konteks, melampaui teks menuju praksis nyata dalam realitas harian. Perubahan baru mulai ada ketika konsep bersentuhan dengan konteks. Kiranya, kesadaran kita pada fakta petaka Indonesia ini memampukan kita menjadi orang-orang hidup, orang-orang yang berjuang bagi pelestarian budaya kehidupan dengan mengeliminir segera mungkin budaya kematian, budaya peniadaan atas yang lain.



PANGGILAN POLITIS KAUM IMAM – RELIGIUS
(Mengenang 26 tahun kematian Uskup Romero)
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Expo NTT, Maret 2006)
Pada hari Senin tanggal 24 Maret 1980, tersebarlah berita yang menggemparkan dunia dan mengejutkan banyak orang. Oscar Arnulfo Romero, Uskup Agung dari Ibu kota San Salvador di Amerika Tengah ditembak mati oleh seorang pembunuh bayaran ketika sedang mempersembahkan ekaristi di rumah sakit kanker setempat. Apa motif pembunuhan itu? Ada dugaan kuat bahwa pembunuhan ini berkaitan dengan suatu pernyataan yang dilontarkannya dua puluh empat jam sebelumnya. Waktu itu Uskup Romero menyerukan kepada tentara agar tidak mematuhi perintah untuk menghabisi rakyat sipil yang tidak bersenjata sebab perintah ini bertentangan dengan perintah Allah. Akibatnya, Uskup Romero dituduh mendalangi pemberontakan tentara dan akhirnya ia dibunuh. Inilah akhir yang tragis dari kehidupan seorang pembela kebenaran dan keadilan, sahabat kaum miskin dan tertindas.
Situasi dan kondisi bangsa kita dewasa ini boleh dikata sedang mengarah ke ambang kehancuran. Berbagai lilitan krisis multidimensi sulit kita retas dan bahkan semakin melilit erat, mencekik dan mematikan. Berbagai praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), perselingkuhan politik eksekutif dan legislatif, pelanggaran HAM, pemiskinan dan penindasan rakyat kecil, krisis kepercayaan dan berbagai krisis lainnya. Dalam situasi seperti ini, setiap orang dituntut untuk berani tampil ke pentas kekisruhan ini demi menyuarakan suara-suara kebenaran dan keadilan yang mulai tak bermakna dan selalu dibungkam dengan berbagai modus. Dalam konteks tulisan ini, saya lebih memfokuskan perhatian pada peranan kaum imam-religius sebagai penyuara kebenaran dan keadilan, yang boleh jadi menghadapi dilema antara tuntutan hidup religius dan keimamatannya dengan kebutuhan riil situasi umat yang butuh penanganan segera. Apa yang bisa dibuat oleh kaum imam-religius sebagai perwujudan option-nya kepada mereka yang tertindas dan menderita ketidakadilan? Apakah melulu berkhotbah tentang cinta kasih, pengampunan, keadilan, kebenaran dan keutamaan-keutamaan lain tanpa down to the earth, terlibat secara konkrit dalam perjuangan mewujudkan semuanya itu? Berbagai pertanyaan lanjutan dapat muncul seiring dengan timbulnya kesadaran umat akan pentingnya suara profetis kaum terpanggil (imam-religius) dalam meretas berbagai spiral pembodohan dan pembungkaman yang merugikan dan menyengsarakan rakyat. Sejauh manakah tanggung jawab moral kaum imam-religius terhadap situasi aktual perpolitikan yang sedang dihadapi bangsa ini? Adakah mereka sanggup menyelesaikan ketegangan dan pergulatan batin antara kesetiaan dan ketaatan pada sumpah, pada hierarki, pada tuntutan identitas diri yang menjaga distansi tertentu dengan tantangan nyata yang menuntut keterlibatan sini kini.
Ada perbedaan pendapat yang tajam mengenai keterlibatan para imam dan kaum religius dalam medan politik. Lantas kita bertanya: apakah seorang imam-religigus yang bertugas mewartakan kabar gembira kerajaan Allah, membimbing dan mempersatukan umat Allah perlu juga bersikap dan bertindak politis secara sejati dan tanpa pamrih tanpa harus takut menjadi martir dan saksi Kristus? “Kalau anda bertanya kepada saya, mengapa Gereja berjuang melawan dosa, maka saya akan menjawab: sebabnya adalah bahwa dewa kuasa dipuja dan bahwa kita mempunyai “itikad politis” untuk menghapus dosa. Uang dan modal dituntut secara egoistis demi kepentingan sendiri sehingga mengabaikan mereka yang mati kelaparan, yang miskin dan menderita. Demikianlah tegas Uskup Romero dalam salah satu khotbahnya. Bahkan untuk perjuangan itu ia rela menjadi martir dan saksi darah Kristus pada akhir abad XX ini. Apa yang mendorong Uskup Romero bertindak begitu berani tanpa takut sedikit pun pada penguasa setempat? Menurut asal-usul dan wataknya, Uskup Romero sebenarnya seorang yang berkepribadian tenang, apolitis dan konservatif. Namun, karena tergugah oleh nasib umatnya yang menderita ia akhirnya mengalami suatu metanoia total, bukan saja dalam sanubarinya tetapi justru diaplikasikan dalam tindakan konkrit. Bercermin pada pribadi Yesus, Sang Revolusianer tanpa granat dan peluru, ia beralih menuju tapal batas kaum miskin dan tertindas, suatu keberpihakan total dalam semangat injil. Kalau keterlibatan Yesus terhadap rakyat kecil dan tertindas mempunyai implikasi politis, maka para pengikut-Nya pun tak dapat mencuci tangan dan menutup mata terhadap persoalan politik. Uskup Romero telah menempuh jalan ini. Ia menjadi corong dan pengeras suara bagi suara-suara kaum tak bersuara. Sipak cuci tangan terhadap politik yang sering dibuat oleh kaum imam-religius adalah hal yang naif dan merupakan sebuah mekanisme pengingkaran diri. Kaum imam-religius dituntut untuk menghidupi spiritualitas injili yang kokoh kuat dan menjalankan tugas profetis Gereja yang kritis-kreatif. Secara kritis mereka harus menyuarakan penderitaan rakyat dan mengecam pihak yang bertanggung jawab atas penderitaan itu. Selanjutnya tugas kreatif adalah melibatkan diri dalam mengatasi kemelaratan dan penindasan secara nyata dan positif. Semua usaha dan perjuangan ini tidak berorientasi pada kekuasaan dan jabatan pemerintahan tetapi lebih karena tanggung jawab moral-etis pada panggilan profetis-politis yang menyangkut kehidupan masyarakat luas.
Panggilan politis kaum imam-religius seakan membentur kemapanan kata keramat ini “politik praktis”. Dalam kamus seorang imam-religius, kata politik praktis akan dengan sendirinya membatasi kiprahnya dalam pentas politik aktual. Kaum imam-religius dilarang untuk berpolitik praktis. Lantas apakah sebenarnya “politik praktis” itu? Mengkritisi persoalan ini, saya menyitir apa yang diuraikan oleh J. Soedjati Jiwandono, “… partisipasi dalam kehidupan politik dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk. Orang dapat “berpolitik praktis” dengan ikut serta dalam usaha memperoleh kekuasaan politik. Hal ini dapat dilakukan baik untuk dirinya sendiri, membantu orang lain atau bagi partai yang didukungnya untuk memperoleh kekuasaan sesuai “aturan main” perpolitikan. Namun, politik praktis dapat juga dilakukan di luar lembaga negara/lembaga demokrasi bila mereka tidak menjawabi akseptasi dan aspirasi masyarakat/kelompok tertentu. Tetapi, apa sebenarnya esensi term politik praktis itu? Bila membedah term praktis, maka sifat dan arti yang sepadan adalah nyata, terlibat, aktif dan bergerak. Ini mengandaikan ada “politik teoritis” yang diam, kaku, pasif dan statis. Namun ini bukan padanannya. Apakah hal ini mungkin? Bila politik praktis dikaitkan dengan usaha mendapatkan kekuasaan secara langsung, maka apakah usaha untuk memperoleh kekuasaan secara tak langsung tidak disebut praktis? Hemat saya, entah memperoleh kekuasaan secara langsung atau tidak, politik itu selalu praktis, berelasi dengan hal-hal praktis, nyata, terlibat dalam persoalan massa dan berubah seturut zaman. Sampai pada tahap ini, kita dituntut untuk membongkar batu karang pemikiran yang mapan tentang term politik praktis. Inilah sebenarnya terminologi yang kaprah dalam dunia perpolitikan, yang diterima begitu saja tanpa dipertanyakan dan dipersoalkan (taken for granted). Perbedaan politik praktis dan teoritis merupakan sesuatu yang nirmakna. Ini merupakan sebuah kontradiksi an sich. Sebab manusia yang dikelompokkan sebagai yang bukan praktisi politik adalah pemerhati sosial politik dalam masyarakat. Mereka pun adalah praktisi. Mereka bukan teoritisi politik. Bila ingin membedakan politik dalam masyarakat, maka pembedaan yang tepat menurut tujuan dan metodenya adalah politik kekuasaan dan politik kepedulian sosial. Politik kekuasaan berurusan dengan teknik dan organisasi untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya. Sedangkan mereka yang tidak terlibat dalam percaturan politik kekuasaan menghayati politik sebagai kepedulian sosial, tanggung jawab dan panggilan kewarganegaraan. Menjadi jelas bagi kita bahwa panggilan politis kaum imam-religius adalah politik kepedulian sosial yang memuat tanggung jawab moral terhadap situasi ketidakadilan yang dialami masyarakat.
Bagaimanakah kaum imam-religius merealisasikan tanggung jawab moral politisnya? Julius Nyerere (mantan Presiden Tanzania) mengungkapkan, “kalau Gereja tidak secara aktif menentang struktur-struktur sosial dan organisasi-organisasi ekonomis yang mentakdirkan manusia menjadi miskin, terhina dan takhluk, maka Gereja tak akan berarti lagi bagi manusia dan agama Kristen akan menyusut menjadi momok yang hanya mengesankan para penakut”. Inilah sebuah ekspresi pernyataan yang menantang. Mengisyaratkan suatu sikap politis yang mesti diambil Gereja. Kaum imam-religius mesti bersikap terbuka terhadap situasi penindasan dan ketidakadilan yang terjadi. Ini berarti bahwa pewartaan kabar keselamatan mesti menyentuh situasi riil masyarakat yang disertai kesaksian dan keterlibatan nyata sekalipun berimplikasi politis. Mereka mesti menyadari bahwa sikap ‘cuci tangan’ terhadap politik adalah sebuah ilusi belaka. Mereka tidak mempunyai pilihan untuk berpolitik dan tidak berpolitik dan atau bersikap netral. Satu-satunya pilihan adalah tujuan dan arah dari sikap politis yang dibuat. Sikap yang berpura-pura cuci tangan terhadap politik adalah sikap yang sangat berbahaya karena menutup mata dan bahkan mengelabui keadaan masyarakat. Suatu blindness yang memungkinkan Gereja diperalat dan dituntun ke mana saja.
Fungsi kepemimpinan para imam-religius adalah mempersatukan, mendorong, membimbing dan menyadarkan umat. Mereka mesti berupaya memberdayakan umatnya akan hak-hak politiknya yang hilang dalam iklim penindasan dan ketidakadilan yang dihadapi. Aspek konsientisasi ini menyangkut aliran silent culture (budaya bisu) yang melanda masyarakat melalui intimidasi, teror mental, depolitisasi dan spiral pembungkaman lainnya. Masyarakat harus disadari bahwa ketidakadilan, kemiskinan, perendahan martabat adalah hal yang nyata, ada dan bukan rekaan fiktif belaka. Karena itu, mereka sendiri mesti berusaha menghilangkannya dan melawannya. Cakrawala berpikir yang melihat hal semacam ini sebagai takdir atau nasib yang mesti diterima sebagai kehendak Tuhan haruslah diberangus dan dieliminir. Mengambil sikap mengandaikans sebuah tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu mesti dijalankan sesuai kriteria moral. Ini tidak berarti bahwa agama Kristen akan tetap membiarkan situasi sub-human tetap eksis dengan menggemakan cinta kasih sebagai senjata yang meninabobokan setiap perjuangan. Gereja tidak boleh menutup mata terhadap hal ini. Di lain pihak, keterlibatan dan keterbukaannya tidak boleh menjadikan agama Kristen sebagai candu masyarakat. Kesejahteraan dicapai bukan dengan perlawanan tapi perjuangan yang dijiwai semangat cinta kasih. Para imam-religius mesti menyadari bahwa tindakan politis peduli sosialnya bisa ditafsirkan sebagai aktus profokatif terhadap kekuasaan yang sah. Mereka boleh jadi dituduh bertindak subversif, kontra-revolusioner ataupun komunis. Namun, hal seperti itu mesti diterima sebagai risiko bagi mereka yang gigih dan berani berjuang bagi kaum miskin dan tertindas. Apa yang dialami oleh Uskup Romero menggarisbawahi panggilan profetis-politis yang harus dijalani kaum imam-religius.


KAPET MBAY BUTUH PERLAKUAN KHUSUS?
(Sumbang pikir bagi pengelola Kapet Mbay)
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Pos Kupang, 24/2/2006)



Wacana seputar pengelolaan Kapet Mbay sering menghiasi lembaran-lembaran media massa dan menjadi tema-tema diskursus menarik para pejabat publik di kantor-kantro hingga para tukang ojek di pangkalan-pangkalan ojek. Persoalan Kapet Mbay adalah persoalan yang aktual, karena sejak awal Kapet ini dirundung persoalan demi persoalan. Mengamati perkembangan Kapet Mbay bagaikan mengeja peribahasa tua ini: “Bagai kerakap tumbuh di batu, hidup enggan mati tak mau”. Inilah situasi Kapet Mbay “hidup enggan mati tak mau”. Apakah ia butuh perlakuan khusus agar tetap hidup dan bisa menghidupi dirinya sendiri? Sejauh ini, Kapet Mbay telah mengalami distorsi kepentingan, disorientasi tujuan dan kebuntuan dalam gerak maju. Kapet yang dalam tataran konsep sangat populis dan menjawabi kebutuhan masyarakat, mengalami kendala serius dalam praksisnya.

Kapet Mbay: suatu Rahmat?
Pada awalnya, kehadiran Kapet Mbay diterima masyarakat karena dinilai menjawabi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan kesejahteraan antara penduduk di kawasan Barat dan kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah salah satu persoalan yang terus mendera bangsa ini. Karena itu, pemerintah berupaya menjawabi persoalan ini dengan langkah kebijakan dan inisiatif untuk memacu pertumbuhan KTI melalui investasi. Salah satunya adalah menetapkan suatu kawasan andalan nasional di tiap propinsi di KTI yang berorientasi pada potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang relatif mudah dikembangkan. Maka lahirlah apa yang disebut Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet). Jadi Kapet merupakan suatu pilihan pendekatan pembangunan dengan tujuan untuk menarik investasi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan penduduk. Kebijakan penerapan Kapet di KTI dilakukan dengan KEPPRES 89/1996 yang disempurnakan dengan KEPPRES 9/1998 dan disempurnakan lagi dengan KEPPRES 150/2000. Kapet ini dikelola oleh lembaga khusus yang dikenal dengan nama Badan Pengelola Kapet.
Salah satu satu propinsi KTI yang mana Kapet diterapkan adalah NTT, dengan Kapet Mbay yang cakupan wilayahnya seluas Kabupaten Ngada. Kabupaten ini memiliki Mbay sebagai suatu kawasan andalan di antara kawasan andalan lainnya di NTT. Karena memiliki beberapa potensi andalan, maka bila investasi berhasil ditarik masuk, pengembangannya akan membuat kawasan ini menjadi cepat tumbuh dan menjadi salah satu growth centre di NTT. Mbay dikukuhkan sebagai Kapet di NTT dengan KEPPRES 15/1998. Kapet Mbay adalah rahmat tatkala konsep dan desain programnya menjawabi kebutuhan masyarakat yang mengalami kesenjangan ekonomi, masyarakat yang masih bergulat dengan kemiskinan, rakyat yang pendapatan perkapitanya sangat minim. Bahkan para pengelola Kapet menempatkan kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan sebagai visi utama Kapet yang dimungkinkan oleh perwujudan Kapet Mbay sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis agrobisnis, agroindustri dan pariwisata. Visi ini ditunjang oleh beberapa misi yakni, misi ekonomi yang di dalamnya termasuk upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, misi lingkungan yang mencakup upaya menjadikan Kapet Mbay sebagai kawasan yang nyaman dan berbudaya serta misi pengembangan sumber daya manusia yang meliputi sosialisasi untuk mendongkrak partisipasi aktif masyarakat dalam pengembangan Kapet. Visi dan misi ini dilengkapi dengan strategi-strategi handal untuk menyukseskan pengelolaan Kapet. Para pengelola bagaikan panglima perang yang merancang stategi perang di atas kertas. Dan di atas kertas itulah kemenangan telah diraih, musuh telah dikalahkan. Karena musuh sepertinya tak berdaya dengan strategi jitu yang akan diterapkan. Ini konsep yang bagus. Tetapi belum teruji realitas di lapangan atau medan tempur. Secara konseptual, Kapet Mbay adalah jabawan dari kerinduan masyarakat Ngada khususnya dan NTT umumnya untuk bergeliat menuju hidup yang lebih baik dan lebih layak. Namun apakah rahmat ini memang dirasakan dan dialami masyarakat?

Kapet Mbay suatu petaka?
Bencana ada yang datang begitu saja tanpa pernah bisa dikontrol dan diantisipasi manusia. Ada pula yang terjadi karena kelalaian, kecerobohan dan kesalahan manusia. Kapet Mbay jadi petaka ketika tujuan-tujuan baiknya, visi misi populisnya tidak membumi pada lahan realitas hidup masyarakat, tatkala ada konflik kepentingan pengelola dengan kepentingan masyarakat. Kapet ini menjadi rahmat yang tak disangka-sangka bagi mereka yang mendapatkan keuntungan karenanya baik keuntungan finansial, keuntungan reputasi, promosi jabatan maupun keuntungan pemakaian segala fasilitas yang ada. Inilah rahmat yang berwajah materi, kedudukan, pangkat, kehormatan, kemudahan. Tetapi, rakyat Kapet Mbay masih seperti itu. Hidupnya tidak menunjukkan grafik perubahan setelah kehadiran Kapet kurang lebih selama delapan tahun ini, tingkat pendapatannya pun yang itu-itu saja, kesejahteraan dan kemakmuran yang dijanjikan nonsens. Pengelola atau pihak-pihak yang berkaitan dengan itu mendapat rahmat, rakyat merasakan petakanya. Dan monumen kemelaratan rakyat Kapet Mbay adalah gedung megah kantor pengelola Kapet, yang mubazir setelah dibangun dan bahkan sempat menjadi tempat perlindungan kambing domba penduduk sekitar dari hujan dan panas terik. Petaka ini hampir menjadi sempurna ketika beberapa saat lalu terlontar wacana untuk membubarkan Kapet Mbay oleh anggota Komisi V DPR RI yang mengadakan kunjungan kerja ke NTT. Pada saat itu mereka menilai keberadaan Kapet Mbay mubazir karena tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Ini salah siapa?
Petaka Kapet Mbay dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, ketersediaan SDM yang potensial (jumlah dan kualitasnya) minim. Sebut saja para pengelola Kapet. Dari aspek kualitas SDM memang patut diandalkan. Tetapi, mereka tidak dipercayakan untuk secara khusus menangani Kapet. Ada cukup banyak jabatan yang diemban sehingga tidak benar-benar berkonsentrasi pada tugas mengelola Kapet Mbay. Jabatan rangkap memang kurang mendukung pengelolaan Kapet yang butuh konsentrasi. Selain itu, para pengelola Kapet kebanyakan tinggal di luar wilayah Kapet Mbay atau di luar wilayah Mbay yang adalah kantor pusat Kapet Mbay. Minimnya tenaga profesional di bidang ini sangat berdampak pada sejauh mana proses sosialisasi berjalan di masyarakat. Toh, masih ada juga masyarakat yang tidak mengetahui apa itu Kapet. Dalam konteks kapet Mbay memang harus diperhitungkan prinsip righ man in the right place. Jika tidak, kegagalan kapet bisa dipicu oleh man behund the gun. Orang-orang yang dipercayakan untuk mengelola Kapet mestilah orang-orang yang mempunyai hati bagi rakyat kecil yang miskin. Orang-orang yang mau bersama rakyat bekerja sama menuju perbaikan kesejahteraan. Bukan orang yang pandai berorasi tentang konsep Kapet tanpa turba. Bukan orang yang pandai mendesain program lalu memantau dari jauh. Dalam kaitan dengan SDM yang berkualitas ini perlu diperhitungkan partisipasi masyarakat. Ada kesan bahwa masyarakat tidak terlalu berpartisipasi aktif dalam pengelolaan Kapet. Ada apa? Apakah karena ketidaktahuannya (tidak pernah disosialisasi), karena pengabaiannya (apatis terhadap derap pembangunan) ataupun karena tidak diberi peluang untuk berpartisipasi. Keterlibatan masyarakat adalah syarat mutlak bagi keberhasilan pengembangan Kapet. Ada tidaknya keterlibatan sangat bergantung pada bagaimana pengelola Kapet menarik dan melibatkan masyarakat.
Kedua, kelengkapan prasarana dan sarana fisik wilayah. Bagaimana mengelola Kapet dengan sarana dan prasarana yang minim? Lihat saja sistem jaringan jalan, listrik, telekomunikasi yang ada di Mbay khususnya maupun daerah yang berada dalam kawasan Kapet Mbay. Bagaimana mungkin kita menarik minat investor (apalagi investor asing) kalau untuk telepon saja hanya bisa pada malam hari (listrik hanya dinyalakan malam hari)? Bagaimana meyakinkan para investor untuk menanam modal di Kapet kita ini jika kondisi jalan telah meng-KO-kan mereka sebelum tiba di tempat tujuan? Sarana dan prasarana fisik memang perlu diperhatikan agar tidak terjadi hal-hal seperti di atas. Kendala ini mau dialamatkan kepada siapa?
Ketiga, optimalisasi komoditas unggulan. Kita masih mengalami kesulitan dalam mengelola dan mengembangkan komoditas unggulan masyarakat. Sistem-sistem produksi yang masih tradisional, pendapatan rakyat yang tak menjangkau terpenuhinya alat-alat produksi menjadi hambatan tersendiri. Bagaimana memiliki traktor untuk mengerjakan sawah adalah sebuah kendala, ketika daya beli masyarakat masih rendah dan tak menjangkau alat-alat semacam itu. Kendala-kendala inilah yang apabila dicermati secara jeli sejak awal tentu sangat membantu bagaimana mengelola Kapet sesuai kebutuhan masyarakat, bukan sesuai kepentingan pengelola. Spirit untuk memiliki dan bertanggung jawab terhadap Kapet yang seharusnya ditanamkan kepada masyarakat dinomorduakan ketika pembangunan gedung kantor Kapet, perjalanan-perjalanan lobi diutamakan. Padahal masyarakat sebagai basis dan subjek pengelolaan belum dipersiapkan.

Butuh Perlakuan Khusus?
Sebagaimana yang termuat dalam SKH Pos Kupang edisi 17/2/2006, Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT berharap pemerintah pusat dapat memperlakukan secara khusus pengembangan Kapet Mbay di Kabupaten Ngada. Perlakuan ini diperlukan untuk mendorong Kapet Mbay berkembang lebih baik. Harapan yang disampaikan oleh Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Leburaya ini pada intinya ingin mempertahankan Kapet Mbay, meski saat ini pemerintah pusat tengah mengevaluasi seluruh kapet di Indonesia.
Pertanyaan kita, perlakuan khusus yang macam mana? Apakah dengan memberikan kesempatan kepada pengelola Kapet Mbay untuk berbenah? Apakah khusus dalam hal suntikan dana yang lebih banyak? Ataukah ada tindakan “khusus” lainnya demi memperbaiki keadaan Kapet Mbay yang sekarang ini? Hemat saya, perlakuan khusus yang dibutuhkan adalah kesempatan untuk menata dan membenahi kondisi Kapet Mbay yang tidak keruan lagi. Pemerintah pusat diminta untuk tidak menutup Kapet Mbay ini, karena kehadiran Kapet Mbay memiliki dampak yang besar bagi kesejahteraan rakyat di daerah Kapet, hanya saja selama ini kurang diperhatikan oleh pengelola dan pemerintah daerah. Karena itu, langkah-langkah khusus yang perlu dibuat baik oleh pengelola Kapet, Pemprop maupun Pemda adalah: pertama, analisa kebutuhan (need assessment). Pengelola dan pemerintah daerah mesti menganalisis kebutuhan masyarakat agar program-program yang didesain bukanlah program yang melangit tetapi sangat diharapkan membumi dalam konteks kebutuhan masyarakat sehari-hari. Untuk itu, pola pendekatan top – down perlu ditinggalkan dan diganti dengan pola bottom up, sebab kebutuhan masyarakatlah yang utama. Dalam konteks menjawabi kebutuhan masyarakat inilah hemat saya sarana dan prasarana fisik itu mesti dipenuhi.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah penataan kelembagaan atau restrukturisasi badan pengelola Kapet Mbay. Orang-orang yang dinilai tidak mampu sebaiknya diganti oleh orang-orang yang berhati, yang lebih enerjik dan memiliki komitmen untuk membangun. Selain itu, struktur yang tidak perlu (pengelembungan struktur) sebaiknya dipangkas atau dirampingkan agar mekanisme kerja berjalan secara efektif. Dalam kaitan dengan ini, fungsi pengawasan atau lembaga pengawasan mesti ada agar selalu ada pertanggungjawaban dari pengelola terhadap publik. Karena pengelolaan kapet adalah mengelola hal-hal yang berkaitan dengan hayat hidup orang banyak. Mesti ada pertanggungjawaban publik. Selain itu, peran pemerintah daerah mesti lebih menonjol. Pemerintah daerah dalam kerja sama dengan pengelola Kapet besama-sama merancang bangun program pengembangan yang sesuai dengan karakteristik setiap wilayah. Pemda juga perlu memperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana fisik agar lebih memadai. Untuk itu, peran Badan Pengelola Kapet sebagai perencana dan inovator pembangunan, promotor dan advokasi pengembangan Kapet (promosi potensi dan peluang-peluang investasi), mediator pengembangan Kapet (menjadi penengah dari kepentingan masing-masing stakeholder), fasilitator pembangunan Kapet, harus benar-benar dijalankan.
Perlakuan khusus itu akan lahir kalau ada kesungguhan dari kita untuk berubah menjadi lebih baik. Perlakuan khusus akan bermakna bila kepentingan rakyat tetap menjadi yang utama. Perlakuan khusus itu menjadi berarti bila Kapet tidak diproyekkan untuk kepentingan diri dan kelompok tertentu. Kapet Mbay butuh perlakuan khusus agar petaka bisa berakhir dan lahirlah buah-buah rahmat. Rahmat, suatu karunia yang dirasakan dan dialami oleh rakyat dalam perbaikan nasib, peningkatan taraf hidup dan tingkat kesejahteraannya yang membaik.


MENCERMATI PARTISIPASI POLITIK RAKYAT
Oleh: Isidorus Lilijawa
(Dian, Juli 2007)

Setiap proses politik mau tidak mau mesti melibatkan rakyat. Pelibatan rakyat dalam proses politik mengindikasikan adanya iklim demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa partisipasi politik rakyat, akan terjadi deviasi tujuan politik dari esensinya yakni bonum commune. Kebaikan komunal, kesejahteraan bersama mengandaikan adanya partisipasi politik yang sadar dan kritis dari rakyat selaku subjek politik dan bukan objek atau sasaran politik. Tentunya kita dapat melihat sejauh mana rakyat berpartisipasi dalam setiap proses politik, khususnya dalam momentum pilkadal akhir-akhir ini. Pelibatan rakyat dalam proses politik berarti rakyat bukan hanya menjadi penonton, bukan pula kelompok floating mass (massa mengambang). Rakyat bukan konsumen politik yang dikenyangkan dengan janji-janji kampanye atau komitmen-komitmen populis. Partisipasi politik rakyat dengannya merupakan keterlibatan rakyat dalam menentukan proses politik, dalam percaturan politik, dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan politik, juga dalam menyingkap kesadaran-kesadaran baru yang berkaitan dengan lakon politik dalam masyarakat.

Partisipasi Politik
Kata partisipasi berasal dari bahasa Latin, pars yang berarti bagian dan capere yang berarti mengambil. Kedua kata ini kemudian membentuk kata particeps yang berarti mengambil bagian atau peran serta atau terlibat. Dalam pengertian sehari-hari, partisipasi berarti ikut mengambil bagian, berperan serta dalam suatu hal (Adolf Heuken, Ensiklodi Populer Politik Pembangunan Pancasila, 1984).
Piet Go membedakan dua bentuk partisipasi dari sudut prakarsa yakni partisipasi vertikal dan partisipasi mandiri. Partisipasi vertikal adalah partisipasi yang digerakkan dari atas untuk menunjang pelaksanaan program-program yang sudah ditentukan secara vertikal tanpa pengaruh dari orang-orang yang diajak berpartisipasi itu. Orang-orang yang berpartisipasi itu hanya sebagai partisipan dalam arti pelaksana. Sedangkan partisipasi mandiri adalah keterlibatan individu-individu atau kelompok atas prakarsa dari bawah atau secara spontan. Dalam pengertian ini terkandung beberapa unsur penting yakni pertama, partisipasi merupakan suatu proses, dan bukan merupakan suatu perbuatan yang sekali jadi. Karena itu, dituntut adanya suatu struktur organisatoris dan prosedur yang jelas agar memudahkannya. Kedua, partisipasi merupakan interaksi antara partisipan, dan bukan melalui teknik pelaksanaan. Ketiga, partisipasi dijalankan atas keyakinan dan keputusan untuk bertanggung jawab; melibatkan diri dengan mengambil bagian dalam gerakan keseluruhan (Piet Go dalam A.B. Sinaga “Etika Politik dalam Etos dan Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum).
Partisipasi politik dapat juga dipahami sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yakni dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Sejalan dengan pemahaman ini, Herbert Mc Closky mengatakan “The term “political participation” will refer to those voluntary activites by which members of a society share in selection of rulers and directly or indirectly in the formation of public policy. (Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam pemilihan penguasa secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum) (Herbert McClosky, “Political Participation”, International Encyclopedia of The Social Science: 1972)
Definisi di atas memberikan pengertian yang sama bahwa partisipasi politik merupakan keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan dan pembentukan kebijakan pemerintah. Partisipasi politik merupakan manifestasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan itu kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya diperhatikan dan bahwa mereka sedikit-banyak dapat mempengaruhi tindakan-tindakan dari mereka yang berwewenang untuk membuat keputusan-keputusan yang mengikat.

Format Partisipasi Politik
David F. Roth dan Frank L. Wilson dalam buku yang berjudul The comparative Study of Politics sebagaimana dikutip Miriam Budiardjo, membedakan keterlibatan politik dalam suatu kelompok masyarakat berdasarkan tingkat perhatiannya terhadap hal-hal politik yakni kelompok aktivis, kelompok pengamat dan kelompok apolitis (Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, 1982).
Kelompok aktivis merupakan kelompok dengan jumlah lebih kurang dari kelompok lain. Mereka secara aktif dan purnawaktu melibatkan diri dalam urusan politik. Kegiatan kelompok ini mencakup aktivitas para pejabat partai atau kelompok kepentingan tertentu. Partisipasi yang ditunjukkan antara lain: aktif dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi program partai, melibatkan diri dalam kampanye, aktif dalam proyek-proyek sosial, dan lain-lain. Kelompok pengamat adalah kelompok yang terdiri dari anggota-anggota partai atau kelompok kepentingan tertentu. Keterlibatan kelompok ini dapat dilihat melalui kehadirannya untuk mengikuti pertemuan-pertemuan umum yang bersifat politis, memberikan suara dalam pemilihan umum, berbicara soal-soal politik dan mengikuti perkembangan politik melalui media massa. Kelompok apolitis meliputi pribadi-pribadi yang sama sekali tidak terlibat dalam urusan politik. Latar belakang ketidakterlibatannya bisa bermacam-macam, entah karena tuntutan status hidup, karena kemauan sendiri ataupun karena tuntutan hukum tertentu.

Subsidiaritas
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh demi lahirnya partisipasi politik rakyat adalah prinsip subsidiaritas. Subsidiaritas berasal dari kata bahasa Latin subsidium, yang berarti “bantuan”. Sebagai prinsip moral, subsidiaritas berarti apa yang dapat diputuskan, dilaksanakan, atau ditangani oleh instansi yang lebih rendah tidak perlu dan tidak pantas diputuskan atau ditangani lagi oleh instansi yang lebih tinggi. Hanya dalam kondisi di mana instansi yang lebih rendah menghadapi keterbatasan atau ketidakmampuan, intansi yang lebih tinggi dapat memberikan bantuan atau subsidi menurut apa yang secara riil dibutuhkan. Dalam arti itu, kita dapat melihat bahwa prinsip subsidiaritas berlawanan dengan semangat politik top-down yang otoriter dan totaliter. Partisipasi politik rakyat tidak mengenal semangat politik yang top-down. Prinsip subsidiaritas juga menentang sentralisme dan monopoli kekuasaan yang melahirkan etatisme atau campur tangan negara secara berlebihan dalam wilayah privat masyarakat atau tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Prinsip subsidiaritas ini berkaitan erat dengan peran para politisi dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Pengabdian yang diemban para politisi hendaknya didasarkan pada rasa hormat terhadap martabat pribadi manusia sebagai makhluk yang berbudi, berkebebasan, dan bertanggung jawab atas dirinya. Patut diingat bahwa pengabdian tersebut tidak bersifat menggantikan, melainkan hanya sebatas mendukung atau menyokong. Para politisi tidak dapat begitu saja mengambil alih hak-hak warga masyarakat. Inisiatif dari masyarakat mesti dihargai. Partisipasi politik bottom-up mesti diapresiasi. Karena itu, kehadiran seorang politikus mesti bisa memberi masukan dan membidani lahirnya kreativitas dan inisiatif masyarakat. Pemerintah dan pelaku-pelaku politik mesti berani memasuki ruang batin masyarakat dan mendengar jeritan hati mereka. Sebab kepentingan rakyat merupakan tujuan pengabdian dan pelayanan para politisi maupun pemerintah.

Solidaritas
Prinsip ini menegaskan bahwa semua warga masyarakat / negara ikut bertanggung jawab atas keadaan masyarakat sebagai keseluruhan dan harus bersedia berkorban untuknya. Bangsa dan negara bertanggung jawab atas rakyatnya tanpa diskriminasi, tanpa mengorbankan kepentingan sebagian bangsa (biasanya orang-orang kecil). Solidaritas merupakan implikasi etis akan pengakuan terhadap martabat manusia. Solidaritas mampu mengubah masyarakat yang egois menjadi altruistis dan merombak struktur-struktur kekuasaan yang tidak adil menjadi masyarakat yang solider.
Solidaritas berarti keberanian untuk keluar dari diri sendiri dan menerima manusia lain sebagai saudara. Kita harus berani percaya pada kemampuan orang lain. Hanya dengan menerima sesama sebagai saudara, manusia dapat membebaskan diri dari belenggu ketertutupannya. Solidaritas menguak fakta bahwa kita mengakui keberadaan dan martabat orang lain. Kebudayaan solider akan berkembang jika kuasa politik dan ekonomi melayani masyarakat umum dan bukan kepentingan kaum elite saja. Prinsip solidaritas menciptakan tata ekonomi dan tata politik yang bertenggang rasa, secara khusus dengan rakyat yang lemah, kaum marjinal. Musuh solidaritas adalah diskriminasi. Itu berarti bahwa komitmen kita untuk membangun budaya solider dengan sendirinya menuntut dari kita upaya eliminasi sikap dan pola laku yang diskriminatif. Solidaritas dapat meretas kebuntuan partisipasi politik rakyat. Karena dengan bersolider respons dan tanggap politik rakyat tersalur dan komitmen politik kerakyatan mereka yang diberi kuasa menjadi nyata.
Setiap warga negara tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh politik. Melibatkan diri dalam kancah politik; entah itu politik kekuasaan maupun politik kepedulian sosial hanya diandaikan oleh kesadaran politik. Kesadaran politik mencerminkan dua hal: pertama, sadar bahwa manusia adalah insan politik (homo politikon) yang dengannya memiliki hak politik yang ada secara kodrati dan dijamin dengan aturan serta undang-undang. Kedua, kesadaran politik memantulkan suatu keyakinan bahwa politik merupakan sarana dan alat yang baik untuk mencapai kesejahteraan bersama. Melibatkan diri dalam urusan politik merupakan kekhasan manusiawi kita. Sebab hanya dengan demikian, kita sungguh-sungguh berada sebagai manusia.






KEMBALI KE KEMISKINAN NTT
Oleh Isidorus Lilijawa


Suatu perbincangan menghangat di sebuah warung B2 (warung daging babi) jalan Kaliurang 4,5 Jogjakarta pada suatu malam awal Juli. Topiknya tidak lain soal kemiskinan di kampung halaman NTT. Malam itu, saya bertemu seorang kawan dari Timor jebolan S2 ekonomi Manajemen UGM dan mengajar di Fakultas Ekonomi D3 UGM. Pertemuan yang tak terduga itu menjadi semakin menarik ketika seorang rekan dari Batak, Anton Pandjaitan yang sedang menyelesaikan studi S2 manajemen di UGM peduli pada kemiskinan di NTT dan ikut berbicara tentangnya. Setiap pertemuan di mana saja kami sepakat untuk kembali ke kemiskinan NTT. Bukan sekadar ikut-ikutan kembali ke laptopnya Tukul Arwana, tetapi karena ini topik klasik dan aktual untuk diskusi kami.
Frans, rekan dosen UGM asal Amarasi Kupang itu mengeluh mengapa NTT terlanjur dikenal sebagai daerah miskin. Siapa yang memberi definisi itu pada NTT? Ia berkisah, dalam beberapa kesempatan mendampingi para mahasiswa ekonomi UGM yang ber-KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Kabupaten Belu dan Kabupaten Manggarai satu dan dua tahun lalu, para mahasiswa yang mayoritas dari Pulau Jawa merasa heran jika selama ini mereka mengenal (dikenalkan) NTT sebagai daerah miskin. Mereka merasa bersalah dengan konsep semacam itu. Kenapa? Mereka melihat wilayah NTT itu luas, ada potensi pertanian, kehutanan, peternakan, pariwisata, kelautan. Lalu mengapa dibilang sebagai daerah miskin?
Rekan dari Batak pun memberi sumbang saran. Kalau NTT mau maju mungkin perlu mencontohi orang Batak. Ia selalu ingatkan saya sebagai orang NTT pada perkataan mendiang Presiden Soekarno, ”Berpikirlah sebagai orang Batak dan bertindaklah seperti orang Jawa.” Secara lebih filosofis, ia mengamini apa yang saya katakan bahwa pernyataan itu mungkin sama dengan kata-kata bijak ini: ”Tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular.” artinya, supaya tidak miskin orang NTT harus menjadi orang cerdik pandai dan tentu saja orang NTT juga harus menjadi orang yang tulus ikhlas, jujur dan berkomitmen.
Sebagai orang NTT, saya juga menggugat mengapa NTT dikenal sebagai daerah miskin, malah nasib tidak tentu (NTT). Siapa yang menciptakan definisi itu? Apa standar kemiskinan orang NTT? Semua orang tahu bahwa NTT mempunyai potensi penunjang pembangunan daerah NTT seperti antara lain pertanian sebagai basis ekonomi dengan potensi lahan basah 127.271 ha, potensi lahan kering 1.528.306 ha, padang untuk usaha peternakan seluas 1.939.801 ha. Perairan laut yang diperkirakan seluas 200.000 km2 (80,86%) dari luas wilayah yang memiliki sumber daya hayati laut multispesies dengan potensi 240.000 ton/tahun belum termasuk nener 680.000.000 ekor/tahun. Potensi wisata di antaranya danau Kelimutu, kawasan wisata Komodo, wisata bahari dan wisata budaya, juga potensi tambang yang dimiliki di antaranya marmer, biji besi, batu aji, dan potensi tambang lainnya.
Bahkan untuk menyatakan bahwa stereotip NTT sebagai daerah miskin tidak seratus persen benar, kepada rekan dari Batak itu saya mengungkapkan pledoi penolakan atas kemiskinan NTT. Di antaranya, banyak mahasiswa dari NTT kuliah di Jawa. Artinya mereka mempunyai uang, tidak miskin kan. Di NTT tidak ada pengemis dan pengamen seperti di jalanan Jogjakarta. Artinya, orang NTT mempunyai kerja dan tidak miskin kan. Di NTT kalau pesta adat, orang bisa potong puluhan ekor babi dan kerbau. Artinya orang NTT ada harta. Tidak miskin kan. Tingkat korupsi di NTT cukup tinggi. Para pejabat suka sunat dana rakyat sana sini, doyan jalan-jalan ke luar daerah. Artinya rakyat NTT tidak miskin lagi kan. Kalau masih miskin tentu korupsi tak ada karena uang sudah dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat.
Pembelaan argumentatif di atas, ternyata tidak membuat saya menang dan senang. Toh orang-orang akan terus memandang NTT sebagai daerah miskin. Entah bagaimana caranya agar pemahaman itu diubah. Mungkin sudah saatnya orang NTT mendefinisikan sendiri kemiskinannya, bukan definisi dari pusat (top-down). Saya merasa tidak menang karena data-data kemiskinan itu telanjang di hadapan saya. Gambaran umum Provinsi NTT sebagaimana disampaikan Asisten II Setda NTT, Pratini pada acara sosialisasi Portal-E, Mei 2007 di Ende menyebutkan tingkat pendidikan di NTT masih sangat rendah dengan komposisi pada tahun 2005; masyarakat belum atau tidak pernah sekolah sebanyak 9,46% laki-laki (L) dan 13,89% perempuan (P); 31,98% (L) dan 30,26 (P) tidak tamat SD; 33,23% (L) dan 35,27% (P) tamat SD; 11,09% (L) dan 9,89% (P) tamat SMTP; 11,57% (L) dan 9,12 (P) tamat SMA; sedangkan masyarakat yang tamat Perguruan Tinggi baru mencapai 2,68% (L) dan 1,56% (P).
Sekilas data-data ini menunjukkan bahwa orang NTT itu miskin sehingga tingkat pendidikannya rendah. Karena miskin, tak mempunyai uang cukup maka orang NTT tidak bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Lihat saja prosentase yang tamat peguruan tinggi. Ini bisa berarti juga, orang NTT itu miskin karena tidak cerdas, tidak cerdik pandai. Bagaimana mau cerdas kalau miskin? Dua hal yang perlu dicermati oleh orang-orang NTT saat ini; miskin karena tidak cerdas dan tidak cerdas karena miskin. Apakah kita masuk dalam dua kemungkinan itu?
Secara kuantitatif, Badan Pusat Statistik (BPS) NTT menyebutkan jumlah penduduk NTT yang miskin pada tahun 2002 sebanyak 1,2 juta orang (30,7%) dari jumlah penduduk 3,9 juta orang. Pada tahun 2003 tetap sebanyak 1,2 juta orang (28,6%) tetapi dari jumlah penduduk sebanyak 4,1 juta orang. Pada tahun 2003 dan 2004, Kabupaten Sumba Barat menempati peringkat pertama jumlah penduduk miskin dengan 43,78% dan 42,04%. Sedangkan Kota Kupang menempati nomor buntut dengan 11,25% dan 10,65%.
Dari data kemiskinan ini ditemukan beberapa faktor penyebab kemiskinan, antara lain: pertama, rendahnya daya beli masyarakat sebagai akibat rendahnya produktivitas dan produksi serta posisi masyarakat dalam pasar yang tidak mempunyai daya tawar (price taker) dan tingkat harga bahan kebutuhan konsumsi dan produksi yang relatif tinggi. Faktor ini terkait dengan kinerja perekonomian rakyat yang belum berkembang secara optimal seperti kurang meratanya kepemilikan faktor-faktor produksi yang meliputi tanah, modal, keterampilan tenaga kerja, kemampuan teknologi dan manajemen; kurang meratanya kesempatan bagi pelaku ekonomi (BUMN, BUMD, Swasta dan Koperasi/UKM) untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan berbagai kebijakan pembangunan ekonomi; masih terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi, antara lain terbatasnya informasi pasar dan lemahnya kelembagaan ekonomi rakyat; jaringan kerja (network) kegiatan ekonomi rakyat yang terbatas dan kurangnya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan peluang modal dan peluang usaha yang tersedia. Pada sisi lain terkadang persyaratan dan prosedur perkreditan yang panjang dan memberatkan masyarakat menjadi kendala untuk memperoleh modal usaha. John Boleng, rekan dari SwissContact, sebuah lembaga yang mengadvokasi usaha perekonomian rakyat khususnya dalam bidang perkebunan pernah mengatakan, kualitas coklat Flores adalah kualitas coklat nomor tiga di dunia dan sangat diminati oleh negara-negara lain. Tetapi, petani coklat kita tetap miskin. Harga ditentukan oleh tengkulak sembari di sisi lain teknologi dan manajemen budidaya coklat pun belum bagus.
Faktor kedua penyebab kemiskinan adalah pengaruh nilai budaya tradisional yang mengakibatkan perilaku pola hidup konsumtif. Seperti sudah dikatakan di awal tulisan ini, kalau mau pesta adat berapapun hewan bisa dipotong, kalau mau urus belis, berutang pun tak jadi soal asalkan tuntutan adat terpenuhi. Ketiga, berbagai kerapuhan, kepincangan dan kesenjangan struktural dalam masyarakat mempengaruhi ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan sendiri (kemiskinan sistematis/kemiskinan struktural). Ini terkait manajemen pemerintahan yang belum bersungguh-sungguh pro rakyat. Masih ada korupsi para pejabat, perselingkuhan eksekutif dan legislatif, penguasa dan pengusaha, rendahnya moralitas politik dan komitmen kerakyatan dari aparat pemerintahan.
Di tengah fakta kemiskinan itu, NTT pun kerap dililit persoalan mendasar dalam pembangunan daerah seperti rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat, tingginya intensitas informasi yang bernuansa konflik, ancaman rawan pangan dan bencana alam, terbatasnya sarana dan prasarana pembangunan dan faktor ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan yang terakhir ini, pada tahun 2004 realisasi PADS sebesar Rp123.690.370.078 dari total realisasi APBD sebesar Rp467.637.905.098 termasuk dana kontingensi. Tingkat ketergantungan keuangan daerah kepada pemerintah pusat melalui dana perimbangan sebesar 73,67%. Wah, betapa miskinnya kita. Lebih miris lagi jika dana pembangunan itu tidak semuanya mengalir ke sasaran yakni untuk kepentingan rakyat tetapi singgah di saku-saku pejabat dan mampir di dompet-dompet aparat untuk memuaskan kepentingan pribadi atau kepentingan bisnisnya.
Ternyata daerah kita masih miskin jika ditinjau dari beberapa aspek di atas. Bagaimana agar kita bisa keluar dari persoalan kemiskinan ini? Sudah banyak teori digagas dan konsep dibangun untuk mengikis kemiskinan. Derap pembangunan terus berjalan dengan misi utama mensejahaterkan rakyat yang artinya berangus kemiskinan. Toh, susah juga keluar dari persoalan itu. Realistislah bahwa kita memang miskin, namun kita juga kaya dan mempunyai potensi dalam aspek-aspek tertentu. Di banding daerah lain, kita start dari titik yang berbeda dengan begitu banyak kendala alam, kawasan, ideologis dan politis. Tetapi, hemat saya kita mesti tetap berjalan dengan kepala tegak, dengan kehargadirian yang utuh bahwa kita bisa mengusir kemiskinan itu dari daerah kita, mulai dari diri kita sendiri. Yang didatangkan dari Jakarta hanyalah konsep pemecah kemiskinan, dana stimulans untuk mempercepat kinerja melenyapkan kemiskinan itu. Namun, yang mulai menciptakan sejarah, yang akan menentukan perubahan dan mengartikan pembangunan itu adalah kita warga NTT sendiri.
Pembangunan daerah NTT mempunyai paket Program Strategis Tiga Pilar Pemerataan yang terdiri dari pilar pemerataan pembangunan ekonomi, pilar pemerataan pembangunan SDM (pendidikan rakyat dan kesehatan rakyat), dan pilar pemerataan pembangunan hukum. Ketiga pilar ini dikembangkan melalui prinsip ”Mulailah membangun dari apa yang dimiliki rakyat dan apa yang ada pada rakyat”. Prinsip ini menegaskan bahwa kita harus membangun dari diri kita sendiri. Kitalah yang mempunyai potensi, kita yang mempunyai persoalan, kita jugalah yang harus membangun daerah kita. Kalau rekan Batak katakan, ”Berpikirlah seperti orang Batak dan bertindaklah seperti orang Jawa”, maka kita orang NTT harus bekerja keras, berusaha pantang menyerah, berani bersaing, tekad membaja, tekun, ulet, tidak malu, dalam membangun NTT. Kita tentu tidak harus menjadi orang Batak atau orang Jawa. Kita adalah orang NTT dan harus bangga menjadi orang NTT. Namun, kebanggaan itu tidak mesti kebanggaan kosong. Kebanggaan kita adalah ketika kita berani belajar dan ’menyadap’ kesuksesan daerah lain (Batak dan Jawa, misalnya) dalam menanggulangi kemiskinan. Walau di daerah itu kemiskinan juga ada, tetapi kita perlu belajar bagaimana mengelola segala potensi yang ada untuk mengatasi kemiskinan kita. Kemiskinan itu bukan misteri, ia adalah persoalan yang tentu mempunyai jalan keluar.
Hemat saya, titik berat pembangunan daerah NTT seperti revitalisasi ekonomi rakyat melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah produksi, pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis; penumbuhan partisipasi melalui bina manusia, bina usaha, bina lingkungan; pemberdayaan SDM melalui peningkatan pendidikan formal dan non formal, peningkatan pelayanan kesehatan dan menumbuhkan kemandirian ekonomi rakyat adalah konsep-konsep jitu pengikis kemiskinan. Tinggal saja sejauh mana hal-hal ini diimplementasikan. Ini sudah menyangkut manusianya. Dan inilah tugas kita orang NTT, bukan siapa-siapa, bukan orang Batak atau orang Jawa. Apakah kita bisa?
Ternyata, mengatasi kemiskinan tidak cukup hanya teori. Harus ada praksis. Frans bersama rekan-rekannya sedang melobi beberapa tokoh pemerintahan di NTT untuk mengembangkan penyulingan minyak cengkeh dari daun cengkeh. Sayang kan kalau yang dipungut hanya buah cengkeh lalu daun-daunnya dibiarkan menghiasi pohon. Si Pandjaitan bersama dengan organisasinya telah dan sedang membantu membiayai sekolah anak-anak tidak mampu di Jakarta dan sedang membuka peluang ke NTT. Lalu kita masyarakat NTT? Jangan bangga karena kita miskin. Tangisilah kemiskinan dan jadikan itu musuh yang harus diperangi mulai saat ini.

Pernah bekerja sebagai wartawan Flores Pos
isidrojawa@yahoo.com



Mendungnya Angkasa Kita
Oleh Isidorus Lilijawa
Pada tanggal 4 Juli 2007, rekor buruk pecah di angkasa Indonesia. Dan sejak saat itu, dunia penerbangan kita pun diselimuti mendung. Mengapa? Uni Eropa (UE) melarang 51 maskapai RI terbang di udara Eropa. UE juga menyarankan warganya yang berkunjung ke RI jangan naik pesawat maskapai RI—pakailah kereta api atau bus.
Berita ini tentu membuat pemerintah dan pengelola burung besi di Indonesia geram, marah-marah dan sulit menerima keputusan yang katanya sepihak itu. Setelah awal 2007 lalu, dunia penerbangan kita berkabung, kini perkabungan itu terus terjadi dan genaplah kata-kata tua ini, dunia penerbangan kita tak putus dirundung malang.Survei Flight International membuktikan maskapai penerbangan RI paling tak aman. AdamAir jatuh di Laut Sulawesi menewaskan 102 penumpang, 1 Januari 2007, dan Garuda terbakar di Yogyakarta memakan korban 21 tewas, Maret 2007. Bukan hanya itu, berbagai kecelakaan pesawat lainnya pun susul-menyusul sepanjang kuarter pertama tahun 2007 ini. Sejak hilangnya AdamAir, penerbangan kita mendapat angka merah bagi dunia penerbangan dunia internasional.
Ada apa dengan dunia penerbangan kita? Selepas raibnya AdamAir itu, pemerintah dalam hal ini kementerian perhubungan pun mulai berbenah. Maskapai-maskapai penerbangan pun diaudit. Burung-burung besi tua dilarang terbang dan diistirahatkan. Manajemen penerbangan dievaluasi. Sistem penerbangan low-cost pun dipertanyakan. Sidak (inspeksi mendadak) pun dibuat di mana-mana. Tidak hanya untuk yang melintasi angkasa, namun transportasi darat dan laut pun tidak luput dari perhatian. Maklum, tahun 2007 untuk bumi Indonesia ditandai oleh bencana demi bencana baik di angkasa, darat dan laut.
Pola manajemen bisnis yang mengutamakan pemasukan (cash) dan mengabaikan keselamatan penumpang pun dirombak total. Maklum, di negeri ini nyawa manusia kadang dinomorduakan dan dinomortigakan. Uang, keuntungan bisnis menjadi target utama. Tak heran jika pesawat-pesawat tua pun beroperasi dengan harga tiket murah asalkan menuai limpahnya penumpang.
Sama dengan RI, Kongo mengalami dua kecelakaan fatal. Namun, kecelakaan itu dialami dua pesawat baling-baling (non-jet) dan salah satunya pesawat pengangkut barang. Kecelakaan terburuk dialami Boeing 737-800 Kenya Airways yang jatuh sekitar 5 kilometer dari Bandara Douala, Kamerun, belum lama ini. Seluruh 114 penumpang pesawat itu tewas.
Flight International mengatakan, kecelakaan fatal pesawat mencapai titik terendah pada paruh pertama 2007. Total terjadi 11 kecelakaan yang dialami seluruh kategori penerbangan komersial, termasuk penerbangan kargo. Rekor kecelakaan fatal terendah pernah tercatat pada enam bulan pertama 2003 dan 1984. Namun, jumlah total penerbangan 2007 tiga kali lipat dibandingkan angka tahun 1984. Keselamatan penerbangan RI divonis lebih buruk dibandingkan dengan dua negara Afrika itu. Dan, Flight International adalah institusi yang bergengsi yang jadi rujukan internasional.Tak sedikit turis Eropa urung berkunjung ke sini. Pemerintah Australia dan Amerika Serikat (AS) telah mengeluarkan peringatan senada tentang RI sebagai no fly zone untuk sementara. Ternyata dampaknya bakal dirasakan dunia pariwisata kita. Larangan untuk ke Indonesia bakal direspons oleh para turis dari Eropa dan Amerika. Bagi mereka keselamatan manusia adalah yang utama, karena itu mereka bisa saja mencari daerah wisata lain yang aman dan bukan Indonesia. Salah satu aspek dalam kepariwisataan adalah kenyamanan. Hal ini dapat ditakar dari dunia penerbangan kita. Wah, sudah jatuh ditimpa tangga. Aliran devisa pun bakal berkurang, seperti setelah peristiwa bom Bali tahun 2002 lalu.
Soal rekor buruk yang dimuntahkan UE memang bukan sembarang muntahan pernyataan. UE bukan "anak kemarin sore". Sejak 2004 mereka bertekad menciptakan "Satu Wilayah Udara" atau Single European Sky (SES) untuk menghemat biaya penerbangan, meningkatkan keselamatan, dan mengefisienkan lalu lintas udara.Jika SES berjalan, UE berpotensi mengurangi biaya penerbangan di Eropa yang mencapai 4,4 miliar dollar AS per tahun. Berbagai aturan yang diterapkan akan terasa "kejam" bagi maskapai yang terbang dari Asia, AS, atau Afrika. Salah satu aturan ketat yang berlaku sejak Maret 2006 mengatakan, setiap penumpang wajib mendapat informasi tentang maskapai yang masuk daftar tidak aman. Andai Garuda masih terbang ke Eropa, dijamin tak ada warga UE yang membeli tiketnya. Setiap penumpang Eropa bisa meminta kembali uang yang dikeluarkan untuk membeli tiket maskapai yang tidak aman. Jika penumpang tetap ngotot mau terbang, UE wajib mencarikan tiket maskapai alternatif lain yang masuk kategori aman.
Selepas pernyataan itu mengangkasa, mendung pun mengitari angkasa penerbangan kita. Tidak hanya itu, pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang pun merasa kebakaran jenggot. Sok jagoan, mereka berusaha mementahkan lagi rekor buruk itu. Rekor itu dinilai mempermalukan Indonesia, padahal ada pesawat di Indonesia yang layak terbang seperti hari-hari ini di mana pesawat-pesawat itu terus membelah angkasa. Namun, ada pihak yang membenarkan rekor itu. Artinya, ambil maknanya, jadikan itu sebagai momen pembelajaran dan introspeksi diri. Jadi, tak ada manfaatnya emosional menghadapi UE, organisasi yang dibentuk berdasarkan aturan.
Budiarto Shambazy menulis, ”Dalam KTT Keselamatan Penerbangan Strategis di Bali, 2 Juli, Pemerintah RI dan International Civil Aviation Organization (ICAO) menandatangani deklarasi. Isinya mewajibkan Dephub memperbaiki keselamatan penerbangan. Bagi UE dan ICAO, nyawa manusia di atas segala-galanya. Pemerintah RI gemar bersikap reaktif dalam pergaulan internasional yang diikat aturan main yang universal dan disepakati bersama. Coba Anda masuk ke sumur gelap, lalu teriak keras-keras. Beberapa detik kemudian terdengarlah gaung suara Anda. Anda puas lalu mau keluar, tetapi baru sadar tak ada tangga atau tali. Anda teriak minta tolong... tapi tak seorang pun mendengar gaung suara Anda.”
Itulah Indonesia, negeri seribu bencana. Dan hari-hari ini ketika Garuda, Merpati, SriwijayaAir, LionAir, AdamAir, JatayuAir, Trans Nusa, PelitaAir dan lain-lain Air masih saling berkejaran di angkasa kita, itu bukan prestasi. Mereka sedang melafalkan kidung duka dari “Sayap-Sayap Patah”. Karena prestasi kita adalah jago kandang dan mungkin perlu masuk rekor MURI bahwa burung besi kita sekelas Garuda pun dilarang melintasi wilayah Eropa. Entah sampai kapan.


















































No comments: